"Kau sering ke Paris?" Lalice mengulang pertanyaannya menjadi lebih jelas.

"Hmm, ne. Paris merupakan salah satu kota favoritku... Dan juga adik paling bungsuku."

Ada perubahan pada raut wajah Jennie. Walaupun beberapa hari ini model tersebut hanya memperlihatkan raut wajah sombong dan angkuhnya, tetapi Lalice langsung bisa mengetahuinya. Raut kesedihan tergambar jelas pada wajah mungil itu.

"Dulu," Suara Jennie terdengar begetar. "Adik bungsuku itu ingin sekali pergi ke sini bersamaku. Lalu aku menawarkan untuk pergi bersama-sama suatu hari nanti, setelah kami beranjak dewasa. Tetapi... Takdir berkata lain."

Seperti tahu apa maksud dari kalimat terakhir Jennie, Lalice memilih untuk tidak berkomentar. Pasti terjadi hal yang buruk.

"Dia menghilang bersamaan dengan terjadinya kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku, sepuluh tahun yang lalu... Sehingga aku tidak bisa menepati janjiku kepadanya."

Kedua mata bundar Lalice melebar, tubuhnya mendadak membeku. Sepuluh tahun yang lalu? Bukankah pada tahun itu dia bertemu dengan Hye Kyo?

"Ah... Jeosonghamnida, aku telah menceritakan sesuatu yang tidak penting bagimu." Jennie menyeka sudut matanya yang berair.

"Seperti yang aku bilang kemarin. Kegiatanmu akan dimulai pada pukul satu siang nanti, masih banyak tersisa waktu luang, kau bisa menggunakannya untuk istirahat atau hal yang lain. Setelah jam satu nanti temui aku di lobby hotel."

Setelah mengatakan hal tersebut, Jennie melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar hotel. Tidak memperhatikan Lalice yang mematung ditempatnya berdiri.

***

31 Rue Cambon, Paris

Pada alamat tersebut berdiri sebuah toko sekaligus butik dari merek fashion terkenal di seluruh dunia. Perusahaan yang bergerak pada bidang pakaian, tas, parfum, dan perhiasan tersebut didirikan pada awal tahun 1900-an. Nama label perusahaan itu diambil dari nama sang pendiri, yaitu Gabrielle Bonhuer Chanel. Atau yang sering dikenal dengan Coco Chanel.

Bangunan putih berdesain antik serta mewah tersebut menyimpan berbagai rancangan produk fashion yang tidak ada duanya. Mulai dari pakaian hingga tas, semuanya nampak menawan dan berkelas. Benar-benar surganya dunia fashion.

Sejak memasuki bangunan tersebut, Lalice tidak henti-hentinya memperhatikan sekeliling. Tidak ada satu pun komentar yang keluar dari mulutnya karena dari wajah gadis berponi itu telah terlihat dengan jelas.

Jennie melirik ke arah Lalice. Gadis bermata kucing itu tersenyum melihat Lalice yang begitu antusias. Menurutnya wajah Lalice terlihat menggemaskan ketika bereaksi seperti itu.

"Bonjour, madame Jennie." Sapa seorang pria yang memiliki wajah khas orang Eropa.

"Bonjour, Mr. Frank." Balas Jennie tersenyum ramah kepada pria yang berstatus sebagai salah satu designer yang bekerja di Chanel.

"Let me guess, are you madame Lalice Song?" Ujar Frank saat mendapati kehadiran Lalice yang datang bersama Jennie.

Lalice langsung tersadar dari keterpesonaannya ketika suara Frank masuk ke dalam indera pendengarannya. Dia menoleh menatap pria tersebut, tersenyum sopan. "Yes, I am."

"Wow... You're younger than I thought. It's an honor to meet you, madame Lalice." Frank mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan yang langsung disambut oleh Lalice.

"Your design amazes all the designers here." Sambung Frank menatap Lalice dengan penuh kekaguman.

"Thank you so much, Mr. Frank."

Memory (DISCONTINUED)Where stories live. Discover now