8. kencan di hari sabtu

Mulai dari awal
                                    

"Apanya yang ken—"

"Tadi kamu bilang waktu mau turun dari motor saya," potong Saujeno. "Kita kencan 'kan?"

Senandika terasa mendengus di bahu Saujeno sebelum mengangguk pasrah, "Iyaaa, Saujeno. Iyaaaaa. Kita lagi kencan."

"Hehe, gitu dong, cantik," Saujeno terkekeh lagi sembari menepuk punggung tangan Senandika yang masih melingkar apik di pinggangnya. Entah mengapa ia merasa senang dan sering tertawa hari ini.

Melihat Saujeno tersenyum, kedua sudut bibir Senandika lantas mengikuti. Keduanya saling tatap lewat kaca spion dengan senyum yang kini terkembang tanpa rasa malu melingkupi. Dagu Senandika sudah bertengger manis di bahu Saujeno, lengannya memeluk pinggangnya erat.

Ah, gemas. Terlalu gemas. Sampai-sampai dua pengendara yang berada di samping kiri kanan mereka memekik melihat interaksi kelewat manis keduanya.

"Kita sebenarnya mau kemana, Saujeno?" Senandika bertanya ketika Saujeno memarkirkan motornya di lapangan parkir stasiun dekat rumah mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita sebenarnya mau kemana, Saujeno?" Senandika bertanya ketika Saujeno memarkirkan motornya di lapangan parkir stasiun dekat rumah mereka.

"Saya mau ajak kamu keliling Jakarta." Saujeno menjawab sembari membantu melepaskan kaitan helm Senandika, meletakannya dengan aman di gantungan motor.

Tangan Saujeno menggenggam tangan mungil milik Senandika, menariknya menuju pintu masuk stasiun. Pemuda manis itu tengah gelagapan mengubek isi tasnya ketika Saujeno mengeluarkan sebuah kartu e-money dari saku jaketnya.

"Nih, buat kamu pakai."

"Terus kamu?" Senandika bertanya tidak enak pada Saujeno.

"Saya punya dua." Saujeno menunjukkan satu kartu lagi di tangan kirinya lantas kembali menggandeng tangan Senandika seakan tangannya bisa mati rasa jika tidak menyentuh jemari lentik tersebut.

Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju peron, menunggu kereta tiba sembari duduk di kursi besi.

"Kamu udah keliling Jakarta bagian mana aja, Dika?" Saujeno bertanya memecah keheningan, jemarinya bermain-main dengan jemari Senandika.

"Belum pernah."

Melihat gelengan kepala Senandika, Saujeno sontak memutar kepalanya menghadap lelaki manis itu, "Yang benar? Tujuh belas tahun hidup di Jakarta, kamu cuma berkeliling seputaran Jakarta Selatan aja?"

Kali ini dia mengangguk, "Iya."

"Berarti ini pertama kali?"

"Iya," mengangguk lagi, Senandika mendadak menampilkan senyumnya pada Saujeno. "Saya senang Saujeno mau ajak saya keliling kota kelahiran. Makasih ya."

Saujeno membalas, tangannya terangkat merapikan helai surai kelam Senandika sebelum menyadari kulit wajahnya yang sedikit memerah. Ah, Senandika gak bisa kena matahari lama-lama.

"Pakai ini, Dika," Saujeno mengeluarkan bucket hat yang memang sengaja ia bawa dari balik jaket denim yang dikenakannya. "Kamu gak tahan panas ya?"

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang