The Problem is... It's Too Easy

Start from the beginning
                                    

  Kalau saja saat ini ia masih berada di sampingku, mungkin ia sudah menjadi istriku. Aku tak peduli dengan umurku yang masih terlalu muda untuk menikah. Yang kutahu hanyalah aku mencintainya dan ingin selalu bersamanya. Sesederhana itu.

Sekarang, aku malah harus menikah dengan gadis bernama Ziana Hunter yang terkenal itu. Sial! Siapa sih gadis itu.

Lamunanku buyar ketika merasakan benda kecil yang lancip menggores lengan kemejaku. Aku menoleh untuk mendapati goresan sepanjang lima sentimeter berada di sana. Gadis yang memegang pulpen itu menatapku takut. Aku tidak tahu siapa namanya. Yang jelas hal itu membuatku kesal. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu, kemungkinan besar meminta maaf, tapi aku tak perlu menunggu untuk berdiri kesal dan menatapnya tajam.

“WHAT THE FUCK ARE YOU DOING?!?”

Gadis itu tersentak kaget. Cih! Dasar perempuan! Dibentak seperti itu saja matanya sudah berkaca-kaca seolah hendak menangis. Tapi dari sudut mataku, gadis yang duduk di bangku belakang tadi juga hampir tersentak mendengarku berteriak. Ada perasaan bersalah merasukiku mengetahui gadis yang mirip dengan Zara tersebut mungkin takut kepadaku. Untungnya aku tidak melihat perasaan takut itu di wajahnya. Dan anehnya itu membuatku lega.

**

Aku memperhatikan gadis itu duduk di seberang cafeteria. Dikelilingi teman-temannya yang terlihat berpakaian modis. Sudah pasti gadis itu mungkin termasuk salah satu dari mereka. Sial! Kenapa aku tak pernah menyadarinya?

Benar-benar mirip.

Entah bagaimana asalnya, tiba-tiba pria di sebelah gadis itu berdiri dengan mata terbelalak, kemudian berteriak, “ZIANA HUNTER YOU ARE SO DEAD!!”

Shit!

Sial!

Fuck!

Impossible! 

How can be happening?

Gadis itulah orangnya. Ziana Hunter. Gadis yang diinginkan Mom untuk menjadi menantunya. Calon istriku.

Rasanya hatiku menghangat mendapati kenyataan bahwa gadis yang sedari pagi menyita perhatianku itulah Ziana Hunter. Ada perasaan bahagia yang meluap-luap. Thanks God. Apa kau sedang memberiku kesempatan kedua? Untuk menjaga dan melindungi orang yang kucintai? Pikirku.

Kemudian tanpa sadar, seulas senyum tipis menghiasi bibirku.

**

-Ziana Hunter-

“Ziana, right?”

Hampir saja aku tersentak mendapati David berdiri di samping mobilku. Sepertinya ia menungguku sejak tadi.

Tanpa sadar aku memandanginya lekat-lekat. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berdiri sedekat ini di hadapannya membuatku menahan napas. Oh My God! He is such a breathtaking!

Topi hangat berwarna abu-abu menutupi kepala dan rambutnya yang berwarna brunette. Matanya menatapku intens. Damn! Rasanya aku benar-benar jatuh dalam matanya yang sebiru laut. Kaus yang berwarna senada dengan topinya melekat erat pada tubuhnya.

Glek!

David menjentikkan jarinya di depan mukaku dan membuatku tersadar. Astaga apa yang kulakukan tadi? Aku melihat kilasan rasa terhibur di wajahnya saat memergokiku tadi. Tapi tetap tidak ada senyum terulas di bibirnya. Benar-benar memalukan.

“Y-ya?” Aku tergagap.

“Aku David.” David mengulurkan tangannya padaku. Aku meliriknya sebentar untuk kemudian menerima uluran tangannya.

  “Kupikir sebenarnya kita sudah saling mengenal bukan? Lagipula siapa yang tak mengenalmu?” Lanjut David.

Aku hampir saja tertawa. “Aku mengenalmu. Tapi aku tak yakin kau mengenalku. Kau terlihat seperti berada di duniamu sendiri sepanjang waktu.”

David berdeham dan berpura-pura tidak mendengarku. “Eh, baiklah. Aku harus pergi. Ada sesuatu yang harus kulakukan.” Kata David, kemudian beranjak pergi tanpa menghiraukanku.

Nah lho? Dia benar-benar aneh. Apa yang sebenarnya ada di pikiran pria itu?

Keesokan harinya, David menemuiku lagi. Kali ini dia datang tiba-tiba ke mejaku saat kelas masih sepi. Untung hari ini aku bangun pagi-pagi.

“Kau yakin dengan pernikahan ini?” Bisik David. Hanya ada segelintir orang yang telah masuk dan bersiap mengikuti kelas. Meskipun begitu, pria di depanku ini tak ambil resiko untuk menyuarakannya dengan keras.

“Bisakah kau mengatakan ‘Hai’?”

Ia terlihat salah tingkah. Sembari berpura-pura menggaruk bagian belakang kepalanya, akhirnya ia berkata, “Hai.”

“Duduklah. Kau bisa duduk di sampingku sepanjang kelas dan kita bisa membicarakannya. Kau tidak keberatan kan melewatkan pelajaran hari ini dengan mengobrol denganku?”

David menggeleng kemudian meletakkan tasnya di sebelahku. “Sebenarnya aku juga tak pernah benar-benar mendengarkan. Kau tahu, aku selalu punya lagu baru untuk didengarkan dari IPod-ku.”

Baru setelah David benar-benar duduk di sampingku, aku merasa gelisah. Bingung entah harus menjawab apa. Aku juga tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi toh apa gunanya menolak. Lagipula mungkin David tidak benar-benar buruk seperti perkataan orang. Aku bisa mencari sisi baiknya, dan kemungkinan aku akan mencintainya. Suatu hari nanti.

  “Emmm, aku bukan orang yang selalu membangkang pada orang tua. Sebenarnya aku tidak begitu yakin dengan pernikahan kita. Tapi apa ruginya juga dicoba. Aku suka mengambil setiap resiko dalam kehidupanku. Aku tak tau bagaimana nanti pada akhirnya. Kemungkinan buruk akan terjadi. Tapi bagaimana kalau akhir yang baik yang terjadi? Aku akan sangat menyesal telah menyianyiakan resiko itu.”

“. . .”

“Apa kau mengerti apa yang kuucapkan?”

David tergagap. “Eh? Ya! Tentu saja. Aku menangkap sebagian besar intinya. Tapi pernikahan itu akan diadakan sebulan lagi. Apa kau benar-benar siap?”

“Jangan pernah menanyakan hal itu, David. Aku tak pernah siap. Bahkan menjalani hidup pun sebenarnya aku tak siap. Tapi akan terasa ringan kalau kita menjalaninya saja.”

David terdiam. Lagi. Ouh! Apa omonganku tadi sebegitu rumitnya? Atau dia yang memang bodoh?

“Well, kupikir kau seperti gadis-gadis itu. Kau tahu, gadis popular lainnya yang suka berpenampilan seksi dan banyak bicara. Menurutku mereka benar-benar terlihat seperti perempuan murahan. Tapi kau. . . Berbeda.”

Aku bisa merasakan darah mengalir ke pipiku. Ya ampun! Kenapa aku jadi melankolis seperti ini? Sial! Kalau Dylan tahu, dia pasti menertawaiku habis-habisan. Kalau mereka tahu, mereka pasti akan memberhentikanku dari tugas.

Tanpa disangka-sangka, David tersenyum. Hanya sebuah senyum tipis yang terulas di bibirnya. Dan WOW!! How could him? Bisa-bisanya selama ini ia menyembunyikan senyumnya yang. . . yang. . . uh!He really is such a breathtaker. Astaga apa dari dulu David setampan ini?

“Lucu sekali.” Kata David lagi. Kali ini sambil mengusap pipiku yang memerah.

Erghh!! Dia akan mudah membuatku jatuh cinta!

**

entièrement contrôléWhere stories live. Discover now