2. Ini Sesi Wawancara atau Sesi Curhat?

50 5 0
                                    


Rino masih duduk di tempatnya. Memandangi kesibukan keempat perempuan di sana. Membiarkan segenap indera penciumannya menikmati aroma bolu yang semerbak di setiap penjuru udara di kitchen yang tak terlalu besar itu.

Ia melihat sekeliling, memerhatikan ruangan yang kurang lebih berukuran empat kali sepuluh meter yang dipenuhi dengan berbagai peralatan baking dan bahan kue, kira-kira kalau diterima, gue kerja di sebelah mana, ya? Di kitchen ini, gitu? Mana bisa konsen kalo hidung gue terus-terusan disuguhin udara yang berpadu dengan aroma bolu kayak gini?

Rino menoleh, di dekatnya ada ruangan dengan pintu kaca. Ada meja kerja di sana. Jangan-jangan di situ? Rino menebak-nebak.

Sementara itu, Olla telah selesai menakar semua bahan bolu. Ia melirik jam di ponselnya, tepat jam setengah tiga. Olla menyerahkan semua bahan kepada Ana untuk diolah dan menitip kepada Almira agar membantu mengawasi.

"Hati-hati, ya, An, Al, jangan sampai ada kesalahan, aku nggak mau telat sedikit pun gara-gara ada kesalahan dan kita harus mengulang dari awal. Karena semua bolu harus dikirim pagi-pagi sekali besok," pesan Olla sambil melangkah ke arah Rino.

"Baik, Kak," ucap Ana dan Almira bersamaan.

Almira melirik ke arah Rino saat Olla mempersilakan pria itu memasuki ruangan kantor mungilnya hingga mereka menghilang di balik pintu kaca yang kemudian tertutup rapat. Gadis itu masih bisa melihat atasannya dan sang calon pegawai baru tapi ia takkan bisa mendengar pembicaraan mereka.

Sementara itu, di ruangan tersebut, Olla duduk di balik meja kerjanya dan tersenyum seraya meminta Rino untuk duduk dengan gesture tangannya. "Silakan."

Rino pun duduk di hadapan Olla, mengangguk sopan sambil membalas senyuman calon bosnya. Rino mengernyit. Ternyata setelah diperhatikan, Bu Olla ini cantik juga, pikirnya. Berapa, ya, kira-kira usianya?

Menyadari Rino yang menatapnya begitu dalam, Olla merasa risih. "Ehem!" Ia pun berdeham tegas.

Rino refleks menunduk. Sial, jangan sampai calon bosnya ini berpikir ia tidak sopan. Ia benar-benar membutuhkan pekerjaan ini setelah setahun menganggur dan hampir tiga bulan tak ada panggilan kerja.

Setelah merasa nyaman, Olla menjelaskan jobdesk seorang content editor, posisi yang dilamar Rino. "Jadi, yang saya cari adalah seseorang yang bisa menciptakan gerbang yang indah untuk calon pelanggan, sebelum akhirnya mereka memesan bolu dari kita. Dari sisi foto, dari sisi caption, semua harus catchy, menarik. Nggak hanya itu, tapi juga harus bisa menggiring pengguna media sosial untuk mengikuti kita. Kamu dan saya nanti akan mendesain bareng apa yang bisa membuat orang di dunia medsos itu mengarahkan telunjuknya ke tombol follow."

Rino manggut-manggut.

"Kamu paham?" Kali ini Olla yang menatap Rino dalam, ingin benar-benar yakin calon anak buahnya ini paham atau tidak.

Rino jadi agak grogi, tapi ia mencoba menjawab setengang mungkin. "Kurang lebih paham, tapi saya mau kok belajar apa-apa yang saya nggak paham."

Olla tersenyum dan manggut-manggut mendengar antusiasme Rino. "Oke, good. So, Rino, ceritakan tentang diri kamu." Olla mulai mewawancara.

Jantung Rino langsung berdegup kencang. Ini dia masalahnya. Cerita. Duh, gue nggak pinter cerita. Tapi ya harus gue paksain, sih. Akhirnya, setelah menarik napas dalam, dengan segenap yang ia mampu ucapkan, kata demi kata, mengalirlah hampir sebagian besar kisah hidupnya.

Olla mendengarkan dengan saksama. Sesekali Olla mengajukan pertanyaan, mengarahkan agar interviewee di hadapannya ini mengungkap kelebihan dan kekurangannya ketimbang kisah hidupnya. Tapi justru beberapa kali Olla dibuat ingin tertawa. Tentu ia tahan demi menjaga perasaan calon pegawainya ini. Ia berusaha agar yang muncul di wajahnya adalah senyuman sebijak mungkin bukan seringai aneh. Habisnya, bagaimana ia tak ingin tertawa? Bocah ini lebih seperti sedang curhat ketimbang menceritakan tentang kelebihan dan kekurangannya secara profesional.

Kini Olla tahu bahwa sejak SMP, Rino tak memiliki ibu. Mamanya meninggal karena kanker. Bahwa ia hanya memiliki seorang kakak perempuan. Bahwa ia gagal masuk SMA favorit tempat kakaknya bersekolah. Bahwa ia juga lagi-lagi gagal masuk ke universitas negeri seperti kakaknya dan berakhir dengan mengambil D3 di kampus yang biasa-biasa saja karena semangatnya sudah luntur. Dan ia memilih jurusan bahasa Inggris karena ia menyukai musikalisasi puisi. Dan walaupun telah tiga tahun berkutat dengan bahasa Inggris, ia tak merasa mahir berbicara dalam bahasa Harry Potter tersebut. Belum lagi, ia menambahkan dengan suara lesu bahwa ia baru saja ditinggal menikah oleh pacarnya.

Pada akhir ceritanya barusan, rasa ingin tertawa di hati Olla telah berganti dengan rasa iba. Pasti tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang Rino. Masih muda tapi sudah banyak rintangan dalam perjalanannya.

"Jadi, sejak lulus setahun yang lalu, kamu belum pernah bekerja?" tanya Olla hati-hati sambil melirik bagian pengalaman kerja yang kosong pada CV yang sempat Olla print sebelum Rino datang.

Rino menggeleng. "Malah sudah tiga bulan ini nggak ada panggilan sama sekali, Bu."

Olla terdiam. Rino menunggu dengan tegang.

Lalu Olla berdeham lagi. Di telinga Rino, dehaman Olla kali ini seperti sebuah persiapan menuju kalimat-kalimat penolakan, yang sebenarnya sudah biasa ia dengar. Tapi kali ini harapannya begitu tinggi. Ia benar-benar ingin bekerja. Ia tidak mau menyandang predikat pengangguran lebih lama lagi. Ia malu kepada papa dan kakaknya karena di usianya yang sudah duapuluh dua tahun ini, mereka masih harus menanggung hidupnya. Kepala Rino tertunduk lunglai.

"Rino," panggil Olla pelan dan tegas. "Kamu tau nggak, kira-kira kenapa kamu belum bekerja juga sampai sekarang?"

Masih menunduk, Rino menggeleng takut-takut.

"Karena kamu tidak mengindahkan perintah. Pertama, saya suruh kamu ceritakan tentang diri kamu secara profesional, saya arahkan agar kamu membahas kelebihan dan kekurangan kamu, tapi kamu malah curhat ke sana ke mari tentang kegetiran hidup kamu. Oke, itu masih bisa dimaklumi karena pasti melegakan bisa cerita, ya, kan? Tapi, kedua, ini yang lebih parah, barusan kamu panggil saya Bu. Padahal tadi," Olla menunjuk ke luar ruangan, "di sana, saya sudah secara khusus meminta kamu panggil saya Kak saja."

Rino terenyak, segera mengangkat wajah. Gila! Masa gue nggak diterima kerja hanya karena salah manggil dan dikira lagi curhat? Asli, baper nih ibu-ibu satu. Dia jelas nggak muda lagi, trus nggak mau gitu dipanggil Bu? Lagian, kan gue manggil Bu karena menghormati dia sebagai calon bos gue?! Dan tadi bukannya dia, ya, yang suruh gue cerita?

"Mungkin bagi kamu, itu hal kecil, remeh-temeh," lanjut Olla, "tapi buat pewawancara, pengabaian sekecil itu pun menjadi penilaian yang penting sehubungan dengan etos kerjamu ke depannya."

Beneran baper nih ibu-ibu. Rino menghela napas sepelan mungkin, menahan kesalnya.

Olla melanjutkan, "Jadi—"

Tapi Rino buru-buru memotong. "Maaf, Bu, eh, Kak. Maaf. Saya bukan menganggap panggilan tadi hal remeh-temeh atau berniat mengabaikan permintaan Kakak. Saya panggil Bu karena saya hormat."

Olla segera menjawab dengan tegas. "Justru dengan panggil saya Bu kamu nggak hormat, nggak menghargai saya. Karena, sekali lagi saya tergaskan, saya sudah secara khusus meminta kamu panggil saya Kak, lho."

Rino menahan dengkusan sebalnya. Ya udah, sih, kalau mau nolak, nggak usah pake omelin gue! Mana nggak penting banget alasannya. Sambil menggerutu dalam hati, Rino kembali menunduk, mencoba tidak memperlihatkan wajah kesalnya.

Jika Ini Cinta, Menikahlah dengankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang