2. Angin Segar

228 36 7
                                    

"Ma, bagi duit dong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ma, bagi duit dong." Gadis dengan piyama bergambar alpukat itu, menarik-narik daster sang ibu sembari merengek seperti anak kecil. "Dua puluh ribu aja, deh, buat beli alpukat."

Sang ibu yang sedang menumis jamur tiram di wajan itu, melirik putri sulungnya dengan tatapan sinis. "Duit, terus!" ujarnya dengan nada sebal. "Nggak lain yang dibeli alpukat. Nggak bosan, kamu?"

"Enggak dong, Ma." Gadis itu memberikan cengiran terbaiknya. "Ma, ayolah. Pinjem deh, nanti kalo Za udah ada duit, Za balikin. Dua kali lipat, gimana?"

Raisa—sang ibu, hanya dapat menghela napas panjang. Ia mematikan kompor sebab masakannya telah matang, lantas berkacak pinggang menatap putrinya dengan tatapan tajam. "Utangmu yang kemarin sama Mama juga belum dibayar, tapi udah mau utang lagi."

"Perhitungan banget astagfirullah, sama anak sendiri." Delza mencebikkan bibirnya karena sebal. "Nanti Za bayar, Ma. Habis ini Za mau cari lowongan, kok."

Lama-kelamaan, Raisa pusing juga jika harus menghadapi putri sulungnya yang selalu meminjam uang untuk membeli buah alpukat atau sesuatu yang berbau buah hijau itu. Bukannya ia tidak mau memberi uang sebenarnya, hanya saja jika dibiarkan terus-menerus, candunya akan semakin menjadi-jadi dan membahayakan isi dompetnya. Terlebih lagi, Delza belum bekerja selama setahun terakhir. Makin bertambah pusinglah kepala Raisa sekarang.

"Nggak!" ujarnya kemudian dengan nada tegas. Ia ingin membuat putrinya itu berhenti dari kecanduannya terhadap buah alpukat. "Mama nggak mau ngasih kamu uang lagi kalau untuk beli alpukat."

"Ma ... kok—"

"Cari kerja sana! Males Mama setiap hari liat kamu di kamar terus. Lama-lama kamu berubah jadi alpukat, mau?"

"Ma ... ya ampun, please dua puluh ribu aja, Ma." Delza masih tidak mau berhenti merengek demi memenuhi keinginannya—membeli alpukat hari ini. Demi Tuhan, deh, dia sedang mengidam rasanya. Sangat-sangat menginginkan buah itu pokoknya.

Akan tetapi, Raisa tetap tidak mengindahkan permintaan sang putri. Memilih melengos meninggalkan dapur dan menuju kamar mandi. Hal itu membuat Delza merasa kesal. Hatinya sakit sekali rasanya. Mentang-mentang ia adalah seorang pengangguran, makanya tidak boleh meminjam uang, begitu? Omong-omong, Delza juga sadar diri kok. Ia pasti akan membayar utangnya ketika punya uang nanti. Walaupun tidak tahu kapan, tetapi kan yang paling penting adalah utangnya dilunasi, tidak dilupakan begitu saja.

"Mama pelit!" pekiknya sambil mengentakkan kakinya ke lantai. Pintu kamarnya ia buka dengan kasar dan ditutup sekuat tenaga hingga terdengar suara debuman keras karena menutupnya penuh emosi.

Delza mengakui, jika emosinya memang sering meledak-ledak seperti ini. Apalagi jika sisi hatinya dilukai begitu saja seperti tadi contohnya. Apakah menjadi pengangguran adalah aib yang memalukan? Jika iya, rasanya Delza ingin pergi yang jauh. Ke mana sajalah, asalkan jauh dari orang tua, tetangga dan keluarga besarnya yang terlalu turut campur akan kehidupannya.

✔LOVASHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang