Film Out

323 33 14
                                    

Ketika proyektor mulai dinyalakan, ia tertidur diatas pangkuan. Mendusel manja dengan dua gelas teh tersaji apik, mengepulkan asap putih tanpa lelah mewarnai udara. Sesekali tawa ringan terdengar dari labium tebal itu ketika dua manik cerahnya menangkap adegan lucu, namun dalam keadaan sibuk ia masih sempat  menahan lenganku yang bergerak random. Otomatis senyum usilku terlontar, lalu dibalas dengan rengekan.

"kau tidak bersiap untuk pergi kerja?" ujarnya bertanya, mulutnya seperti mengingatkan tapi ia seakan menahan kepergianku tanpa berniat
bangkit dari pangkuan. Sikapnya yang seperti ini mengundang kecupan gemas dariku, bahkan aku ingin sekali menggigitnya sekali saja.

"Taehyung-ah kau tidak menjawabku?" sekali lagi ia bertanya, memastikan jika aku mendengar pertanyaan sebelumnya.

"cuaca diluar sangat dingin, apa aku tinggal sehari saja untuk menemanimu?" ujarku yang dibalas tatapan binar. Hanya saja malaikatku ini terlalu gengsi mengakui kebahagiaannya. Ia mengatur ekspresi agar tidak terlihat terlalu berharap, lalu memelukku erat.

"kau yakin? Bukankah hari ini ada meeting dengan tamu penting?" Jimin meremat ujung piyamaku, aku tahu betul jika ia memasang taruhan. Seandainya saja aku mengurungkan niat ia akan merasa sangat menyesal karena telah mengajukan pertanyaan bodoh.

Wajahnya menjauh seiring kedua lengan besarku mengapit pipi mochi miliknya, bibir tebalnya mengerut karena tekanan dari dua sisi. Mengundang kecupan gemas dariku.

"isshh," Jimin berdecih, sesekali ia mencuri pandang pada bibirku. Seakan meminta lebih dari sekedar kecupan, tapi aku tidak segera bergerak karena aku suka ketika ia menunjukan ekspresi marah namun tidak sepenuhnya marah.

Proyektor masih setia menunjukan berbagai video kenangan kami dulu, dari saat kami bersekolah lalu hingga sekarang kami tinggal bersama. Jimin adalah sosok paling berharga dalam hidupku.

"aku bisa membatalkan meeting untukmu," ujarku pelan.

"semudah itu?" tanyanya heran.

"aku boss-nya," ujarku bangga, Jimin memberi hadiah cubitan tepat dipinggangku. Area yang tidak terlindungi dan paling sensitif. Menjadi tujuan utama saat ia sedang merajuk.

Aku menahan kedua lengannya karena cubitan itu terus berlanjut, badan mungil
itu terasa ringan saat kudorong hingga ia terlentang dibawah kungkunganku. Pipi
mochi itu benar-benar memerah, saat kutempelkan dengan kedua pipiku rasanya begitu hangat.

"Tae," gerutunya mencoba melepaskan diri, namun tenagaku lebih besar darinya. Jangan salahkan aku jika ia selalu diet hingga mengurangi energinya untuk melawan pergerakanku, karenanya aku lebih leluasa untuk mendominasi.

Kukecup bibirnya kembali, beralih pada kulit lehernya yang wangi dan seputih susu. Terasa manis dengan aroma vanila yang semakin menguar. Tangan bantet itu menahan pergerakan kepalaku, namun aku masih asik menjilati garis rahangnya.

"b-berhenti, aku belum mandi." rengeknya dengan kedua mata yang mengalirkan bulir. Jimin itu terlalu sensitif, bahkan hal sepele seperti ini mengganggu pikirannya. Hal ini membuatku semakin jatuh cinta, semakin dalam seakan tidak ingin kembali kepermukaan.

"tapi kau wangi," ujarku menghapus air matanya, Jimin menggeleng lemah. Ia terburu bangkit memanfaatkan aku yang lengah.

"aku akan beres-beres dulu, aku tidak suka ruangan yang kotor." ujar Jimin sambil berlalu.  Ia memang mencoba kabur dariku, tapi untuk hari ini ia tidak bisa kabur terlalu jauh.

"akan kubantu," ucapku dengan penuh rencana. Tidak hanya sekali atau dua kali ia merengek saat aku memanfaatkan keadaan. Memeluknya, menciumnya dan menggigitnya setiap kali ia lengah. Memori indah kami selalu bertambah setiap harinya.

Sekali lagi proyektor masih senantiasa memutar film, memori kami terlalu banyak untuk sekedar diputar selama satu atau dua jam. Kubiarkan ia terus menyala, bercampur dengan suaranya yang sibuk membereskan ruangan.

"Taehyung-ah kau mau makan apa?" tawarnya setelah selesai bersih-bersih.

"Jimin," ujarku singkat.

"aku serius," ujarnya tanpa menoleh. Surai yang setengah basah dan buliran air mengalir disepanjang leher, berbalut jubah mandi membuat perutku terasa geli dan aneh.

Kupeluk tubuhnya yang lebih pendek, ia masih sibuk memilah bahan tanpa memedulikanku.

"telur dan roti, bagaimana jika french toast." Jimin memutar kepala meminta pendapat dariku, dua pasang manik kami beradu. Saling menyampaikan kerinduan yang jelas-jelas tertuju pada sosok yang tepat ada dihadapan.

"Taehyung-ah?" ujarnya heran. Aku segera menyadarkan diri sendiri, bagaimana aku bisa melamun disaat seperti ini.

"apa cinamonnya masih ada?" ujarku mencoba masuk ke topik. Jimin mengangguk pelan lalu menunjukan bubuk yang tinggal sedikit.

"kurasa cukup untuk dua porsi, sepertinya kita butuh belanja bulanan. Sudah banyak bahan masakan yang habis." ujar Jimin menjelaskan. Tentu saja akhir-akhir ini aku terlalu sibuk bekerja, jarang sekali aku memantau keadaan rumah. Bahkan tadi kulihat hanya tersisa bir kaleng di lemari pendingin.

"kalau kau sibuk aku bisa meminta Jungkook untuk mengantarku," ucap Jimin pelan. Sorot matanya terlihat sendu, aku tahu aku jarang sekali menemaninya dirumah. Kupeluk ia erat, meninggalkan beberapa bahan yang tengah kueksekusi. Sekedar untuk memberinya ciuman lembut. Kedua mata sipit itu terpejam, menikmati permainanku.

Ia melepaskan diri dengan napas terenggah serta tatapan mata heran.

"aku akan menemanimu," ucapku final. Aku yakin Jimin mengerti dengan sikapku, dia pasti sudah mengerti jika aku tengah cemburu.

"baiklah," ujarnya pelan. Jimin menggoreng roti yang telah dicelupkan pada adonan telur yang baru saja dibuat olehku.

"kau tidak mematikan proyektor Taehyung?" ucapnya mendayu. Aku menggeleng dengan cepat.

"tidak perlu," ujarku memeluknya erat. Jimin menahan lengaku, kepalanya bersandar. Dua porsi french toast telah tersaji, namun tidak menarik perhatianku untuk lepas dari Jimin.

Suara dari film yang tengah terputar begitu bising, lalu terdengar hening. "Taehyung aku mencintaimu."

Kata-kata terakhir sebelum proyektor mati dan filmpun berhenti. Bau vanila tertinggal begitu manis pada fabrik yang membalut tubuhku. Kakiku lemas saat french toast tertinggal satu porsi. Ruangan yang tertata kini sedikit berantakan.

Aku meninggalkan pantry, mengambil sekaleng bir lalu menenggaknya hingga tandas. Baunya terasa semakin samar, bahkan diatas tempat tidurnya dan juga boneka winter bear kesukaannya.

"Jimin maaf," gumamku berbisik, aku tidak bisa menahan air mata lebih lama. Nafasku terasa semakin sesak seakan hendak mengambil kesadaranku. Kepala berputar memberi rasa mual serta sakit tepat di ulu hati.

Seandainya dulu aku melakukannya lebih awal, seandainya dulu aku lebih banyak menemani Jimin agar ia tidak kesepian. Maka saat ini Jimin masih ada didalam pelukanku.

Tuhan menghukumku dengan menghadirkan dirinya seakan begitu nyata, lalu melenyapkan ia dengan cepat seperti ilusi. Entah karena aku yang rindu atau memang tuhan benar-benar marah padaku karena menyakiti salah satu malaikatnya. Aku memang pantas mendapatkan semua ini, setiap kali proyektor dinyalakan film akan bergulir. Namun setiap kali proyektor padam aku kembali pada kenyataan yang terasa pahit dan begitu menyesakkan dada.

-
End.

Author note :
part Taehyung sama Jimin bener2 candu weh, nyesek kali aku pas tau artinya. Sekian cerita uwu dari saya yang terinspirasi dari lagu Film Out BTS. Btw tadinya aku mau bikin el-mariachi tapi ini dulu deh. Hehe

Vmin Oneshoot pt. 3Where stories live. Discover now