2. Narendra Albani

4.7K 821 55
                                    




ㅡ𝐁𝐈𝐌𝐁𝐈𝐍𝐆𝐀𝐍ㅡ







Narendra membuka pintu kamar, lalu menaruh tas miliknya di atas meja kerja. Ia berjalan ke arah ranjang kemudian merebahkan tubuhnya yang sedikit terasa pegal. Matanya terpejam, mencoba beristirahat sebentar, hari ini cukup padat seperti biasanya. Saat sudah sampai apartmen, ia akan bersyukur karena merasa berhasil melewati satu hari ini yang cukup panjang. Jika hari kalian terasa berat, lalu saat malam hari sebelum tidur, cobalah untuk bersyukur, kalian hebat sudah mampu melewati hari yang panjang.

Hidupnya selama ini terasa begitu monoton, jika diibaratkan, rasanya ia seperti menonton film yang sama berulang kali, adegan dan konfliknya akan sama, bahkan endingnya pun begitu. Sebenarnya ia merasa begitu bosan, namun tidak tahu harus melakukan apa untuk membuat sedikit perubahan, entah memang Narendra tidak tahu, atau tidak mau. Jadi di sinilah ia sekarang, bagian kecil dari apartment miliknya, kamar tidur. . tempat paling nyaman, dimana ia bisa menjadi dirinya sendiri, seolah ruangan ini adalah dunia kecil kepunyaannya.

Nyala dari proyektor menyorot pada dinding kamar, manik coklat miliknya membias dengan pantulan cahaya. Kebiasaan sehari-hari yang tak pernah ia lewatkan, menonton serial National Geographic. Akhir-akhir ini, ia tertarik dengan video mengenai Pangolin yang hampir punah karena perdagangan satwa ilegal. Sudah banyak serial mengenai hewan yang ia tonton, namun kali ini Narendra bertahan menonton satu topik sama selama seminggu.

Tak ada suara lain selain dari narator yang terus berbicara menggunakan bahasa Inggris, kamar itu gelap dan tenang, sangat pas sesuai dengan selera Narendra. Diusianya yang masih muda, ia sudah selangkah lebih maju dari teman sebayanya. Sejak kecil, Narendra sudah mendapatkan banyak tekanan dari orang tua, membuat ia tumbuh dengan mengesampingkan pendapat, atau perasaanya sendiri. Yang ia lakukan hanya menuruti alur dari orang tuanya, entah itu sesuai keinginan Narendra atau pun tidak.

Jika dilihat sekilas mungkin banyak orang yang merasa iri pada seorang Narendra Albani, bagaimana tidak? dia masih muda, tampan, cerdas, punya pekerjaan yang bagus dan juga berasal dari keluarga berada. Namun jika bisa melihat kehidupan dari sisi Narendra, apakah masih ada orang yang iri dengannya? Apakah masih ada anak yang rela kehidupannya diatur sedemikian rupa? Lebih dari materi dan pencapaian, rasanya kebahagiaan lebih penting untuk manusia.

Disaat anak seusianya bermain, menikmati masa muda, menangis atau bahagia karena cinta, yang ia lakukan hanya memahami materi pelajaran, agar mencapai target orang tuanya. Dirinya seolah hanya sebuah piala yang bisa disombongkan pada rekan bisnis Papa, atau sekedar pada teman arisan Mamanya. Ketika acara keluarga pun, mereka akan merasa menjadi orang tua paling berhasil, karena bisa membuat anaknya hidup dengan sempurna. Narendra bukannya tidak bisa melawan, ia hanya belum punya keinginan kuat, sehingga membiarkan hidupnya dikendalikan.

Deringan ponsel miliknya memecah ketenangan. Narendra mengerutkan dahi bingung, kiranya siapa yang menelfon pada jam segini? Ia bangkit dari ranjang, kemudian mengambil ponsel dan mendapati nomor yang tak dikenal muncul pada layarnya. Ia diam sejenak untuk berpikir apakah harus mengangkat panggilan itu atau tidak. Entah kenapa Narendra memang kurang nyaman dengan panggilan dari nomor tak dikenal, rasanya sama ketika ada orang yang mengetuk rumah, saat orang tuanya sedang pergi, bukankah lebih baik sembunyi dan berpura-pura tak ada orang?

"Halo selamat malam." Ia akhirnya memberanikan diri menjawab, terdengar sebuah suara di seberang sana menyapa dengan sopan.

"Selamat malam, dengan siapa?" tanya Narendra memastikan

"Jenaka Pak, Jenaka Semesta."

Tanpa sadar Narendra tersenyum mendengar nama yang baru saja terucap. Ia seolah merasa sedikit lega karena orang yang menghubunginya adalah mahasiswa bimbingan. "Oh Jenaka, ada apa?" Ia duduk di pinggiran ranjang.

BIMBINGAN | EDISI REVISIWhere stories live. Discover now