2. senandika

Beginne am Anfang
                                    

Senandika cuma terkekeh mendengar jawaban polos adiknya, ia memajukan tubuh untuk mengecup pipi gembul Nara, "Kamu harus rajin biar pintar, Nara. Biar bunda bangga, anaknya pintar selalu juara kelas."

"Nara mau pinter kayak kakak juga," Nara tersenyum lebar, melonjak senang di paha Senandika. "Kakak, ajarin Nara matematika dong!"

"Hmm, tapi kakak harus balik kerja, Nara. Gak enak sama Mas Yuta nih," Senandika cemberut dibuat-buat, bikin Nara ikut cemberut.

"Mau ikut kakak ke cafe aja kalo gitu," pinta Nara dengan nada memohonnya yang khas; yang menjadi salah satu kelemahan terbesar Senandika.

"Nara di rumah aja ya? Kalau kamu dicariin bunda lagi gimana?"

"Nara tinggal bilang kalo Nara habis belajar di rumah Aiden!"

"Hush, gak boleh bohong sama bunda!"

"Yah, habisnya kalau Nara jujur ikut kakak ke cafe, nanti Nara ditanya-tanyain bunda!"

Senandika terkekeh sembari mencubit pipi adiknya itu, "Ya udah, but still keep it secret, okay?"

Nara mengangguk seraya menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Senandika, "Pwomis! Aku bakal ajak Aiden juga nanti, hehe..."

"Ya udah, Nara ganti baju dulu gih, kakak tunggu ya."

"Okay!"

Nara pun dengan cekatan turun dari pangkuan Senandika sebelum berlari menuju kamarnya yang berada di samping kamar Senandika. Begitu Senandika menutup jendela, suara ibunya terdengar dari ambang pintu.

"Jangan coba-coba bikin anak saya ikut-ikutan jadi gak berguna kayak kamu, Senandika. Harusnya kamu tau diri dan tau posisi kamu di rumah ini."

Senandika beralih menatap ibunya yang sedang bersidekap itu, menyambutnya dengan senyuman hangat seraya menggeleng, "Nara masih kecil, belum ngerti banyak hal. Lagipula, untuk apa aku punya niat buruk terhadap Nara? Dia adikku juga, meskipun kita bukan dari rahim yang sama. Dan ya, aku tau diri kalau aku cuma numpang disini, terima kasih Bunda udah selalu ngertiin."

Ibunya cuma mendelik tajam sebelum pergi meninggalkan kamar anak sulungnya itu dengan dengusan kesal. Senandika cuma bisa tersenyum maklum, mengusap dadanya yang terasa berdenyut sakit sejak ibunya mendelik padanya.

Senandika menghela napasnya dan tersenyum tipis, menyemangati dirinya dalam hati sebelum menghampiri Nara di kamarnya.

"Kakak! Ayo!" Nara berseru semangat dengan tas ransel bergambar robot kesayangannya yang Senandika belikan untuknya ketika kenaikan kelas kemarin, bertepatan dengan datangnya sang ibu yang langsung menatap Senandika curiga.

"Mau kamu bawa kemana anak saya, Senandika?"

"Nara mau main ke rumah Aiden!" Nara buru-buru menjawab. "Mau belajar bareng."

"Dan kamu, Senandika?"

"Nganter Nara, Bun."

"Ya udah, Nara hati-hati ya, Nak," ibunya tersenyum, mengelus kepala Nara, namun berbisik galak pada anak sulungnya kemudian. "Sekali lagi kamu lalai jagain anak saya, jangan harap kamu masih diterima disini, Dika."

Setelah ibunya benar-benar pergi, Nara langsung menarik tangan Senandika menuruni tangga, masa bodo dengan seruan ibunya yang menyuruh si bungsu untuk berhati-hati.

Begitu telah meninggalkan rumah, Nara segera berceloteh ria, menceritakan apapun yang menurutnya menarik, mengomentari apapun yang mereka temui di jalanan.

Senandika menggandeng tangan Nara dengan erat, dalam hati pun senyumnya terkembang. Ia begitu menyayangi adiknya. Dan selama ia masih mampu berdiri bersama Nara, Senandika akan berjuang sekeras-kerasnya.










































































 Dan selama ia masih mampu berdiri bersama Nara, Senandika akan berjuang sekeras-kerasnya

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Andy Nararya

Senandika - [nomin]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt