Bab 3. Warna-Warni Patah Hati

15.9K 2.5K 101
                                    

Barangkali ada yang ingin tahu visualisasi Romeo (adik Naina) versiku. Nih.

Sebelumnya, terima kasih buat 112 votes di bab kemarin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelumnya, terima kasih buat 112 votes di bab kemarin. Keren. Bisa kali, ya, bertambah di bab ini? Hehehe. Jangan lupa ramein kolom komentarnya juga. Percaya deh, itu bikin aku semangat nulisnya. Enjoyy!!

*****

JIKA KONDISI hati Naina bisa digambarkan dengan sebuah warna, mungkin bakal sepekat merah burgundy, atau sesendu biru maya—dan bisa jadi segelap hitam onyx. Dia sendiri bahkan tidak tahu warna yang mana.

Namun, Naina memaksa dirinya untuk tetap berpikiran waras. Menangis terus-menerus seperti perempuan dalam serial romans yang seringkali dia tonton—tidak bakal mengubah keadaan. Ragas sudah bukan miliknya lagi. Atau mungkin tidak pernah menjadi miliknya sedari awal?

Hah ..., Naina lebih baik memikirkan hidupnya ke depan, lalu menyemangati dirinya agar bisa lebih semangat bekerja demi membengkakkan tabungannya. Meratapi patah hati itu cuma bikin capek segala-galanya!

Naina lantas keluar dari kamar ketika mendapatkan pesan bahwa orderan makanannya sudah tiba di depan rumah. "Mau ke mana kamu, Nai?" tanya Bunda yang buat Naina menghentikan langkahnya. "Kalau keluar agak lamaan, mending pake yang lebih panjang. Angin malam belakangan ini lumayan dingin. Takut kamu berakhir flu."

Naina menggeleng. "Cuma mau ambil makanan di depan rumah, kok, Bun."

"Oh ya udah kalau begitu."

"Bun, kalau Nai beliin sesuatu, Bunda mau?"

"Boleh, deh, emangnya apaan?" tanya Bunda.

"Sesuatu yang bisa dimakan," balas Naina. "Untuk apa-apanya, nanti Bunda lihat sendiri aja. Nai harus keluar sekarang."

Dengan itu, Naina kembali menuju pintu utama, membukanya, lalu menyapa mas-mas go-jek yang sibuk menunduk bersama ponselnya. Beliau langsung turun dari motornya sembari menenteng plastik yang berisi pesanan Naina.

"Sori udah buat nunggu," kata Naina sungkan.

"Ah, Mbak, saya juga baru tibanya, kok. Santai aja," balas Mas go-jek. "Seblak jeletot varian seafood yang level lima, tiga. Yang varian sayap bakso level tiganya, satu. Dua porsi ceker meler. Sama jus alpukatnya tiga," terangnya seraya menyerahkan plastik itu kepada Naina. Tidak lama, beliau merogoh secarik kertas dari saku jaketnya. "Dan ini ... untuk struk pembeliannya. Silakan dicek dulu, ya, Mbak."

Naina menerimanya, mengecek, lalu mengangguk. "Sudah bener, Mas."

"Oke sip!" Mas itu mengacungkan satu jempolnya. "Jangan lupa kasih bintang limanya ya, Mbak!"

"Saya bakal kasih bintang selangit, Mas. Tenang aja."

"Waduh, lima aja udah cukup, Mbak. Kalau kebanyakan saya kerepotan mau taruh bintangnya di mana." Mas gojek itu pun tertawa yang nular ke Naina. "Kalau begitu, saya pamit dulu, ya? Biasa, udah waktunya mengembara lagi, nih!" Beliau menaiki motornya lagi. "Makasih, ya, Mbak udah dilebihin."

Dating a CelebrityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang