Part 1 - Martabak Keju Itu Tidak Semanis Kelihatannya

47.7K 2.5K 69
                                    

Matahari yang terik tidak membuat Pak Yoyo, guru olahraga kami, mengurangi jumlah putaran yang harus kami lakukan sebagai bagian dari pemanasan hari ini. Alhasil kini kami para siswa dan siswi SMA tunas Nusantara sudah bermandikan keringat dengan badan bau matahari.

Yang tidak kalah mengherankan, para anak lelaki, termasuk Gerry, masih saja punya semangat untuk mengejar bola secara bergerombol saat kami para siswi berebut tempat terbaik di bawah pohon beringin untuk berlindung dari sengatan sinar matahari. Kami paham betul bahwa teriknya sinar matahari berbanding terbalik dengan tingkat kecerahan warna kulit kami.

Sebagai bukti nyata, Lily yang duduk di sampingku sudah sibuk mengusapkan tisu basah pada seluruh permukaan wajahnya sejak lima menit lalu.

"Jangan males, Ras. Kata Ibuku penting kalau cewek itu menjaga penampilan dalam keadaaan apapun."

Aku hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakannya. Tentu saja tante Gina akan mengatakan hal itu kepada putri semata wayangnya.

"Minta tisu basahnya dong, Ly."

Anita, teman sekelas kami, ikut mengambil tempat di antara kami berdua. Ia sudah menarik sehelai tisu dari kemasan dalam pangkuan Lily bahkan sebelum mendapatkan persetujuan.

"Kalian sudah ngumpulin daftar universitas pilihan?"

Tanya Anita sambil mulai sibuk membersihkan wajahnya.

"Laras sudah. Aku belum."

Jawaban Lily membuat Anita kini memandangku takjub.

"Laras pasti masuk universitas unggulan yang waktu itu direkomendasikan sama Bu Esti kan? Kalau aku punya nilai sebagus kamu, aku juga pasti nggak perlu pusing mikirin universitas tujuan. Apply kemana saja pasti keterima."

Aku hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan Anita. Masuk ke universitas unggulan dengan tawaran beasiswa penuh merupakan pilihan terbaik untuk anak yatim piatu sepertiku. Ini salah satu kesempatan agar aku bisa mulai berhenti bergantung secara financial kepada tante Desy and om Guntur.

"Kamu sendiri kenapa bingung, Ly? Nilai kamu kan juga nggak jelek-jelek amat."

Tidak ada jawaban dari Lily. Ia sepertinya tidak mendengar pertanyaan Anita. Kuperhatikan pandangannya mengarah pada kumpulan anak laki-laki yang kini berlarian merayakan kemenangan mereka.

"Lily."

"Ya?"

Panggilan Anita membuatnya kembali memandang kami bingung.

"Kamu kenapa belum menentukan pilihan universitas?"

"Oh itu..."

Usapan tisu di wajahnya terhenti seketika. Sepertinya ia sedang menimang-nimang ingin memberitahu kami jawaban sebenarnya atau tidak.

"Aku hanya belum tahu."

Anita tampak belum puas dengan jawaban yang diberikan Lily, namun bunyi pluit dari Pak Yoyo membuatnya mengambil langkah seribu mendekati tempat berkumpul.

Aku juga berniat melakukan hal yang sama tepat sebelum Lily menarik lengan kaos olahragaku.

Meski samar, aku bisa melihat semburat merah mulai muncul di kedua pipinya. Dengan perlahan ia mendekat wajahnya ke telinga kananku. Salah satu tangannya menutupi jeda antara telingaku dan mulutnya, memastikan aku mendengar apa yang akan ia bisikan.

"Sebenarnya aku sedang menunggu Gerry menuliskan universitas pilihannya. Aku akan pergi kemana pun ia pergi."

ia terkikik saat menyelesaikan pengakuannya.

Aku menatapnya heran, memastikan kalau aku pasti salah mengartikan kata-kata yang baru saja ia ucapkan.

"Kamu?"

Semburat merah di kedua pipinya terlihat semakin jelas. Ia mengangguk berulang kali kembali tersipu.

Masih sambil menggenggam kaos olahragaku, ia kembali mendekat.

"Ya. Aku suka sama Gerry. Suka sekali."

Bisikkan itu terdengar sangat jelas. Mengema hebat membuat tubuhku gemetar.

 **

Bunyi alarm membangunku. Mungkin efek kopi yang kuhabiskan semalam membuat aku memutar kembali peristiwa-peristiwa traumatik yang paling ingin kulupakan dalam mimpiku.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Sudah satu jam aku terlambat dari waktu seharusnya.

Reminder pada ponselku mengingatkan akan meeting pukul sepuluh nanti. Kemudian ada juga notifikasi beberapa panggilan tidak terjawab dari Lily. Ia pasti sudah menyerah membangunkanku pagi tadi.

Selesai mengenakan heels hitam andalanku, aku kembali berputar-putar di depan cermin seukuran tubuhku.

Aku sudah siap. Blouse biru body fit dengan aksen garis kacing berwarna hitam dengan padanan rok span body fit yang panjangnya setengah betisku membuatku tampak professional untuk meeting yang harus kuhadiri nanti. Pulasan make up dengan eyeliner hitam dan red lips berhasil membuat wajahku tampak segar, jauh dari kesan kurang tidur.

Di atas meja makan, aku menemukan sepiring martabak keju yang sudah dihangatkan. Beberapa yang sudah dimasukkan ke dalam kotak makan berukuran sedang. Sebuah notes bermotif bunga-bunga tertempel di atasnya.

Bawa ke kantor buat sarapan/makan siang. Bantu habisin.

Tulisan tangan Lily.

Menyebalkan. Bagaimana bisa aku begitu menyayangi dan membencinya pada waktu bersamaan.

**

 -bersambung-

typo?

Look At Me Please [SUDAH TERBIT]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu