1. Gone

67 13 0
                                    

18 Februari 1940

Pelabuhan Sunda Kelapa.



*****

"Ternyata kau benar-benar akan pergi." Perkataan Lisa mengejutkanku, menyadarkan dari lamunanku.

"Sepanjang tujuh belas tahun kita hidup bersama, rasanya sudah cukup hafal telinga ini tentang ceritamu akan Netherlands, negeri kelahiranmu. Tapi siapa sangka, kau kini benar-benar akan kembali ke negaramu."

Aku mendengarnya. Mendengar dengan sangat baik, sampai rasanya aku bisa merasakan kepedihan dalam kata-katanya.

Lisa, sosok pribumi yang menjadi teman baikku selama tujuh belas tahun hidupku di negeri jajahan ini. Ahh, rasanya tak enak untuk menyebutnya dengan kalimat seperti itu.

Bagaimanapun itu, Lisa adalah teman, dan juga saudaraku. Dan kini aku harus berpisah dengannya karena aku harus kembali ke Netherland, kampung halamanku. Tanah yang sudah lama ku impi-impikan. Karena sepanjang hidupku, tak sekalipun aku menginjakan kaki disana.

Aku Rosseane, remaja inlander yang lahir dan besar di Batavia, negeri yang di jajah oleh bangsaku. Agaknya aku masih terlalu muda untuk mengerti semua itu. Bagaimanapun, Papaku sudah tak memiliki tanggung jawab disini, beberapa bulan yang lalu ia telah dipindahkan tugas kembali ke Netherland, jadi mau tidak mau, Mama dan aku juga mengikuti Papa.

Awalnya aku bahagia sekali ketika mendengar bahwa kami akan kembali ke Netherlands. Tapi saat tahu bahwa itu juga berarti aku akan meninggalkan semua milikku di Batavia, aku dilema. Disatu sisi aku tak ingin meninggalkan Lisa sendiri. Tapi disisi lain, menginjakkan kaki di Netherlands adalah impianku. Lisa pun tahu itu.

"Maafkan aku, Lis."

"Kenapa meminta maaf? Kau tak salah apapun." Seperti biasa, si pintar Lisa kembali berpura-pura tak mengerti.

"T-tapi, aku meninggalkanmu sendiri, Kau, k-kau mungkin akan kesepian, Lis." Menunduk adalah jalan satu-satunya bagiku untuk menghindari tatapannya, meskipun itu berarti memberi celah untuk air mataku turun.

"Tidak jika kau rajin mengirimiku surat. Aku akan dengan senang hati membaca dan mengirim balasannya,"

Tak ada balasan, aku diam. Semakin menunduk untuk menyembunyikan air mataku yang semakin deras. Lalu kurasakan pundakku di pegangnya. Memaksakan tubuhku untuk tegak sehingga memperlihatkan wajahku yang penuh dengan air mata.

"Dengar, Rosseane. Maaf aku telah lancang memegangmu seperti ini, Tuan pasti tak menyukainya jika melihat ini," Kata 'tuan' merujuk pada Papaku, begitulah cara Lisa dan keluarganya memanggil Papaku.

"Kembali ke Netherlands adalah impianmu, sekarang kau akan mewujudkannya. Jadi jangan menaruh ragu untuk itu. Soalku, aku akan baik-baik saja disini. Ini negeriku, jadi aku akan terus disini. Mungkin, mungkin jika suatu hari keadaan lebih membaik, aku akan menyusulmu. Lagipula, jika kau terus disini, tak ada jaminan bahwa kau akan baik-baik saja. Tak ada jaminan bahwa tahun-tahun berikutnya akan sama seperti saat ini." Pungkasnya, panjang. Memperlihatkan seberapa pandainya seorang Lisa.

Tapi ada yang mengganjal dari kalimatnya. "Itu berarti tak dapat meyakinkanku bahwa kau akan baik-baik saja, bisa saja kau terluk-"

"ROSSEANE!"

"Ini adalah jalan yang paling benar, kau kembali ke negerimu, dan aku akan meneruskan hidupku di sini. Kau harus kembali ke tempatmu, karena tak sedikit pribumi sepertiku yang merasa kalian salah tempat. Tak terkeculi aku, bisa saja sepuluh atau lima belas tahun kedepan aku ada di pihak yang berlawanan denganmu. Tak ada yang tahu, Rose. Jadi kumohon pergilah. Ini bukan tempatmu." Pegangannya di pundakku memudar, sama pudarnya dengan perasaanku setelah mendengarnya.

"Lis, k-kau-"

"Benar. maafkan aku, Nona."

Bahkan panggilan itu, tak sekalipun aku membayangkan ia akan memanggilku dengan panggilan itu. Tapi aku tak kalah pintar dengannya. Aku tahu ia mengatakan itu hanya untuk meyakinkanku agar tetap pergi. Jadi aku mengikuti alur yang dibuatnya.

Kupeluk erat tubuhnya, dan membisikan sebuah kalimat tepat di telinganya. "Baik aku akan pergi, kau tak perlu mengeluarkan kalimat yang menyakiti hatiku lagi."

Tubuhnya menegang dalam pelukanku, kuduga ia tak menyangka aku akan mengerti jalan pikirnya. Lisa, sepertinya kau terlalu meremehkanku.

Kulepas pelukanku dan segera aku bergabung dalam kerumunan untuk menaiki kapal.

"Dansatu hal lagi, Lis. Jangan sampai lupa untuk membalas surat dariku!!" Teriakkudi kerumunan yang bising. Aku tak yakinia mendengarku, tapi dengan seulas senyuman di wajahnya. Aku berharap iabenar-benar membalas surat dariku.


*****


Hystorical fanfiction, starred Rosseane Park and Lalisa Manobal from BLACKPINK

Presented by:

mmongi, 2021

mmongi, 2021

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Meet Me In Amsterdam | LM-PCY-BCWhere stories live. Discover now