Dia berlari. Sepatunya usang berwarna cokelat, menyusup di sela-sela rerumputan. Basah. Bekas-bekas hujan menyusupkan aroma rumput dan tanah basah ke sepatu dan hidungnya, namun tidak menenangkannya sama sekali. Kakinya menginjak lumpur hitam, tersendat di sepatunya. Pria itu jatuh tersungkur.
Cipratan lumpur, aroma petrichor menusuk-nusuk rongga hidungnya. Di atasnya pohon-pohon tinggi menjulang, melingkupinya dengan lebih banyak bayangan kegelapan, tampak seperti raksasa yang bersiap untuk menginjaknya. Uap putih melayang, dingin malam hari.
Ada yang mengejarnya.
Tap...!
Tap...!
Tap...!
Langkah kaki yang begitu lembut menapak mendekatinya. Langkah kaki di atas sepatu berwarna putih susu yang kini diwarnai corak cipratan tanah basah dan potongan rumput serta remah cokelat daun kering.
Ia berusaha bangkit, namun kakinya terlalu lemas. Terseok-seok, ia menggunakan lengannya untuk menyingkir sejauh mungkin dari pemilik tapak kaki yang mengikutinya dengan teror tersebut.
Seorang gadis, berambut cokelat panjang, ujungnya ikal dan tampak seperti rambut sempurna boneka. Matanya yang bulat nampak berkilau indah namun mengerikan dan kosong. Begitu pula kulitnya yang seputih mutiara, nampak berkilau di bawah sinar bulan. Bibirnya yang mungil berwarna merah muda, jemarinya dihiasi kuku-kuku bersemu dan kedipan matanya polos. Gadis itu begitu cantik, begitu sempurna dan begitu.... mengerikan.
"Ku mohon..." pintanya, ketakutan.
Tidak seharusnya seorang pria dewasa ketakutan pada seorang gadis secantik itu. Namun pria itu gemetaran begitu hebat. Keringat dan air matanya bercucuran dan tak lama ia merasakan air hangat mengalir membasahi celananya, bau ammoniac. Ia terisak ketakutan, merapat pada pepohonan yang tinggi menjulang.
Sementara gadis itu mengamatinya dengan kejam dan menikmati setiap detik siksaan ketakutan yang dideritanya tanpa berniat membantu sedikitpun. Pria itu hampir mencicit, "Kumohon, aku punya keluarga di rumah..."
Gadis itu mengedipkan matanya. Bulu matanya yang lentik, menambah sempurna paras cantiknya. Ia nampak seperti bidadari. Perlahan-lahan ia rekahkan bibirnya yang bagai kuncup mawar itu. "Aku tidak punya keluarga."
"Aku punya saudara perempuan seusiamu... kumohon, ia tak punya siapa-siapa lagi selain aku.." tangisnya, mulai tersedu-sedu tak terkendali. Seorang tukang reparasi pipa sepertinya jarang sekali menangis seperti itu.
Gadis di depannya memiringkan kepala, seperti tidak mengerti, "Aku tujuh belas tahun.."
Ia mengangguk-angguk "Adikku juga tujuh belas tahun.. kumohon.. kumohon.. Aku akan melakukan apa pun yang kau mau, tapi biarkan aku-"
Gadis itu mengedipkan matanya. "Kau akan melakukan apapun yang ku mau?" tanyanya. Kemudian berjalan maju. Sementara si pria di tanah itu beringsut mundur. Si gadis lalu berjongkok di hadapan pria yang bergelung seperti bayi di bawah pepohonan itu.
"Sungguh? Apa pun?"
Pria itu mengangguk buru-buru, melihat secercah haraoan. "Iya, apa pun! Apa yang kamu inginkan?"
Gadis itu nampak berpikir sebentar, menatap langit malam yang gelap. "Aku mau permen!"
"Baiklah-baiklah, aku punya sedikit permen di kantongku." ujar pria itu buru-buru, dengan ceroboh merogoh-rogoh sakunya untuk mencari beberapa bungkus permen dan mengeluarkan tiga buah permen dengan menjatuhkan dompet kulitnya.
Sang gadis mengambil dompet kulit pria itu. TIdak menghiraukan uang dan tanda pengenalnya. ia menunjuk pada foto keluarga didalamnya. "Apakah ini keluargamu?" tanyanya.
Mata pria itu seketika berkaca-kaca mengingat adik perempuannya yang pasti sedang menunggu kepulangannya. Ia mengangguk-angguk cepat. "Iya itu foto keluargaku sebelum ayah dan ibu ku meninggal, sekarang hanya tinggal aku dan adikku saja...berdua.. dia seusiamu.. siapa namamu? Ini ambillah permennya dan biarkan aku pergi."
Namun gadis itu tidak bergeming, ia terus menatap foto itu selama beberapa saat. Si pria yang sudah mengumpulkan keberaniannya mencoba berdiri dan mulai berlari pergi. Namun di antara suara gemerisik daun kering dan rumput yang tenggelam dalam genangan air dan lumpur ia bisa mendengar gadis itu berucap dengan lirih.
"Aku tidak punya keluarga.."
Tanpa membuang waktu, ia mempercepat larinya. Taman hanya beberapa ratus meter dari tempatnya berdiri, ia bisa mencapainya. Di sana akan ada cukup cahaya dan cukup manusia untuk membuatnya selamay dari monster (?) ini. Ia terantuk beberapa batu, menabrak beberapa ranting, namun tidak peduli. Ia terus berlari karena memang hanya itulah yang bisa menyelamatkan nyawanya.
Itu dia! Taman tinggal beberapa langkah lagi!
"Kau bilang, kau akan melakukan apapun yang ku mau."
Langkah kaki pria itu hampir berhenti, namun jantungnya melompat dan teriakannya memicu kakinya untuk berlari lebih kencang lagi. Ia terlonjak ketika gadis itu muncul di hadapannya, berjalan dengan langkah perlahan yang pasti. Ia melirik sekelilingnya, tidak ada orang di taman itu! Kakinya kembali gemetar, berusaha berbalik ke hutan namun percuma ia kehabisan tenaga, terjatuh berlutut di tanah, menangis ketakutan.
"Siapa....?" tangisnya lirih "Siapa kau??" ia menatap sang gadis yang sorot matanya berhiaskan bendi dan ngeri "apa kau?"
Gadis itu mencondongkan tubuhnya, matanya yang legam dengan tatapan kosong namun seolah mampu menusuk-nusuk kepala si pria dengan ribuan mata pisau, menembus tengkorak dan bersarang di otaknya, berdarah-darah. Ia usapkan jari-jarinya yang lentik di sisi wajah pria yang gemetaran seperti daun di tiup angin itu. Jari-jarinya sedingin jari-jemari mayat. Dengan suaranya yang lembut mengindahkan pertanyaan sang pria, ia berbisik.
"Aku ingin kau mati!"
Mata si pria terbelalak lebar, telinganya berdenging dan ada rasa sakit di sisi wajahnnya, kemudian telinganya tidak terasa terlalu berdenging lagi. Darah menetes.
"Aaaaaaa!!!" serunya dengan suara yang penuh derita. Air matanya semakin deras menetes di sisi darahnya yang merah pekat. Napasnya tersendat-sendat ketika ia berkata, melihat benda kecil yang jatuh di pahanya.
"Telingaku! T.....telingaku!"
Ia kembali berteriak, namun gadis itu menghujamkan seluruh lengannya kedalam mulut si pria yang menganga, menembus tenggorokan hingga jemari lentiknya menerobos leger sang pria, lalu sunyi.
Ia tarik lengannya dan berdiri. Suara gemerisik dan gedebuk di tanah menghantam daun telinganya di tengah kesunyian malam.
"Namaku Sherina.." katanya, mengusap lengannya dengan rok dari gaun terusan yang berwarna putih tulang, menodainya dengan darah berwarna merah pekat, "Aku penjahat, aku kriminal!" Sherina mengedipkan matanya perlahan.
"Aku pembunuh!"
