Bab 11 Seribu Bangau Kertas

11 1 0
                                    


Surabaya 31 Oktober, 2015

Pagi telah menjelang ketika Orion melajukan jipnya kembali ke rumah. Dia hampir tak dapat memejamkan mata sepanjang malam dan begitu jatuh tertidur di jipnya, dia kembali bermimpi aneh. Dia memimpikan kuil yang sepi dipenuhi ribuan origami bangau kertas berwarna-warni. Seorang gadis berpakaian kimono muncul lagi di mimpinya mengumandangkan puisi kutukan musim sakura. Orion terbangun di kegelapan pagi dan dia tidak bisa tidur lagi.

Dia tertegun ketika melihat beberapa mobil di halaman rumah termasuk mobil Dokter Mahendra.

Alora berlari ke arahnya dan memeluknya, "Jangan pernah lakukan ini lagi, Rion. Kau pergi begitu saja dan menghilang. Semua orang mengkhawatirkanmu. Aku takut sekali terjadi apa-apa padamu," mata Alora berkilat marah.

Setelah semua rasa sakitnya dengan kematian Galih, pelukan Alora terasa bagaikan obat untuknya.

"Maaf telah membuatmu takut," katanya lemah.

Alora menghela napas, "Dokter Mahendra membawaku ke sini dan dia bilang ingin bicara kepada kita berdua."

Perasaan Orion tak enak, terakhir kali Dokter Mahendra bicara serius padanya adalah menginterogasinya. Namun akhirnya dia masuk dengan enggan. Semua orang sudah berkumpul menantinya di ruang tamu. Hatinya mencelus ketika melihat kursi yang biasa diduduki Galih kosong. Alora duduk di sampingnya dan mengusap lengannya. Dokter Mahendra dan Pak Samir sedang meminum kopinya, sementara ekspresi Vivian tampak hampa. Mata birunya bengkak dan telah kehilangan binarnya. Dia terlihat tidak tidur akibat menangis terus semalaman. War seperti biasa berdiri menyandar di tembok dan melipat tangan, mengamati semua orang dengan tatapan tajamnya. Tarmo membersihkan senapannya dengan tatapan sedih. Seno terdiam di sudut kursinya. Dia tenggelam dalam kepedihannya sendiri. Entah mengapa hati Orion segera tahu apa yang mereka inginkan.

Kebenaran.

Dokter Mahendra meletakkan cangkir kopinya di tatakan keramik. "Saya tak bisa membayangkan kesedihan kita semua atas kematian Galih. Tapi kita tidak boleh hancur karenanya. Galih tidak menginginkan itu," dia mengamati satu persatu wajah-wajah di sekelilingnya yang diam atau menatapnya pahit.

"Tak ada yang lebih penting sekarang selain kebenaran," katanya seraya menatap Orion. "Saat Saya, Seno dan War tiba, saya sempat mendengar pembicaraan kalian dengan van Der Vries yang berujung kematian Galih. Dan maafkan saya Orion, tapi ada banyak keganjilan tentang asal usulmu," dia berhenti berbicara. Orion merasakan tatapan semua orang tertuju kepadanya sekarang. Dia tahu sejak dia melangkahkan kaki masuk bersama Alora ke tempat ini, dia tak dapat menyembunyikan rahasia ini lebih lama lagi.

"Kamu muncul tiba-tiba, lalu berurusan atau lebih tepatnya mengenal Shoji Nomura dan van Der Vries. Seminggu kemudian, Vivian menemukan Lisa dan membawanya pulang ke rumah kami dalam keadaan luka parah. Saya tahu Lisa menutupi banyak hal dari kami. Tapi saya bersedia menunggu sampai Lisa mau menceritakannya dengan sukarela. Dan yang paling mengagetkan ternyata kalian berdua saling mengenal. Kalian berdua jelas bukan orang biasa. Setelah semua yang terjadi apakah kami tidak berhak mengetahui kebenaran?"

Dokter Mahendra memalingkan wajahnya kepada Alora. "Lisa, kami menerimamu di rumah kami dan sudah menganggapmu bagian dari keluarga. Haruna bahkan menganggapmu seperti seorang saudara. Mengapa kamu masih tidak mempercayai kami?"

Alora melesak mendengar kata-kata Dokter Mahendra. Dia menatap Orion sesaat. Orion tersenyum pahit.

"Namaku Alora, bukan Lisa."

City of HeroesOnde as histórias ganham vida. Descobre agora