Bab 15 Return in Time

12 1 0
                                    


Surabaya, 19 September 2017

Gempa semakin menghebat, disertai goncangan dan tiupan angin yang semakin keras. Suara deru pesawat perlahan memudar, sebelum akhirnya menghilang. Orion perlahan membuka mata dan terhenyak. Di sekelilingnya, bukan lagi puing-puing reruntuhan. Tapi jalanan yang sepi dengan rumah-rumah dan apartemen modern. Mata Orion melebar.

"Alora," Orion melepaskan pelukannya. "Hiru," Orion mengguncang pundak Hiru. Pemuda itu menelungkup, berusaha melindungi kepalanya dari gempa. Hiru mengangkat kepalanya. Selama sedetik mereka bertiga tercengang. Lampu hias dan neon-neon yang menyinari plang nama toko, jalan, restoran memanjakan retina mereka.

"Kita kembali," bisik Alora haru.

"Di mana pedangku?" tanya Hiru. Dia melihat ke sana kemari, mondar-mandir kebingungan.

"Hiru. Hiru! Kita harus membawa Alora ke rumah sakit!"

"Biar aku carikan taksi," Hiru segera bangkit dan menyetop taksi.

Taksi melaju. Orion memandangi kelap-kelip kota dan keramaian lalu lintas sementara Alora bersandar padanya. Hiru juga terdiam. Suara radio taksi menyelubunginya, menariknya paksa kembali ke masa ini tapi yang Orion dengar dan lihat masih deru pertempuran, pesawat Inggris, jeritan perang, dan banjir darah di jalan-jalan. Bagaimana dengan Seno, Haruna, Dokter Mahendra, Bunda? Keluarganya di masa lalu? Perasaannya kini tak bisa dilukiskan, sedih tapi juga lega. Dia tercenung saat taksi meluncur melewati Plaza Tunjungan. Lampu dan papan-papan iklan tampak semarak, orang-orang lalu lalang, berceloteh riang. Tapi hatinya sendu, mengingat Plaza Tunjungan dulunya adalah Rumah Sakit Simpang. Teman-temannya dikuburkan massal di tempat itu. Kini hanya sebuah tugu peringatan kecil untuk mengenang mereka. Mereka mati tanpa upacara, karangan bunga bahkan papan nama. Dadanya terasa sesak.

Rizal... Faisal... Adji... Syah.. Roni.. Kasim.. Abdi.. Sofyan.. Dia menyebut satu per satu nama regunya dalam hati. Aku bangga bertempur bersama kalian.

"Apakah pedang itu benar-benar hilang?" suara Alora menarik kembali dirinya yang larut.

Hiru hanya menyahut pendek, "Entahlah."

"Kalau pedangmu hilang, aku akan mengembalikan uangnya."

Hiru menoleh ke belakang sebentar, "Jangan Alora. Tidak masalah jika pedang itu hilang ditelan waktu. Aku telah mendapatkan pelajaran berharga lewat perjalanan kita dan yang terpenting aku telah menemukan jawaban soal Minami," kata Hiru, suaranya ditelan kembali oleh kesunyian.

***

Malam telah larut ketika Orion membuka pintu kamar tempat Alora dirawat. Alora tampak lelap dan damai dalam tidurnya tanpa mimpi buruk yang membuatnya terbangun atau menjerit ketakutan lagi. Orion menutup tirai jendela kemudian terdengar suara pintu terbuka mendadak. Orion menoleh dan tertegun. "Mama?"

Ibu Orion menghambur masuk dan memeluknya. "Orion, syukurlah kamu tidak apa-apa," tangisnya meledak. "Mama pikir telah kehilanganmu," ibunya menatap wajah Orion yang masih terperangah. Orion tak dapat mengingat kapan terakhir kali ibunya memeluknya sehangat ini. Ayah tirinya tersenyum di pintu, tapi kemudian dia berbalik meninggalkan mereka.

Ibunya menarik Orion duduk di sofa, "Apa yang terjadi, Rion? Kamu baik-baik saja, Sayang? Apa yang dilakukan penjahat itu pada kalian?" tanyanya kalut. Dia menyentuh bekas memar di wajah Orion dan air mata mengalir lagi di pipinya.

Orion memberikannya secangkir teh di meja, "Aku dan Alora baik-baik saja Ma, minum dulu."

Ibunya tersenyum. Wanita itu sudah mengusap sisa air matanya dan meneguk tehnya.

"Mama kaget waktu mendapat telepon dari orang tua Alora yang bilang Alora hilang. Kata Lisa, kamu menemani Alora ke Surabaya menjual pedang warisan neneknya. Mama langsung memesan tiket, kami takut terjadi apa-apa pada kalian. Kami melapor polisi, tapi polisi tidak menemukan kalian di hotel. Kemudian polisi menemukan koper Alora di tengah hutan dengan selongsong peluru dan darah. Mama pikir..." Ibunya tercekat, perempuan itu hanya menatapi cangkirnya, bergetar dan tak sanggup melihat mata Orion. Baru kali ini Orion menyadari bahwa dia sangat merindukan ibunya.

"Maafkan aku sudah membuat Mama kuatir," kata Orion pelan.

Ibunya mengusap rambut Orion seperti tak bertemu dengannya selama bertahun-tahun. "Mama tak tahu harus bagaimana kalau sampai kehilanganmu. Bagaimana dengan Alora? Orang tuanya khawatir sekali. Ayah Alora baru keluar dari rumah sakit malam ini, dan memaksa langsung terbang ke sini. Tapi Mama meyakinkan akan memberi kabar dan menjaga Alora baik-baik."

"Dia sudah lebih baik," jawab Orion. Alora bergerak gelisah, Orion bangkit dan menyelimutinya hingga dia tenang kembali.

"Kamu persis papamu," kata Ibunya tersenyum.

Orion tertegun, ini pertama kalinya Ibunya menyebut papanya setelah sepuluh tahun.

"Pertama kali Mama bertemu papamu, dia menyelamatkan Mama dari kebakaran."

Orion terkejut, "Mama tak pernah menceritakannya."

Ibunya mengusap lengan Orion, kemudian tertawa kecil, seolah mengingat kejadian lucu di masa lalu. "Papamu kan wartawan, tapi seringkali bukannya meliput kejadian, dia malah menolong para korban. Kamu sangat mirip dengannya. Mama tahu itu. Sejak kecil, kamu selalu menolong teman-temanmu, melindungi mereka, bahkan tak segan-segan berkelahi demi mereka. Mama sering mendengarnya dari guru-gurumu."

"Dari mana Mama tahu? Mama kan tidak di sini?"

"Nenekmu yang selalu menceritakannya. Setiap kali pengambilan raport, Mama akan menerima cerita-cerita tentangmu yang aneh-aneh."

Wajah Orion memerah, dia malu sekali kalau semua kebandelan dan tingkah konyolnya sampai juga pada Ibunya. Kemudian, wajah ibunya kembali mendung, Orion meraih tangan Ibunya. Wanita itu berkata pedih di antara isakannya, "Maafkan Mama, Rion, tak pernah bicara padamu selama ini. Bukannya Mama tidak peduli padamu. Mama menyayangimu lebih dari apa pun. Hanya saja, ketika melihatmu, Mama seperti melihat papamu, dan itu seringkali membuat Mama begitu menderita. Mengetahui papamu tak dapat melihatmu tumbuh dan menjadi tangguh seperti dirinya."

Orion memeluk Ibunya. "Aku juga menyayangi Mama. Aku berjanji tak akan membuat Mama khawatir lagi."

*****

City of HeroesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang