Masih Memendam

6 3 0
                                    

Oleh : Airamalikue

HAPPY READING

  ▭⎼▭⎼▭⬚۪۪❁۫۫᭢₍☁⁾۪۪❁۫۫᭢⬚▭⎼▭⎼▭

"Itu ada teman Bunda yang mau buka Coffee cuma dia belum punya karyawan. Coffee-nya juga baru dibangun, mungkin akhir-akhir tahun dibuka," ajak Bunda dari adik mamaku saat aku baru saja menamatkan S3 ku. Alias SD, SMP, dan SMA.

"Dimana Bun?" tanyaku yang belum terlalu memikirkan pekerjaan. Padahal sebelum keluar aku menghebohkan orang rumah untuk mencarikanku pekerjaan.

"Ala Bu'de, kak Nyak tu, dia buka usaha, cuma ini lagi cari orang untuk buat roti aja dulu."

Akhirnya setelah berdebat panjang kali lebar aku mau. Sorenya aku pergi ke rumah kak Nyak yang dimaksud Bunda ku.

Sampai disana aku melihat kak Nyak sedang sholat di pondok yang terdapat di pojok taman. Rumahnya besar. Ah, aku ingat. Empat tahun yang lalu aku datangi tapi sepi. Tidak terlalu jauh dari sekarang.

Setelah kak Nyak sholat kami berbincang-bincang sedikit.

"Yaudah, besok Ira udah bisa datang. Sendiri aja," kata Nyak Na kepadaku.

Besoknya aku datang pagi, aku hanya mendapati Nyak Na saja tidak ada siapa pun.

Beberapa hari aku bekerja di situ, aku menjumpai banyak orang. Seperti, menantu Nyak Na, anaknya, cucunya, hahaha sebenarnya itu tidak perlu.

Namun, aku menemukan satu orang, anak Nyak Na yang membuat jantungku tidak berhenti berdetak saat berada di dekatnya, atau bahkan saat melihatnya dari jauh.

Namanya Aldyan Rafian atau biasa disapa Rafi. Anak kuliah jurusan Manajemen Bisnis Ekonomi dan merupakan salah satu anggota organisasi di universitasnya.

Untuk pertama kalinya dia bicara panjang padaku, saat itu rumah sepi. Semua pergi,  dan yang terakhir keluar dari rumah adalah dirinya, Rafi.

Dia berjalan ke arah pondok tempat biasa aku membuat roti. Aku berpikir dia akan mengambil sesuatu di jemuran, karna sebelah podok jemuran. Namun dalam hati ku ....

Dia ke arah akuuu huaaaaaaaaa!!

Dan benar dia berhenti di depanku.

"Ira, rumah kosong, kalau ada orang yang nanya ibu atau bapak bilang gak tau kemana, ya," katanya dengan tatapan datarnya, dengan sedikit brewok di wajahnya.

"Iya, Bang," jawabku tanpa melihatnya.

Apa kalian tahu jantungku seperti apa? Marathon!! Gak jelas detaknya lagi. Udah, bukan sekali dia bikin jantung aku berdetak cepat  tapi berulang-ulang kali sampai Coffee buka.

Di Coffee aku memiliki teman karyawan lainnya. Sahabatku Delina Anggreini, yang sering kupanggil Dell.

Dalam diam, dalam radius jauh, aku akan terus memendam rasa ini tanpa kau sadari.

Rasa itu semakin lama semakin tumbuh, hingga aku sedikit merasa ia semakin tergerak mencoba membuka hati padaku.

Namun, naas, semua tidak berjalan mulus seperti apa yang dipikirkanku. Ingat tidak MULUS!

Aku mengingat kata-katanya.

"Untuk saat ini abang butuh kamu, Ra, bukan ingin," katanya saat bang Rafi mendengar bahwa aku akan mengajukan resign.

Dan aku terus menancapkan kata-kata itu di kepalaku.

Hanya BUTUH, bukan INGIN!

Dan saat selesai, tangisku runtuh. Pertahanan yang selama ini kujaga runtuh. Aku menangis sejadi-jadinya atas kebodohan yang kulakukan selama empat bulan kupendam semuanya.

Bang Rafi, aku sering memanggilnya bang Pi. Entahlah kedengaran begitu manis.

>>>>>>>>>>

Dia, anak ketiga dari 3 bersaudara. Anak yang cuek diawal kalau sudah kenal, beuh jangan tanya gimana dirinya. Humble, friendly banget, dan tepat waktu.

Karna sifat humble dan  friendly-nya itu membuat seseorang menjadi salah menanggapinya. Ya itu aku, Kiruga Iraina, gadis semampai, dengan kepribadian ganda yang tidak banyak orang tau.

Kadang aku sering memberikan kode yang bahkan itu terlalu keras untuknya. Namun, aku selalu mengesampimgkan perasaanku itu dan dia juga menganggapku sebagai adiknya.

Kini, aku harus mengubur dalam-dalam perasaan itu.

Karna aku sudah tidak berada di sampingnya lagi.

"Bang," panggilku saat keadaan Coffee sepi.

"Ya?" tanya Bang Rafi yang masih bergelut dengan laptopnya.

"Ira mau bicara," kataku duduk di depannya.

Dia masih diam menunggu ku. Karna bg Rafi tau, aku cukup didiamkan bakal bicara sendiri.

"Sebenarnya, Ira suka sama Abang." Tidak ada wajah terkejut yang ditampilkan bang Rafi. Nyaliku langsung menciut karna ketahuan mencuri-curi hati bang Rafi yang nyatanya tidak tergapai.

"Terus?" tanya bg Rafi tanpa melihat ke arahku.

"E-eh, anu, Bang." Entah kenapa aku tiba-tiba merasa gugup.

"Udah gitu aja. Ira suka sama Abang, dari pertama ketemu. Dari rumah yang Abang lihat Ira lama, terus manggil nama Ira, makan roti yang Ira bikin, senyum ke arah Ira, bercanda sama Ira, walau sebenarnya Ira tau abang cuma nganggap Ira sebagai adik gak lebih. Ira tau kenyataan pahit itu ... tapi Ira gak masalah kalau abang tetap anggap Ira adik dan bahkan seterusnya, karena itu sudah lebih dari cukup agar Ira bisa terus bersama Abang sebagai adik-abang bukan aku kamu ...." Tak terbendung air mataku jatuh.

Bahkan rasanya aku tidak ingin berada di bumi lagi.

"Ira tau, Ira bodoh karna nunggu abang yang jelas-jelas ga merhatiin Ira! Ira tau abang sebenarnya tau perasaan Ira tapi abang pura-pura gak tau supaya Ira ga nahan lebih sakit lagi kalau Abang nolak Ira! Ira tauuu!" Kuambil napas dalam-dalam, dadaku terasa sesak.

"Makanya Ira bilang sekarang, supaya dada Ira terasa lebih ringan setelah kehilangan Abang. Ira udah siap nanggung konsekuensinya. Ira ga banyak mengharap, mengaharap abang balas perasaan Ira. Tapi Ira cuma mau kasih tahu, kalau setelah kepergiannya baru menyadari betapa beruntungnya saat dia masih di sisi kita, itu aja." Aku menghapus jejak air mataku.

Bg Rafi terdiam menatapku. Seperti di ingin berkata, r u serious?

Bang Rafi mencoba mencari kebohongan di mataku namun tidak menemukannya. Karena aku mengatakan yang sejujurnya. Aku tidak mau memendam lebih lama lagi perasaan ini, sudah cukup aku menahannya 7 bulan. Bukan waktu yang singkat untuk melupakan orang yang sudah lama kukenal baik itu.

"Ra ...."

Lamunanku buyar.

"Kamu kok nangis, sih?" tanya Dell melihatku horor.

Aku bernafas melalui hidung, dan hidungku meler. Aku memgang pipiku, dan basah!

"Kamu kenapa? Ngayal yang jorok-jorok, ya?!" Tuduh Dell menodongku dengan jari telunjuknya.

"Gak! Gila kamu, ya?! Kalau jorok gak mungkin aku nangis bego!" sarkas Ira.

"Eh iya juga." Dell menggaruk tenguknya yang tidak gatal. "jadi kenapa kamu kok nangis?"tanya Dell penasaran.

Aku terdiam, kulihat berkas di tanganku.

SURAT RESIGN KIRUGA IRAINA.

Aku menghela napas panjang. Mungkin inilah akhir dari cerita kisah cintaku yang hanya akan ku pendam sendirian tanpa harus ada yang megetahuinya. Hanya keluarga ku yang mengetahui perasaan itu sampai saat ini.

Sampai sekarang aku masih berharap semoga dia dipertemukan dengan wanita yang lebih baik lagi. Aku terus berharap agar dia beroura-pura tidak mengetahui perasaanku ini.

Pertahankan apa yang sudah ada, jangan sampai kau menoleh saat kau sudah kehilangannya!

END

NOTESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang