Restless

912 62 21
                                    

Rasanya Jira tidak perlu lagi meninggalkan berbagai pemikiran yang membuatnya kerap kali tertidur larut. Karena malam ini Jira masih terjaga, mempersilahkan Soojin duduk dengan sudut bibir yang senantiasa tertarik ke atas kendati menyadari suasana menjadi tidak menyenangkan.

Tentu saja Jira tidak akan berdiam terlalu lama dengan mulut tertutup rapat bahkan setelah mendengar penuturan yang terlontar dari bukaan bibir Soojin. Jika dulu Jira menahan-nahan diri untuk tidak banyak berceloteh tanya perihal ini itu. Tetapi kali ini rasanya begitu sulit.

Soojin sendiri hanya bungkam seraya mata yang menatap lamat pada seorang wanita yang sedang menutup pintu sebelum menjatuhkan bokongnya di sofa. Terlihat wanita itu jauh lebih tenang setelah menarik napas dalam. Mungkin hanya rasa penasaran yang bisa Soojin petakan dari ekspresi Jira saat ini.

"Aku mengikutimu dari restoran, menunggu waktu yang tepat untuk bertemu denganmu setelah Jimin pergi." Kata Soojin pada akhirnya.

"Aku sengaja mengelabuinya, menggunakan ponsel–aku berkata kalau kau akan pergi ke sebuah gedung sementara kau harus tetap di sini." Sambung Soojin terdengar masuk akal.

Selanjutnya dia mengeluarkan ponselnya seraya berkata. "Aku akan menelepon Seokjin, mengatur pertemuan kita besok."

Jira menggeleng cepat. "Dia licik, dia mempunyai tujuannya sendiri."

"Bukannya setiap orang mempunyai tujuannya masing-masing?" tepat! Jawaban yang sama yang pernah Jira dengar seperti yang Jimin katakan waktu itu.

Jira mengusap dagu tampak berpikir. Mengingat mudah sekali Seokjin bersikap manis sambil kedua matanya itu meliar ke mana-mana. "Dia nyaris melecehkanku di restoran dan itu menjadi penghitungan kedua kalinya, Soojin." Jira dapat melihat reaksi Sooji. Terkejut, jelas sekali.

"Ucapannya selalu membuatku kalut, aku bisa membalasnya nanti."

Soojin mengangguk setuju. "Kau tidak harus percaya padanya."

"Tapi aku merasa penuturannya tidak pernah salah." Kata Jira, dia memang harus berhati-hati pada siapa pun. Namun, Seokjin selalu memperlihatkan raut wajah kelewat serius ketika ucapannya yang keluar dari mulut. Sementara Soojin menampilkan raut wajah bersalah, dia tidak terlalu menyikapi hal ini dengan baik.

"Ah, iya. Tentang Byun Jimin-" ucap Soojin setelah hening yang cukup lama, menarik atensi Jira.

"Dia tidak pernah tinggal diam," katanya lagi membuat pelipis Jira lebih dulu dibuat mengerut heran.

"Dia menjadi salah satu alasan mengapa aku ada di sini untuk membantumu, berada di pihakmu, dan tidak membiarkan kau sendiri."

Jira membasahi bibir bawahnya seraya menyugar rambut. Dia sempat mengira Jimin tidak melakukan apapun. Walaupun dia tahu Jimin mungkin bisa memiliki mata mata atau penjaga yang selalu bersamanya.

"Soojin, apa kau bisa bekerja penuh denganku tanpa menerima perintah apa pun dari orang lain?" Jira tidak ingin memiliki keterikatan lebih jauh bersama pria itu.

Namun, tentu keraguan yang membuat Soojin memilih diam. "Tentu." Soojin mengangguk dan kembali berucap. "Kau harus menemuinya."

Jira mengangguk samar–menyetujui, tersenyum tipis merasa senang atau sedikitnya tidak suka karena harus mengetahui dari orang lain. Perasaannya benar-benar tidak karuan.

***

Hanya sebentar waktunya, Jira mengerti. Soojin hanya melakukan tugasnya. Jika nanti dia kembali pada seseorang yang pertama kali memberi tugas, Jira bisa mencari yang lain. Karena satu-persatu dan apa pun yang tersimpan rapat perlahan terungkap, tidak peduli suara siapa pun yang lebih dulu menguar. Jira berusaha tidak mudah percaya, tetapi insting-nya tidak pernah salah.

SUCKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang