HUA tiga puluh🍓

Start from the beginning
                                    


Perlu di ketahui bahwa pernikahan mereka sudah di ketahui seantero pesantren dari tiga hari menjelang hari H. Disitulah hati Cita semakin di uji. Sudah dikatakan kalau Cita tak suka dikasihani.

Nara berjalan di dampingi oleh sang Mami. "Gue mah orangnya mandiri, gak manja," gumam Cita menatap Nara sinis.

Cita memutar bola mata malas mendapati Nara duduk tepat di sampingnya. Menghembuskan napas lelah, seandainya ia tak merasakan lemas di tubuhnya sudah dapat dipastikan ia tak ingin duduk berdampingan dengan si calon pengantin. Mengingat kata calon pengantin saja sudah membuatnya muak.

Yang Cita lakukan hanyalah menganggap Nara orang asing. Iya tahu, Cita salah, tak seharusnya ia bersikap seperti ini. Apalagi mereka saudara kandung bahkan kembaran yang ikatannya sangat erat.

Gadis itu hanya tak mau kalimat pedas akan terlontar jika ia terus berbicara dengan Nara, ia takut lepas kendali.

Rena menghampiri Cita, mengusap pipi dan menciumnya. "Anak Mami cantik banget, hmm. Mami bangga sama kamu." Cita hanya membalas dengan senyum tipis.

Make up yang dipakai, sukses menutupi wajah pucatnya, mengelabuhi semua orang. Tak lama setelah Rena melenggang acara-pun dimulai.

Acara demi acara sudah dilalui, kini tiba saatnya para siswa kelas 6 MI, 9 Mts, 12 MA akan di wisuda beserta pemberian piagam untuk para santri.

Cita merasa kepalanya mulai berdenyut, pandangannya sedikit kabur. Ia memijit pangkal hidungnya.

"Dek kamu gak papa kan?" tanya Nara saat menyadari mata sayu Cita. Nara menyentuh tangan sang adik namun di tepis oleh sang empu.

Cita mengangkat tangan rendah, memberi isyarat agar Nara tidak menyentuh atau pun terlalu dekat dengannya. "Gue gak papa."

"ANANDA NACITA ARYA SALIKA, PUTRI BAPAK RAKA ARYANDI DHIRGANTARA." Cita sedikit terjingkat begitu namanya dipanggil.

Ia berdiri, sebelum melangkah Cita menarik napas dalam, menghembuskannya pelan. Matanya mengerjap.

Gadis itu berjalan dengan anggun naik ke atas panggung, senyum manis menghiasi wajah ayu-nya.

Di atas sudah ada moderator, pembawa nampan samir, dan K.H. Abdul Muhaimin selaku pengasuh pondok pesantren yang akan mengalungkan samir di leher wisudawan dan wisuda wati.

Deg

Jantung Cita berdecak kencang, ketika samir hendak di kalungkan. Gadis itu merasa ada yang mengalir dari salah satu lubang hidungnya.

"Plis jangan sekarang," batin Cita berteriak gelisah. Kedua tangannya terkepal. Inilah yang ia takutkan sedari tadi.

Salah satu tangan terangkat, jari telunjuknya menyentuh hidung yang basah di atas bibir. Mata Cita terbelalak, sebuah cairan merah pekat nan kental menempel di jarinya.

Sontak tangan kiri Cita menutup hidung, sedikit mendongak bersamaan dengan bertenggernya samir di leher.

"Kenapa, Nduk?" tanya Kyai mendapati Cita membekap hidung dengan punggung tangan. Pembicaraan mereka tak luput dari pandangan para peserta wisuda juga yang lainnya. Terlebih ketiga putra Kyai.

Gadis itu tersenyum lalu menggeleng. "Ndak papa Abah. Ndak pakek foto boleh kan Bah? Soalnya Cita lagi gak enak badan."

Kyai mengangguk seraya tersenyum. "Ndak papa, semoga cepat sembuh ya Nduk."

"Makasih Abah. Assalamualaikum."
Biasanya para wisuda dan santri memang diperkenankan atau diberi kesempatan untuk foto berdua bersama Kyai.

"Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh," balas Kyai.

Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now