Chapter 1

495 77 8
                                    

Being Alone is Nice.
But Having a Friend is Better.
#Submission 1

#Submission 1

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

---

Ada dua hal yang membuat hampir semua staf Abreviasi dipanggil ke ruangan editor in chief: mendapat kabar buruk atau kabar parah.

Mau pilih yang mana pun nggak masalah. Karena, yah, apa bedanya sih buruk dan parah? Sama-sama nggak ada yang bikin bahagia. Kecuali kamu anak sultan, punya keluarga kaya raya tujuh turunan-delapan tanjakan-sembilan tikungan, mungkin kamu bisa bersantai.

Masalahnya, majalah Abreviasi bukan hanya terkenal dengan konten unik dan banyak menggandeng orang-orang ternama untuk cover-nya, tapi juga keadaan redaksi yang super ketat. Mendekati akhir tahun, pasti ada seenggaknya satu atau dua nama yang siap diminta angkat kaki alias dipecat, saking ketatnya penilaian kinerja di sini.

Untuk orang sepertiku yang masih harus bayar kosan, punya tuntutan tambahan menghidupi seekor kucing anggora jual mahal yang maunya cuma makan Whiskas, dan masih punya cicilan motor, pemecatan adalah kabar buruk.

Atau parah. Sama saja.

Karenanya, sewaktu aku dipanggil Bu Kinanti, mendadak AC kantor seakan mati untukku. Panas. Gerah. Rasanya mau mati. Rekan-rekan kerjaku kompak menoleh ke kubikelku, langsung melempari tatapan berduka tanpa benar-benar mengucapkannya. Kurasa mereka kasihan sekaligus bersyukur bukan nama mereka yang dipanggil. Lucky them.

Ketimbang semua ruangan yang ada di redaksi, ruangan Bu Kinanti bisa dibilang yang paling rapi. Berbagai rak buku dan lemari kaca berderet di lemari. Ada satu sofa beludru panjang dan pendek di dalam untuk tamu. Selama satu tahun bekerja di redaksi, aku belum pernah duduk di sana. Masuk ke sini seperti memanjakan mata dengan gaya kasual, sebelum siap ditampar dengan sebuah surat pemecatan.

At least bisa cuci mata, ya?

Begitu masuk, kulihat Mbak Sera sudah duduk. Dia tersenyum dan memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya. Bu Kinanti hanya mengangguk, tampak sibuk menelepon selagi berdiri dekat jendela yang mengarah ke jalan raya.

"Jadi kita berdua nih, Mbak?" tanyaku. "Salah apa deh kita? Artikel yang gue edit kemarin fine aja, kan?"

Mbak Sera justru tertawa. "Nggak, tenang."

"Terus kita kenapa dipanggil? Sumpah, gue nggak siap ditendang."

"Santai aja elah, Mil. Lo dipanggil bukan buat dipecat kok."

Awalnya aku merasa lega, tapi nggak lama setelah tepukan yang Mbak Sera berikan di pundakku, kusadari Bu Kinanti melirik ke arahku, mulutnya komat-kamit bicara dengan orang di ujung telepon. Walau nggak kedengaran jelas, telingaku masih bisa menangkap beberapa kalimat seperti "saya sudah siapkan penggantinya", "dia memang keluar", dan "kami hanya mempekerjakan orang-orang yang kompeten".

Love, But Don't Say The Word [On-Hold]Where stories live. Discover now