Aku ingat dengan wajahnya yang polos. Tiga tahun yang lalu, saat pertama kali masuk SMP, saat MOS, aku telah ia selamatkan. Saat itu kakak panitia ingin menghukumku, tapi Liang menyelamatkanku. Dia tahu kalau kakak panitia banyak menaruh perhatian padanya. Oleh karena itu, dimanfaatkanya kesempatan itu untuk membalas kakak panitia. Dengan wajahnya yang imut.

Setelah MOS berakhir, aku melihat papan pengumuman yang memajang pembagian kelas, dan ternyata kami sekelas. Saat itu aku sangat bahagia mengetahui ternyata aku dan Liang menjadi teman sekelas. Seperti bayanganku, kami akhirnya menjadi teman yang sangat akrab. Kami menjadi sahabat, bahkan dia sering ke rumahku dan memanggil mamaku ‘mama’ sebagaimana dia memanggil ibunya sendiri.

“Li, apakah kita bisa terus bersahabat seperti ini?” Tanyaku pada suatu sore, saat kami duduk bersantai di ayunan bawah pohon mangga.

“Mungkin iya, mungkin juga tidak.” Katanya santai dengan menggapai-gapai buah mangga yang paling rendah.

“Kenapa tidak Li?” Tanyaku.

“Dapat.” Kata Liang saat mendapatkan mangga itu.

“Li, jawab aku donk, kenapa tidak?” Tanyaku sekali lagi.

Liang duduk di bangku ayunannya untuk bisa menatapku lebih lurus.

“Karena orang bisa berubah.” Katanya dengan misterius.

Aku yang tak mengerti apa arti perkataan itu sedikit sedih, aku tak mau kehilangan orang yang aku sayangi. Benar-benar tak ingin kehilangan.

“Sudahlah Bi, jangan dipikirkan. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu, meskipun aku sudah tak menjadi sahabatmu.” Katanya kemudian.

Satu tahun telah berlalu, dan kami melalui satu tahun itu dengan tertawa bersama. Menghadapi semua kesulitan bersama. Bersama Liang tak ada kata sulit untuk menghadapi segala sesuatu. Semuanya terasa mudah dan menyenangkan. Liang benar-benar mewarnai hari-hariku dengan berbagai macam gurauan dan segala sesuatu yang benar-benar bisa membuatku hidup. Kini saatnya kami naik ke kelas dua. Aku dan Liang berbeda kelas. Aku tak rela sama sekali, aku sempat protes langsung kepada kepala sekolah untuk memindahkanku di kelas yang sama dengan Liang. Tapi semua usahaku sia-sia, aku tak bisa satu kelas dengan Liang lagi. Aku sedih, tapi Liang segera membuatku kembali ceria.

Aku menyukai sifatnya yang seperti itu. Yang sangat mepedulikan temannya. Meskipun kami sudah tidak sekelas lagi, tapi Liang masih sering ke rumahku. Mengerjakan PR bersama, atau hanya sekedar ngobrol. Bila dilihat dari jarak, rumah kami lumayan jauh, sekitar 1km. Tapi aku lihat, Liang dengan semangat mengayuh sepedanya. Karena saat itu Liang masih belum di perbolehkan mengedarai motor.

Pada suatu sore, ada satu hal yang dikatakan Liang, yang membuatku sangat kaget sekaligus tak percaya dengan apa yang aku dengar.

“Aku tadi siang ditembak Nurita, aku yakin kau pasti tahu orangnya.” Katanya santai.

Aku hanya terdiam tanpa berkata apapun, aku hanya berpikir apakah aku akan ditinggalkan Liang jika dia mempunyai seorang pacar. Siapa yang tak tahu Nurita, cewek tercantik di sekolah. Kabarnya, banyak cowok yang nembak dia, dan semuanya dia tolak, karena dia mempunyai seseorang yang spesial.

“Menurutmu, apa yang seharusnya aku lakukan?” Tanya Liang lagi, sebelum aku sempat mengomentari pernyataannya yang pertama.

“Kalau kamu memang merasa cocok dengannya, nggak ada salahnyakan mencoba menerimanya.” Jawabku kikuk.

“Tapi, sebenarnya ada seseorang yang sangat aku sukai.” Kata Liang lagi.

“Sekarang ini?” Tanyaku sambil membetulkan posisi dudukku.

Lemon MintWhere stories live. Discover now