1: Kapten Mahale

524 81 4
                                    

Episode 1
.

Luna Arienda

Kisah ini bermula dari tindakan nekad yang aku ambil tepat di malam sebelum pertunangan. Keras kepalaku tidak bisa luluh hanya dengan paksaan kedua orangtuaku dan di sinilah aku berakhir pada tengah malam, di bandara internasional Soekarno-Hatta.

Aku bersandar pada kursi tunggu dan berusaha melepas rasa penat. Di ruang tunggu terminal 3 hanya ada aku seorang. Tentu saja ini hampir tengah malam dan siapa pula yang akan menaiki penerbangan ke Papua di tengah malam? Sepertinya hanya aku seorang saja...

"Luna Arienda?" panggil seseorang. Tentu saja aku berharap yang memanggilku manusia. Di tengah malam dan ruang tunggu bandara yang sepi ini, cukup untuk merasakan suasana horor.

Aku menatap pria tinggi berseragam pilot, kulitnya hitam dan pundaknya begitu tegap. Aku memastikan kakinya benar-benar menapak pada lantai. Dan ya, dia memang manusia.

"Kapten Mahale?" tanyaku. Pria itu menganggukan kepala dan duduk di sebelahku.

"Kamu yang meneleponku siang ini, kan?" tanyanya.

"Benar."

Pria itu menatap tas ranselku dan melihat ke seluruh arah, "apa kamu akan pergi ke Papua sendirian?"

"Benar," jawabku penuh keyakinan.

Pria itu menatapku seolah ragu untuk membawaku dalam penerbangannya.

"Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba kamu meneleponku dan ingin datang ke Papua?" tanyanya.

Aku menyadarkan punggung dan mengingat jauh ke kejadian 10 tahun yang lalu, "aku ingin mencaritahu tentang kakakku."

"Apa gunanya mencaritahu tentang orang yang sudah meninggal 10 tahun lalu?! Sebaiknya kamu pulang saja."

Aku menegakkan punggungku dan menatap mantap pada Kapten Mahale.

"Itu dia, 10 tahun memang berlalu. Tapi aku bahkan tidak tahu mengapa kakakku bisa meninggal dan di mana makamnya. Pengacara Marcel bilang Kapten tahu lebih rinci tentang kakakku."

Pria itu memalingkan wajah, "jadi Marcel yang mengatakan itu."

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku.

Kapten Mahale kembali menatapku. Pria itu kuyakini berusia sekitar 35 tahun. Seusia dengan kakakku, yang bahkan tak kuingat wajahnya.

"Kakakmu adalah jurnalis yang hebat tapi juga keras kepala. Audrey meninggal saat meliput kerusuhan antar-suku di Papua. Ia terkena tombak dan---"

"meninggal di tempat?" lanjutku.

Pria itu menundukkan kepala, "kakakmu meninggal saat bertugas. Kantor berita tempatnya bekerja sudah mengabari keluargamu. Tapi kedua orangtuamu tidak ingin tahu apapun tentang Audrey."

"Apa kakak dimakamkan di Papua?"

Pria itu menganggukkan kepala, "kamu sudah tahu kisahnya dariku, jadi sebaiknya jangan pergi ke Papua. Entah mengapa aku merasa rencanamu pergi ke sana bukan hanya karena tentang kakakmu. Audrey juga wanita keras kepala dan gigih sepertimu. Aku bisa merasakan itu."

"Aku tidak bisa pulang. Aku ingin---pergi ke sana. Aku ingin melihat tempat kakakku dimakamkan."

Pria itu menatapku sebentar baru kemudian berdiri dan mengenakan topi kebesarannya sebagai pilot.

"Tekadmu begitu bulat, baiklah aku akan mengantarmu ke sana."

Aku tersenyum dan segera berdiri, "terima kasih, Kapten."

Ada Cinta Di PapuaWhere stories live. Discover now