wave

83 11 19
                                        

lagu untuk diputar

waves
oleh dean lewis


🌊


Hari itu suara hujan deras yang menghantam tanah tak jadi masalah, aku tidak kedinginan. Ada Jules di pelukanku dan ruangan dipenuhi warna oranye yang indah. Jules kekasihku yang manis, senyumnya menawan, tiap setarik garis indah itu ditampilkan, sebilah panah cupid turut dilontarkan ke hatiku. Jules kekasihku yang sempurna, wajahnya tak kalah cantik dari Venus dan tuturnya tak kalah bijak dari Athena.


Tapi cinta masa muda itu seperti ombak di tepi pantai. Dari jauh tampak hebat, kuat, luar biasa. Begitu ia menghantammu, satu hantaman lalu pergi. Begitu saja. Saat ini cintaku pada Jules masih dalam perjalanan menuju tepi pantai, masih kuat, tapi bagaimana dengan cinta Jules padaku? Pertengahan musim semi rupanya berbaik hati memberiku jawabannya.

Jules dan aku saling mengenal sejak sekolah menengah, kami menuntut ilmu di tempat yang sama. Jules merupakan murid baru yang dengan cepat mendapatkan popularitas di sekolah sedangkan aku hanya anak laki-laki biasa yang tidak pernah mendapat peran penting, aku bahkan ragu apakah ada tenaga pengajar yang mengingat namaku. Jules-seperti sudah kukatakan-gadis yang cantik, pintar, baik. Gadisku sempurna dan seolah tanpa cela, sebelumnya aku sama sekali tidak membayangkan akan mendapatkan gelar sebagai kekasihnya.

Kami saling mengenal saat tahun terakhir di sekolah, lebih tepatnya, akhirnya Jules mengenalku. Seisi sekolah tahu betul siapa itu Jules termasuk aku. Tapi aku hanyalah bunga kecil di tengah kebun. Aku, begitu sialnya, mendapatkan detensi karena guru kesenian menemukan sebuah diska lepas penuh video tidak senonoh-sumpah itu bukan milikku-dan Jules juga mendapatkan detensi karena tidak sengaja melempar pena ke kepala guru sejarah.

Kami bertemu di gudang selepas jam pelajaran berakhir, bermacam gambaran terlintas di kepalaku. Soal karakter Jules, karena dia begiu terkenal, kukira dia akan jadi orang yang judes dan acuh tak acuh pada orang lain, rupanya tidak. Jules ramah, ia menyapaku, mengajakku mengobrol berulang kali, bahkan membuat beberapa lelucon lucu lucu tak lucu. Dan satu hal paling ajaib terjadi, Jules meminta nomor teleponku. Murid populer meminta nomor telepon tokoh figuran ini.

Semuanya berjalan seperti arus sungai kecil sejak saat itu. Tenang, namun bergerak. Bergerak dengan begitu lancar, aku menyatakan perasaanku pada Jules saat upacara kelulusan, dan Jules mengangguk padaku. Ia mengangguk dengan senyum di wajah.

Bertahun-tahun berlalu, ini tahun ketiga kami di universitas. Kini kami tinggal bersama, namun menuntut ilmu di tempat yang berbeda dan jurusan yang berbeda. Jules jarang pulang ke rumah dan aku sibuk di kampus, tapi aku yakin kami masih saling mencintai. Begitu mencintai. Dan hari itu aku pulang ke rumah sedikit terlambat, kutemukan sebungkus rokok di dekat meja cuci piring.

Awal musim semi, kampus mengadakan festival besar-besaran, aku menjadi panitianya. Aku jadi semakin sibuk dan semakin sering pulang malam. Beberapa kali kutemukan kemeja laki-laki di sofa, bukan milikku apalagi milik Jules.

Au bicara pada teman dekatku, namanya Eric. Aku mulai bercerita pada Eric dan pemuda itu menatapku seraya berucap, "Kau tahu itu sudah berakhir. Mungkin jika memilih abai, ini tak akan berakhir bagimu, tapi baginya itu sudah berakhir."

Sudah berakhir. Begitu sajakah? Kapan? Apakah saat aku menemukan sebungkus rokok di atas meja cuci piring? Atau jauh sebelum itu? Bukan. Bukan saat itu. Saat bungkus rokok itu kutemukan, aku berpikir bahwa Jules hanya perlu pengalihan. Saat ia memutuskan untuk tidak menyembunyikannya lagi, saat kemeja itu dengan gampangnya tergeletak di atas sofa, saat itulah. Saat itulah hubungan kami berakhir. Mungkin bagi Jules, hubungan kami sudah berakhir sejak waktu yang lama.

Tapi aku ingin mempertahankannya. Aku punya keyakinan bahwa ombaknya akan terus menghantam tepian pantai. Tapi jika aku diam saja, pada akhirnya hanya ada dalam hubungan ini, sendirian.

Keesokan harinya aku mengosongkan jadwal. Bolos dari kegiatan kepanitiaan. Mengajak Jules ke pusat kota, dia tampak senang. Saat kami selesai dengan makanan kami di restoran, aku memutuskan untuk benar-benar menyelesaikan hubungan kami. Kukatakan pada Jules, aku tahu hatinya telah berpindah. Jules menangis, tapi tidak mengelak, dia juga tidak berusaha menjelaskan apapun atau meminta maaf. Jules hanya menangis, jadi setelah kutepuk pelan bahunya, aku meninggalkannya.

Saat itu Jules tidak tahu, aku masih ada di sana. Berdiri di dekat restoran, menatap ke arahnya yang masih saja menangis. Aku masih di sana saat ia menelepon seseorang. Dan aku masih ada di sana saar Eric datang dan memeluk Jules dengan dramatis. Aku ada di sana saat mereka berciuman. Romantis sekali.

Marah, kecewa, sakit, semuanya berkumpul menjadi ombak dan menghantam tepian pantai-aku. Lalu begitu saja. Ombaknya menghantamku dan pergi begitu saja. Jadi aku memutuskan untuk berdiri di sini saja, menyaksikan. Rasa-rasanya tak akan ada yang berubah jika aku menghampiri mereka, melayangkan pukulan ke wajah Eric atau melontarkan makian pada Jules. Jadi aku hanya berdiri sembari menerka, berapa lama waktu yang diperlukan hingga luka di hatiku tertutup.

[SELESAI]

waveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang