Tristan dan Ansel berdiri memandang keluar jendela besar yang ada di sepanjang lorong kelas. Pandangan mereka tertuju ke satu titik yang sama. Ke empat siswa yang tengah bahu-membahu memungut sampah di tengah para siswa yang baru tiba di sekolah dan berjalan di jalan setapak.
"Tristan. Apa ini tidak keterlaluan?" tanya Ansel
Tristan menoleh "Apa maksudmu?"
"Kau yakin tidak ikut campur dalam masalah ini?" Ansel balas menatap Tristan curiga "hukuman yang diberikan ke senior Brian dan teman-temannya sedikit berlebihan. Kau yakin, tidak tahu apapun tentang ini?"
Tristan terdiam.
Dan hal itu membuat kecurigaan Ansel semakin besar.
Saat mendengar hukuman yang diberikan senior Brian dan teman-temannya dari Keenan, Ansel sedikit merasa janggal. Hukuman yang diberikan ke mereka agak berlebihan jika mengacu pada peraturan tertulis yang ditetapkan sekolah tentang kekerasan. Dan alih-alih ditangani guru Bimbingan Konseling yang bertugas menyelesaikan permasalahan para siswa di sekolah, kepala sekolah lah yang turun tangan menangani permasalahan ini.
"Tristan..."
"Jika aku bisa menghabisi mereka dengan tanganku sendiri, aku tidak akan melakukan tindakan pengecut semacam ini." ujar Tristan. Dia memutar tubuhnya menghadap Ansel "satu-satunya alasanku tidak bisa memukul mereka dengan tanganku sendiri adalah ayahku. Dan kau, kau adalah orang yang paling tahu resiko yang kudapat jika bertindak ceroboh."
Ansel kini terdiam. Kilatan amarah dan putus asa dari tatapan Tristan membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.
Tristan kembali menghadap keluar jendela dengan tatapan menerawang,
"Aku tahu, selama ini kalian menahan diri untuk tidak menghajar orang-orang yang mengejek kita karena takut berdampak buruk kepadaku." ujarnya
"jadi, biarkan aku yang membalas perbuatan mereka." lanjut Tristan.
"Aku tidak bisa membenarkan tindakanmu ini. Tapi aku juga tidak bisa melarangmu," Ansel menghela napas panjang seraya menepuk pundak Tristan,
"Hanya saja, jangan sampai kau kehilangan kendali dan berubah menjadi seperti ayahmu."
Tristan menoleh seraya mengangguk tersenyum.
"Apa kau sudah dengar, Keenan putus dengan Kak Nadine?" tanya Tristan kemudian.
Ansel melebarkan mata terkejut lalu menggelengkan kepala,
"Mereka baru berpacaran selama dua bulan dan putus!? Kau serius?"
"Anak-anak satu gedung sudah membicarakan sejak pagi. Bagaimana kau tidak tahu?" Tristan balik bertanya dengan bingung.
Ansel meringis. Sikap acuh yang mendarah daging membuatnya benar-benar tidak tahu apapun tentang hal yang terjadi di sekolah.
"Terlalu banyak hal yang dibicarakan anak-anak di sekolah," Ansel beralasan.
"Tapi... tidak ada yang berubah dari Keenan. Dia tampak baik-baik saja. Tadi pagi, dia juga menggunakan hoodie yang diberikan Kak Nadine ketika semalam mereka bertemu." ujar Ansel masih tidak percaya.
"Kau lupa, Keenan adalah laki-laki paling brengsek diantara kita?" sahut Tristan sambil terkekeh.
Ansel terdiam sejenak, lalu
"Jangan bilang, dia sengaja menggunakan hoodie itu tepat ketika mereka putus?"
"Dan membuat Kak Nadine beserta murid lain menghujatnya karena kelakuan tidak tahu dirinya." sambung Tristan.
YOU ARE READING
Persona : Untold Story
Fanfiction"Ketika dunia tidak memperbolehkan kita melepas topeng, apa aku akan baik-baik saja?" Ini adalah kisah tentang tiga remaja laki-laki yang sedang mencari jati diri ditengah orang-orang sekitar memaksa mereka menjadi apa yang ingin dunia lihat dari me...
