20 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Pagar besi hitam menjulang sekitar 6 meter. Halaman yang sangat luas dikelilingi oleh pohon cemara yang rata-rata tingginya 10 meter.

Tiara, Nana, Satria, dan Arkan tidak henti-hentinya berkata 'woah'. Mereka sangat terpukau dengan rumah— ralat mansion tersebut.

Ornamen rumah yang mewah, serta terdapat air mancur yang ditengahnya ada patung yang menjulang sekitar 5 meter.

Terdapat banyak maid yang berbaris di depan mansion tersebut.

Mereka menghentikan mobil tepat di depan mansion. Keluar satu persatu, saat mereka keluar para maid menunduk 45°.

“Selamat datang, Tuan Bran.” Budi menyambut keluarga mereka sembari tersenyum.

Keluarga kecil itu menunduk kecil, lalu tersenyum, “Terimakasih atas undangan makan malam kalian, kami merasa sangat terhormat.” ucap Arkan.

Budi tertawa kecil, “Oh perkenalkan, ini istri saya.” ucapnya merangkul pundak Ratna.

Ratna tersenyum, “Senang bertemu dengan kalian”

Arkan mengangguk, “Ini istri saya, dan ini anak-anak saya”

“Sudah besar-besar ya” Budi tertawa lagi.

Arkan ikut tertawa, “Ngomong-ngomong, anak laki-laki kalian dimana?” tanyanya.

Budi melirik Ratna, Ratna yang sadar akan lirikan suaminya lalu menjawab, “Dia sedang tidak enak badan, jadi tadi sore dia tertidur di kamarnya”

Arkan ber-oh ria.

“Ayo, kita masuk, udaranya dingin di luar” Budi mempersilahkan Keluarga Bran untuk masuk menuju ruang makan untuk melangsungkan makan bersama.

Sekali lagi Keluarga Bran tidak berhenti menatap setiap inci bagian mansion tersebut. Sungguh mewah dan pasti sangat mahal.

Mereka duduk di meja makan. Di atas meja tersebut sudah tersaji steak daging sapi premium.

“Saya sedikit bingung akan menyajikan apa, jadi mungkin kalian kurang puas atas makanan yang tersaji” ucap Budi.

“Tidak masalah, Tuan Budi. Ini sudah sangat mewah, sepertinya lezat.” jawab Arkan.

Nana menyenggol bahu Satria, “Mantap bisa makan daging.” bisiknya.

Satria menatap tajam adiknya itu.

“Ayo silahkan dinikmati, hidangan lainnya menunggu” ajak Budi, mereka lalu menikmati suguhan yang ada di depan mereka.

Saat semua sedang fokus memakan makanan mereka, Budi melontarkan sebuah pertanyaan yang cukup mengejutkan.

“Bagaimana kalau anak kalian menikah dengan anak saya?” Budi mengatakannya dengan ringan, sementara Arkan tersedak daging.

Arkan lalu tertawa kecil, “Anak saya bahkan belum lulus SMA, Tuan.”

“Hahaha, saya bercanda.” Budi melirik sambil tersenyum.

Mereka lalu menikmati kembali makanan mereka.

Tak lama, sebuah bunyi lift terdengar. Sontak semua mata terarah pada pintu lift. Lift terbuka, menampakan seorang pemuda yang sangat fokus melihat pada arah ipadnya. Ia bahkan tidak tau kalau di tempat itu sedang melangsungkan sebuah perjamuan makan malam.

Nana dan Satria melotot. Mereka tidak salah lihat kan? Ardan, dengan celana kolor hitam, kaos putih, dan diwajahnya bertengger sebuah kacamata. Sangat sederhana dan terlihat bukan seperti anak konglomerat.

Ardan berjalan santai, ia masih tidak menyadari kalau dirumahnya sedang ada tamu.

Ardan mematikan tabletnya. Ia terkejut setengah mati saat ia ditatap oleh semua orang di sana. Ditambah lagi, Nana menatapnya sambil tertawa tertahan.

Ardan terpaku, “Mampus.” lirihnya, ia lalu berlari menuju lift kembali.

Dengan terburu-buru ia menekan tombol lift, karena lift tidak kunjung terbuka, ia berlari menuju tangga, dan naik ke kamarnya. Ia menutup pintu dan menguncinya.

“Ehem” Budi mencairkan suasana.

“Maaf atas pemandangan tidak mengenakan tadi, ayo lanjutkan makan kalian” ajaknya tersenyum canggung. Di dalam hatinya ia berjanji akan memukul Ardan saat ia bertemu dengannya nanti. Memalukan.

“Dia tadi anak anda?” tanya Satria, membuat Budi menatap ke arahnya.

Budi mengangguk, “Saya lupa tidak memberitahunya kalau ada perjamuan malam ini, maaf atas ketidaknyamanan nya” Budi sedikit menunduk.

Satria dan Nana berbisik.

“Lu tau kalo Om Ardan se-kaya ini?”

“Kaga lah anjir, ya gue tau sih kalo dia emang kaya, tapi kalo tentang orang tuanya gue kaga tau anjir”

“Tajir banget bang”

“Iya iri gua”

“Yeh, minggat aja sono, trus jadi anaknya Pak Budi”

“Lah ngekon

“Ehem” teguran Tiara membuat mereka berdua diam.

10 menit berlalu, mereka sekarang sudah duduk di ruang tamu, menceritakan bermacam-macam hal.

Budi dan Arkan berbicara soal bisnis, Ratna dan Tiara membicarakan tentang anak mereka, sedangkan Satria dan Nana sibuk memakan camilan.

“Wah, apakah saya diperbolehkan ikut perjamuan ini?” Ardan berjalan dengan santai mirip seperti tadi. Bedanya sekarang ia memakai setelan yang lebih rapi.

“Perjamuan selesai, kamu terlambat, Ardan.” dingin Ayahnya.

Ardan tersenyum melihat Nana, mata mereka bertemu.

“Perkenalkan, saya Ardan.” ucapnya tersenyum lalu menyalami tangan Arkan dan Tiara.

Arkan dan Tiara tersenyum.

Mereka lalu melanjutkan perbincangan mereka. Ardan bergabung dengan Satria dan Nana.

“Pak, plot twist banget pak, kayak di film-film gitu” canda Satria.

“Om, kok om ga bilang sih kalo om tuh tajir banget banget bangettt” tambah Nana.

Ardan tersenyum tipis, “Gue sebenernya malu banget tadi, turun dari kamar pake celana pendek sama kaos doang” ucapnya.

“Oh ya, kalo di luar kantor, jangan panggil saya pak, panggil nama aja” tambahnya.

Mereka lalu bercanda gurau, membuat bahan candaan seperti 'Ardan si anak kolor' karena ia tadi turun dengan celana kolor saja. Ardan tidak marah, justru ia ikut tertawa.

Tingtingting!

Semua mata terarah ke sosok Budi. Ia baru saja mengetuk gelas. Budi berdiri, mengedarkan pandangannya.

“Bagaimana kalau kita jodohkan saja Ardan dan Renatta?”






























tap star to next part

©taabinaa

MY PERFECT CEOWhere stories live. Discover now