Jilid 50/55

382 4 0
                                    

"Pouw-sute, engkaulah yang harus mengawasi supaya Louw-sicu memenuhi janjinya dan tidak membawa kitab itu keluar dari ruangan perpustakaan, bergilir dengan murid keponakanmu."

Tosu itu mengambil sebuah genta dan membunyikan genta itu. Terdengar suara nyaring berkeloneng dan tak lama kemudian dari pintu belakang muncullah seorang gadis yang berpakaian ringkas dan membawa pedang di punggungnya. Gadis ini memakai pakaian ringkas sederhana, wajahnya tidak dirias, tanpa bedak dan gincu, bahkan rambutnya pun hanya digelung secara sederhana sekali.

Akan tetapi harus diakui bahwa gadis ini manis bukan main, dan tubuhnya padat dan ramping. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang manis dan juga kelihatan gagah dengan gerak gerik yang tangkas. Gadis itu maju dan berlutut di depan Hong Tan Tosu dan terdengar suara halus merdu dari bibirnya yang merah.

"Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, suhu?"

Tosu tua itu tersenyum, agaknya bangga kepada muridnya yang selain manis juga amat berbakti ini. "Kui Eng, selama ini engkau belum pernah bertemu dengan susiok-mu (paman gurumu) Pouw Kui Lok karena ketika tiga tahun yang lalu dia datang, engkau sedang memperdalam ilmu di Kun-lun-san. Nah, ini dia, berilah hormat kepada paman gurumu." Tosu itu menuding kepada Pouw Kui Lok yang memandang kagum kepada murid keponakannya yang baru sekali ini dilihatnya.

Gadis bernama Can Kui Eng itu bangkit dan menoleh kepada Pouw Kui Lok. Biar pun ia seorang gadis dewasa dan paman gurunya itu ternyata masih muda, namun ia tidak kelihatan canggung atau malu-malu. Sambil tersenyum sopan dia memberi hormat kepada Pouw Kui Lok.

"Pouw-susiok, terimalah hormatnya Can Kui-Eng, murid keponakanmu."

Kui Lok cepat membalas penghormatan itu. "Ahh, kiranya suheng mempunyai seorang murid perempuan yang begini gagah. Dan sudah pernah digembleng di Kun-lun-san pula? Nona...."

"Susiok, seorang paman guru tidak menyebut nona kepada murid keponakannya." Gadis itu memotong dan wajah Kui Lok menjadi merah. Biar pun usianya sudah dua puluh tiga tahun kurang lebih, akan tetapi pengalamannya terhadap wanita masih nol.

"Baiklah, Kui Eng. Dan perkenalkan ini adalah suheng-ku sendiri, akan tetapi bukan saudara seperguruan di Kun-lun-pai, melainkan dari guru yang lain, namanya Louw Tek Ciang."

Kui Eng memberi hormat pula dan sepasang matanya yang bening itu memandang penuh selidik, lalu alisnya agak berkerut. Ada sesuatu pada pandang mata pria ini yang membuat dia merasa tidak enak dan gelisah. Tek Ciang menyambut penghormatan itu dengan senyum memikat.

"Kui Eng, engkau kupanggil dan kuberi tugas. Engkau bersama susiok-mu bertugas untuk menjaga dan mengamati agar supaya Louw-sicu bisa mempelajari kitab Sin-liong Ho-kang dengan tenang di dalam kamar perpustakaan selama satu bulan. Dan kitab itu sama sekali tidak boleh dibawa keluar dari dalam kamar perpustakaan...."

"Sin-liong Ho-kang....?" Gadis itu terbelalak dan menatap wajah suhu-nya dengan penuh kekagetan dan penasaran. "Dia.... sicu ini hendak mempelajari ilmu larangan itu....? Tapi, tapi, suhu...."

"Kui Eng, sudahlah. Ini adalah urusan dan tanggung jawab pinto sendiri. Engkau tentu yakin bahwa semua keputusan yang pinto ambil sudah melalui pertimbangan yang matang. Mulai sekarang engkau tinggal melaksanakan tugas jaga bergiliran dengan susiok-mu, menjaga agar Louw-sicu ini memenuhi janjinya, mempelajari kitab itu hanya selama satu bulan dan sama sekali tidak boleh membawa kitab itu keluar dari dalam ruangan perpustakaan."

"Baik, suhu! Akan teecu jaga agar dia tidak melanggar janjinya!" Ucapan yang bernada keras ini saja sudah membuktikan bahwa di dalam hatinya, gadis itu merasa tidak senang kepada Louw Tek Ciang, juga merasa tidak senang melihat betapa suhu-nya kini mengijinkan orang luar mempelajari ilmu larangan itu, padahal setiap orang murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajarinya. Tetapi Louw Tek Ciang menghadapi sikap gadis ini dengan senyum ramah saja.

Demikianlah, terhitung mulai hari itu, Tek Ciang mulai memasuki ruangan perpustakaan dan membuka-buka kitab kuno yang sudah kekuningan itu, mempelajari ilmu yang dinamakan Sin-liong Ho-kang. Ilmu ini berdasarkan kekuatan khikang yang keluar dari pusar, mengerahkan tenaga khikang ini melalui suara gerengan yang mengandung getaran amat kuatnya.

Ilmu ini serupa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang dan sebagainya, kekuatan yang terkandung dalam gerengan dan auman binatang-binatang buas yang melumpuhkan korban hanya dengan suara gerengan dahsyat itu, akan tetapi Sin-liong Ho-kang ini lebih hebat lagi. Bukan hanya getaran hebat yang terkandung dalam gerengan dahsyat menggelegar, tetapi juga siapa yang sudah menguasainya dengan baik, akan dapat mengeluarkan suara dari jauh, mengirimkan suara dari jauh untuk dapat didengar oleh orang yang ditujunya saja tanpa didengar orang lain. Bahkan orang yang menguasai ilmu itu dapat mengeluarkan suara yang tinggi melengking sampai hampir tidak terdengar, akan tetapi semakin halus suara itu, makin hebatlah getarannya dan amat berbahaya bagi lawan!

Akan tetapi, Tek Ciang mendapatkan kenyataan bahwa untuk dapat menguasai ilmu ini secara sempurna, dibutuhkan waktu yang lama, sedikitnya setengah tahun! Maka dia pun segera mempelajari teori-teorinya saja untuk dilatih kelak. Memang dia licik dan cerdik.

Tahulah dia bahwa tosu tua itu sudah menggunakan akal. Pada lahirnya saja memberi ijin kepadanya untuk mempelajari ilmu itu, tetapi pada hakekatnya tosu itu berkeberatan. Buktinya dia hanya diberi waktu satu bulan, waktu yang hanya cukup untuk menghafal teori atau isi kitab. Juga larangan berlatih di luar kamar perpustakaan merupakan bukti bahwa tosu itu memang berkeberatan dia menguasai ilmu larangan itu karena untuk dapat berlatih, orang membutuhkan udara terbuka, bukan dalam kamar.

"Tua bangka sialan!" gerutunya, akan tetapi tentu saja Tek Ciang tidak menyatakan sesuatu kepada Kui Lok, apalagi kepada Kui Eng, gadis yang bertugas menjaga dan mengamatinya itu.

Penjagaan itu dilakukan secara bergilir oleh Kui Lok dan murid keponakannya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa Kui Eng memang seorang murid Kun-lun-pai yang lincah dan cekatan, memiliki ginkang yang mengagumkan dan ilmu pedangnya juga lihai. Jika Kui Lok hanya melakukan penjagaan untuk patut-patut saja karena tentu saja dia sudah amat percaya kepada Tek Ciang sehingga tidak berjaga dengan sesungguhnya, tidak demikian dengan gadis itu.

Kui Eng berjaga dengan sikap sangat waspada dan sungguh-sungguh, seolah-olah dia menganggap bahwa Tek Ciang seorang yang tidak dapat dipercaya dan amat perlu diawasi! Melihat sikap gadis ini, diam-diam Tek Ciang mendongkol sekali dan dia pun bersikap hati-hati, tidak berani melanggar janjinya terhadap ketua cabang Kun-lun-pai itu.

Kurang lebih sepuluh hari sudah Tek Ciang dengan tekun mempelajari ilmu dari kitab kuno itu, hanya meninggalkan ruangan perpustakaan tanpa kitab itu bila ada keperluan makan atau mandi dan ke belakang saja. Bahkan tidur pun ia lakukan di dalam ruangan itu!

Pada suatu malam pelajaran dalam kitab itu sudah sampai pada bagian cara berlatih menghimpun tenaga khikang yang harus dilakukan di udara terbuka, di bawah sinar bulan purnama! Dan malam itu kebetulan bulan sedang purnama, jadi sesungguhnya amat tepat untuk memulai latihan di luar kuil! Akan tetapi, hatinya merasa penasaran dan mendongkol sekali karena dia sudah terikat oleh janji dan pada malam itu, yang melakukan perjagaan adalah gadis yang amat tekun mengamatinya itu!

"Sialan....!" gerutunya dalam hati.

Kalau bukan gadis itu yang berjaga, tentu dia akan dapat menyelinap keluar barang satu dua jam untuk mempraktekkan ajaran di dalam kitab, yaitu cara menghimpun tenaga khikang di bawah sinar bulan purnama.

"Mengapa tidak?" Demikian hatinya berbisik. "Gadis itu, bagaimana pun juga hanyalah murid keponakan Pouw Kui Lok, masih amat muda dan kepandaiannya pun tak berapa tinggi."

Pikiran ini membuat Tek Ciang mulai gelisah. Kalau dia dapat menggunakan ilmunya untuk menyelinap tanpa diketahui, atau membuat gadis itu tak berdaya untuk beberapa lama, misalnya dengan menotoknya pingsan, bukankah dia akan memperoleh banyak kesempatan untuk mencoba dengan latihan menghimpun khikang.

Tek Ciang memperhatikan sekeliling. Biasanya, gadis itu berjaga di luar perpustakaan, berkeliaran di sekitar kamar perpustakaan, terutama sekali di depan pintu, dan di depan jendela. Akan tetapi keadaan di sekeliling kamar itu kini sepi saja.

Dengan menahan napas, Tek Ciang dapat mengikuti setiap gerakan di luar kamar itu dengan pendengarannya yang terlatih. Sunyi. Tidak ada orang di luar kamar itu! Ke mana perginya gadis itu, pikirnya dan dia pun mulai bangkit dan berindap-indap ke jendela, mengintai ke luar. Sepi sekali dan cuaca amat indahnya, karena sinar bulan purnama membuat malam itu terang dan sejuk.

Setelah menyimpan kitab itu, Tek Ciang keluar dari dalam kamar perpustakaan. Dia tidak berani membawa kitab itu keluar sebelum dia yakin benar bahwa tidak ada orang melihatnya. Akan tetapi benar-benar sunyi, tidak nampak bayangan Kui Eng. Malam itu sudah menjelang tengah malam dan tentu penghuni lainnya sudah tidur. Ke manakah perginya gadis itu? Benarkah kali ini Kui Eng meninggalkannya dan tak mengawasinya?

Akan tetapi ketika dia keluar dari kuil, dia melihat dua bayangan berkelebat ke samping kuil di mana terdapat sebuah kebun dan ladang yang penuh dengan pohon-pohon buah dan tanaman sayuran. Tek Ciang merasa curiga karena gerakan dua orang yang amat cepat itu mengandung rahasia. Kalau orang Kun-lun-pai, kenapa harus menyelinap ke tempat gelap? Dia pun menggunakan kepandaiannya, menyelinap dan memasuki kebun itu sambil mencurahkan perhatian. Akhirnya dia melihat dua orang berdiri berhadapan di bawah pohon dan dia cepat menyelinap mendekati dan mengintai.

Kiranya seorang di antara mereka adalah Kui Eng! Dan gadis itu berada dalam pelukan seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan gagah. Tek Ciang tersenyum sinis. Hemm, pikirnya, kiranya gadis itu meninggalkannya untuk berpacaran di kebun ini! Akan tetapi, ketika dia mendengarkan percakapan mereka yang berbisik-bisik itu, dia tertarik dan lupa akan pertemuan mesra itu.

"Eng-moi, urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Pertemuan rahasia itu akan diadakan dua minggu lagi di hutan cemara sebelah selatan kota raja. Dan engkau harus menghadiri bersamaku. Penting sekali, Eng-moi."

"Aihh, Koan-koko, alangkah inginnya aku pergi bersamamu menghadiri pertemuan para pendekar patriot itu di sana. Memang sekarang inilah saatnya para pendekar harus membebaskan tanah air dari penjajah Bangsa Mancu! Akan tetapi, ahhh.... orang she Louw yang menjemukan itu....!"

"Siapa? Mengapa? Apakah yang terjadi sehingga engkau begini lama bertahan di kuil suhu-mu ini?"

"Tanpa kusangka-sangka, datang susiok-ku bersama seorang temannya di kuil ini dan dia oleh suhu diperbolehkan untuk mempelajari Sin-liong Ho-kang selama satu bulan. Dan aku diberi tugas mengawasinya supaya dia tidak melatih ilmu itu di luar ruangan perpustakaan. Aku tidak dapat meninggalkan tugas ini dan baru berjalan dua belas hari, masih delapan belas hari lagi...."

"Kalau begitu akan terlambat!"

"Harus bagaimana, koko, aku tidak mungkin dapat meninggalkan tugas ini. Dan berterus terang kepada suhu juga berbahaya. Sudah kukatakan kepadamu bahwa Kun-lun-pai masih bersikap ragu-ragu, belum mau menyambut rencana pemberontakan para patriot yang hendak mengenyahkan para penjajah itu."

Mendengar suara gadis itu yang demikian kecewa dan berduka, si pemuda kemudian mendekap dan mencium pipinya dengan mesra, dengan sikap menghibur. "Sudahlah, Eng-moi, tidak perlu engkau berduka. Biarlah aku yang akan menghadiri pertemuan itu dan kelak kusampaikan semua hasilnya kepadamu. Juga masih ada tugas untukmu dari kawan-kawan. Biar pun engkau tidak akan dapat menghadiri pertemuan itu, akan tetapi biarlah kuserahkan tugas yang lebih penting lagi kepadamu, setelah engkau bebas dari tugasmu di sini."

"Tugas apakah itu, koko?" Si gadis nampak bersemangat.

"Begini...." Suara itu kini bisik-bisik perlahan, akan tetapi masih dapat tertangkap oleh pendengaran Tek Ciang yang amat tajam. "....ini ada satu surat untuk Gan-ciangkun, seorang panglima yang mendukung para patriot. Surat ini membujuk Gan-ciangkun untuk mencari akal guna menarik jenderal Muda Kao Cin Liong menjadi sekutu kita, atau kalau pun dia menolak, agar dicarikan akal supaya jenderal itu dapat dienyahkan. Sebab, selama ia masih mendukung kaisar, gerakan kawan-kawan kita akan terhalang. Nah, surat ini penting sekali, bukan? Dengan begitu, biar pun engkau tidak dapat hadir dalam pertemuan itu, tugasmu ini bahkan lebih penting lagi."

"Aihh, Koan-ko.... tapi.... tapi aku.... tugas ini demikian besar dan aku.... ihhh, gemetar tanganku dan berdebar jantungku, apakah kau pikir aku.... cukup berharga untuk tugas sepenting itu?"

Kembali pemuda itu menciumnya, lalu melepaskan pelukannya, mengambil sesampul surat kemudian menyerahkan sampul panjang itu kepada Kui Eng. "Sudahlah, Eng-moi. Engkaulah orang yang paling tepat untuk menyampaikan surat itu. Tidak akan ada orang lain mencurigaimu, dan sekarang kita harus berpisah...."

"Koan-ko, baru saja kita bertemu.... aku masih rindu...."

"Ssttt, sayang, bersabarlah. Kita telah berjanji akan menikah jika perjuangan ini selesai bukan? Nah, selamat tinggal dan simpan baik-baik surat itu." Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu berkelebat dan lenyap di balik bayangan pohon-pohon.

Kui Eng menoleh ke kanan kiri, lalu menyimpan surat di balik bajunya dan pergi dari situ. Ketika dara ini tiba di luar ruangan perpustakaan dan menjenguk dari jendela, dia melihat Tek Ciang masih sibuk membaca kitab!

Ketika ia hendak meninggalkan jendela itu, Tek Ciang menoleh dan sambil tersenyum berkata, "Nona, masuklah sebentar."

Kui Eng mengerutkan alisnya. Dia menaruh curiga kepada orang yang sinar matanya berkilat dan kalau memandang kepadanya jelas membayangkan nafsu dan kurang ajar itu. Beraninya orang ini menyuruh ia masuk!

"Ada urusan apakah?" tanyanya dari luar jendela sambil memandang tajam.

"Masuklah, nona, aku mengetahui sesuatu yang sangat penting tentang Koan-kokomu itu!"

Wajah yang manis itu seketika menjadi pucat, lalu merah dan tanpa banyak bicara lagi sekali loncat ia sudah melayang masuk ke ruangan itu melalui jendela yang terbuka, berdiri di depan Tek Ciang dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Apa kau bilang? Koan-koko siapa yang kau maksudkan itu?"

Tek Ciang bangkit berdiri menghadapi nona itu sambil tersenyum lebar. "Nona manis, tidak perlu berpura-pura lagi. Lebih baik kau serahkan saja surat untuk Gan-ciangkun itu kepadaku!"

Seketika wajah gadis itu menjadi pucat dan di lain saat dara itu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Akan tetapi, baru saja pedang tercabut, tubuhnya sudah terkulai lemas karena secepat kilat Tek Ciang sudah mendahuluinya, menotok jalan darahnya membuat Kui Eng roboh lemas tak mampu berkutik lagi.

Tek Ciang menyambut pedangnya sebelum senjata itu jatuh ke atas lantai dan dia pun menotok jalan darah di leher gadis itu untuk mencegah gadis itu mengeluarkan suara. Lalu direbahkannya tubuh gadis itu ke atas lantai. Kui Eng tidak pingsan, hanya tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara. Gadis itu hanya memandang saja ketika jari- jari tangan yang nakal itu membukai kancing bajunya dan nampaklah sampul surat panjang itu di atas buah dadanya yang tidak tertutup lagi. Tek Ciang mengambil sampul surat itu sambil tersenyum lebar dan cepat memasukkan sampul surat itu ke dalam saku jubahnya.

"Hemm, nona manis, engkau dapat bicara apa lagi sekarang? Engkau pemberontak hina, ya?" Dan secara kurang ajar sekali, bukan karena tertarik melainkan karena ingin menggoda dan menghina gadis itu, tangannya menggerayangi tubuh orang.

Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Kui Lok telah berdiri di situ dengan mata terbelalak melihat Tek Ciang tengah jongkok di dekat tubuh Kui Eng yang bajunya telah terbuka sehingga nampak dadanya.

"Louw-suheng, apa.... apa artinya ini....?" Dia begitu kaget dan heran sehingga sukar mengeluarkan kata-kata.

"Sute, nanti saja kuceritakan. Ia terluka, yang penting sekarang kita harus mengobatinya lebih dulu. Penjahat datang melukainya dan aku hanya berhasil mengusir penjahat itu. Lekas kau periksa nona Kui Eng, sute...."

Pouw Kui Lok terkejut sekali mendengar itu dan kecurigaannya terhadap suheng-nya itu lenyap. Dengan penuh kekhawatiran dia berjongkok dan memeriksa tubuh keponakan muridnya dengan teliti. Akan tetapi hatinya lega mendapat kenyataan bahwa Kui Eng tidak terluka, hanya merasa heran bukan main karena ternyata gadis itu lumpuh dan gagu karena tertotok. Kui Lok mengerahkan tenaganya hendak menotok dan mengurut leher dan punggung gadis itu agar totokannya terbebas. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dahsyat dari belakang kepalanya.

"Wuuuttt.... crettt....!" Jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan menusuk ke arah tengkuk Kui Lok.

Kui Lok terkejut sekali dan berusaha mengelak, akan tetapi karena pada saat itu dia sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada murid keponakannya yang sedang dia coba untuk membebaskan totokannya, dan karena serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dari jarak sangat dekat, biar pun ia sudah mengelak, tetap saja jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan mengenai bawah tengkuknya.

"Oughhh....!" Kui Lok hanya dapat mengeluarkan suara itu, kemudian terpelanting dan dan dia pun tak sadarkan diri.

Demikian hebatnya ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang tadi dipergunakan Tek Ciang untuk memukul sute-nya sendiri. Biar pun pukulan itu tidak mengenai sasaran dengan tepat, namun pukulan pada pangkal tengkuk itu mengguncangkan isi kepala dan pendekar Kun-lun-pai itu pun roboh pingsan.

Tek Ciang terpaksa memukul sute-nya karena dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi dari kenyataan tentang surat yang dirampasnya. Kini dia menghadapi keadaan yang amat gawat. Dia harus bertindak cerdik, pikirnya dan sepasang matanya bergerak liar ketika otaknya diperas untuk mencari akal agar dia dapat mengatasi kegawatan ini dengan selamat. Lalu nampak dia menyeringai kejam, kemudian dia pun mengayunkan lagi jari tangannya, dengan ilmu pukulan keji Kiam-ci dia menotok ke arah pelipis kepala Pouw Kui Lok.

Kelihatannya hanya perlahan saja totokannya itu, akan tetapi tubuh Kui Lok terkulai karena pada saat itu juga dia telah tewas! Sungguh menyedihkan sekali bahwa seorang pendekar demikian gagahnya seperti Kui Lok terpaksa harus mati konyol, mati secara mengecewakan sekali di bawah tangan suheng-nya sendiri yang keji dan curang.

Setelah mendapat kenyataan bahwa sute-nya telah tewas, Tek Ciang menyeringai. Kini dia membalik kepada Kui Eng yang biar pun dalam keadaan tak berdaya, tidak mampu bergerak mau pun bersuara, tapi dapat menyaksikan semua peristiwa itu dengan muka pucat sekali. Kini manusia yang sudah seperti kemasukan iblis jahat itu menubruk.

Hati Kui Eng menjerit, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya dan biar pun ia ingin meronta dan melawan, namun kaki tangannya lemas dan hanya mampu bergerak-gerak sedikit saja.

Terjadilah perbuatan yang amat terkutuk, perbuatan yang bagi Tek Ciang biasa saja karena dia pun sudah amat terlatih untuk melakukan perkosaan terhadan wanita-wanita semenjak dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok!

Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati Can Kui Eng yang dalam keadaan sadar namun tidak mampu bergerak ini menghadapi mala petaka yang menimpa dirinya. Ia diperkosa tanpa bisa bergerak maupun berteriak. Mala petaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Gadis itu tidak kuat menahan kehancuran hatinya dan ia pun pingsan. Hal ini lebih baik baginya karena ia tidak tahu atau merasakan lagi apa yang diperbuat manusia iblis itu terhadap dirinya.

Setelah selesai dengan perbuatan yang sangat terkutuk itu, Tek Ciang melanjutkannya dengan kekejaman yang lebih hebat lagi. Dia mencabut pedang gadis itu, menaruh gagang pedang dalam kepalan tangan kanan Kui Eng, kemudian dia memaksa tangan yang mengepal gagang pedang itu untuk menusukkan pedang ke dada sendiri.

Sungguh amat kasihan nasib gadis Kun-lun-pai itu. Baru saja dia mengalami perkosaan yang menghancurkan hati dan kini ia dipaksa untuk membunuh diri! Pedangnya sendiri, didorong oleh Tek Ciang, menusuk dan menembus dada sendiri. Darah bercucuran dan tubuh itu berkelojotan sedikit lalu rebah dan tewas. Baiknya gadis itu mengalami semua itu dalam keadaan pingsan sehingga mengurangi penderitaannya.

Tek Ciang menyeringai puas. Dia lalu membuka-buka pakaian yang menempel di tubuh jenazah Kui Lok, mengawut-awut rambut mayat itu sehingga keadaan pemuda itu bagai orang yang baru saja melakukan perkosaan. Tek Ciang sendiri telah merapikan pakaian dan rambutnya, dan setelah memeriksa lagi dengan teliti keadaan dua mayat itu, dia lalu berteriak-teriak sambil meloncat keluar ruangan perpustakaan.

"Tolong....! Pembunuhan....! Tolonggg....!"

Dia melakukan ini setelah menyambar kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang, dan bersama surat dalam sampul untuk Panglima Gan di kota raja dia menyembunyikan di tempat aman, yaitu di balik baju dalamnya.

Teriakan-teriakannya itu mengejutkan semua penghuni kuil dan berserabutanlah para tosu berlari keluar dari kamar masing-masing. Juga Hong Tan Tosu sendiri nampak berlari-lari datang ke tempat itu. Dengan muka pucat Tek Ciang menutupi muka sendiri dan membiarkan para tosu itu melihat sendiri dua tubuh yang sudah menjadi mayat menggeletak di lantai kamar penpustakaan.

Tentu saja kematian Pouw Kui Lok dan Can Kui Eng amat mengejutkan mereka semua, terutama sekali Hong Tan Tosu. Kakek ini memandang dengan muka pucat sekali. Sute-nya telah tewas dan nampaknya tidak mengalami luka, sedangkan muridnya yang terkasih menggeletak mandi darah, dadanya tertembus pedangnya sendiri dan tangan kanannya masih memegang gagang pedang itu. Dilihat sepintas lalu saja jelaslah kalau gadis itu telah membunuh diri dengan pedang sendiri.

Dan melihat keadaan pakaian Kui Eng yang hampir telanjang bulat, dan pakaian Kui Lok yang setengah telanjang, tidak sukar diduga apa yang terjadi antara kedua orang itu. Inilah yang membuat Hong Tan Tosu pucat dan penasaran. Sute-nya berjinah dengan muridnya? Ah, dia tidak percaya akan hal itu. Sute-nya adalah seorang pendekar sejati, dan muridnya juga seorang murid yang sangat patuh. Akan tetapi, agaknya kenyataan menunjukkan demikian.

"Louw-sicu, apakah yang telah terjadi? Apakah yang terjadi dalam kamar ini?" Akhirnya dia menghampiri Tek Ciang dan mengguncang pundak pemuda yang masih menangis itu.

Dengan mata merah karena tangis, atau lebih tepat karena dia gosok-gosok dengan punggung tangan, Tek Ciang memandang tosu itu dengan muka sedih sekali. "Ahhh, totiang, bagaimana aku harus bercerita? Aihhh.... mengapa hal ini menimpa diri kami? Aku.... aku telah membunuh Pouw-sute yang kusayang.... Ahhh, totiang, kalau aku berdosa, silakan totiang menjatuhkan hukuman kepadaku...." Dia pun terisak menangis.

Tosu tua itu mengerutkan alisnya. "Siancai.... segala hal telah terjadi. Sebelum tahu apa yang terjadi dan apa sebabnya, pinto tidak dapat menghakimi. Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di sini dan mengapa pula engkau membunuh Pouw-sute?"

"Totiang, sungguh aku masih merasa bingung dan tidak tahu mengapa sute tiba-tiba saja dapat melakukan semua itu seperti orang kemasukan setan! Karena aku merasa lelah setelah membaca kitab sejak pagi, aku pergi keluar untuk mencari hawa sejuk. Kitab kutinggalkan di atas meja dan aku pun berjalan-jalan di luar kuil, bahkan sampai ke luar dusun, sampai tubuh terasa segar kembali. Kurang lebih satu setengah jam aku pergi meninggalkan kuil. Ketika aku kembali, aku terkejut sekali melihat sute.... sute...." Dia berhenti dan menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Siancai....! Lanjutkanlah, sicu dan kuatkan hatimu," kata tosu tua itu hampir tidak sabar.

"Aku melihat dia.... dia sudah memperkosa nona Kui Eng! Begitu saja, di atas lantai kamar perpustakaan ini. Entah sebelum itu apa yang terjadi aku tidak tahu. Setahuku hanya bahwa mereka melakukan penjagaan seperti yang totiang perintahkan. Ah, masih ngeri dan bingung aku mengenang semua itu...."

"Lanjutkan, sicu. Lanjutkan....!" Hong Tan Tosu mendesak, sedangkan para tosu lain yang menjadi pengurus kuil juga ikut mendengarkan dengan muka pucat. Mereka tidak pernah menyangka bahwa peristiwa memalukan seperti ini akan dapat terjadi di kuil mereka. Suatu aib yang amat mencemarkan.

"Ketika aku datang, Pouw-sute sudah mengakhiri perbuatannya yang biadab itu. Tentu saja aku langsung menegurnya, akan tetapi dia malah marah dan menyerangku seperti orang gila. Totiang maklum betapa lihainya sute, maka aku pun terpaksa melayaninya dan pada saat itu, aku melihat nona Kui Eng mengeluarkan pedang dan membunuh diri. Melihat ini, aku menjadi marah sekali kepada sute yang masih menyerangku, maka aku pun lalu membalas serangannya dan akhirnya aku berhasil memukulnya roboh. Bukan niatku membunuhnya, akan tetapi.... ah, dia terlalu kuat untuk dapat dirobohkan begitu saja...."

Hong Tan Tosu menunduk dan memandang pada dua mayat yang masih menggeletak di situ. Di dalam hatinya dia meragukan kebenaran cerita Tek Ciang. Ingin dia berteriak untuk menyangkal, tidak percaya akan apa yang diceritakan mengenai perbuatan Kui Lok. Akan tetapi, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, keadaan dua mayat itu, jelas merupakan kenyataan akan kebenaran cerita Tek Ciang.

Melihat keadaan pakaian mereka, dan melihat pedang yang menusuk dada Kui Eng sendiri sedangkan tangan gadis itu menggenggam gagangnya, merupakan bukti yang sukar untuk disangkal.

"Dan yang lebih mengejutkan hatiku, totiang, kitab Sin-liong Ho-kang yang tadinya aku tinggalkan di atas meja telah lenyap...."

"Apa....?" Kini tosu tua itu benar-benar terkejut dan pandang matanya kepada Tek Ciang penuh keraguan serta kecurigaan. "Sicu, harap engkau jangan main-main. Engkaulah yang selama ini membaca kitab itu! Mengenai muridku dan suteku, katakanlah ada buktinya sehingga ceritamu dapat pinto percaya. Akan tetapi hilangnya kitab Sin-liong Ho-kang, bagaimana cara membuktikannya bahwa benar-benar kitab itu hilang? Dan siapa yang akan dapat mengambilnya?"

Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia bangkit berdiri. "Totiang, aku bukanlah orang yang tidak mau bertanggung jawab. Aku yakin sekali bahwa kitab itu tentu ada yang mengambilnya, tentu sebelum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku mempunyai dugaan yang amat menyakitkan hati."

"Hemm, dugaan apakah?"

"Mau tidak mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah berubah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, lalu dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya memang dia sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuhkan fitnah atas diriku, kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa nona Kui Eng. Untung aku datang terlebih dahulu sehingga memergoki perbuatannya yang laknat itu...."

"Louw-sicu! Jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?"

"Memang kini tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah bahwa aku akan menemukan kitab itu dan mengembalikannya kepadamu. Nah, selamat tinggal!" Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja dia pun lenyap dari situ.

Hong Tan Tosu ingin mencegah, tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu menyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa alasannya untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan mengembalikan kitab? Dia pun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak buahnya untuk mengurus kedua jenazah.....

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)Where stories live. Discover now