Tulisan ini adalah peserta event nulis bareng yang diselenggarakan oleh Batik Publisher dalam rangka memperingati hari valentine dengan tema Cinta Lama Bersemi Kembali.
Selamat menikmati.
❄❄❄❄❄❄❄
PROLOG
Hari ini, kusempatkan waktuku untuk datang ke acara reuni sekolah menengah pertamaku yang berada beda provinsi dari tempatku menempuh pendidikan sarjana. Meskipun kutahu disana aku hanya akan terduduk diam tanpa ada seorang pun yang mengenaliku. Tapi, bukan masalah bagiku asalkan aku bisa bertemu dengan seseorang yang selama ini selalu ada di benakku. Menghiasi hari-hari beratku dengan kenangan-kenangan indah tentangnya.
Aplikasi whatsapp-ku baru saja menerima chat dari Danang, sahabatku sejak duduk di bangku menengah pertama. Rumahnya yang tak jauh dari sekolah, dulu sering aku jadikan markas ketika harus ishoma sebelum melangsungkan kelas tambahan.
[Kutunggu di depan rumah. Masih ingat 'kan?]
Lalu kubalas.
[Langsung ketemu di depan pintu gerbang aja. Atau di cafe dekat tempat penitipan motor]
[Oke]
Kuterima chat balasan darinya.
Aku pun berdiri menepi disamping pintu bis kota warna biru muda yang kutumpangi sejak turun dari stasiun kereta api. Laju bis mulai melambat sebagai kode bahwa penumpang dapat segera turun. Aku pun turun tepat di depan pintu gerbang sekolahku. Suasana disana masih lengang, hanya ada beberapa guru dan murid, yang sepertinya anggota OSIS sedang mempersiapkan ini dan itu. Aku pun melenggang ke sebuah cafe mini berkonsep semi tradisional dimana aku dan Danang akan bertemu.
Seorang pria berjaket hijau lambang salah satu organisasi keagamaan melambaikan tangan ke arahku dari balik kaca transparan yang menutupi bagian depan cafe itu. Kutahu itu Danang. Kuhampiri pria yang tingginya hampir sama denganku itu. Kuteliti dengan cermat pria yang kini duduk dihadapanku.
"Sejak kapan dia bertransformasi dari seorang underground menjadi anak santri?" Pikirku dalam hati mencoba mengingat-ingat apa saja yang mungkin saja terjadi padanya.
Lalu kulihat bayangan pria berkemeja kotak-kotak dengan kacamata bulat tebal berbingkai emas dan berambut belah tengah klemis yang terpantul dari kaca hitam cafe itu yang berada tepat sejajar denganku saat ini.
Dan ...
Diriku masih seperti tujuh tahun yang lalu.
Sekelompok remaja memasuki cafe tempat kami duduk sedari tadi. Mereka memesan beberapa cup ice cappuchino with cream untuk diantar di meja sudut paling belakang. Suara canda'an mereka memenuhi seluruh ruangan. Tak ayal, mereka adalah teman dekat yang dipertemukan kembali dalam acara reuni tahun ini. Tak lama kemudian, seorang gadis muda mendorong pelan gagang pintu cafe. Salah satu temannya menyapa dari sudut cafe. Gadis itu pun membalas dengan lambaian tangan yang tak kalah tingginya. Aku menatapnya lekat-lekat. Wajah yang sangat familiar bagiku hingga meskipun beberapa tahun tak bertemu, aku masih mampu menggambar siluet-siluet wajahnya dengan jelas di benakku.
Gadis itu menyapaku lewat senyum simpulnya, lalu ia berlalu ke arah sekelompok remaja yang sudah menunggunya sedari tadi. Kuseruput kopi hitam no sugar milikku yang terasa manisnya mengalahkan rasa cappuchino with cream miliknya.
"Ndra ... Ndra ... Indra!" Panggilan Danang membuyarkan lamunanku.
"Udah ah, jangan senyum-senyum sendiri melulu. Sekarang udah saatnya kamu ngungkapin perasaan kamu. Emangnya gak nyesek ya memendam perasaan sampai bertahun-tahun? Gak jadi penyakit aja syukur," bisik Danang sembari menyandarkan tubuhnya setelah sedikit meminum orange jusnya.
Kukirim chat singkat pada gadis itu.
{Bisakah kita bicara sebentar?}
Gadis itu menoleh ke arahku penuh tanda tanya. Lalu tak lama kemudian kuterima chat balasan darinya.
{Nanti aja, Mas. Dirumah.}
{Tidak bisa. Setelah ini aku langsung balik ke Yogja.}
{Mas chat aja, pasti aku balas kok. Aku gak enak sama teman-teman.}
{Gak bisa lewat chat, Ra. Aku perlu ngomong langsung sama kamu.}
Gadis itu menatapku putus asa. Kali ini ia tak bisa menolak permintaanku.
{Oke, oke. Nanti setelah teman-temanku keluar ya?}
Aku mengangguk ke arahnya yang sedang melirik ke arahku diam-diam sebagai tanda persetujuan.
Danang meninggalkanku sendiri di cafe itu sejenak setelah teman-teman Rara juga pergi meninggalkannya. Dengan sedikit gugup kuhampiri Rara yang sedang bercermin merapikan anak-anak rambut nakal di keningnya.
Sengaja kupilih tempat duduk tepat di hadapannya agar bisa mengamati dengan jelas ekspresi wajah manisnya. Rara kini memasukkan cermin kecilnya ke dalam tas lalu melipat kedua tangannya di atas meja bersiap mendengarkan hal penting yang akan aku sampaikan.
"Ra ... ada yang mau aku tanyain nih ke kamu," kataku penuh hati-hati. Keringat dingin terasa mengalir di dahiku. Kusembunyikan kedua tanganku yang mulai gemetaran di bawah meja. Tatapan matanya menambah kencang irama jantungku.
"Apa ... kamu ... su ... su ...," lidahku tetiba terasa ngilu. Tak bisakah dia membaca isi pikiranku?
"Maaass ...?" Rara mencoba mendorongku untuk terus berkata-kata dengan suaranya yang lembut.
"Sudah punya cowok?" Akhirnya kukatakan juga padanya.
"Hahahahaha ...," Rara tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya hampir saja mengagetkanku.
"Aku, Mas?" Tanya Rara menegaskan pertanyaanku.
"Ya."
"Oh ... Udah punya, dong. Cowokku putih bersih, ganteng dah pokoknya, Mas," jawab Rara sambil mengacungkan jempol kanannya dengan bangga.
"Siapa?" Tanyaku ingin tahu.
Rara menahan jawabannya beberapa detik selayaknya acara kuis di televisi yang membuatku sedikit mendekatkan wajah padanya.
"KUCIIINNGG ........!" Jawab Rara bak euforia diikuti dengan gelak tawanya yang khas makin membuat hatiku hancur berserakan.
Tak bisakah dia sebentar saja menganggapku serius?
Apa memang seperti ini gadis seusianya?
Ataukah menurutnya, karena kita sudah berteman dekat sejak kecil tidak mungkin bagiku tumbuh rasa sayang padanya?
Dengan cepat aku menyambar segelas ice cappuchino with cream di hadapannya, kuminum dengan cepat namun rasanya masih terasa hambar.
YOU ARE READING
Dong Ji In The Heart
General Fiction"Setelah berulang kali hatimu hancur, mungkinkah akan tumbuh kembali?"
