Sakti sendiri seperti orang yang berbeda hari ini. Senyumnya melengkung sempurna, sampai-sampai Wendi berulang kali khawatir pipinya akan pegal. Wendi tadinya meminta Juna untuk duduk di depan bersama Sakti tapi ternyata orangnya memilih duduk di belakang karena semalam habis begadang.

Mereka tak perlu bertanya Juna begadang untuk apa, jadi Wendi langsung otomatis mendudukkan diri di bangku depan. Jadilah sepanjang perjalanan hanya ada suara Sakti yang bersenandung diiringi suara Juna yang kadang-kadang mengigau nama istrinya.

"Aku senang deh," ucap Sakti tiba-tiba. Tangannya yang bebas perlahan menggenggam tangan Wendi dan mengaitkan jari jemarinya disana.

"Senang kenapa? Karena akhirnya kita jalan agak jauh atau senang karena kita mau kulineran?"

"Hmmmm senang karena itu ..." ujar Sakti sambil menunjuk jari manis di tangan kiri gadis itu. Wendi hanya tersenyum sambil memperlihatkan jari manis itu padanya.

"This means a lot to me too," sahutnya sambil perlahan mengusap wajah Sakti dengan hangat.

Sakti terlihat berpikir sejenak, lalu menatap Wendi sambil tetap fokus menatap jalanan, "Wen, aku tahu aku bukan pria yang baik. Maaf karena aku nggak pernah mention soal pernikahan sama kamu, tapi aku juga bersyukur ... karena kamu juga nggak pernah menuntut aku,"

Wendi hanya terdiam sambil mengaitkan kembali jari jemarinya ke tangan pria itu. Sakti masih menatap fokus ke jalan raya sambil sesekali tetap tersenyum.

"Tapi kali ini, aku bakal benar-benar memikirkan lebih jauh. Aku ingin serius milikin kamu. Kamu ... keberatan nggak menunggu?"

Setelah tiga tahun, ini pertama kalinya Sakti mau membicarakan lagi hal seperti ini. Wendi bisa melihat kalau topik ini selalu berat dibahas untuknya. Entah ada angin apa yang melewati pikirannya saat ini tapi Wendi sungguh menghargai apa yang ia lakukan sekarang. Wendi hanya mengangguk perlahan sambil menatap lurus padanya.

"Aku nggak apa-apa kok ... Kalau kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang belum terjadi, kita malah jadi khawatir, malah miskomunikasi, malah jadi berpikir yang aneh-aneh. Yang penting selama aku dan kamu bahagia, itu sudah lebih dari cukup kan?"

"Lagian ... sejak ayah meninggalkanku, aku rasa aku belum siap buat jalan di altar tanpa ayah ..."

Sakti menatapnya menyesal, "Yaah, kamu jadi ingat lagi ya?"

Wendi menggeleng perlahan, "Rasa nggak siap ini juga datang dari aku kok. Jadi pelan-pelan aja ya. Sambil aku juga siap-siap jalan di altar sama si Wisnu doang. Haduh, nggak kebayang deh anak itu nanti gimana,"

Sakti tergelak sebentar, "Aku sayang kamu banget,"

"Aku mau bilang lebih sayang kamu tapi nanti kamu bales terus kita ga berhenti-berhenti sayang-sayangan,"

"Waduh, kita harusnya ke rest area dulu kali ya?" ujar Sakti tiba-tiba sambil tersenyum manja, membuat Wendi mengerutkan dahi lagi.

"Hmmmm? Kamu pingin ke toilet?"

"Enggak, pingin cium kamu,"

"Ih kirain apaan," ujar Wendi heboh sambil tersenyum malu dan memeluk lengannya begitu erat.

Sakti hanya tergelak sambil terus mengatakan kalau rasanya ia ingin berhenti darurat saja di bahu jalan.

Wendi diam-diam hanya bisa tersenyum lega. Rasanya ia tidak perlu khawatir lagi dengan apa yang terjadi nanti jika bertemu teman-teman yang agak toksik. Dalam hatinya ia juga berharap si masa lalu itu tidak datang dan mengacaukan harinya. Ia sudah rela melepas semua hal tentang masa lalunya karena masa sekarang -dan mungkin yang akan menjadi masa depannya- sudah begitu membahagiakan.

Into The Light (Seungwoo X Wendy) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now