18. We Need to Talk

294 41 7
                                    

Gadis bertubuh mungil itu masih duduk di atas boncengan motor sang kakak, seperti tengah mempertimbangkan untuk turun atau tidak. Ia menggigit ujung bibirnya mendadak merasa tidak punya keberanian sama sekali.

"Ini lu minta digotong sampe kelas apa gimana?" tanya Dery setelah tiga kali sudah menyuruh adiknya untuk turun.

Wulan di belakang berdecak sebal. Masih memakai helm, gadis itu mendekatkan kepalanya ke arah samping telinga Dery. "Mas, aku mendadak mules. Pulang aja, ya?"

Dery mengembuskan napasnya lelah. Sudah harus bangun pagi untuk mengantar sekolah, kemudian saat sudah sampai depan gerbang Wulan bilang mendadak mules dan ingin pulang saja? Wah, tak mengeluarkan umpatan di awal hari saja sudah termasuk keajaiban saat ini.

"Mau turun apa beneran gua anter sampe bangku lu di kelas?" tanya Dery mengancam.

"Ya udah kalo motor mas Dery bisa sampe lantai tiga ayo aja aku mah."

ISTIGHFAR.

Wulan tertawa pelan sebab merasakan tatapan horor dari pantulan kaca spion. Gadis itu akhirnya turun dari motor, kemudian melepas helm dan memberikannya kepada Dery.

"Dah. I love you kakakku yang paling ganteng!"

Setelah itu Wulan berlari memasuki area SMK Juara. Ia berdoa di dalam hati, semoga tidak bertemu dengan manusia menyebalkan yang membuatnya terus kepikirian gara-gara kata-kata semalam.

Brengsek emang, Sunan.

Sampai detik ini Wulan masih berpikir, kira-kira apa maksud dari perkataan Sunan semalam. Sebenarnya juga gadis itu mengerti, tapi logikanya seolah menolak keras kesimpulan yang ia ambil sendiri. Belum lagi tentang yang di belakang gedung barat, rasanya makin pusing kepala Wulan sekarang.

Setidaknya kemungkinan untuk menghindari Sunan hari ini masih ada, TAPI KALAU TEMAN SEKELASNYA ITU GIMANA. Itu lah sebabnya Wulan tadinya tidak ingin masuk sekolah.

Tapi apa banget masa enggak sekolah gara-gara ditembak cowok.

(((((DITEMBAK))))). Wulan mengumpat keras dalam hati mengatai pikiran konyolnya sendiri.

Gadis itu kemudian segera berlari kecil ke arah beberapa pemuda tinggi yang tengah berjalan beriringan. Berharap tubuh mungilnya akan tersamar dari pandangan orang-orang.

Entah para pemuda itu kelas berapa, seperti kakak kelas. Tapi Wulan tak begitu peduli, kini benar-benar berjalan melewati koridor dengan para pria di sekitarnya.

"Oh, maaf, Kak. Enggak usah peduliin saya, jalan aja," kata Wulan saat merasakan salah satu pemuda tinggi yang ada di sebelahnya menoleh.

"Kak? Saya kelas sepuluh," sahut pemuda itu dengan suara deep voice. Wulan membulatkan mata dan mulut seolah terkejut kemudian nyengir tak enak.

"Aduh, maaf, ya. Enggak apa-apa 'kan gue bareng kalian?" tanya gadis itu lagi. Pemuda tinggi yang memakai jaket kulit itu mengangguk samar, kemudian tak lagi menghiraukan Wulan yang tadi tiba-tiba menyeruak ke gerombolannya.

"Buset, dah ini kelas sepuluh pada tinggi-tinggi banget. Kelebihan protein apa, ya," batin Wulan meracau asal sembari memperhatikan pemuda di samping kiri, depan dan agak menoleh ke belakang. Sebab di pinggir sudah tembok dan pojok, jadi tak ada manusia lagi di samping kanannya.

"Kenapa, Kak? Lagi dikejar-kejar orang?" tanya seseorang di belakangnya sebab tadi mendengar percakapan Wulan bersama teman sekelasnya yang berjalan di samping kiri gadis itu.

Wulan menoleh. Langsung melihat name tag sebab matanya langsung sejajar lurus dengan dada adik kelasnya. Nama pemuda itu Ilham.

"Iya. Jadi sorry ya kalo gue di tengah-tengah sini, hehe. Enggak apa-apa 'kan?"

Tiga Pagi حيث تعيش القصص. اكتشف الآن