Bab 11 Seribu Bangau Kertas

Start from the beginning
                                    

Seno terperanjat. Dia sekarang menegapkan tubuhnya menatap Orion mencari penjelasan tapi Orion tak memberikannya apa-apa.

"Maaf karena telah membohongi keluarga Anda, Dokter. Tapi van Der Vries memburuku. Aku takut dia akan mencelakai kalian sekeluarga, kalian sangat baik kepadaku. Terlalu baik..." mata Alora berkaca-kaca, dengan tersendat dia melanjutkan, "Aku terpaksa mengarang nama palsu."

"Saya sudah menduga kalau perampok yang menangkapmu bukanlah penjahat biasa. Mengapa kalian berurusan dengan van Der Vries?"

"Semua itu berawal dari sebuah pedang samurai yang diwariskan nenekku," Alora menangis. Gadis itu tak mampu melanjutkan ceritanya karena cengkeraman rasa pahit, rindu rumah, dan teror yang menyergapnya seketika.

Orion akhirnya membuka suara, "Cerita kami sangat tidak masuk akal, Dokter. Kalian semua mungkin tak akan mempercayainya."

"Biar kami yang memutuskannya, Orion," kata-kata Dokter Mahendra disambut dengan anggukan dan tatapan penasaran semua orang.

Orion akhirnya menarik napas, dia mengambil tablet dari ranselnya dan mengaktifnya, sebuah suara elektronik yang khas dan layar yang menyala langsung mendapatkan perhatian.

"Kami datang dari masa depan, tepatnya tahun 2017, 72 tahun dari sekarang."

Mereka semua saling bertukar pandangan kaget. Bingung bagaimana harus merespon kata-kata Orion. Orion bergeser ke tengah dan memperlihatkan tabletnya kepada semua orang. Mereka terperangah melihat foto-foto dan video yang diberikan Orion, tenggelam dalam keterkejutan yang luar biasa.

Orion menceritakan semuanya. Sejak dia menemani Alora ke Surabaya untuk menjual pedang, lalu terpisah darinya, dan bertemu Seno dan Galih pada malam itu. Dia juga menceritakan bahwa Galih sudah tahu soal mereka datang dari masa depan. Galih memintanya untuk merahasiakannya.

Setelah selesai mengisahkannya, ruangan itu seolah membeku dan menjadi batu. Kesunyian menjalar dengan cara tak menyenangkan bagi Orion dan Alora. Tarmo menatap Orion dengan ekspresi terguncang. War terus menilai wajah Orion, dia lebih tenang dari yang lain. Seno mencengkeram lengan kursi dan menatap Orion tajam, lalu akhirnya menggeser kursinya dan pergi dengan berang. Orion terluka melihat reaksinya. Dokter Mahendra sudah belajar menyentuh tablet itu dan menggeser-geser foto-foto dengan bola mata yang terpesona. Pak Samir membeku di kursinya. Sementara ekspresi Vivian tetap kosong. Dia sempat menatap Alora lama tapi tampaknya berita itu tetap tidak cukup mengalihkan perhatiannya dari hatinya yang habis terkoyak.

"Ini sangat sulit dipercaya," Dokter Mahendra akhirnya memecahkan kesunyian itu. "Tapi melihat—"

Kalimatnya terpotong oleh masuknya Seno yang membawa sebuah kotak panjang berisi pedang samurai. Mata Orion dan Alora membelalak.

"Tidak mungkin," Orion terperanjat.

Seno membanting kotak itu ke depan kaki Orion. Dia melemparkan pandangan muak padanya, "Ini kan yang kalian cari-cari?!" katanya tajam "Pedang ini membuatku kehilangan segalanya, apa kalian tahu?!"

"Bagaimana pedang ini bisa ada padamu selama ini, Seno?"

"Hanya itu yang kau pedulikan rupanya," dia mendesis.

Orion balik menatap Seno sedih.

"Baik, kalau kalian mau tahu. Aku melihat ayahku mengubur pedang ini pada malam sebelum dia ditangkap kempeitai."

"Mengapa kau tidak pernah bilang soal ini?" Orion terguncang.

"Heran pertanyaan itu keluar dari mulutmu yang senang berbohong dan menyimpan rahasia. Apa pertanyaan itu tidak membuat bibirmu melepuh?" Seno meledak. Wajahnya membara. Dia bukan hanya marah, tapi pahit.

City of HeroesWhere stories live. Discover now