"Kenapa, Nara?" Senandika memasang senyum termanisnya, mengabaikan rasa panas di pipinya yang baru ia dapat lima menit lalu dari sang ibu yang entah sedang dimana sekarang ini.

Adiknya—Nararya—berjalan menghampirinya yang sedang duduk di kursi dekat kusen jendela, menatapnya dengan air mata yang sudah siap tumpah membasahi pipi gembilnya.

"Kakak, maafin Nara," ia berujar lirih, menatap kakaknya dengan matanya sipitnya yang berkaca-kaca, buat Senandika mengusak kepalanya gemas seraya menariknya agar duduk di pangkuannya.

"Gak apa-apa, Nara. Lain kali, kalau mau nyebrang, lihat kanan-kiri dulu, ya? Atau kamu barengin nyebrangnya sama orang lain. Maafin kakak juga karena gak bisa jemput kamu. Harusnya kakak buru-buru ke tempat les kamu, tapi kerjaan kakak lagi banyak banget. Lain kali telepon kakak dulu kalau mau pulang dan kamu harus selalu hati-hati, oke?"

Nara mengangguk, tangannya otomatis menepuk-nepuk lembut pipi Senandika yang memerah. Sang kakak tersenyum seraya mengusap pelupuk mata adiknya.

"Udah mendingan belum lukanya?" Tanya Senandika sembari menatap kedua dengkul adiknya yang lecet dan sempat berdarah, didapat Nara karena terserempet sepeda motor ketika hendak menyebrang melewati jalan raya dekat tempat bimbingan belajarnya.

Senandika jadi kena batunya. Ibunya menyalahkannya, berkata ia malah pergi entah kemana, bukannya menjemput adiknya dan memastikannya selamat sampai rumah.

Begitu mendapat telepon bahwa Nara baru saja kecelakaan kecil, Senandika langsung berlari dari tempatnya bekerja, dalam hati mengumpati kebodohannya karena bisa-bisanya ia lupa menjemput adiknya.

Cafe sedang banyak pelanggan akhir-akhir ini dan Senandika pun mau tidak mau harus meluangkan lebih banyak waktu lagi untuk bekerja. Yah, demi uang saku tambahan, Senandika akan sukarela melakukan apa saja asal kebutuhan sekolahnya terpenuhi karena ibunya yang tidak cukup peduli.

Begitu sampai rumah, ternyata ibunya tengah mengobati Nara yang lecet dan lebam di beberapa tempat. Senandika sudah hendak menghampiri adiknya itu ketika ibunya berdiri dan menampar pipinya begitu saja.

"Kamu itu, bukannya jagain adik malah ngacir gak jelas! Habis kemana kamu, hah?! Ketibang jemput adikmu aja pakai lupa!"

Senandika cuma bisa menunduk, kembali meminta maaf karena ia sadar ia juga salah sebelumnya.

"Maaf, Bun. Aku..." Senandika berhenti, napasnya tersengal, percampuran antara lelah berlari dan shock. Ia tidak bisa memberitahu soal pekerjaannya pada ibunya. "...lupa."

"Emang anak kayak kamu gak bisa diharapkan, ayahmu juga sama gak berguna, bikin nambah beban aja," ibunya berdecih sambil membereskan kotak P3K di atas sofa, "Nara, makan dulu yuk, sayang? Bunda habis beliin makanan kesukaan kamu."

"Kakak, ayo makan—"

"Kakak udah makan, dek," Senandika tersenyum, berjongkok untuk mengusap rambut Nara. "Jangan nangis, jagoan harus kuat."

Setelahnya, Senandika memutuskan untuk beristirahat sebentar di rumah sebelum kembali ke cafe tempatnya bekerja. Ia butuh sedikit waktu untuk menenangkan dirinya yang sempat terguncang. Ia akan mengirimi Yuta pesan nanti dan bilang bahwa ia rela jika Yuta memotong gajinya karena ia yang tiba-tiba meninggalkan kewajibannya sebagai pelayan.

Dan disinilah ia sekarang, merenung di pinggir jendela sembari menatapi langit jingga milik senja.

"Udah diobatin Bunda 'kan tadi, Kak," Nara menjawab dengan suara kecil, kembali mengusap pipi Senandika yang memerah. "Kakak gak diobatin?"

"Nanti juga hilang sendiri, cuma bekas, bukan luka" Senandika tersenyum, "Gimana tadi lesnya?"

"Nara pusing, kak. Enakan belajar sama kakak, lebih asyik," Nara menjawab polos, memainkan kancing kemeja putih yang Senandika kenakan sebagai seragam pelayan cafe. "Kalo sama kakak enak, tiap jawab soal benar dapat hadiah permen. Kalo sama ibu guru disuruh kerjain banyak soal, Nara gak bisa tapi Nara malah disuruh kerjain soal di papan. Huh, Nara malu diketawain Aiden."

Senandika - [nomin]Where stories live. Discover now