Obrolan mereka terus berlanjut. Frank dengan senang hati menjelaskan semua hal tentang Chanel. Mulai dari biografi sang penemu label fashion tersebut, hingga produk-produk apa saja yang telah mereka ciptakan sejak berdirinya label perusahan tersebut. Semua penjelasan tersebut langsung terekam dengan cepat di dalam otak Lalice.

Setelah menghabiskan waktu selama satu jam berkeliling butik tersebut. Tibalah saatnya giliran yang paling dinanti-nanti oleh Lalice sejak kemarin. Tanpa menunda lagi, Frank segera membawa Lalice masuk ke dalam workshop tempat diciptakannya produk Chanel.

Workshop yang diperlihatkan oleh Frank merupakan workshop khusus pakaian. Sedangkan untuk tas, parfum, dan perhiasan berada di workshop yang terpisah. Meskipun hanya dikhususkan untuk satu produk, tetapi workshop tersebut sangat luas. Kurang lebih seluas lapangan basket.

Begitu melihat workshop tersebut, Lalice kembali kedalam mode terpesonanya. Kedua matanya nampak berbinar-binar memperhatikan beberapa designer yang terlihat fokus bekerja. Sangat teliti, bahkan memperhatikan detail terkecil.

Dapat dipastikan jika Lalice akan menghabiskan waktu selama berjam-jam, atau mungkin seharian disana. Jennie teringat tingkah Lisa ketika dia membelikan sebuah buku gambar kepada adik bungsunya itu. Lisa seharian menghabiskan waktunya di kamar, asyik menggambar dan mewarnai pada buku tersebut.

Sibuk dengan dunianya sendiri. Tidak menghiraukan orang-orang disekitarnya, padahal saat itu Rosé terus menganggu Lisa agar adik kembarnya itu memperhatikannya. Tapi usahanya tidak membuahkan hasil.

Kedua sudut bibir Jennie tertarik ke atas saat mengingatnya. Hanya bertahan sebentar. Senyuman itu kembali luntur saat mengingat seperti apa hubungan mereka sekarang. Ditambah lagi sosok Lisa yang tidak mengingat dirinya lagi.

"Jennie-ya." Panggil manager Jennie yang baru saja melangkah masuk ke dalam workshop tersebut. Berjalan menghampiri Jennie.

"Kau harus bersiap-siap untuk datang ke acara Paris Fashion Week nanti."

Jennie melirik jam tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Secepat itukah? Rasanya baru satu menit Jennie menemani Lalice disini.

"Arasseo." Jennie mengangguk, lalu menoleh ke arah lalice.

"Lis... Lalice-ssi, aku pergi dulu. Jangan tinggalkan gedung ini sebelum aku kembali untuk menjemputmu. Arasseo?"

"Ne!" Model itu terpaku saat melihat Lalice yang tersenyum lebar kepadanya. Akhirnya senyuman yang paling dia damba-dambakan sejak sepuluh tahun yang lalu kembali muncul.

Jennie menggigit bibir bawahnya menahan perasaan senang. Saat ini dia berusaha menahan dirinya agar tidak melompat memeluk Lalice dengan erat.

Kaki Jennie segera melangkah keluar dari workshop tersebut, tidak lupa berpamitan dengan Frank dan designer lainnya. Sesampainya diluar gadis berpipi mandu tersebut...

"Aaaaaaaaaa!!" Jennie berteriak senang sambil memutar-mutar tubuhnya.

"Ya! Kim Jennie, michyeosseo?!"

***

Tidak mengapa jika para awak media serta tamu undangan yang menghadiri acara Paris Fashion Week tersebut mencap dirinya sebagai orang yang tak tahu sopan santun. Jennie tidak memperdulikan hal tersebut, dia hanya tidak ingin membuat Lisa-nya menunggu.

Satu menit setelah acara tersebut berakhir Jennie sudah bergegas meninggalkan gedung mewah tempat dilaksanakannya acara itu. Diikuti oleh manager dan para bodyguard yang hanya bisa pasrah mengikuti model tersebut.

Memory (DISCONTINUED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang