Jakarta-Undercover-3

2.1K 2 0
                                    

JAKARTA UNDERCOVER #3
Forbidden City
Moammar Emka Untuk Viki, a survivor.
Where're you now? iv
Thank You
FINALLY, buku Jakarta Undercover #3 {Forbidden
City) ini kelar juga. Butuh waktu sekitar enam
bulan untuk menyelesaikan draft yang sebagian
masih mengendap di kepala dan sebagian lagi
masih berbentuk potongan cerita di dalam laptop.
Sengaja buku ini terbit seminggu sebelum
film Jakarta Undercover produksi Rexinema (Velvet
Film) dirilis ke pasar. Ya, biar kompak dan satu
irama saja, itu alasan utamanya.
Untuk itu saya mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya, pertama, untuk my
creator. Allah subhanahu wata'ala, sumber segala
kehidupan.
Kedua, untuk abah H. Markun dan Hj.
Musri'ah serta kakak + adik di Tuban (Muflihah,
Mashfufah, Nafisah, & Mutammimah) yang tak
pernah habis mengalirkan doa restunya.
v Ketiga, untuk "Mas" Antonius Riyanto,
"Kang" Hikmat Kurnia, "Aa" Clay Siahaan, "Aa"
Ipong Samuel, Neneng Sugandhi, Budi Akhyar,
Angel, Morin, dan semua pasukan di AgroMedia
Group yang selama ini selalu jadi "teman" meng-
gembirakan. "Maju terus, pantang mundur. Kita
bisa!"
Untuk "Mas" Erwin Arnada (Executive
Producer) dan Lance (Director) serta para aktris +
aktor: Luna Maya, Lukman Sardi, Fachry Albar, dan
all crew, yang telah bersusah payah menyelesaikan
penggarapan film Jakarta Undercover, saya cuma
bisa berkata: Salute!
The unforgettable "Neng" Ussy: "Titip bahagia
di setiap jejakmu".
Sahabat-sahabat tercinta: Aip Leurima,
Chris Luhulima + Dina, Cornelia Agatha + Sonny
Lalwani + the Twin, Rizal Mantovani, Abdee
"Slank" Negara, dan "Aa" Clay Siahaan + Poppy
+ Jeimys Bebiclay, dan Kiki Susilo. "Luv u, nggak
ada matinye...."
Kakak-kakak saya: Desmond J Mahesa, Budi
Santoso, "Mbakyu" Noni + "Mas" Budi, Om Silo,
dan "Cak" Henry Soeryadi. "Doain saya cepet
dapat jodoh, dong...biar bisa momong si kecil."
"Tante" April, Dewi Kemal, Novia Ardhana,
dan Herawary Helmi: " Thanks ya, Say... untuk
pertemanan q-ta selama ini. Hari-hari jadi indah
dan penuh ketawa-ketiwi kalo ada dikau berempat,
yuuuk...."
Om Farhan dan "Mas" Arswendo Atmowiloto:
terima kasih untuk good-comment-nya.
Untuk Kathleen: "I miss u, full...!!!"
Tak ketinggalan: Windy Ariestanty yang setia
mengedit dan memelototi tiap kata dalam buku
ini hingga jadi enak untuk dibaca. "Jangan kapok
ya...!"
Anak-anak Menteng: Doddy Dosen, 'De'
Miko, Dedi Sirait, Satria + Dina Nirmala, Boy +
Shofa, Gugun Gondrong, David 234, Opa Luftan,
Mas Eko, Mas Budi BNI, Budi "Nying-nying",
Budi "Lacur", Indra, dan Ahmad, Rieza "Say",
Laura, Jo + Mami Like, Wisnu "Nyo", Ogee, Dessy
dan Lisa+Yenny+Gilbert: "Thanks banget brur &
sista untuk support dan jadwal nongkrong-nya."
Satu lagi, untuk Simon, "lurah" Coffee Club
Plaza Senayan, yang merelakan tempatnya saya
jadikan sebagai rumah kedua. "Thanks, Bro!"
vi  vii Sekadar catatan, beberapa tulisan dalam buku
ini pernah dimuat di majalah X-Magazine selama
rentang tahun 2006. Saya memang sempat menjadi
kontributor untuk majalah tersebut selama enam
bulan. Karenanya saya mengucapkan terima kasih
untuk "Mas" Hani Moniaga dan "Bang" Jim Barry
Aditya atas kerja sama dan dukungannya.
Note:
Selamat membaca! Dan jangan
lupa menonton film JAKARTA
UNDERCOVER yang akan beredar
Maret 2007 ini.
viii
Thank You v
Daftar Isi ix
Forbidden [or] Paradise City? xi
1. Seks Kinky Helikopter 1
2. The Flying Bra 37
3. Quicky Sex Party 57
4. The Lapdancer 71
5. Suite Salome 95
6. Harem-Harem Sauna Basah 117
7. Gadis Gadis Es Batu 133
8. Uzbek "V" 145
9. Sandwich Body Massage 161
10. Club BDSM 185
11. Waxing Bikini Area 199
12. Underwear Dinner 217
13. Baby Face 231
14. 12 Pussy girlss Party 249
15. Debus "V 263
Daftar Isi
ix 16. Bunny Girls / Seks Face Off 277
17. Sashimi Jail House 297
18. Sashimi Boy 313
19. Seks Locker Room 333
20. Seven Steps to Heaven 349
21. Epilog: Swing Couple. How Come? 319
Coming Soon 382
Forbidden [or]
Paradise City?
(* )
JAKARTA = Forbidden City atau Paradise City.
Predikat mana yang paling cocok dan pas? Bisa jadi
dua-duanya. Buat saya, sebutan forbidden city jadi
satu ukuran betapa segala jenis hiburan—termasuk
alkohol, drugs, dan seks di dalamnya—bisa diakses
dan dibeli kapan saja dan di mana saja. Padahal,
menurut aturannya, segala hiburan yang berbau
seks itu jelas "forbidden" di Jakarta (Well, tepatnya
di Timur). Nyatanya? Bagi sebagian orang, hiburan
yang notabene "forbidden" itu malah jadi "paradise"
yang menawarkan kesenangan tak terhingga.
Istilah Forbidden City atau Gugong Bowuguan
dalam bahasa Cina, yang menjadi sub-judul
buku ini, secara sejarah mungkin tidak banyak
berhubungan dengan salah satu peninggalan
Emperor Mid-Ming tahun 1422 yang sampai
xi sekarang masih kokoh berdiri di pusat Kota Beijing
itu.
Forbidden City hanyalah sebuah istilah saja.
Karena buat saya, maknanya beda-beda tipis dengan
kondisi Jakarta saat ini. Makanya, saya lebth suka
menggunakan judul Jakarta Undercover (Forbidden
City) up [to] date dan [re] visited. Ooo. . seperti apa
kira-kira gambarannya? Makin keren, gemerlap,
dan ehmmm...edan, Man! Barangkali, kalimat
itulah yang pas untuk untuk menggambarkan
kondisi dan situasi Jakarta menjelang akhir tahun
2006 ini. Gimana nggak keren, gemerlap, dan
edan, kalau ternyata dari hari ke hari, kawasan
"abu-abu" di Jakarta jumlahnya makin bertambah
dan menu-menu seks yang disajikan pun sangat
variatif + inovatif. Layaknya sebuah supermarket,
setiap mata yang datang disuguhi aneka menu
pilihan beragam. Tinggal pilih dan sesuaikan
dengan duit di kantong. Money talks, itu sudah
jadi rumus nomor satu di dunia pelesir seks. Ada
uang, segala kesenangan—dari yang softcore sampai
hardcore—bisa didapatkan.
Belum lagi aktivitas private party yang
belakangan ini juga muncul dengan segala kegilaan-
nya. Mulai dari swinger party, oral sex competition
sampai BDSM Club.
"Stop, stop dulu! Jangan ngomong teori
melulu. Gambaran edannya Jakarta itu seperti
apa detailnya" sergah Nadia, 28 tahun, salah satu
peserta arisan gaul yang sering ber-window shopping
di Plaza Senayan.
"Sorry. Jadi langsung ke pokok masalah nih?"
pancing saya.
"Ya iyalah. Hare gene, bosen dengerin teori
soal gaya hidup orang-orang perkotaan," sambung
Nadia.
"Okay. Done!"
Bener juga kata Nadia, daripada ngobrolin
teori, mendingan langsung ke reality show-nya..
Lagi pula, saya juga nggak jago-jago amat kalau
disuruh menjelaskan dari A sampai Z mengapa
banyak laki-laki berduit menghabiskan waktunya
di karaoke, nite club, kelab kebugaran, atau strip-
bar yang di dalamnya menyediakan aneka macam
jasa sex-entertainment. Saya hanya percaya, semua
orang punya alasan masing-masing. Ya nggak?
xii  xiii Supermarket Sex-tainment
MARI kita mulai dari Jakarta Utara dulu. Selama
ini, banyak orang beranggapan kalau Red District
yang paling
"Lho, kok dari sana? Bukannya di Jakarta Barat
yang paling banyak?" sergah Nadia, memotong
pembicaraan saya.
"Aduh, dengerin gue kelar ngomong dong.
Kalo nggak, ketik ABCD."
"Maksudnya?"
"Aduh, Bo' Cuapek deh!"
"Sorry, sorry. Terusin aja omongan lo. Gue
jadi pendengar yang baik," kata Nadia.
Ya, selama ini Red District yang paling terkenal
di Jakarta adalah wilayah Barat, terutama di
Kawasan Mangga Besar dan sekitarnya. Kenapa saya
mulai dari Jakarta Utara, itu lebih karena persoalan
up to date tempat dan menu-menu yang disajikan.
Artinya, di wilayah itu belakangan ini tengah ramai
jadi pembicaraan di kalangan para traveler malam,
entah yang berprofesi sebagai pejabat, pengusaha,
esmud sampai anak gaul sekalipun. Tahun lalu,
sempat terdengar nama satu tempat kebugaran
di Kelapa Gading berinisial MS yang heboh
dengan menu gadis Uzbek dan Cungkok-nya.
Belum lagi ditambah dengan desain dan besarnya
tempat tersebut. Pada rentang waktu yang hampir
bersamaan, di kawasan yang sama santer terdengar
soal nite-club berinisial BQ yang populer dengan
sajian sexy show di atas panggung. Dan, tak kalah
menariknya adalah tontonan striptease bule yang
bisa dinikmati di kamar khusus.
"Striptease bulenya dari mana? Cowoknya ada
nggak?" tanya Nadia.
"Striptease bulenya kebanyakan dari Rusia
dan Uzbekistan.Yang dari Amerika atau Australia
belum ada. "
"Ooo. . .kirain ada cowoknya. Lucu juga buat
bachelor party" kata Nadia sambil tersipu.
Berbeda dengan para stripper lokal yang
biasanya hanya menari-nari tak lebih dari setengah
jam dan selebihnya melakukan pendekatan personal
untuk urusan kencan lanjutan, para stripper bule
itu lebih banyak unjuk kebolehan dengan menari
seksi. Makin banyak tip yang ke luar, makin liar
mereka menari.
Lain MS dan BQ, lain lagi dengan AS. Sebuah
tempat yang berada di sekitar Kawasan Ancol
xiv  xv itu saat ini tengah jadi trendsetter. Tak ubahnya
supermarket, AS menyajikan konsep one stop sex-
tainment di setiap lantainya. Ada bar yang didesain
menyerupai kapal pesiar lengkap dengan suguhan
tarian seksi dan siluet striptease di belakang bar.
Mau mengolah vokal di ruang ruang karaoke
bersama para Lady Companion (LC) dan stripper
yang setiap saat bisa di-booking pun ada di sini.
Belum lagi puluhan private-room untuk menikmati
pelayanan khusus gadis-gadis Cungkok dengan
menu akrobat seks. Tak ketinggalan juga, ruangan
spa dan steam-bath yang disesaki gadis-gadis cantik
dari lokal dan mancanegara: Vietnam, Thailand,
China, Rusia dan Uzbekistan. Mereka semua siap
melayani para tamu.
"Akrobat seks kayak apa? Terus terang gue
nggak ngerti?" tanya Nadia.
Menu yang satu ini, terus terang, rada susah
untuk menggambarkannya. Terlalu hardcore dan
kalau diceritakan dengan detail takut dibilang
"porno". Bukan apa-apa, suguhan yang diberikan
memang tak tak lepas dari gerakan akrobat. Bahasa
sederhananya, pelayanan seks yang dipadukan
dengan unsur gerakan dalam akrobat. Di dalam
kamar, terdapat besi segiempat yang ditempatkan
persis di langit-langit kamar, lalu ada juga sebuah
selendang besar warna merah menyala yang
diikatkan pada besi. Dari situlah, akrobat seks
dipertontonkan. Dan tentu saja, melibatkan tamu
laki-laki sebagai kelinci percobaannya.
"Hah, memangnya diapain?" tanya Nadia,
penasaran.
"Hus! Bayangin aja, jangan nanya melulu!"
Kali ini saya tidak meladeni pertanyaan
Nadia. Aduh, ibu gaul yang satu ini memang
terkenal cerewet dan banyak tanya. Daripada
ngobrolin akrobat seks, mendingan ganti topik
pembicaraan.
"Udah ya. Kita pindah ke wilayah Jakarta
Pusat," sergah saya mengakhiri topik Red District
di Jakarta Utara. Kalau mau dirinci satu per satu,
pastinya membutuhkan ribuan lembar kertas.
Yang pasti, tempat-tempat seperti MS, BQ, dan
AS cukup sebagai sampel tentang gemerlapnya
reality show di tempat pelesir seks.
xvi  xvii note :
Di Jakarta Utara, mulai dari Ancol, Gunung Sahari,
Pluit sampai Kelapa Gading setidaknya terdapat
lebih dari lima puluh tempat yang menyajikan
menu seks. Sebagian besar menggunakan label
kebugaran seperti tempat pijat, spa, atau sauna.
Sebagian lagi menggunakan label karaoke, hotel,
dan rumah penampungan atau biasanya disebut
rumah cinta yang di dalamnya berisi para gadis
cantik (di beberapa tempat ada juga yang
menyediakan cowok cakep) yang setiap saat bisa
dipanggil untuk kencan instan. Pemesanan bisa
melalui booking call, bisa juga datang langsung
ke lokasi.
Brand Ralem, Service Serem
JAKARTA PUSAT. Pernah terbayang nggak kalau
suatu ketika Anda masuk ke sebuah lounge atau
bar dan tiba-tiba menemukan pemandangan yang
begitu wild, bertemu gadis cantik dan tanpa Anda
sadari, sudah hampir empat jam Anda larut dalam
pesta. Kalau belum, saya (lebih tepatnya: bersama
sejumlah teman) pernah mengalaminya.
"Teman apa teman.. .jangan-jangan lo sendiri
kali?" ledek Nadia.
"Lutuye...bawaannya curiga melulu. Gue
ama temen-temen. Kalo sendiri, gimana mau
party!' sergah saya membela.
"Bercanda lagi. Ya udah, terusin ceritanya,"
ceplos Nadia.
Begini ceritanya. Seperti biasa, setiap
Rabu, di sejumlah nite club punya acara spesial.
Daripada bengong di rumah, saya dan dua orang
teman, iseng-iseng spending time di kelab NZ,
Kawasan Thamrin. Mau dugem, soalnya sudah
terlalu sering. Sesekali, rasanya perlu mencari
suasana yang agak berbeda. Dan ternyata, baru saja
masuk ke lounge, saya bersama teman-teman sudah
disambut dengan hangat.
"Mau duduk di mana?"
Suara itu terdengar merdu di antara alunan
musik garage yang menyapu di setiap sudut ru-
angan. Di atas bar melingkar, enam orang penari
dengan baju seksi mempertontonkan gerakan-
gerakan indah. Tak ubahnya sang ratu, mereka
menebar pesona tanpa henti meski peluh sudah
membasahi tubuh. Astaga! Tiba-tiba dari arah
kerumunan tamu, dua orang gadis cantik naik
ke bar dan dengan cueknya menari-bari sambil
xviii  xix melemparkan bra-nya. Tak hanya sampai situ,
dalam hitungan menit, gerakan dua gadis itu
makin berani dan tak tanggung-tangung, mulai
membuat tamu gerah dengan aksi buka-tutup
pada bagian rok mininya.
Puluhan pasang mata tanpa lepas memerhati-
kan aksi mereka dari menit ke menit. Duduk di
kursi bat sambil meneguk segelas bir dingin atau
betsantai di sofa ditemani gadis-gadis cantik,
sepiring buah segar, sebotol red wine atau Jack
Daniels.
"Lho, kok buahnya nggak dimakan. Apa mau
aku suapin?"
Walah, selingkuhan bukan, pacar apalagi.
Tapi mengapa begitu mesra dan hangat melayani
tamu. Lagi-lagi, suara itu untuk kali kesekian
terdengar begitu merdu di telinga. Di atas sofa
hitam, di dalam Ceilo yang diterangi bohlam
lampu agak temaram, saya bersama dua orang
teman, menghabiskan malam dengan ditemani tiga
orang LC (Lady Companion). Mereka masih muda-
muda, cantik, smart, ramah, dan yang pasti, enak
diajak ngobrol. Yang tak kalah menarik, mereka
berdandan gaul banget; dari tanktop, gaun malam
dengan belahan V, baby-doll sampai sack-dress di
bawah lutut. Satu irisan buah pir yang disuapkan
ke mulut saya meninggalkan rasa manis di lidah.
"Mau nge-dance?" ajak Sasha, begitulah ia
mengenalkan namanya. Berusia tak lebih 21 ta-
hun dengan tinggi sekitar 167 cm dan berambut
hitam panjang. Malam itu, dengan gayanya yang
khas, Sasha bergoyang. Saya pun tak urung larut
dalam kegembiraan. Ikut berjoget ria sampai lagu
berakhir. Malam terus merambat. Tanpa terasa,
sudah pukul 12 lewat 10 menit. Suasana di bar
belum juga surut. Sekitar 80 tamu yang memenuhi
bar dan Ceilo, masih setia di tempatnya masing-
masing.
"Ke karaoke aja yuk. Nyanyi-nyanyi bentar.
Ntar ke sini lagi," usul Sasha. Semua setuju. Di
ruangan karaoke 703 dengan dinding serba
krem yang dilengkapi sofa, dua TV 29 inci dan
dua meja kaca, Sasha menunjukkan kepiawaian
dalam menyanyi. Lagu-lagunya Krisdayanti, Ratu,
Rossa, Jennifer Lopez, Mariah Carey dan Beyonce
dilahapnya dengan fasih.
Empat jam yang begitu hangat di NZ Club.
Bar yang mengasyikkan, karaoke yang nyaman,
xxi  xx LC yang cantik dan ramah, serta tamu-tamu yang
bersahabat.
"Besok jangan lupa ke sini lagi ya?" ucap
Sasha begitu saya berpamitan. Sebuah kecupan
di pipi kiri dan kanan membuat saya jagi pengen
balik ke NZ lagi. Mungkin besok malam atau
minggu depan.
"CUMA begitu doang? Terus, apa hebatnya?"
tanya Nadia.
Tentu saja bukan cuma tontonan tarian
seksi dan kehangatan LC yang bisa didapatkan di
NZ. Untuk layanan yang bersifat hardcore pun
juga tersedia. Striptease, tinggal pesan dan bisa
ditemukan di ruang karaoke. Transaksi seks instan
pun bisa diorder di tempat. Kuncinya?
"Hardcore-nyz seperti apa sih?" tanya Nadia,
lagi.
"Pesta seks rame-rame di dalam kamar yang
hanya ditutup kelambu tanpa lepas baju. Kalau
mau seks Sashimi Girl, juga tinggal pesan."
"Ah, yang bener?"
Pasti bener karena ternyata, untuk urusan
private party yang melibatkan segala macam unsur
sex-tainment, bisa didapatkan di tempat itu. Kalau
tidak berani on the spot, toh tinggal bilang BO sa-
ma mami atau papi yang bertugas malam itu.
"BO apaan? Gue nggak ngerti?" sergah
Nadia.
"Booking Out, bawa ke luar. Ke hotel kek,
apartemen kek. Ke rumah juga boleh."
Nadia hanya manggut-manggut. Saya hanya
geleng-geleng kepala.
note:
Kawasan abu-abu di Jakarta Pusat, sebagian
tampil dengan nuansa sopan dan ekslusif. Tapi
jangan salah duga, biar smooth tapi dalam hal
pelayanan seks, tidak kalah dibanding kawasan
lain. Misalnya :
1. di Kawasan Sudirman, ada juga karaoke KB yang
punya bangunan besar dan juga menyediakan
tarian striptease,
2. di tempat kebugaran TO, setiap tamu yang
memesan kamar VIP bisa mendapatkan
pelayanan mandi susu bareng massage girl
di dalam whirlpool (tentu saja dengan bonus
layanan seks yang disepakati),
xxii  xxiii 3. di tempat kebugaran DO hotel KN, ada
pelayanan seks duo. Artinya, kalau tamu laki-
laki menginginkan laki-laki bisa langsung order.
Atau laki-laki menginginkan perempuan, juga
tersedia. Mau dobel? Tentu saja sangat bisa
dinegosiasikan,
4. di tempat kebugaran hotel MM, di sebuah
kawasan yang di sekelilingnya terdapat sebuah
pasar grosir, tersedia kelab kebugaran yang
kini jadi gay-society. Tentu saja, selain bisa
mengorder pemijat laki-laki, tamu bisa "nge-
date" dengan sesama tamu atau anggota
kelab.
Pusat Jajanan Seks
WELCOME to Paradise City! Itu sebutan yang pas
untuk wilayah Jakarta Barat. Pusat jajajan seks ada
di sini. Tidak tanggung-tanggung, dari segala kelas
apa pun, tersedia. Bawah, menengah, dan.atas.
Dari tempat pijat, karaoke, sauna, spa, karaoke,
kelab, hotel bahkan sampai rumah penampungan
dan kost-kostan.
Tengok saja salah satu suasana di sebuah nite-
club, sebut saja TE, di Kawasan Hayam Wuruk.
Kelab yang pantas disebut sebagai one stop shopping.
Bukan sembarang belanja biasa, tetapi belanja
beberapa alternatif hiburan yang mengasyikkan
dan menegangkan. Boleh untuk sekadar senang-
senang tapi juga sah sebagai hobi keseharian.
Apalagi buat mereka yang sudah bosan dan stres
dengan aktivitas di kantor. Better, menikmati sajian
hiburan adalah pilihan yang mungkin paling pas.
Sekadar hiburan biasa, sampai yang berbau seks
sekali pun.
Mau joget? Tinggal ke dancefloor berbaur
dengan puluhan tamu pria dan wanita yang
begitu happy menggerakkan badan ke kiri dan ke
kanan. Mau melihat penari-penari seksi? Tinggal
memusatkan pandangan di atas panggung. Mau
duduk santai sambil menikmati live-band? Ada.
Mau berkaraoke? Tak perlu khawatir. Tinggal
pesan saja di meja resepsionis, dijamin pasti ada.
Kecuali weekend, sebaiknya sih booking tiga hingga
enam jam sebelumnya.
Jangan kaget juga kalau tiba-tiba ada paket
Free KTV. Kalau bukan karena sebuah SMS yang
masuk ke ponsel saya, mungkin saya masih berleha-
leha di sofa apartemen sambil melihat tayangan
xxiv
xxv fashion di TV. Beruntung ada SMS yang membuat
saja buru-buru ke luar dari pintu apartemen.
Feas t ur eye s w/ our bikin i clad
ladie s on Wednesday, Apri l 11 ,
2006 We present BLUE LAGOON
NITE. Beachwear MODELS, THAI
DANCERS 8 liv e band perform.
Book 2 companion-GET FREE
KTV!
Sebuah SMS yang cukup menggoda bukan?
Gimana nggak menggoda, sekali datang, bisa
mendapatkan aneka hiburan yang bervariasi.
Sayang kan kalau dilewatkan begitu saja. Habis,
bosen juga setiap malam gaul paling-paling
jadwalnya clubbing di diskotek, berbaur dengan
ratusan tamu di lantai disko, minum dan joget
sampai mandi keringat. Sekali waktu, butuh dong
suasana dan sensasi yang lain!
Makanya, sekitar pukul 21.00 WIB, saya
dan tiga orang teman sudah stand-by di lokasi.
Rabu gaul yang menyenangkan. Berada di kamar
208 ditemani empat lady companion (LC) yang
cantik-cantik. Nggak betah di ruangan, tinggal
buka pintu dan melihat aksi model dalam balutan
busana beach suit tengah melenggang di atas
panggung. Setengah jam kemudian penari-penari
dari Thailand dengan busana yang sama, beraksi
dengan indahnya. Capek berdiri, tinggal masuk
lagi ke ruangan karaoke. Duduk di sofa empuk,
mencicipi sepiring tahu goreng dan menenggak
segelas Martel Golden Blue. Belum lagi, ditambah
dengan keceriaan dan kehangatan yang diberikan
para LC.
"Mau dengerin saya nyanyi apa? Dangdut
oke, pop boleh, RnB juga tak masalah. Semua saya
bisa kok," kata Poppy, 20 tahun, gadis berambut
panjang asal Bandung yang baru sekitar lima bulan
bekerja di tempat itu.
Selesai? Tidak. Di kelab ini, juga ada layanan
full body contact dengan menu gadis lokal, China
bahkan Uzbek. Bosan dengan liukan para penari
dari Thailand di atas panggung, tinggal order
stripper yang bisa menari lebih sensual dan vulgar.
Sore hari, pada saat traffic jam di mana-mana,
di kelab ini menyediakan half naked dancer dari
pukul lima sore. Bisa ditonton di atas panggung
sambil menyeruput segelas bir. Open for public!
xxvii
xxvi From Turki with Sex
TAK puas dengan menu yang ada di kelab TE,
tinggal starter mobil dan dalam waktu lima sampai
sepuluh menit, sebuah tempat yang tak kalah
hangat dan menegangkan sudah ada di depan
mata. Namanya kelab MO. Lokasinya berada di
Jalan GM. Tempat yang terakhir saya sebutkan ini
punya variasi entertainment yang berbeda.
Kalau nggak salah, ini kunjungan saya yang
ketiga ke MO. Kali ini, saya sengaja datang
bersama Jojo, 28 tahun. MO bukan tempat baru
sebenarnya. Tapi sejak direnovasi, tempat itu seperti
reborn dengan menu seks yang lain dari biasanya.
Dilengkapi fasilitas resto, bar, spa, dan hotel,
MO menyediakan paket superspesial berupa menu
cewek-cewek Turki. Agak sedikit beda dengan
tempat-tempat lain yang selama ini memboyong
cewek-cewek dari Uzbek, Rusia, Thailand, dan
Cina.
Meskipun jumlah cewek lokalnya jauh lebih
banyak, tetapi kehadiran cewek asal Turki itu
membawa magnet tersendiri di MO. Untuk ukuran
Jakarta, menu seks dengan cewek Turki memang
tergolong baru dan ekslusif. Sama ekslusifnya
dengan cewek Spanyol, Manchuria, atau bahkan
Mongolia. Maklum, jumlahnya relatif sedikit.
Misalnya, MO. Tempat ini hanya memiliki dua
cewek Turki. Nah lho!
Kondisi serupa juga terjadi pada cewek-
cewek asal Spanyol atau Manchuria. Di sebuah
kelab kebugaran di Kawasan Pecenongan, sekitar
awal bulan Mei 2006, pernah menyediakan menu
cewek asli Spanyol meskipun cuma satu orang.
Hanya sayang, setelah tiga bulan bekerja, cewek
yang berganti nama Sarah itu, langsung banting
stir jadi model iklan dan freelance sebagai hi-call
girl.
"Yang gue tahu, Turki terkenal dengan kar-
petnya. Ternyata...." Nadia hanya manggut-mang-
gut.
Kualitas karpet Turki yang terkenal awet dan
tahan lama itu, ternyata juga menjadi ciri cewek
Turki. Paling tidak, itu yang direkomendasikan
Jojo, si laki-laki petualang yang "gatel" kalau ng-
gak "sauna+massage" seminggu minimal 2 kali.
Terbukti, magnet mereka mampu membuat MO
jadi perburuan puluhan laki-laki, dari yang ber-
status hidung belang, hobi pelesir sampai hidung
pesek juga ada.
xxviii  xxix Nadia tertawa malu-malu mendengar istilah
laki-laki hidung pesek. "What the maksud??!'" ta-
nyanya.
"Pesek beneran, gilaaa...!"
Nadia terkekeh.
note :
Siapa tak kenal Mabes atau Mangga Besar?
Kawasan yang berada di wilayah Jakarta Barat
ini memang dijejali aneka tempat yang menjual
jasa seks. Selain Mabes, kalau boleh jujur, rasa-
rasanya hampir di setiap sudut wilayah sekitar
Mabes, juga disesaki tempat hiburan berbau seks.
Hayam Wuruk, Gajah Mada, Pecenongan, Lokasari,
Krekot, Batu Ceper, Beos dan Jayakarta adalah
sederet kawasan yang menawarkan rileksasi,
kebugaran, dan hiburan di setiap ruas jalannya.
Tapi ingat, tidak semua berakhir pada transaksi
seks. Itu semua tergantung Anda.
NADIA mengisap rokok Capri-nya dalam-dalam.
Tumben, kali ini dia tidak banyak bertanya.
"Udah ah. Gue bosen dengerin cerita lo,"
ujarnya.
"Bosen atau penasaran?" pancing saya.
"Dua-duanya. Bosen karena tempatnya keba-
nyakan buat laki melulu. Yang buat cewek mana?"
Oooo
"O, ingin tahu juga. Gampang, ntar malem
lo gue tunjukkin tempatnya."
"Janji ya?" Nadia kembali mengisap rokok-
nya.
Saya baru saja beranjak dari kursi ketika
Nadia kembali melontarkan suaranya yang nya-
ring.
"Jangan pergi dulu. Lo belum ceritain Red
District di Jakarta Selatan," tukasnya.
Benar juga. Tanpa banyak basa-basi dan
agar menghemat waktu, saya mulai bercerita soal
kawasan abu-abu di Jakarta Selatan yang cenderung
sopan secara penampilan. Di kawasan Melawai,
Fatmawati, dan Wijaya misalnya, puluhan tempat
dengan label kebugaran rata-rata tidak secara
vulgar memberikan paket-paket tertentu. Biasanya,
urusan full body contact menjadi "diskusi pribadi"
di dalam kamar. Walaupun di beberapa tempat di
Kawasan Mayestik, ada juga yang dengan blak-
xxx
xxxi blakan menawarkan paket seks instan. Mulai dari
duo-sex-massage, mandi susu, sampai lulur triple-X.
Ya, getu deh.
"Thanks, ya," Nadia melenggang di antara
kursi-kursi kafe.
note :
1. Salah satu kawasan di wilayah Jakarta Selatan
yang disesaki tempat kebugaran (spa, sauna,
dan pijat) adalah Wijaya dan Fatmawati.
Nggak usah disebut satu per satu, pokoknya
banyak deh.
2. Kawasan lainnya adalah Arteri Pondok Indah,
Pondok Pinang, dan Mayestik.
3. Yang tak kalah heboh adalah Kawasan Melawai,
Bulungan dan sekitarnya. Ada burespang alias
bubaran restoran jepang, hotel yang dilengkapi
fasilitas sauna (minimal pijat) dan PSK on the
street. Ada juga karaoke dan kelab hi-class
yang menyediakan jasa LC (Lady Companion)
dengan harga di atas rata-rata.
Welcome to Forbidden City
SELEPAS kepergian Nadia, saya jadi mikir. Kalau
kondisi riil Jakarta sudah sedemikian sesak dengan
tempat hiburan yang menawarkan layanan menu
seks softcore maupun hardcore, kayaknya sebutan
Paradise City pas banget. Tapi, sekali lagi, predikat
sebagai Forbidden City bisa juga matching, katena
bisnis yang mengandung unsur "yang enak-enak"
dan berbasis pada "sex-service", aturan mainnya
memang nggak boleh kali (baca = kaleee).
Tapi nyatanya, wisata hiburan yang ada di
Jakarta, praktik riilnya serba salah kaprah. Diskotek
sebagai salah satu wisata clubbing, puluhan di
antaranya malah jadi ajang untuk bertriping
ria. Karaoke sebagai tempat rileks sambil makan
dan bernyanyi, malah disisipi menu-menu seks
yang luar biasa. Dari striptease, LC plus, no hand
service girls sampai Sashimi Girls. Tempat seperti
sauna, spa, dan pijat, sebagai wahana kebugaran,
ujung-ujungnya berakhir pada layanan seks juga.
Hotel sebagai tempat menginap dan beristirahat,
eee...banyak juga yang menyediakan jasa selimut
hidup untuk kencan sejam atau one nite stand.
Bar atau lounge yang sedianya enak untuk tempat
nongkrong pada saat after hours, kini dibumbui
half-naked dancer alias penari tangju (tanggal baju)
sebagai live entertainment-nya..
xxxiii
xxxii Ai...ai...rasanya nggak salah saya mengucap-
kan selamat datang di Kota Terlarang. Sekadar
warning, atau bisa juga dianggap sebagai
advice, di Forbidden City segala kejadian paling
menyenangkan bisa ditemui. Tapi, jangan salah,
kejadian yang bisa bikin nightmare pun sangat
mungkin tak terelakkan. Situasinya memang tidak
bisa ditebak. Bisa menyenangkan, andai kata acara
bobo bareng cewek Rusia di kamar suite, berjalan
aman dan tidak ada gangguan apa pun. Menjadi
mimpi buruk, andai kata acara wisata seks di
sebuah kolam sauna terkena razia aparat keamanan.
Sudab kentang alias kena tanggung, harus pula
ditanya kiri-kanan. Salah-salah, masuk koran lagi.
Amit amit! Namanya juga Forbidden City, so... titi
dj jangan bucek : ati-ati di jalan, jangan buru-buru
check-in.
Selamat membaca!
(*) Sebagian isi dalam artikel ini pernah dimuat
di majalah Area, November 2006 dengan judul
Jakarta's Red Light District.
(1)
Seks Kinky
Helikopter
PARADISE for men. What do you think?
Hmmm.. .
Agak bingung membayangkan isinya seperti
apa. Tapi kalau sekadar penggambaran sekilas,
barangkali sebutan paradise itu untuk menerangkan
betapa segala bentuk kesenangan ada, tersedia dan
bisa dinikmati setiap saat. Dan yang pasti, semua
serba indah dan begitu menggiurkan.
Menolak atau malah dengan senang hati
menerima, kalau tiba-tiba ada tawaran pelesir ke
paradise? Silakan pikir-pikir sendiri.
Tapi sekadar info dan asal tahu saja, "Paradise
itu surga kaliii," ceplos Nino, 28 tahun, ketika
kami nongkrong di Coffee Club, Plaza Senayan.
Yup! Sangat mungkin. Nah, tempat hiburan
xxxiv  1 untuk pelesir seks yang pantas disebut paradise itu,
di Jakarta jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Kalau hanya mencari tempat pelesir seks
di Jakarta yang buka dari siang sampai malam,
pasti bukan pekerjaan sulit. No wonder karena
jumlahnya puluhan dan tersebar di mana-mana.
Tapi mencari tempat pelesir yang pantas disebut
sebagai "paradise for men" berskala internasional,
tentu tidak mudah. Bukan apa-apa, untuk
kategori ini, di Jakarta jumlahnya jumlah hanya
ada beberapa. Apalagi kalau tempatnya dilengkapi
interior yang supermewah tak ubahnya tempat
hiburan di Las Vegas. Belum lagi, secara menu,
disediakan ragam layanan seks rekresional dengan
cewek-cewek impor berstatus model. Wuih.,.
kalau yang tipe begini, rasa-rasaya baru ada satu
tempat di Jakarta.
Sore itu, lagi enak-enak nonton TV ketika
seorang kawan mampir ke apartemen. Entah dari
mana idenya, tiba-tiba Nino dengan bersemangat
menyebut-nyebut nama sebuah tempat hiburan
berinisial AS di Kawasan Ancol yang baru beberapa
bulan ini beroperasi. Cowok berwajah keren
yang banyak menghabiskan waktunya dengan
2
"dagang mobil" itu, terlihat begitu bersemangat
menceritakan segala hal yang ada di kelab AS.
"Ceweknya, Man... keren-keren. Body dan
mukanya, nggak ada yang 'gagal'," sergah Nino,
ekspresif.
Dari mulut mulai terurai segala macam hal
yang ia temui di kelab AS. Bukan hanya Nino saja
yang ikut sibuk membicarakan keberadaan kelab
AS. Sejumlah profesioanal muda dan laki-laki yang
"doyan" pelesir ke sejumlah tempat hiburan juga
membicarakan hal kelab ini.
Buat saya, ini memang jadi fenomena menarik.
Mengapa setiap kali ada kelab baru selalu saja jadi
"tempat perburuan". Tidak usah jauh-jauh bicara
tempat hiburan yang notabene menyuguhkan
paket sex-entertainment, setiap kali ada kafe atau
diskotek yang baru beroperasi, cenderung diserbu
pada clubber-mania. Sekadar mencoba-coba, atau
malah menjadikannya sebagai ladang baru.
Gaya hidup latah, bisa jadi itu istilahnya.
Kecenderungan orang untuk tertarik dengan segala
sesuatu yang berbau "baru" dan "berbeda", apalagi
kalau itu menyangkut urusan entertainment.
Saya tidak terlalu heran kalau sosok seperti Nino,
3 yang memang tak asing dengan dunia malam itu,
begitu antusias dan bersemangat membicarakan
keistimewaan kelab AS. Setiap kalimat yang ter-
ucap, tak lepas dari pujian dan kekaguman.
"Serasa berada di Las Vegas, Bro," tukasnya.
Saya bukannya tidak tahu soal AS yang
belakangan memang lagi marak jadi bahan
pembicaraan di kalangan laki-laki petualang dunia
"pelesir biologis". Sebulan sebelum AS melakukan
soft opening, saya malah sempat diundang untuk
"tour" selama beberapa jam. Kebetulan, saya kenal
baik dengan salah satu owner-nya. Karena kenal
dengan owner, saya jadi dekat dengan beberapa
karyawan AS, terutama dengan general manager-
nya, Bob, 33 tahun.
Sekitar awal Maret 2006 lalu, Bob meng-
undang saya melihat-lihat desain AS. Satu kesem-
patan yang sayang kalau dilewatkan. Bukan apa-
apa, saya penasaran dengan konsep baru yang dita-
warkan oleh kelab AS, terutama dari segi interior
dan so pasti, menu entertainment yang ditawarkan.
Apakah benar-benar beda dengan sejumlah kelab
elit yang selama ini jadi trendsetter di Jakarta, atau
cuma menambal sulam saja, tak lebih.
4
Sesuai hari yang dijanjikan, saya bertemu
Bob di kelab AS, sekitar pukul tujuh malam.
Kebetulan, ini hari pertama kelab AS melakukan
uji coba, semacam trial opening. Tidak banyak
tamu yang datang, hanya ada beberapa puluh orang
yang tampaknya memang sengaja didatangkan
untuk memberikan kritik, saran, dan masukan. Di
antara puluhan tamu undangan, terlihat beberapa
wajah laki-laki yang sudah tak asing lagi bagi saya.
Maklum, selama ini mereka menjadi member-face
di sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta. Tak
ketinggalan, dua dari lima owner kelab AS juga
terlihat membaur bersama para undangan.
Malam itu, trial opening itu dipusatkan di
area nite-club, di lantai dua. Bob dengan ramah
menjelaskan segala macam fasilitas dan pelayanan
yang ada di kelas AS. Lounge, bar, resto, karaoke,
bath & sauna, dan lain-lain. Yang menarik, tentu
saja, bukan sederet fasilitas itu. Tapi, hmmm.. .
lebih pada sex-entertainment-nya. Desain nite-
club di kelab AS cukup membuat sebagian besar
tamu—dan saya, tentunya—terkagum-kagum.
Area dancefloor di-setting tak ubahnya kapal pesiar
dengan tiang-tiang besi di sekelilingnya.
5 Di area ini juga ada dua buah private room
untuk menikmati pertunjukan striptease. Tahu
sendirilah, namanya juga private, tontonan yang
disuguhkan pastinya berbau seks. Ya apalagi kalau
bukan tarian striptease dengan menu lokal dan
impor. Semua tinggal pilih: dari pribumi, Cina,
sampai Rusia.
"Sebulan lagi, kita akan soft launching kok.
Tunggu saja tanggal mainnya," celetuk Bob yang
menjadi "tour leader" malam itu.
Dari lounge bar, semua tamu dibawa melihat-
lihat ke resto, karaoke, dan area untuk bath & sauna
untuk beberapa saat lamanya. Setelah itu, sebagian
tamu ada yang memilih diam di nite-club, sebagian
lagi memilih "cabut" dari kelab AS.
BEBERAPA bulan kemudian, sekitar pertengahan
bulan November 2006. Di lounge yang sekeliling-
nya diapit dinding serba kaca, puluhan gadis
cantik duduk dengan busana supermini. Mereka
memiliki wajah-wajah yang khas. Mereka dibagi
dalam beberapa kelompok disesuaikan dengan
asal muasal mereka. Baju yang mereka kenakan
6
pun sengaja dibuat berbeda. Kelompok gadis asal
China misalnya, rata-rata mengenakan baju terusan
transparan warna hijau. Saking transparannya, yang
menonjol malah baju dalaman mereka. Sementara
gadis-gadis asal Thailand mengenakan gaun terusan
serba hitam. Tidak terlalu seksi, hanya pada bagian
belahan paha saja yang agak terbuka.
Di bagian lain, para gadis Uzbek dan Rusia
yang jumlahnya tak lebih dari sepuluh orang itu,
beberapa terlihat hanya mengenakan baju-baju
kasual, selebihnya memaki rok mini dengan baju
atasan ketat dan agak terbuka di bagian punggung
dan dada.
Well.
"Silakan duduk!" ujar Mami Tania. Suara
yang ke luar dari bibir wanita berambut panjang
mengikal itu terdengar ramah di telinga.
Hiasan lampu warna putih yang ditempatkan
dalam kotak segiempat dengan ornamen kelambu
warna merah menempel di dinding menciptakan
nuansa hangat dan bergairah di lounge. Sofa-sofa
warna hitam tertata rapi di beberapa titik ruangan.
7 Suara musik berirama chill-out melantun syahdu,
beradu dengan renyah tawa dan canda yang
menyeruak.
"Saya tinggal dulu. Silakan pilih-pilih dulu.
Kalo ada yang cocok, panggil saya." Mami Tania
berlalu, dan langsung menyambut beberapat tamu
lain yang baru masuk.
Memilih apa? Ah, tentunya yang dimaksud
Mami Tania adalah memilih puluhan gadis cantik
yang bertebaran di lounge. Mereka tak ubahnya
bunga mekar yang memenuhi taman. Bau parfum
tercium semerbak mewangi di hidung. Senyum-
senyum manis tampak mengulas di wajah mereka
tanpa henti.
So what?
Saya cuma melihat-lihat keadaan. Malam
ini, semua terserah Nino. Dia yang jadi cukong,
he is the boss. Saya hanya mengikuti ke mana arah
angin bertiup. Nino mengajak saya duduk di sofa
tak jauh dari bar, saya pun ngikut. Karena bukan
kali pertama datang, saya sudah tak begitu asing
dengan suasana di lounge AS.
6
Dari sini, saya bisa melihat sebuah lorong
yang terhubung dengan kolam sauna. Lorong ini
juga menjadi jalan masuk alternatif menuju kamar-
kamar hotel di lantai 6, 5, 4 dan seterusnya.
Nino sibuk melemparkan senyum pada be-
berapa gadis cantik yang ia pernah temui sebelum-
nya. Saya lebih suka mengamati pemandangan
orang-orang yang hilir-mudik mengenakan baju
kimono tebal warna putih dengan ditemani pa-
sangannya masing-masing.
Bob muncul dari pintu masuk. Pria yang
menjadi komando kelab AS itu langsung meng-
hampiri saya dan Nino.
"Hai, Bro.... Udah ketemu yang cocok
belom?" Bob mengedarkan pandangannya ke se-
keliling lounge.
Seorang gadis berambutpanjangmelambaikan
tangan. Bob membalasnya dengan ramah. Mami
Tania menampakkan batang hidunganya tak lama
kemudian.
"Mami, ini teman-teman saya. Coba diatur
dong cewek yang paling oke buat mereka," kata
Bob kepada Mami Tania.
9 Mami Tania dengan sigap menyambut
permintaan Bob. Wanita berumur 31 tahun yang
sangat familiar di dunia hiburan, khususnya kelab
kebugaran khusus laik-laki itu, memang kaya
pengalaman. Jam terbangnya sudah tak diragukan
lagi. Setidaknya, ia pernah bekerja di empat kelab
malam elit yang ada di Jakarta. Begitu kelab AS
buka, ia langsung "dibajak" dari tempat ia bekerja
sebelumnya.
Orangnya cantik, ramah, dan pandai berbaur
dengan tamu, itu yang paling penting. Tak peduli
tamu lama atau pun baru. Pokoknya, begitu di-
handle ama Mami Tania, semua urusan dijamin
beres.
"Bos Nino seleranya belum berubah kan.. .
putih, tinggi, langsing, dan rambut panjang?"
pancing Mami Tania.
Selera. Kadang saya merasa geli sendiri kalau
mendengar sejumlah laki-laki berdebat soal selera
mereka terhadap perempuan. Ada yang doyannya
tipe kutilang darat (kurus, tinggi, langsing, dada
rata), tetapi ada juga yang berselera kutilang dasar
alias kurus, tinggi, langsing, dada, besar.
Tak ubahnya selera orang terhadap makanan.
10
Ada yang doyan banget makan masakan padang
di restoran Salero Bundo, ada juga yang memilih
menyantap steik di Tony Roma's atau Sashimi di
Sushi Tei. Ini memang sangat complicated dan
tergantung pada pribadi masing-masing orang.
Kerika sampai pada giliran saya, dengan
santainya wanita yang memilih menjadi single
parent itu menyodorkan beberapa nama yang
masuk kategori Top Ten Girls.
Mami Tania menunjuk ke beberapa gadis
yang menjadi favoritnya.
"Mau saya kenalkan satu per satu?" tawar
Mami Tania.
Saya menggelengkan kepala, tetapi Nino
malah mengiyakan dengan ekspresi senang. Mami
Tania memanggil satu per satu "anak didiknya"
lalu menyuruh mereka berdiri berjajar untuk
berkontes.
Inilah fungsi dan gunanya lounge. Selain
bisa unruk bersantai sambil makan dan minum,
tamu juga bisa berendezvous dengan calon lawan
main. Kenalan, ngobrol basa-basi dalam rangka
pendekatan, minum bareng sampai akhirnya
berlabuh di kamar tidur.
I I Kalau sebelumnya, ya kira-kira tiga hingga
lima tahun lalu, ada fasilitas aquarium atau ruang
berkaca untuk melihat koleksi perempuan/laki-
laki di sebuah kelab malam atau karaoke, kini tak
lagi jadi tren.
"Lebih enak face to face dong. Bisa pangku-
pangkuan lagi," celetuk Nino sembari tertawa
renyah.
Dan, Nino menjatuhkan pilihannya pada
gadis Thailand. Lantaran bingung memilih, saya
mengikuti saran Bob.
"Better, you pilih juga cewek Thailand. Di-
jamin oke deh!"
Yes!
Un-rated Thai Model$
"SAWADEEKA"
Gadis cantik berbusana terusan hitam trans-
paran itu melipat tangannya sambil membungkuk.
Senyum manis tersungging di bibirnya.
Ucapan dalam bahasa Thai yang berarti
apa kabar itu meluncur dari bibir Sonia.
Berperawakan seksi dengan tinggi 174 cm, rambuat
12
panjang, dan kulit bersih kecokelatan. Longdress
warna hitam dengan belahan panjang pada bagian
kaki hingga pinggul melilit tubuh liatnya.
"Mau tambah minum apa? Bir atau wine?"
tawar Sonia.
13 Sonia memesan segelas red wine, saya meng-
order segelas bir putih. Suasana di lounge cukup
ramai pada pukul tujuh malam. Beberapa tamu
laki-laki memenuhi sofa. Rata-rata datang bersama
teman atau grupnya. Di setiap meja, terlihat juga
pemandangan beberapa wanita cantik dengan
busana seksi yang aktif melayani tamu laki-laki.
Sekadar menemani ngobrol atau menuangkan mi-
numan.
Sebagian tamu, ada yang mengenakan baju
kimono tebal warna putih, tetapi ada juga yang
memakai baju sehari-hari. Suasana yang tercipta
tak ada bedanya dengan kafe, bar, atau lounge
kebanyakan. Hanya saja, di sini aura "wild" -nya
lebih terasa karena ada sekitar 100 gadis cantik dari
Rusia, Cina, Uzbekistan, Thailand, dan pribumi
dengan dandanan "nyaris" telanjang.
Nino yang duduk di depan saya, sibuk
bercanda dengan Catherine, gadis bertinggi tak
kurang dari 172 cm dan berkulit agak kecokelatan
yang juga berasal dari Thailand. la mengenakan
gaun terusan warna biru dengan belahan rendah
pada bagian dada.
14
"Kalo lagi seneng, lupa deh ama temen
sendiri," ledek Nino setengah bercanda.
Saya tak menggubris ucapan Nino. Namun,
coba jujur deh, laki-laki mana yang nggak senang
berada di antara sekian puluh wanita cantik
dan kapan pun, mereka bisa di-booking untuk
menemani makan, minum, ngobrol, mandi sauna
bareng bahkan sampai melakukan tour di kamar
pribadi.
Pikiran saya jadi melayang ke mana-mana.
Apa jadinya kalau saja ada sebuah kelab malam
dengan menu seratus laki-laki ganteng berdan-
dan nyaris tanpa busana—dengan badan atletis,
bertinggi badan 170 cm - ke atas, dan perut six
packs—mengerumuni sepuluh hingga dua puluh
tamu wanita? Walah, pasti suasananya tidak jauh
berbeda dengan apa yang terlihat malam ini.
Sonia yang fasih berbahasa Inggris itu, tiba-
tiba menyodorkan sebuah majalah full colour
dengan desain lux terbitan Thailand. Sonia
memperlihatkan beberapa pose dirinya dalam
balutan busana swim suit dan lingerie dengan setting
laut lepas dan hamparan pasir.
15 Pose-pose Sonia dalam majalah itu cukup
indah dan artistik secara fotografi. Terlihat
begitu berkelas dan bukan kacangan meskipun
mempertontonkan beberapa sex-appeal yang ada di
tubuhnya. "Hey, man... She is a real model!" pikir
saya.
Terus terang, saya juga tidak menyangka kalau
Sonia ternyata seorang model. Lalu, ngapam juga
dia jauh-jauh datang dari Thailand hanya untuk
menjadi "escort girt' di Jakarta dan bukan malah
jadi model betulan?
"Iam realistic. To get much and easy money, I
decide to be an escort girl. What do you think?" ujar
Sonia tanpa banyak basa-basi. Logat Inggris-nya
terasa kental sekali dengan lidah Thai-nya.
Masuk akal. Dan buat saya, memang realistis.
Dengan status model yang disandangnya, tarif
Sonia memang berbeda dibanding dengan gadis
Thailand kebanyakan. Untuk sekali kencan short-
time—sekitar satu jam—bandrol Sonia sebesar Rp
1,8 juta. Sementara untuk gadis Thailand yang
bukan model, tarifnya Rp 1,5 juta. Harga itu sudah
termasuk di dalamnya sewa kamar tipe standar.
Untuk up-grade ke kamar suite, ada tambahan
charge sekitar Rp 150 ribu.
Dengan status model itu pula, Sonia jadi
gadis Thailand nomor satu yang paling banyak
diincar para tamu. Tinggal hitung saja pendapatan
per hari yang masuk ke kantongnya. Yang pasti,
dalam sehari, setidaknya Sonia bisa mendapatkan
satu sampai tiga tamu. Maksimalnya, bisa empat
hingga delapan tamu.
Dari setiap transaksi, kira-kira Sonia mengan-
tongi setengahnya. Taruhlah dari sekali transaksi
Sonia mengantongi uang sekitar Rp 750 ribu.
Dalam dua puluh hari kerja saja, Sonia bisa
mendapatkan uang tak kurang dari Rp 20 juta. Itu
baru satu hari dihitung satu transaksi, lho.
"Mau sauna dulu, apa langsung ke room?"
Sonia buka suara. Lengannya dengan sengaja ber-
gayut di pundak saya.
Nino diam-diam mendengar tawaran Sonia.
Dan, tanpa banyak bacot langsung menarik tangan
saya. Namanya juga "ditarik", saya ya ngikut saja.
"Udah, nggak usah mikir lama-lama. Ikut
aja!"
16
n "Pat dui kan mai," seru Sonia dalam bahasa
Thai. Kira-kira artinya mari ikut saya.
Party on Sauna
BERENDAM di kolam sauna ditemani gadis
cantik. Menikmati santapan malam yang lezat
diiringi lantunan musik latin atau classic disco.
Pemandangan itulah yang saya temukan di arena
spa dan sauna.
Di dalam ceilo atau sejenis ruangan dengan
lay-out kamar yang ditutup kelambu putih, tampak
beberapa laki-laki tengah bersantai.
Ada yang lagi mendapatkan perawatan pijat
aroma terapi atau refleksi, ada juga yang cuma
duduk-duduk sambil ngobrol. Di sudut lain, di
atas bangku-bangku panjang, juga terlihat sejum-
lah laki-laki yang duduk berselonjor ditemani
pasangan gadisnya.
Di area Bathhouse inilah—begitu istiiahnya
—saya juga menyaksikan puluhan gadis yang
tengah berkontes dengan mengenakan baju bikini,
two pieces. Sebagian men-display-kzn diri di depan
kolam, sebagian lagi menari-nari di beberapa
sudut ruangan. Ada yang di atas bar, ada juga
yang meliuk-liuk di atas meja tak jauh dari kursi
selonjor.
Rupanya, inilah realisasi acara yang sering
dipromosikan via SMS. BATHHOUSE@Kelab
AS present SPECIAL BIKINI 8 DANCING
EVENT Availabl e dail y Fr ZPN to ZAN.
Pls come & se e 4 ur self . Don t Mis s
it . Ph 69Bxxxxx. Tentunya isi SMS ini hanya
untuk tamu-tamu langganan di kelab AS.
18  19 Sonia dan Catherine sudah berganti baju.
Mereka mengenakan underwear kembang-kem-
bang dan menutupi tubuhnya dengan kimono
putih. Untuk beberapa saat lamanya, kami duduk
di bar dan memesan minuman serta buah-buahan
segar.
Selain fasilitas ceilo dan bar, di arena sauna
juga dilengkapi box DJ yang berada persis di
atas kolam uap. Di dalam kolam itu, ehmm.. .
beberapa pasangan sibuk berendam bersama. Tak
ubahnya sebuah pesta, di kolam itu sejumlah
pasangan bermesraan dengan cueknya. Padahal,
tidak semuanya saling mengenal. Toh, pesta
tetap berlangsung seru. Gadis Uzbek, Thailand,
Mandarin, dan lokal, bersatu padu di dalam kolam
bersama pasangannya masing-masing.
Saya jadi teringat cerita seorang teman, sebut
saja Rico—sebut saja begitu, 31 tahun, yang juga
menjadi pelanggan setia di kelab AS. Katanya,
sssttt... ini katanya lho, pada perayaan 17 Agustus
2006 lalu, di kolam itu dibikin pesta gila-gilaan
dengan tema Oral Sex Competition. Ajegile! Peser-
tanya terbatas dan hanya diikuti puluhan laki-laki
yang saling kenal. Peserta ceweknya, tentu saja
20
diambil dari stok yang ada di kelab AS. Tinggal
pilih! Boleh cewek impor, boleh juga cewek lokal.
Terus terang, saya jadi agak bingung mem-
bayangkan pestanya: seperti apa ya jalannya acara
dan bagaimana aturan mainnya? Yang pasti, da-
lam pesta itu, kontestan yang mendaftar dipilih
secara acak dan dibagi dalam tiga kelompok.
Satu kelompok terdiri dari lima pasangan. Si-
apa kontestan yang paling tahan lama, itulah
pemenangnya.
Uniknya, hadiah buat pemenang bukan
berupa uang atau tiket pesawat plus akomodasi
berlibur ke Bali atau Hongkong, tetapi berupa
bonus mendapatkan free of charge pelayanan seks
terusan di kelab AS. Itu tuh, mirip tiket terusan
yang ada di Taman Impian Jaya Ancol. Jadi,
pemenangnya mendapatkan layanan gratis nonton
striptease, massage aroma theraphy, body massage
bersama gadis Thai, dan terakhir, memanjakan
diri di kamar suite ditemani dua gadis Cungkok
yang siap mempertunjukkan layanan seks kinky a
la Helikopter.
Yang bayar? Ya, dari peserta yang kalah.
Mereka patungan, masing-masing orang Rp 1 juta.
21 Kara Rico, pesta itu lebih pas disebut sebagai acara
iseng-iseng. Spontan dan tidak perlu menggunakan
jasa EO alias event organizer atau party organizer.
Ada-ada saja! Perilaku seks masyarakat,
terutama yang dekat dengan gaya hidup dan
budaya metropolitan, makin hari makin aneh-
aneh. Urusan telanjang bareng-bareng, bahkan
sampai melibatkan aktivitas seksual sekalipun, tak
lagi tabu, bahkan jauh dari kata porno. Pesta sejenis
oral-sex competition itu saja hanya dianggap sebagai
satu aktivitas iseng-iseng berhadiah. Gimana kalau
serius?
"Gue pernah denger sih. Tapi gue malah
nggak tahu banyak soal pestanya," sela Nino
dengan ekspresi penuh tanda tanya.
Nino mungkin tak tahu-menahu banyak soal
pesta itu. Maklum, Rico Cs sengaja memblok area
lounge dan sauna selama lima jam dan tertutup
untuk umum, kecuali bagi beberapa tamu yang
memang sudah jadi member guest dan member face
di kelab AS.
Lagi pula, buat Nino, kapan pun dia bisa
berpesta kok di kelab AS. Lihat saja sejumlah
pasangan yang tengah berendam di kolam malam
22
itu. Dengan bebas mereka bisa mengekspresikan
basic insting-nya, dan tak perlu harus menunggu
undangan pesta. Setiap saat, setiap waktu, pesta
bisa dilakukan di kelab AS. Mau yang softcore bisa,
yang hardcore pun tak perlu harus minta izin lebih
dulu.
"Daripada ngomongin pestanya orang, kita
pesta sendiri aja sekarang. Yuuuk...!" ajak Nino.
Tangannya menggandeng Catherine dan berjalan
menuju kolam sauna. Sementara acara kontes
bikini dan nari-nari telah usai. Gadis-gadis koleksi
kelab AS satu per satu pergi ke kamar ganti dan
kembali ke lounge.
Seks Kinky Helikopter
NINO berdiri di depan sebuah kaca besar, tak jauh
dari deretan loker. Masih mengenakan kimono
putih, ia mengeringkan rambutnya dengan hair-
dryer, lalu berkumur dengan Listerine, mengoleskan
lotion ke bagian tangan dan kakinya serta terakhir
menyisir rambutnya hingga tertata rapi.
"Ganti baju kita?" tanya saya.
23 Nino mengangguk. Kami berganti baju di
ruangan loker dan kembali duduk santai di lounge.
Suasana sudah agak sepi. Maklum, sudah pukul
sepuluh lewat. Biasanya, prime-time di kelab AS,
terutama di arena lounge dan spa, terjadi pada
pukul lima sore sampai sembilan malam.
Di lounge, saya bertemu dengan Sonia. Gadis
Thai iru kembali berkumpul di sofa bersama geng-
nya. la melambaikan tangan dan tersenyum. Saya
dan Nino bergabung di meja Bob. Laki-laki yang
selalu berpenampilan rapi itu rupanya tengah me-
nyantap sepiring mi ayam.
"Gimana, Bro? Have a happy landing?" tanya-
nya.
Happy Landing! Istilah itu begitu familiar di
telinga. Artinya? Ya, pendaratan yang membahagia-
kan. Maksudnya? Tentu saja pendaratan yang di-
lakukan Nino bersama Catherine di dalam kamar.
Nino spontan menjawab sambil mengacung-
kan dua jempolnya. "Baguzzz, baguzzz !!!" seru-
nya, menirukan gaya Indie Barens saat mengiklan-
kan sebuah produk di televisi.
"Mau yang lebih hardcore lagi nggak, Bro?"
giliran Bob yang bertanya pada saya.
What? Memang masih ada lagi layanan seks
yang lebih gokil di kelab AS, pikir saya.
"Kapan-kapan you mesti coba seks helikopter.
Atau kalau mau sekarang juga bisa, kok... " Bob
terkekeh. Mi ayam di mangkoknya sudah tinggal
suapan terakhir.
Ah, saya jadi teringat cerita Rico, terutama
soal seks kinky helikopter yang menjadi bonus buat
pemenang oral sex competition. Karena penasaran,
saya meminta Bob untuk menjelaskan lebih rinci
dan detail seperti apa model dan bentuk pelayanan
satu ini.
"Come with me!" ajak Bob, tangannya melam-
bai ke udara, mengisyaratkan ajakan.
Bob mengajak saya turun ke lantai lima.
Nino lebih suka stay di sofa ditemani Mami Tania
yang muncul tak lama kemudian. Begitu pintu lift
terbuka, saya disambut tiga petugas resepsionis.
Satu berdiri tak jauh dari lift, sementara yang dua
orang lagi duduk di belakang meja.
"Ada kamar kosong?" tanya Bob pada petugas
resepsionis.
"Cuma sisa dua kamar, Bos. Lainnya, masih
terisi."
24  25 Bob meminta satu kunci kamar yang lagi
kosong. Lalu, saya dibawa masuk ke lorong kamar
hotel. Dan, persis di kamar bernomor 5xx, Bob
berhenti lalu membuka pintu yang menggunakan
sistem elektrik dengan sebuah kunci berbentuk
mirip jam tangan dan berwarna kuning.
"See, inilah kamarnya!" jelas Bob.
Sebuah ruangan yang cukup nyaman. Meski
tidak jauh beda dengan tipe kamar yang ada di
hotel berbintang tiga atau empat, tetapi kamar di
kelab AS itu dilengkapi desain yang rada berbeda.
Persis di atas kamar tidur, tepatnya di langit-
langit kamar, terdapat besi segiempat warna silver.
Sekilas, mirip besi untuk berpegangan yang biasa
digunakan para pemijat Shiatsu.
"What for?" tanya saya.
Bob menyodorkan selembar brosur atau lebih
pasnya semacam leaflet berwarna. Di dalamnya ada
beberapa gambar angsa putih dan animasi cewek
tengah bergelayutan di sehelai kain.
Rupanya, animasi cewek itu adalah bentuk
dan model pelayanan untuk seks kinky helikopter.
Di kelab AS, layanan itu biasa dianalogikan
dengan menggunakan binatang angsa. Apa yang
26
membuat pelayanan seks di tempat ini berbeda
dengan tempat lainnya? Jawabannya terletak di
cara mereka memberikan pelayanan seks. Saya
melihat sehelai kain diikatkan pada besi segiempat.
Rupanya inilah yang menjadi alat untuk bergelayut
para gadis kinky helikopter. Segala macam layanan
seks diberikan menggunakan media ini. Pernah
lihat akrobat? Ya, tidak jauh beda. Hanya saja, di
kamar ini yang ada hanyalah akrobat seks. Nggak
tanggung-tanggung, untuk menikmati layanan
sekss model ini, kocek yang dirogoh pun cukup
dalam. Sekitar sebelas juta something. "Damn!"
Saya merutuk dalam hati membayangkan nominal
sebesar itu untuk sebuah pengalaman seksual—yang
mungkin untuk sebagian orang dianggap berbeda.
"Wait a minute!" kata Bob sambil berjalan
ke luar pintu. Tak kurang dari lima menit, Bob
kembali masuk kamar. Kali ini, ia darang bersama
dua orang gadis yang masing-masing mengenakan
topeng di bagian wajahnya.
Aha, ternyata dua gadis itulah yang menjadi
"pilot helikopter" atau "akrobater"-nya. Mereka
bukan gadis lokal, Rusia, arau Thailand, retapi
khusus didatangkan dari Macau, satu kawasan di
27 Cina sana. Ah, istilah pasnya seks helikopter atau
seks "nyungsang", pikir saya.
"She is very well trainee," puji Bob sambil
menunjuk ke arah seorang gadis bermata sipit
dengan rambut panjang basah.
Menurut Bob, dalam hal transaksi, tamu
tidak bisa mcmilih gadis akrobater. Tidak ada acara
kontes di dalam kamar ataupun rendezvous di meja
bar. Begitu tamu pesan, langsung dipersilakan
masuk ke kamar dan menunggu sampai gadis
akrobater atau helikopter datang.
"Justru di sini letak permainannya. Beli
kucing dalam karung. Makanya, mereka dikasih
topeng," ujar Bob.
Tidak hanya layanan seks kinky helikopter
yang menjadi "maincourse"-nya, tetapi juga ada
tahapan foreplay yang permainannya—boleh
dibilang—agak-agak error. Ya, getu deh, penuh
inovasi baru yang jarang ditemui di tempat-tempat
lain.
Bob mengambil sebuah kotak, tak jauh dari
kaki dua gadis Macau. Di dalam kotak itu, terdapat
aneka asesori yang saya sendiri agak bingung
menjelaskannya. Misalnya es batu, segelas wine,
28
susu, air hangat, dan terakhir, tiga buah agar-agar
yang bentuknya menyerupai alat vital angsa.
Semua itu untuk apa coba, pikir saya. Dinner?
Rasannya nggak mungkin. Cemilan? Lebih musta-
hil lagi. Atau hanya untuk jadi peneman minum
ketika berbasa-basi di atas tempat tidur?
"No!" jawab Bob, "Semua ini untuk variasi
foreplay mandi kucing," lanjutnya.
Alamak! Saya hanya geleng-geleng kepala.
Bob menyilakan dua gadis Macau itu untuk
meninggalkan kamar. Mereka membungkukkan
badannya sebagai tanda penghormatan lalu meng-
hilang di balik pintu.
Stripper Behind the Bar
MUSIK berirama chill-out masih terdengar merdu
di lounge. Nino masih ditemani Mami Tania. Dan,
ups.. . ada juga cewek cakep duduk manis di dekat
Nino. Dia bukan Catherine atau Sonia. Yang satu
ini, berambut blonde asli bukan bucheri alias "bule
ngecat sendiri" dan hex-body agak sintal.
"Sandra!"
29 Gadis itu mengenalkan namanya. Berasal dari
Rusia dan baru dua bulan ini bekerja di kelab AS.
Dibanding gadis-gadis Rusia atau Uzbe lainnya,
Sandra memang mcmiliki body dengan sex appeal
paling menonjol. Dengan tinggi tak kurang dari
168 cm, bra 36 C, bermata agak kebiruan, dan
berbibir sedikir tebal.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul
dua belas malam. Perlahan, suasana di lounge
mulai berangsur sepi. Hanya ada beberapa sofa
yang masih terisi oleh tamu. Ah, ada pemandangan
menarik yang nyaris saya lupakan. Desain toilet
laki-laki dan perempuan dijadikan satu dan ditutup
dengan dinding serba kaca. Jadi, dari lounge, mata
bisa dengan bebas mengamati kejadian di toilet.
Apalagi, di situ ada kaca besar yang bisa digunakan
untuk mengamati keadaan di lounge pada saat
bercermin. Sekadar touch-up make-up di wajah,
cuci tangan, atau menyisir rambut.
"Cabut yuuuk," bisik saya ke Nino.
"Kapan elo nanemnya kok udah bilang
cabut," canda Nino.
3>0
Sandra yang tak mengerti obrolan kami,
hanya bengong dengan ekspresi muka penuh tanda
tanya.
'"What?" tanyanya. Sepasang bola mata agak
membesar menunjukkan ekspresi bahwa ia benar-
benar tidak mengerti.
Bukannya menjawab, Nino malah tertawa
lebar. Tiba-tiba, dengan cueknya Sandra men-
jatuhkan badannya persis di atas pangkuan Nino.
Roknya yang supermini atau dalam bahasa kerennya
"krisis-minimalis" tertarik ke atas, menunjukkan
sepasang pahanya yang putih mulus.
Untuk beberapa saat lamanya, Sandra tak
betanjak dari pangkuan Nino. Malah, kali ini
ia menempelkan badannya lebih erat. Kedua
tangannya merangkul leher Nino. Dan, ia mulai
bcr-lapdance tanpa diminta.
"Stop, stop, stop.. . kita pindah ke lantai
dua saja," seru Nino dan melepaskan diri dari
"sergapan" Sandra.
Saya, Nino, dan Sandra beranjak dari sofa,
menuruni anak tangga dan masuk ke dalam lift
menuju lantai dua. Bob dan Mami Tania, katanya,
akan menyusul setengah jam kemudian. Maklum,
31 mereka mesti mengkroscek berapa transaksi hari
ini.
Di atas dancefloor berbentuk maket kapal
pesiar, enam orang sex dancer menggoyangkan
tubuhnya. Puluhan tamu yang duduk persis di
pinggiran dancefloor, sesekali ikut berinteraksi
Ooo... .
Ternyata, keramaian berpindah ke lantai dua
ini. Meja-meja hampir terisi penuh. Bahkan, satu
ruangan VIP yang didalamnya dilengkapi mini
dancefloor terlihat meriah oleh kerumunan laki-laki
dan perempuan. Kayaknya ada perayaan khusus,
bisa jadi ultah atau ada bos yang lagi buang-buang
duit, pikir saya.
"Gabung sini aja," seorang wanita menepuk
pundak saya.
Ups, tak salah lagi, itu pasti Mami Elsa.
Rupanya, mami tengah menemani beberapa anak
didiknya, kebanyakan PR (Public Relation)—
sebutan untuk LC (Lady Companion) di kelab AS.
Selain itu, ada juga beberapa gadis bule yang ikut
berpesta.
"Ada bos yang lagi ulang tahun. Gabung aja,
semua gratis kok," jelas Mami Elsa.
3 2
Saya dan Nino memilih duduk di bar.
Sementara Sandra lebih tertarik gabung bersama
Mami Elsa. Kami nggak enak saja bergabung di
pesta orang yang tidak saya kenal dengan baik.
'Ntar dituduh aji mumpung lagi.
Lampu di belakang bar tiba-tiba menyala. Dari
dalam sebuah ruangan yang ditutup dengan vitras,
muncul dua penari yang mulai mempertontonkan
liukan-liukan erotis. Wajah dan body-nya tak tam-
pak dengan jelas. Lebih pas kalau tarian itu disebut
siluet striptease.
"Kalo mau nonton lebih jelas, masuk aja ke
dalam. Cuma bayar 100 ribu kok," bisik Nino.
Saya cuma menggeleng sambil meneguk se-
gelas vodka cranberry lemon yang sudah terhidang
di meja bar.
"Kalau mau lebih private, ada kamar khusus
kok. Tuh, di pojok sana," jelas Nino sambil
menggerakkan jari telunjuknya.
Lagi-lagi saya menggeleng. Buat saya,
tontonan striptease siluet yang ada di depan saya,
jauh lebih menarik. Wong gratis kok! Secara
entertainment, tarian yang mereka pertontonkan
cukup menghibur dan memberi nuansa tersendiri.
3 3 Para penari itu melakukan gerakan-gerakan sensual
bahkan terkadang menyerupai lesbian show.
"Kalo elo bosen, kita karaoke aja di lantai
riga. Lebih private" usul Nino.
Busyet! Sepertinya, kelas AS tak salah kalau
mendapat julukan sebagai tempat one-stop-sextain-
ment. Apa yang elo mau, semua ada dan tersedia.
Layaknya sebuah paradise dengan aneka fasilitas
dan layanan yang variatif dan inovatif. Pantas kalau
belakangan, kelab AS menjadi trendsetter yang lagi
digandrungi banyak orang.
Seperti inikah potret sebuah paradise di
Jakarta? Begitu menggiurkan, menawarkan aneka
kesenangan dan kenikmatan. Kuncinya cuma satu:
uang ada, semua bicara. Uang ada, apa pun bisa
didapatkan di kelab AS. Mau berkaraoke ditemani
Lady Companion (LC) yang bisa "party''—istilah
untuk LC yang berani buka-buka baju di dalam
ruangan karaoke—atau sekadar nyanyi, juga
tersedia.
Sekitar pukul 02.00 WIB dini hari, saya dan
Nino memutuskan untuk "bergerak" dari kelab
AS. Habis, kalau menuruti maunya mata, bisa-bisa
pukul tujuh pagi saya baru sampai di rumah. Siapa
34-
nggak betah tinggal di sebuah paradise yang begitu
menyenangkan dan sarat godaan detik demi detik.
Hah!!!
3 S 36
(2)
The Flyin g Bra
BRA warna hitam itu terbang jatuh di antara
kerumunan laki-laki yang berteriak kegirangan
di sebuah bar berbentuk melingkar. Tiga gadis
bertelanjang kaki itu menari-nari tak ubahnya
cacing kepanasan. Baju yang melekat di tubuh
mereka nyaris berantakan. Tak henti-hentinya
mereka berteriak mengajak puluhan tamu ikut
bergoyang. Sesekali, mereka mendekatkan tubuh-
nya pada salah tamu laki-laki dan beraksi erotis
dengan menyingkap rok dan memperlihatkan
wilayah dada.
Sexy dancer kah? Ups. Bukan! Mereka sama
sekali bukan kelompok penari seksi yang tengah
unjuk kebolehan di atas pangggung. Mereka
berstatus sebagai lady escort yang tugasnya me-
nemani tamu, entah di ruangan karaoke, duduk
37 di kursi bar, atau di dalam ruangan khusus yang
dilengkapi sofa dan ditutup kelambu.
Malam itu, mereka baru saja selesai service—
istilah yang sering digunakan saat mereka bertugas.
Saya hanya bisa diam melihat segala aksi panas itu.
Lebih kaget ketika salah seorang lady escort itu
menghampiri saya. Pandangan mata saya terfokus
pada rambutnya yang ikal terurai, sepuhan lipstik
merah di bibir, dan butiran peluh kecil mulai
membahasi lehernya yang jenjang.
"Give me three hundred. And you can watch
me," bisiknya sambil menyentuh bagian paling
vital dari tubuhnya. Suara lembut itu terasa kental
dengan aroma alkohol. Three hundred maksudnya
tiga ratus ribu rupiah, bukan tiga ratus saja.
Kali ini, gadis itu menurunkan tubuhnya.
Ia menari dengan bertumpu pada dua lututnya.
Tangan saya setengah gemetar ketika mengeluarkan
tiga lembar seratus ribuan dan menyelipkannya,
maaf, di antara lipatan G-string berenda warna
merah yang dikenakannya.
Saya hampir melompat dari kursi ketika tiba-
tiba gadis itu melepaskan G-string-nya dengan
posisi badan persis menghadap ke depan muka
3 8
saya. Dengan santainya, G-string yang sudah
terlepas itu dia lempar dan jatuh ke muka saya.
Sambil menahan kaget, saya meletakkan G-string
itu di atas bar.
"Give me five hundred, and you can touch
me!'
Astaga! Rasanya, saya tak punya keberanian
untuk melakukannya. Bagaimana mungkin itu
saya lakukan sementara puluhan pasang mata
dengan tatapan terkagum-kagum masih memadati
ruangan di sekitar bar.
Tiga LC yang sudah tak lagi mengenakan bra
dan G-string itu terus saja mendekati kerumunan
tamu laki-laki. Makin hot dengan tariannya ketika
lembaran ratusan ribu rupiah terselip di paha atau
di lentik jemari mereka.
Selain saya, ternyata ada juga sejumlah laki-
laki yang tak berani menerima tantangan tiga
orang LC itu untuk "menyentuh" daerah terlarang.
Yang yang menonton show sambil pura-pura SMS,
juga ada. Namun, jangan salah duga, banyak juga
laki-laki yang pede dan cuek merangsak maju.
Menyentuh, meraba, mencium, dan mengeluarkan
lembaran ratusan ribu (ada juga lho yang pakai
dolar US) dengan ekspresi bangga. "Masih betah?" tanya Dimas, teman dekat
yang malam itu menemani saya hang-out di kelab
NZ, di Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
"Mau stay dua jam lagi juga boleh," jawab
saya sambil terus memelototi para cewek di atas
bar.
Gimana nggak betah, suasana di kelab NZ
membuat orang jadi enggan bergerak lantaran
variasi entertainment tak putus dari jam ke jam.
Musik yang bersahabat di kuping, puiuhan LC
yang ramah sampai dancer on the bar.
Kelab NZ menjadi tempat favorit buat saya
dan sejumlah teman gaul lantaran mulai bosan
dengan suasana clubbing yang terlalu ramai.
Ratusan orang berjubel di lantai disko, berjoget
sambil terus menenggak alkohol tanpa henti se-
mentara musik terus saja menghentak di setiap
menitnya.
Di kelab NZ, suasana lebih santai dengan
tamu-tamu terpilih yang jumlahnya mungkin tak
lebih dari 100 orang. Dan pastinya, ratusan lady-
escort disediakan sebagai teman kencan untuk
ngobrol, minum, nyanyi, dan pelayanan spesial
lainnya yang bersifat lebih personal.
4-0
Lihat saja ketika prime-time, antara pukul
tujuh hingga sebelas malam. Lebih dari enam puluh
cewek menyesaki kursi yang ada di sekeliling bar.
Aroma parfum menebar berbaur bersama suara
musik dan canda tawa. Sebuah pemandangan yang
sayang untuk dilewatkan. Cewek-cewek cantik
dengan make-up halus, rata-rata mengenakan rok
mini dan bersepatu hak tinggi. Tebar pesona de-
ngan senyum ramah, mengerling dengan hangat.
Dari bar, sesekali saya mencuri-curi pandang,
mengamati gerak-gerik puluhan cewek yang ber-
gerombol. Siapa tahu, sosok Cathy ada di antara
mereka. Cewek berumur 20 tahun bertampang
imut-imut itu sudah dua bulan ini saya kenal
dengan baik. Berawal dari kunjungan kelima saya
ke kelab NZ, saya bersama tiga orang teman mem-
booking ruangan karaoke. Biasalah, empat laki-laki
berkaraoke, rasanya sepi dan nggak seru tanpa
pendamping. Mami Lan membawa sepuluh orang
LC untuk berkontes dan salah satunya, Cathy.
Karena tampang imutnya itu, saya akhirnya mem-
booking dengan langsung membelikan tiga voucher
sekaligus.
41 Ini bukan sejenis voucher hanphone, tetapi nilai
transaksi yang berlaku setiap tamu mau booking
LC. Aturan umumnya, booking satu LC= satu
voucher = Rp 400 ribu. Aturan khususnya, terserah
tamu. Seperti pada kasus Cathy. Hanya karena dia
imut-imut dan kebetulan ada tamu lain yang mau
mem-booking-nya, saya bela-belain mengeluarkan
tiga voucher supaya dia tidak menerima order dari
tamu lain.
Alhasil, umpan tiga voucher itu cukup ampuh
dan berhasil membuat Cathy menemani saya
malam itu, setidaknya untuk tiga jam lebih. Dari
berjoget, minum bareng sampai kissing dalam
beberapa kesempatan; di pipi oke, di daerah bibir,
dan leher, wait,.. wait, itu urusan masing-masing.
Lap-dance, OP Service & Booking Out
BAGI banyak laki-laki, menghabiskan sekian jam
di NZ ataupun tempat-tempat sejenis, jadi pilihan
yang menggiurkan. Pulang kantor, mampir dua
hingga tiga jam di karaoke. Belum puas, bisa terus
melanjutkan acara nyanyi-nyanyi ditemani gadis-
gadis cantik. Masih kurang puas? Pukul sepuluh
4 2
ke atas, bisa pindah ke bar atau sewa satu booth—
sebuah ruangan private yang dilengkapi sofa, meja,
dan ditutup dengan tirai yang biasa juga disebut
ceilo. Larut dalam kemeriahan pesta dan setiap saat
bisa menikmati liukan sexy dancers.
Lagi-lagi, pilihannya memang tidak jauh da-
ri LC. Para gadis yang job description-nya untuk
menyenangkan tamu itu sepertinya memang jadi
daya tarik tersendiri. Boleh dibilang, sebagian besar
tamu laki-laki yang having fun di NZ, pertama-
pertama akan memburu LC tercantik, baik hati,
tidak sombong, dan cepat beradaptasi dalam segala
kondisi dan situasi. Tak heran, banyak tamu yang
sudah punya langganan LC. Beberapa di antaranya
malah ada berstatus "pacaran", "teman tapi mesra",
bahkan sampai "selingkuhan".
Tidak harus seks, itu yang mesti diingat.
Jangan selalu berpikir ngeres kalau ada laki-laki
pergi ke karaoke lalu menyewa LC pasti ujung-
ujungnya seks. Nggak juga lho! Banyak tamu
yang butuh ditemani LC karena ingin mengobrol
ngalur-ngidul, atau sekadar butuh teman untuk
tertawa.
4 3 Kegiatan seks, tak bisa dipungkiri memang
ada. Tempat hiburan yang menyediakan jasa-
jasa LC, rasa-rasanya memang tidak mungkin
kalau nggak ada transaksi seks. Dari seks kecil-
kecilan yang bersifat foreplay doang sampai seks
intercoursing.
Pertama-tama, biasanya para LC yang
di-booking di booth atau ruang karaoke akan
memberikan pelayanan lapdance.
Kedua, ehm...jangan kaget kalau ada LC
yang ngomong begini: "Mau party nggak?" atau
"Party yuk, party..!" Kalimat itu berarti, para
LC mengajak tamu untuk masuk ke pesta yang
sebenarnya. Begitu tamu bilang iya, para LC
akan segera beraksi. Mula-mula menari di atas
meja sambil mulai melepaskan baju satu per
satu. Seterusnya, ya, getu deh...tarian akan terus
berlangsung sampai akhirnya terjadi interaksi
hiperaktif.
Itu juga dengan satu catatan: tamu mesti tahu
diri dan tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan tip
dalam jumlah besar. Makin banyak tip yang ke
luar, para LC makin berani menyuguhkan segala
bakat dan kemampuannya. Tidak cuma sekadar
ber-lapdance atau dengan sukarela menjadi supergirl
yang sangat liar dan ganas.
Jujur, uang memang masih menjadi senjata
sakti di NZ. Artinya, siapa yang rajin menabur
uang, dijamin bisa bergelar "raja". Setiap saat dike-
lilingi, dilayani, dan dimanjakan puluhan dayang
cantik.
Dimas adalah salah satu dari sekian puluh
member guest yang sangat populer di kalangan LC.
Setidaknya seminggu sekali, ia selalu menyempat-
kan diri bersenang-senang di NZ. Kalau Dimas
datang, itu berarti para LC yang di-booking bisa
tersenyum lebar. Dimas dikenal sebagai laki-laki
yang baik hati, terutama sangat royal dalam urusan
duit. Kalau Dimas datang, itu berarti bonus besar
buat para LC. LC yang di-booking Dimas, minimal
bisa mengantongi tip sebesar Rp 1 juta. Itu belum
termasuk bonus lainnya.
Saya masih ingat ketika Dimas mengajak
saya masuk ke booth yang disewanya. Bersama dua
orang temannya, Dimas mem-booking lebih dari
enam LC. Begitu tirai ditutup, ada tiga LC yang
langsung "party" di atas meja. Dengan royalnya,
dia menyelipkan lembaran seratus ribuan kepada
4-4- 4- 5 tiga LC tersebut. Begitu baju atas terbuka, Dimas
dengan bersemangat menyelipkatan uang di
antara belahan bra. Begitu bra terbuka, Dimas
mengeluarkan uang lagi dan menyelipkannya
di antara tali G-string. Begitu seterusnya...uang
berhamburan dari menit ke menit.
Apalagi ketika para LC berinteraksi secara
total, mulai dari menjamah, mengelus, memeluk,
meliuk di atas pangkuan sampai...ssstttt...having
sex di atas sofa, uang lembaran seratus ribuan itu
makin deras berhamburan.
Saya juga nggak habis pikir, kok ada ya orang
yang buang-buang duit begitu gampang. Untuk
apa? Prestige, kesenangan, atau memang sudah jadi
gaya hidup. Well, mungkin untuk ketiga-tiganya.
"Kesenangan itu mahal, Bro!" jawab Dimas.
Pantas saja, Dimas hampir kenal dengan
semua LC yang cantik-cantik. Biasanya, menurut
standar umum yang berlaku di NZ, tamu-tamu
yang bukan member face, perlu jasa mami untuk
berkenalan dengan para LC. Tapi buat Dimas,
aturan itu sama sekali tidak berlaku. Dia lebih
banyak bersolo karier alias bunting sendiri atau dia
yang diburu pada LC. Begitu wajahnya nongol,
46
para LC langsung menyambutnya dengan hangat.
Mami tinggal mencatat siapa-siapa saja yang masuk
dalam daftar booking-an Dimas.
Untuk tamu seperti Dimas, semua memang
serba gampang. Bagaimana dengan tamu reguler
atau tamu pemula? Semua sudah diatur. Kalau
hanya pengin booking LC, ada mami yang setiap
waktu berkeliling dari di area lounger-bar dan
karaoke. Mami siap menjadi "broker' untuk semua
tamu, termasuk mereka yang menginginkan paket
seks instan.
Sebagian tamu yang tidak mau repot, biasanya
akan memilih jalur cepat dengan membeli paket
OP Service. Ini adalah aktifitas seks ketiga yang
bisa di"order" para tamu. Harganya sekali OP=
Rp 1,5 juta.
Istilah OP ini berarti transaksi seks hanya
bisa dilakukan on the spot, langsung di tempat. Bisa
di booth atau di ruang karaoke. Tempatnya, ya bisa
di sofa, bisa juga kamar mandi. Alamak! Maklum,
khusus untuk ruangan karaoke saja misalnya, NZ
sengaja membatasi tipe ruangan kelas VIP yang ada
fasilitas kamar tidurnya. Hanya ada lima ruangan
karaoke yang dilengkapi fasilitas kamar tidur.
47 Aktivitas seks keempat yang ada di NZ ada-
lah BO, kepanjangannya dari booking out. Modus
kelima ini memerlukan beberapa syarat yang agak
gampang-gampang susah. Kenapa? Karena satu,
butuh uang yang tidak sedikit. Dua, hanya LC-LC
tertentu yang mau menerima order BO. Tiga, mesti
pinter-pinter menjalin hubungan, atau setidaknya,
ngelobi para mami.
Untuk sekali BO, transaksinya dihitung mi-
nimum dua kali harga OP Service. Bahkan, ada
beberapa LC yang mematok harga tinggi, dari tiga
sampai lima kali harga OP. Itu berarti sekitar Rp
4,5 juta sampai Rp 7,5 juta.
Party Girls Juga Manusia
"BY the way, elu mau paket tiga atau empat?"
pancing Dimas.
"Kan ada elu. Ngapain gue mesti pake paket
segala. Bukannya elu bisa bawa pulang lima LC
sekaligus."
Dimas hanya tertawa. Suasana di bar tambah
ramai. Setelah menyaksikan aksi para LC yang
48
baru saja mempertontonkan adegan flying bra +
G-string, saya dan Dimas kembali duduk santai di
bar. Saya masih mencari-cari sosok Cathy di antara
kerumunan. Namun, Cathy tak juga kelihatan.
"Cathy lagi service, Bos," jelas Mami Lan yang
menghampiri saya di bar.
"Nggak mau ama yang laen? Banyak kok yang
lucu-lucu...," sambung Mami.
"Oke. Pokoknya, gue percaya Mami, deh!"
Mami segera berkeliling dan hilang di antara
kerumunan tamu. Saya dan Dimas memesan mi-
numan Water Fall—sejenis minuman beralkohol
yang cara penyajiannya mesti dibakar lebih dulu.
Dari arah tangga, muncul tiga orang LC yang
langsung menggelendot manja di pundak Dimas.
Beruntung, tak lama setelah itu Mami datang
dengan membawa Cathy. Rupanya, Mami sengaja
"menculik" Cathy dari ruang karaoke.
"Kenalin, ini Lidya, Nona, dan Biby," Dimas
mengenalkan ketiga LC-nya.
Well, ditilik dari ekspresi wajah dan cara
ngomong, mereka sudah punya jam terbang cukup
tinggi dan tahu bagaimana membuat tamu mau
mengeluarkan tip lebih buat mereka.
49 "Kalo aku naek ke bar, jangan lupa tip-nya
ya?" pancing Lidya sambil mengelus dada Dimas.
"Gampang. Naek aja," jawab Dimas.
Lidya, Nona, dan Biby segera naik ke bar.
Mereka mulai berjoget tak ubahnya penari. Dan,
ehm...adegan flying bra + G-string itu terulang
kembali. Sejumlah tamu laki-laki yang berada di
sekitar bar, ikut bersorak kegirangan. Beberapa di
antaranya menyelipkan tip dengan spontan.
Setelah sekitar lima belas menit di atas bar,
mereka turun dan bergabung bersama Dimas.
Jujur, kalau melihat mereka menari, bicara, dan
menyenangkan tamu, mereka pantasdisebut sebagai
party girls. Mereka bisa dengan mudah menghibur
dan membuat tamu betah selama berjam-jam di
NZ. Mereka juga bisa membuat tamu tak sayang
mengeluarkan duit dari kantongnya.
Tak jarang, karena tampangnya cakep dan
nggak malu-maluin secara fashion dan manner,
banyak tamu di NZ yang mengajak para LC untuk
dinner-out. Sekadar menemani makan malam,
nongkrong di kafe, clubbing, sampai liburan. Tentu
bukan gratisan lho. Mereka mendapat bayaran
yang setimpal dengan jasanya.
50
"Kapan-kapan kita ajak saja lima samapai
sepuluh orang LC liburan ke Bali," kata Dimas.
"Gimana caranya?"
"Gampang. Semua bisa diatur, Bos," kata
Dimas, pede.
Dimas mengajak saya masuk ke booth.
Katanya, biar lebih nyaman dan privasi tidak
terganggu. Lidya, Nona, dan Biby langsung
menghenyakkan diri di sofa. Mereka menarik
Dimas dan mengapitnya di tengah-tengah.
Saya tidak mau mengganggu Dimas yang lagi
asyik. Saya lebih suka di dekat Cathy yang malam
itu terlihat tidak begitu ceria. Padahal, biasanya
dia suka ngomong, lincah, dan bisa bikin orang
ketawa.
"Lagi bete?"
Cathy mengangguk pelan. Diteguknya segelas
Long Island hingga sisa separuh.
"Lagi BU banget nih," ujar Cathy berterus
terang.
BU alias butuh uang. Fenomena klasik
sebenarnya. Konon kabarnya, para cewek yang
terjun bebas ke dunia malam faktor nomor satunya
adalah uang. Cathy mungkin salah satunya. Tapi
51 persoalannya tidak sesederhana itu. Bukan semata-
mata uang dan uang. Ada faktor lain yang mengintil
di belakangnya.
"Mama masuk rumah sakit. Adik mesti bayar
sekolah. Aku sendiri harus bayar uang semesteran,"
lanjut Cathy.
Hah! Cathy ternyata masih berkuliah.
Fakta ini baru saya tahu malam ini. Selain harus
membiayai hidupnya, dia juga menjadi separuh
tulang punggung keluarga. Untuk ukuran cewek
berumur 20 tahun, saya salut dengan Cathy,
terlepas dari pekerjaan yang dipilihnya. Hari gini,
pekerjaan apa yang menawarkan gaji besar untuk
lulusan SMU seperti Cathy? Nggak ada kan... .
Dari pekerjaan LC-nya, setidaknya Cathy bisa
mendapatkan tiga hingga enam juta dalam dua
minggu. Uang itu diperoleh dari voucher dan tip
selama ia masuk kerja. Dari satu voucher seharga
Rp 400 ribu, dia mendapatkan Rp 200 ribu.
Tip yang diberikan tamu, sepenuhnya masuk ke
kantong pribadi.
Dari uang yang diperolehnya, Cathy mesti
mengalokasikan pengeluaran wajib, misalnya, (1)
bayar kost, (2) makan sehari-hari, (3) make-up
52
dan perawatan diri, (4) biaya kuliah, dan (5) biaya
untuk membantu keluarganya.
"Minggu-minggu ini aku lagi banyak penge-
luaran. Aku nggak tau lagi mesti ke mana nyari
duit," curhat Cathy.
Ini bukan sandiwara. Bukan pula trik untuk
membuat hati tamu tersentuh lalu memberikan
bantuan sukarela. Bagi saya pribadi, Cathy tetap
manusia biasa. Tak ada kebohongan dan kepura-
puraan di matanya.
"Memang butuh duit berapa?" Saya membera-
nikan diri untuk bertanya.
"Nggak ah. Aku malu. Lagian, kok aku jadi
curhatnya ke kamu," sergah Cathy malu.
"Nggak pa-pa lagi. Curhat nggak ada yang
ngelarang, kok. Ngomong aja kamu butuh duit
berapa?"
Cathy bungkam. Dia sibuk memainkan gelas
di depannya. Sesekali matanya melirik ke arah
Dimas yang tengah dikeroyok tiga orang teman
ceweknya.
"Kok bengong?"
Cathy kaget.
S 3 Akhirnya, Cathy buka suara juga. Tamu yang
mem-booking-nya di ruang karaoke menawarkan
uang Rp 10 juta asal Cathy mau dibawa ke hotel
untuk semalam, one nite stand.
"Tapi aku nggak biasa begitu.... Aku takut
nggak bisa nyelayani dengan baik. Ntar kecewa
lagi," sambungnya.
Saya jadi muter otak dan bertanya-tanya.
Mungkin Cathy termasuk salah satu LC yang tidak
mau memberikan layanan seks pada tamunya. Yang
dia betikan selama ini hanya sebagai pendamping,
tak lebih. Kalau sekadar seks kecil-kecilan mungkin
iya. Tapi untuk sampai pada transaksi bobo-bobo
instan, kayaknya dia belum berpengalaman. Boleh
jadi, dia begitu menggoda dan wild ketika tengah
meng-entertain tamunya. Menyuguhkan aneka fore-
play dan permainan yang bisa bikin tamu minum
alkohol berbotol-botol dan mengeluarkan lebih
dari dua voucher untuk satu LC.
"Kalo itu emang tuntutan. Kalo cuma diem
doang, ntar tamunya nggak ngasih tip dong," kilah
Cathy.
Tapi ternyata, Cathy tidak seperti yang saya
duga sebelumnya. Bayangan saya sebelumnya,
"Kalo itu emang tuntutan. Kalo cuma diem
doang, ntar tamunya nggak ngasih tip dong," kilah
Cathy.
Tapi ternyata, Cathy tidak seperti yang saya
duga sebelumnya. Bayangan saya sebelumnya,
Cathy akan dengan mudah mengiyakan ajakan
tamu mana pun yang berani membayarnya dengan
harga "bagus".
"Amit-amit deh. Oral seks saja aku ogah walau
diiming-imingi uang Rp 2 juta," tegasnya.
Prinsip. Ya, sepertinya apa yang saya duga ada
benarnya. Tidak semua LC yang bekerja di NZ
masuk kategori gampangan dalam urusan seks.
Ada yang murni bekerja sebagai pendamping, ada
yang setengah nakal, dan tentunya, yang "abal-
abal" alias tidak menolak untuk diajak sex party,
sex jam-jaman sampai sex holiday juga ada.
Cathy memesan segelas Long Island lagi.
Dimas masih sibuk dengan ketiga dayangnya.
Suara-suara desahan yang entah disengaja atau
memang betulan, bikin kuping saya melebar.
Apalagi, semua aktivitas yang dilakukan Dimas
dan ketiga LC itu terjadi persis di depan saya.
Dimas seperti "piala" yang sedang jadi bahan
rebutan.
54  55 "Aku balik ke room karaoke dulu ya. Nggak
enak ninggalin tamu kelamaan," Cathy berpamitan
lalu menghilang di balik kerumunan tamu.
Saya keluar dari booth dan bergabung bersama
puluhan laki-laki yang tengah asyik menikmati
aksi sexy dancers di atas bar. Ada tiga tamu laki-
laki dalam keadaan bertelanjang dada, ikut menari
bersama para sexy dancer. Terdengar teriakan riuh,
tepuk tangan, dan jeritan para penari yang menyatu
bersama hentakan lagu disko.
56
(3)
QUICKY SEX PARTY
SWINGING sex!!! Banyak orang yang heboh gara-
gara aktivitas seksual yang satu ini. Seks tukar
pasangan, barter suami-istri dengan menggelar
acara gila-gilaan. Temanya pun macam-macam.
Ada yang melewati permainan tukar kunci, ada
yang menggunakan atraksi "petak umpet" sampai
mengundi nomor pasangan a la arisan ibu-ibu.
Percaya nggak percaya, itu terserah Anda. Tapi
kalau melihat tren belakangan, maraknya "club-
swinging", entah dalam skala besar dan kecil, tak
luput membuat pemberitaan jadi makin heboh.
Dengan semangatnya, orang-orang bergosip ten-
tang swinging sex meskipun pada kenyataannya,
banyak yang cuma denger-denger doang. Soal
praktik, entar dulu. Yang penting, gosipnya dulu
saja. Cerita soal swinging sex, mungkin tak kalah
57 serunya dengan berita infotainment yang mengupas
habis-habisan tentang kasus kawin-cerai para
selebriti yang setiap hari selalu jadi bead-line. Aduh,
saya jadi pusing sendiri kalau lagi nonton di depan
TV. Tiada hari tanpa gosip. Dalam sehari, saya bisa
dijejali tayangan serupa, lima sampai sepuluh kali
di stasiun TV berbeda. Ck. . ck. . .ck...hebat ya!
Cerita yang sama juga terjadi di dunia malam.
Setiap hari, temanya tidak jauh dari urusan seks dan
seks, party dan party. Salah satu tema hebohnya,
ya itu tadi swinging sex. Karena penasaran dengan
isu terbarunya, iseng-iseng saya telepon reman
lama, Beni—sebut saja begitu, yang pernah jadi
salah satu member "club swinging'. Sudah hampir
lima bulan ini saya tidak bertemu dengan Beni.
Terakhir kali ketemu, saya diajak ke sebuah party
gila yang dibikin di rumahnya, di kawasan Permata
Hijau. Waktu itu, saya berpikir cuma pesta biasa.
Nggak tahunya, Beni membuat party di kolam
renangnya.
S 8
Swinging "Basah-basah"
RASA penasaran saya bertambah ketika mengetahui
tamu undangan yang datang, jumlahnya tak lebih
dari dua puluh orang. Cowok-cewek. Saya juga
nggak tahu persis, apa mereka sengaja datang
dengan berpasangan-pasangan. Saya tahunya dapat
undangan dan datang bawa badan.
Di kolam renang itu, sudah disiapkan aneka
makanan dan minuman yang diletakkan di sebuah
meja panjang. Tidak ada bartender atau pelayan.
Semua self service! Seorang DJ, memainkan lagu-
lagu disko. Singkat cerita, pool-party yang awal-
nya berjalan smooth itu berubah jadi ajang tukar
pasangan. Bentuk permainannya sederhana, ma-
sing-masing tamu laki-laki dipersilakan menebak
warna CD alias underwear yang dipakai pasangan
perempuan dan sebaliknya. Begiru pasangan laki-
laki menebak, saat itu juga pasangan perempuan
akan memperrontonkan CD yang dikenakannya.
Kalau cocok, berarti mereka bisa "dikawinkan"
saat itu juga. Tinggal masuk ke kamar yang sudah
disediakan, dan done\
Tempat eksekusi tidak melulu di kamar. Ada
juga beberapa tamu yang memanfaatkan kursi di
59 pinggir kolam sebagai tempat untuk bermesraan.
Bahkan, ada juga pasangan yang langsung nyebur
kc kolam renang dengan baju masih melekat di
badan. Ngapain? Ya apalagi kalau tidak bercinta
dan bercumbu.
"Ini party swinging kelas dua," jelas Beni.
Maksudnya, karena pasangan yang datang bukan
suami-istri, makanya pesta swinging-nya. masuk
kategori nomor dua.
"Di Jakarta, club swinging-nya kebanyakan
bukan pasangan suami-istri betulan, tetapi
pasangan jadi-jadian," jelas Beni.
"Maksud elo?"
"Ya, bisa pacar, selingkuhan atau, memang
dengan sengaja di-booking untuk dibawa ke pesta
swinging. Begitu lho, Brur..!!!" imbuh Beni
dengan fasih.
Sejak dari pesta di rumahnya itu, saya hanya
kontak via handphone saja. Sekedar say hello atau
berha-ha-ha-hi-hi-hi, kali saja ada pesta lebih edan
lagi yang dibikin Beni. Bukan kabar pesta yang saya
dapat, tetapi malah soal Beni yang lagi kasmaran.
Ternyata, Beni yang sehari-hari mengelola usaha
bisnis peti kemas itu, sedang kesengsem sama
60
seorang pramugari. Pantas, dia lebih banyak
menghilang dari peredaran dunia malam. Laki-laki
manapun kalau lagi jatuh cinta, susah memang.
Bisa berubah 180 derajat dalam hitungan detik.
Buktinya, Beni yang biasanya begitu doyan dengan
party-party gila itu, langsung jadi "anak manis".
Rada nggak masuk akal, tetapi apa mau dikata
kalau kenyataannya selama hampir empat bulan,
Beni menghilang dari peredaran. Urusan sehari-
harinya berubah jadi sibuk mengurusi pekerjaan
dan perempuannya.
Beruntung pas saya telepon sore itu, ada kabar
baik. Beni sudah putus dari cewek pramugarinya.
Berita ini tentu saja tidak pernah saya duga
sebelumnya. Rasa-rasanya impossible saja. Tidak
menunggu lebih lama, sehari setelah saya telepon,
besok sorenya Beni langsung mengundang saya
pergi ke rumahnya.
"Ada pesta apa lagi?" tanya saya di telepon.
"Nggak ada apa-apa, elo dateng aja. Sudah
lama nggak ketemu elo. Gue mau curhat."
What? Laki-laki seperti Beni kenal juga
yang namanya curhat. Mungkin inilah teka-teki
kehidupan. Sehebat apa pun laki-laki kalau sudah
61 bertemu perempuan, pasti bertekuk lutut juga.
Buktinya, begitu sore itu saya sampai di rumah
Beni, cerita tentang hubungannya dengan cewek
pramugarinya menjadi bahan obrolan yang tidak
ada putus-putusnya.
"Gue kapok jatuh cinta!" keluh Beni.
"Kan dari dulu gue bilang, jangan pernah
pake hati, pake body aja. Nggak ada risiko, paling
duit doang yang abis," timpal saya.
"Sudahlah. Daripada pusing, kita gila-gilaan
lagi aja yuk?!" ajak Beni.
"Kenapa nggak elo undang saja temen-temen
party di sini?" usul saya.
Untuk sejenak, Beni mengerutkan kening.
Lucu juga kali ye, sore-sore party di rumah.
Meneguk alkohol ditemani cewek-cewek cakep
yang cuma mengenakan baju dalam. Waduh, kok
pikiran saya jadi ngelantur ke mana-mana.
"Gue lagi males. Kita jalan aja deh. Ntar gue
telepon si Gendut sama si Ray."
"Atur aja deh. Gue ngikut saja. Jadi kita nakal
lagi nih?" ledek saya sambil menahan senyum.
"Habis mau gimana lagi. Jomblo. Patah
hati pula," jawab Beni sekenanya. Comeback lagi
nih ceritanya. Beni yang dulu, telah kembali lagi.
Cepat sekali ya perubahannya.
Quicky Sex Party
SEKITAR pukul delapan lewat lima belas menit,
saya dan Beni meluncur ke arah Thamrin lalu
masuk ke Jalan Hayam Wuruk. Begitu sampai
di kawasan Glodok, mobil yang dikendarai Beni
mengambil arah memutar. Di tengah perjalanan,
Beni menghubungi dua temannya, Gendut dan
Ray untuk bergabung.
Hanya butuh waktu tak kurang dari 45 menit
untuk sampai di lokasi. Setelah melewati bangunan
ruko yang diapit beberapa tempat hiburan malam,
saya dan Beni akhirnya sampai di tempat. Di
depan sebuah bangunan besar bertuliskan CN,
kami berhenti. Seorang petugas valet langsung
mengurus mobil kami.
"Kita mau ngapain? Gue ogah kalo joget-
joget di dancefloor," kata saya.
"Terserah lo, Brur. Di sini semua juga ada.
63  62 Mau karaoke ada, mau mijit plus sauna juga ada.
Mau joget sampai bego, juga bisa. Tinggal pilih
yang lo suka," jawab Beni.
"Enaknya ngapain?"
"Karaoke dulu aja kali. Kalo bosen, baru kita
mijit-mijit. Seru nggak?"
"Gue setuju. Serunya kita bisa nyanyi-nyanyi
ditemenin cewek cakep."
Kami mengambil ruangan tipe eksekutif. Ya
cukuplah untuk menampung lima hingga sepuluh
orang. Lagi pula, buat apa juga pesan kamar tipe
suite, kalau kita cuma berempat. Sama seperti
interior karaoke kebanyakan, di dalam ruangan ada
sofa panjang warna hitam di bagian tengah, dua
TV 29 inci, satu kamar mandi, dan meja makan.
Di ruangan ada satu pintu belakang yang menuju
balkon. Dari balkon inilah, saya bisa melihat
ratusan orang tengah larut dalam suasana pesta.
Musik berdebam, mengalun tanpa henti. Ratusan
orang berjingkrak kegirangan.
Tak lama, setelah para pelayan menyiapkan
beberapa botol minuman di atas meja, dua orang
teman Beni, Gendut dan Ray, datang secara
bersamaan. Saya sudah kenal dengan mereka
64
meski tidak begitu dekat. Di setiap acara party
yang dibikin Beni, dua orang itu pasti selalu ada.
Biasalah, namanya juga satu geng, kalau jalan
seringkali bareng-bareng. Kalau kata orang laki-
laki itu seperti gerombolan domba, mungkin ada
benarnya juga. Nonton bola, nongkrong di kafe,
karaoke, bahkan sauna pun mesti rame-rame.
"Mau ditemenin LC lokal atau cewek
Mandarin?" kata Mami Reni yang in-charge di
ruangan kami.
Untuk beberapa saat lamanya, kami saling
beradu pandang. Gendut dan Ray menyerahkan
pada Beni untuk mengambil keputusan.
"Bener, nih, gue yang milih?"
"Kan selera lo selalu pas buat kita-kita. Gue
percaya deh," jawab Gendut yang sibuk mengu-
nyah sandwich tuna.
"Kalo gue kebetulan lagi bosen ama yang
impor-impor. Back to nature aja deh. Yang lokal-
lokal seru juga kali ya...," usul Beni.
Sesuatu yang sudah jadi kebiasaan, seringkali
membuat kita jadi bosan. Bayangkan saja kalau
setiap hari kita makan sayur asem, huh, lama-lama
jadi muak juga. Sayur lodeh, kemudian, menjadi
65 sesuatu yang paling kita inginkan. Sama halnya
seperti Beni. Ketika pekerja seks asal Mandarin
atau Uzbekiskan booming dan ngetren di sejumlah
tempat hiburan malam di Jakarta, dia menjadi salah
satu pelanggan setia. Dari cuma sekadar karaoke
yang berlanjut pada kencan short-time di kamar
pribadi, sampai mem-booking mereka dalam pesta-
pesta seks. Setelah jenuh berpetualang dengan yang
impor-impor, ujung-ujungnya kembali ke lokal.
Ini mungkin yang disebut siklus selera. Manusiawi
banget! Kok saya jadi ngelantur ya?
Hush...stop! Kembali ke soal party. Mami
Reni membawa sedikitnya sepuluh orang LC (lady
companion) untuk berkontes. Setelah lebih dulu
berkenalan satu per satu, mereka berdiri berjajar
di depan kami.
Merry, Vera, Laura, Nanda, Wenny, dan Lala
adalah nama-nama yang akhirnya terpilih menjadi
teman kencan kami. Kok jadinya enam orang?
Itulah seninya, kilah Beni. Kalau party 1 vs 1,
apanya yang menarik? Konvensional dan tidak ada
seninya. Standar. So...typical!
Standar umumnya, satu LC berarti dihitung
satu voucher senilai Rp 400 ribu. Biasanya itu
66
berlaku untuk tiga jam. Selebihnya, tamu "dipaksa-
maklum" untuk memberikan tip segede-gedenya.
Tapi lantaran Beni tidak mau terikat waktu, dia
memilih untuk mcmbooking mereka a la over-time.
Itu berarti selain mendapatkan satu voucher senilai
Rp 400 ribu, mereka juga mendapatkan uang
lebih sebesar Rp 1,7 juta. Dan itu berarti, tamu
yang membooking "bebas" melakukan apa saja.
Mulai dari "cumi-cumi" (maksudnya cium-cium),
lapdance sampai having-sex. Sebagian tamu yang
nggak ngerti, pasti beranggapan kalau "over-time
booked" itu cuma bisa dilakukan di kamar tidur.
Padahal kenyataannya, itu bisa dilakukan di mana
saja. Toilet, dancefloor, ataupun sofa. Tapi tentunya
dengan satu syarat: mau sama mau. Biasanya biar
kesepakatan terjadi dan sama-sama enak, tamu
mesti "mau" memberikan tip dalam jumlah besar.
Jadi, selain harga OP Rp 1,7 juta itu, ada lagi tip
yang mesti disiapkan oleh tamu.
Kalau mau aman, sebut saja angka tip di
depan, misalnya, Rp 1 juta atau Rp 2 juta per
orang sebagai jaminan. Mahal sih, tetapi namanya
juga pesta seks di tempat ekslusif, mana ada yang
murah.
67 Pesta tanpa amunisi, pastinya tidak berse-
mangat. Kalau di kalangan triper, amunisi itu
pastinya "ce-ce" alias ekstasi. Tapi bagi sebagian
anak malam, amanusinya ya alkohol. Sudah ada
dua botol Martel, satu Jack Daniels, satu Red-
Label, sepuluh kaleng Green Tea, dan lima kaleng
Coca Cola terhidang di meja. Terbukti, amunisi
itu menambah suasana pesta jadi semakin panas
dari menit ke menit.
Berawal dari sesi "cumi-cumi" sampai ak-
hirnya masuk sesi "kebrutalan dan keliaran". Yang
terjadi adalah swinging partner. Aktivitas utama-
nya: quicky sex. Di atas sofa, di bawah penerangan
lampu temaram, keenam LC itu secara bergantian
menyuguhkan segala bentuk pelayanan seksual.
Oral-sex, lap dance sex, petting, licking, lips kissing,
sampai full body contact. Lucunya, tak satu pun
dari keenam LC itu yang melepaskan bajunya.
Paling-paling, dalam beberapa kesempatan mereka
membiarkan bagian dada terbuka. Namun yang
pasti, baju mereka sudah nggak karu-karuan.
Rok tersingkap dan bra jatuh ke lantai. Tisu
bertebaran di mana-mana.
68
Suara tawa bercampur teriakan-teriakan kecil
menjadi irama yang beradu dengan musik disko.
Ini main-main apa seriusan? Atau ini pekerjaan
serius tapi harus dilakukan dengan cara main-
main. Sepertinya yang terakhir lebih pas. Seks yang
terjadi penuh dengan permainan quicky swinging.
Barter pasangan mewarnai adegan demi adegan
selama hampir satu jam lebih.
Beni, Gendut, dan Ray secara bergiliran
mendapatkan segala bentuk kegilaan Merry, Lala,
Laura, Wenny, Nanda, dan Vera. Saya hanya ge-
leng-geleng kepala. Habisnya, tidak menyangka
saja kalau keenam gadis yang rata-rata berumur
tak lebih dari 21 tahun dan datang dari daerah
itu bisa berbuat segila itu. Sangat professional,
tak kalah dengan cewek-cewek impor, entah itu
yang datang dari Rusia, Vietnam, Cina, Kolombia,
bahkan Thailand sekalipun.
Selepas pesta kemasygulan itu berakhir, ke-
enam LC itu berbenah diri di kamar mandi. Mem-
benahi baju, menyisir rambut, merapikan make-up
di wajah mereka yang mulai pudar oleh keringat
dan so pasti, menyemprotkan parfum di badan.
69 Begitu keluar dari kamar mandi, mereka
terlihat seperti semula. Tampil oke, wajah penuh
pesona. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa, mereka
segera membaur bersama kami di sofa karaoke.
Bernyanyi, bercanda, bermesraan tak ubahnya
sepasang teman kencan, dan menghabiskan sisa
minuman yang ada. Inilah tahapan after play yang
begitu santai.
"Kalau udah bosen, kita cabut yuk. Atau
masih kurang? Gue tinggal pesen cewek lagi nih,"
tantang Beni.
Ampun deje...matiin lampu dong!
PS : Jangan lupa selalu sedia kondom di dompet.
Coz, aktivitas seks bisa datang dan terjadi kapan
saja. Safe sex is still number one dong!
70
(4)
The Lapdancer
"TEQUILA single, dong!"
Gadis itu duduk di kursi bar. Sebarang rokok
Virginia Slim terselip di bibirnya yang memerah
oleh lipstik. Rambumya yang panjang mengikal,
dibiarkan tergerai menyentuh kaki-kaki kursi.
"Biasa, nggak usah pake garem," sambung-
nya.
la terlihat begitu akrab dengan bartender.
Beberapa pelayan yang melintas tersenyum pada-
nya, begitu juga dengan sejumlah tamu laki-laki
yang kebetulan berpa-pasan denganya.
Masih sama. Gadis itu—dua minggu lalu—
juga memesan tequila. la juga duduk sendirian di
bar. la begitu enjoy duduk di antara sekian tamu
laki-laki yang memadati bar.
71 Segelas tequila itu masuk ke mulutnya dengan
sekali tenggak. la membasahi bibirnya dengan
seiris jeruk untuk menghilangkan rasa pahit di
kerongkongnya.
"Satu lagi dong!"
Segelas tequila tanpa garam itu pun terhidang
di depannya dalam hitungan menit. la tak langsung
meminumnya. Sejenak, ia memutar-mutar gelas
shooter itu dengan jemarinya. Asap rokok mengepul
dari bibirnya. Kali ini, ia menebarkan pandangan
matanya pada kerumuman tamu yang asyik
berjoget mengikuti hentakan lagu. Sebagian besar
terdiri dari tamu laki-laki. Hanya ada beberapa
tamu perempuan yang hadir malam itu.
"Boleh saya gabung?"
Gadis itu menoleh dan tersenyum.
"Silakan!"
Saya duduk persis di sebelahnya.
"Viki!"
Ia mengenalkan namanya. Spontan, lugas
dan tidak ada kesan canggung.
"Boleh saya traktir minum?"
Viki merapikan beberapa helai rambut yang
menutupi sebagai wajahnya. Ia mengangguk.
"Mau minum apa?"
"Tequila, plisss...," jawabnya singkat.
Ini berarti sudah gelas ketiga. Sebagai tanda
perkenalan, saya pun ikut memesan tequila. Sebuah
perkenalan yang sangat singkat dengan obrolan ala
kadarnya.
Siapa dia? Itu yang jadi pertanyaan saya. Satu
jam sebelumnya, saya menyaksikan aksi tarinya di
atas bar. Bersama tiga penari laki-laki, Viki men-
jadi ratu yang memesona. Ia terus bergerak atraktif
dari menit ke menit. Lima menit pertama, ia
menyerbu masuk di antara kerumunan tamu, lalu
pada menit berikutnya tahu-tahu sudah berpindah
ke atas bar.
Tiga penari laki-laki yang hanya membalut
tubuhnya dengan kain sejenis cawat itu, tak kalah-
nya gesitnya. Mereka juga mempertontonkan ge-
rakan-gerakan erotisnya. Sebagian besar tamu laki-
laki yang hadir malam itu tampak begitu antusias
menikmati wild-show yang digelar.
Tema acara yang diselenggarakan di sebuah
kelab berinisial TF di bilangan Kuningan-Jakarta
malam itu memang gay nite. Uniknya, selain di-
jadikan sebagai ajang berkumpulnya para gay,
72  "73 tetapi juga menarik perhatian komunitas lesbian
dan beberapa tamu yang notabene heteroseksual.
Oh ya satu lagi, yakni sekelompok tamu yang
mungkin, sssttt...biseksual.
Rata-rata, para tamu yang bergoyang di
dancefloor tidak ada yang berpasang-pasangan
dengan lawan jenis mereka. Yang ada hanya laki-
laki berpasangan dengan laki-laki, dan perempuan
berpasangan dengan perempuan. Beberapa tran-
seksual juga terlihat di sana. TF memang terkenal
sebagai rainbow club, tempat khusus untuk gay,
lesbian, dan transgender, terutama untuk hari
Kamis dan Sabtu.
Kelompok tamu dengan kecenderungan seks
berbeda inilah yang jadi bahan perhatian saya.
Meskipun kelompok tamu homoseksual—gay dan
lesbian—mendominasi di tiap sudut ruangan, tapi
acara malam itu berlangsung meriah. Kaum gay dan
lesbian "menyatu" bersama kaum hetero. Berjoget
mengikuti lantunan musik DJ dan menikmati
pertunjukan sexy-dancing tanpa malu-malu.
Malam itu saya tidak sendirian. Saya ber-
sama lima orang teman: tiga laki-laki dan dua
perempuan. Kelima teman saya ini, sebenarnya
74
datang karena didorong rasa ingin tahu. Misalnya,
Susi yang dari awal "niat banget" ingin melihat
aksi penari laki-laki yang rata-rata berdandan
atletis itu. Saat pertunjukan tarian berlangsung,
Susi tak segan merangsuk maju ke depan bar,
mendekati salah seorang penari laki, dan...oh
my gosh, dengan cueknya dua tangan Susi tahu-
tahu menyentuh bagian perut penari laki-laki itu.
Lalu, ia menyelipkan uang Rp 100 ribu ke dalam
underwear.
Di sudut yang lain, beberapa tamu yang ter-
tarik dengan "goyangan" Viki, tak kalah banyak-
nya. Ada tamu laki-laki yang sekadar ingin joget
berdekatan, tetapi ada juga tamu perempuan yang
menginginkan minum bareng Viki, dari mulut ke
mulut.
Dan kini, setelah tampil selama satu jam, Viki
ada di sebelah saya. Berbeda, itu kesan pertama
saya. Mengenakan celana jins dengan kaus tanpa
lengan, Viki sepetti gadis-gadis gaul kebanyakan.
Wajahnya tak lagi ber-make up tebal. Lipstik merah
yang melukis dua bibirnya telah berganti dengan
lipstik warna peach.
75 Interesting! Di mata saya, Viki seperti punya
dua sisi kepribadian yang berbeda. Pertama,
Viki sebagai penari yang begitu wild saat di atas
panggung, dan kedua, Viki sebagai wanita ke-
banyakan yang tampak sederhana, sopan, dan enak
diajak bicara.
"Kok belum pulang, Vik? Lagi nunggu te-
men?"
Viki mengisap rokok Virginia Slim-nya, me-
neguk segelas Illusion yang ada di depannya. Cock-
tail dengan warna hijau dan memiliki rasa manis
tapi memabukkan itu rupanya kiriman dari salah
seorang tamu.
"Nggak. Lagi nunggu adikku," tukasnya.
"Ooo...dijemput ama adikmu?" terka saya.
"Ya, begitulah."
Viki parnit pergi ke rest room. Lima menit
kemudian, ia kembali ke bar. Selama hampir satu
jam, saya menghabiskan waktu di bar bersama
Viki. Ngobrol, minum, bercanda, tertawa, dan
finally, bertukar nomor handphone.
Dari perkenalan singkat itu, sedikit banyak
saya mulai tahu siapa Viki. Gadis cantik berambut
panjang itu rupanya baru berusia 22 rahun. Ia
tinggal bersama dua adiknya di sebuah rumah
kontrakan di bilanganTebet, Jakarta Selatan. Selain
menekuni pekerjaan sehari-hari sebagai penari bar,
ia juga punya kerjaan sampingan memberikan les
private menari untuk ibu-ibu yang ingin belajar
menari. Untuk pekerjaan sampingan ini, Viki
langsung datang ke rumah "klien"-nya.
"Tertarik untuk les private?" tantang Viki.
Saya tak berani menjawab. Akhirnya, Viki
meninggalkan bar ketika adiknya datang. Saya
kembali ke meja tempat teman-teman saya sedang
asyik berpesta.
Saya masih bisa melihat "aksi" Viki dan
bertemu dengannya di tempat yang sama selama
dua bulan berikutnya. Sayang, setelah itu ia tak
tampak lagi. Konon kabarnya, ia telah berpindah
ke sebuah kelab yang lebih elit dan ekslusif.
CALL me Vikitra! Atau cukup dengan Viki saja.
Itulah nama panggilanku. Tak banyak yang tahu
namaku sebenarnya. Lagi pula, tamu hanya butuh
tarianku, bukan namaku. Namaku hanya sebatas
"tanda pengenal" saja, tak lebih. Lagi pula, di dunia
76  77 yang aku geluti saat ini, dibutuhkan sebuah nama
yang enak di telinga, gampang diingat, familiar,
dan yang pasti: berbau perkotaan. Biar terkesan
lebih bonafit dan nggak kampungan, katanya. Ya,
sudahlah. Aku ikut saja, toh, buat aku itu juga
menguntungkan. Orang cukup tahu Viki, bukan
namaku yang sebenarnya.
Aku bukan pelacur. Itu hal pertama harus
dicamkan oleh tamu yang mem-booking-ku. Bukan
apa-apa, pekerjaanku memang bukan pelacur. Aku
tidak mencari mangsaku di tempat tidur. Pekerjaan
utamaku hanya membuat tamu terhibur dan
senang agar tak bosan-bosan merogoh uangnya
dalam jumlah besar.
Jauh di atas segalanya, aku dituntut memiliki
keterampilan yang tidak saja menguras energi tapi
juga memerlukan kemampuan beradaptasi dengan
tamu yang punya kepribadian dan selera berbeda-
beda. Ada yang suka dimanja, dipuji, disanjung-
sanjung. Ada juga yang sukanya "dilayani" tanpa
banyak ngomong, dan Iain-lain.
Dengan profesi pekerjaan yang aku jalani
saat ini, tahu-tahu muncul beberapa gelar yang
78
mengekor di belakang namaku. Aku sadar, ini
memang risiko yang harus aku terima.
"Escort girl?" Ehm. . biar saja kalau
aku harus menyandang sebutan itu. Karena
prinsipnya, pekerjaanku memang menghibur dan
menyenangkan orang kok. Entah dengan satu
tarian, atau bahkan cuma satu senyuman.
"Lady companion?" Bisa jadi. Pekerjaanku
memang menemani tamu. Mulai dari menemani
minum, ngobrol sampai memberikan tarian di
depan mereka.
" Lapdancer?" Yup! Sebagian orang menyebut-
ku begitu. Dan aku sadar, itu memang jadi bagian
dari pekerjaanku. Ada kalanya tamu mengingin-
kan lebih. Tak cukup hanya "memelototi" bagian-
bagian sensual dari tubuhku, tetapi juga butuh
diperlakukan secara istimewa. Ya, lapdance men-
jadi salah satu caranya. Menari di atas pangkuan,
menyentuh, membelai, dan memperlakukan tamu
layaknya raja.
Saya susah membedakan ruang lingkup pe-
kerjaan escort, callgirl, lapdancer, atau apa pun
istilahnya. Yang aku tahu, I'm a dancer.
"Stripdancer?"
79 Wow...I'm not! Aku tidak mengandalkan
ketelanjangan tubuh dalam menari. Aku hanya
menyuguhkan keterampilan menari dan tentu saja,
pesona. I mean ... bagaimana tampil cantik, smart,
menyenangkan, dan bla...bla. . .bla. Pokoknya,
segala pesona diri mesti aku tunjukkan untuk
membuat tamu merasa nyaman. Dan itu bukan
pekerjaan gampang. Pernah terbayang nggak, kalau
satu waktu, aku harus menghadapi tamu laki-laki
yang dari "tampang", penampilan, dan manner-nya
nggak banget. Badan gemuk, bau pula, terus muka
pas-pasan, dan yang nggak nahan: rese' dan banyak
maunya. So? Still, I have to be a nice girl. No matter
what, 'behave' is my keyword. As a entertainer, I do
not have a lot of choices. Hibur dia secara profesional
tanpa membedakan-bedakan tamu.
"Bagaimana dengan seks?"
Depend on! Pekerjaan utamaku hanya meng-
hibur tanpa seks. Aku bukan pelacur, itu yang
aku pegang banget, jadi, please, jangan samakan
aku dengan itu. Namun, jujur, aku juga wanita
biasa yang punya perasaan: suka, benci, marah,
dan sedih. Kalau satu ketika aku bertemu dengan
tamu laki-laki yang ramah, ganteng, baik hati lagi
80
pula tidak sombong dan semua iru membuat aku
suka, rasa-rasanya aku juga nggak menolak kalau
ia mengajak dating lanjutan. Soal having sex atau
nggak, prinsip aku sederhana: aku hanya mau tidur
dengan laki-laki yang bukan "makhluk asing" di
mataku. Dan yang terpenting, secara emosional
aku suka. That's it!
"Does money talk?"
Tamu yang terhibur dengan tarianku, sudah
sewajarnya membayarku lebih. Untuk orang-orang
yang menekuni profesi yang aku geluti, uang lebih
yang didapat bukan dari bandrol untuk sekali atau
dua kali menari, tetapi dari tip. Justru itu, aku harus
menyuguhkan tontonan paling baik. Kalau tamu
merasa senang dan terhibur, tip datang sendiri kok.
Di Jakarta ini, banyak laki-laki kaya tapi tak bahagia.
Makanya, harga kesenangan begitu mahal. Dan
mereka tak segan-segan membayar jutaan rupiah
hanya untuk "'ditemani" minum, sedikit pelukan,
dan kehangatan berbumbu kemanjaan. Ngapain
juga aku harus "tidur" dengan tamu kalau dengan
satu pelukan kecil, mereka sudah terpuaskan dan
mau membayarku mahal.
81 DI dalam kamar, di atas sofa yang diterangi
pencahayaan temaram, Viki menceritakan sebagian
pengalaman hidupnya dengan lancar. Sesekali
bibir tipis nan seksi itu berhenti untuk mengecap
minuman. Setelah pertemuan tiga bulan lalu, saya
akhirnya kembali bertemu dengan Viki di kelab
NN, tak banyak yang berubah dengan penampilan
fisik Viki. Ia tetap menggoda, tetap mencuri per-
hatian mata lelaki mana pun.
Agak sulit memang menemukan Viki. Perem-
puan cantik ini bekerja di sebuah kelab yang
notabene "mahal". Kelab yang berlokasi tak jauh
dari perempatan CSW, kawasan Blok M itu,
selama ini memang terkenal sebagai private club.
Sebagian besar tamu yang ada di kelab NN adalah
member. Untuk tamu baru yang bukan member,
dikenakan cover charge Rp 385 ribu. Itu pun jangan
coba-coba datang sendiri karena kebanyakan tamu
datang secara berkelompok. Maklum, hanya ada
dua fasilitas di kelab NN: restotan yang dilengkapi
dance-floor dan deretan kamar. Bar berukuran tidak
terlalu besar yang ada di area restoran pun lebih
banyak difungsikan sebagai "tempat pembuat
minuman". Jarang ada tamu yang duduk di bar.
82
Mereka lebih suka duduk di sofa dengan ditemani
gadis cantik. Kalau tidak, ya masuk ke kamar un-
tuk bersantai bersama pasangannya.
Viki adalah salah satu gadis yang bekerja di
kelab NN. Dibanding gadis-gadis lainnya, Viki
punya kelebihan dalam hal menari. Sudah dua
bulan bekerja di siru. Karena punya wajah cantik,
badan bagus, dan pandai menari—terutama
lapdance— tak lama setelah mulai bekerja, Viki
jadi laris di antara para tamu.
Dua jam sebelumnya.
Malam itu, sekitar pukul sebelas, suasana di
resto cukup ramai. Musik classic disco silih berganti
dengan musik progesif terdengar riuh. Para tamu
bergoyang santai dengan pasangannya. Di bagian
lain, di lantai satu yang terdapat deretan kamar-
kamar, Viki tengah menjamu tamunya.
Di salah satu kamar irulah, bersama dua
temannya: Manda dan Renita, ia tengah menyu-
guhkan kebolehannya menari. Rupanya, terjadi
lap dancing one on one. Tiga orang laki-laki sedang
duduk. Di depan mereka masing-masing, menari
8 3 para gadis cantik yang tak lain adalah Viki, Manda,
dan Renita.
Mereka meliuk-liukkan badan dengan sangat
erotis. Tubuh mereka dibalut dengan kostum seksi
yang mengundang minat. Ada aksesori berupa
bulu warna-warni di leher mereka.
Viki terus bergerak. Ia menggeliatkan tubuhnya
dengan penuh gairah. Senyuman menggoda tak
lepas dari bibirnya. Belum lagi kerlingan sepasang
mata bundar milik Viki yang makin membuat lelaki
di hadapannya kian terpaku. Topi yang menutupi
sebagian wajah sang lelaki tak mampu menutupi
ekspresi kepuasan yang terpancar lewat senyuman
di bibirnya. Sesekali tangannya mengelus dagu
yang berjenggot. Jelas, lelaki itu tampak sangat
terhibur dan menikmati kecantikan serta keliatan
tubuh perempuan di hadapannya.
Viki, Manda, dan Renita mulai mendekat dan
menari sambil menggesek-gesekkan badan ke tamu-
tamu mereka. Sesekali para laki-laki itu mencoba
memegang tubuh Viki, Manda, atau Renita, tetapi
tiga perempuan itu selalu menghindar dengan cara
sangat halus. Mereka menurunkan tangan para
84
laki-laki itu dengan sopan. You can watch, but
please... do not touch! Begitulah aturan mainnya.
Laki-laki berbadan agak kurus yang sedang
dilayani Renita menoleh ke Viki. Dengan cekatan,
Renita memalingkan kepala laki-laki itu ke arahnya,
seolah cemburu.
Viki berusaha membuka topi yang menutupi
kepala laki-laki yang tengah menikmati tariannya.
Begitu terbuka, Viki agak terperangah karena laki-
laki itu adalah saya.
"Hah...Mas...?"
Viki menghentikan aksinya sejenak. Entah
karena kaget atau risih, gerakan Viki jadi kagok.
Meski berusaha seprofesional mungkin, tetap
saja rasa kikuk itu tampak pada diri Viki. Alhasil,
saya jadi nggak enak sendiri. Awalnya, mau kasih
surprise karena sudah cukup lama tidak bertemu
Viki. Kok jadinya malah begini?
Akhirnya, saya meminta Viki untuk tidak
melanjutkan tariannya. Bukan sok muna atau
jaim, tetapi saya tak tega melihatnya menari se-
tengah hati. Lihat saja ketika ia berusaha merang-
kulkan dua tanganya pada bahu saya, uh shit...
Viki mendongakkan kepalanya ke langit-langit
85 kamar. Sepertinya, ia berusaha menghindari untuk
bertatap muka.
Sementara laki-laki yang bersama Renita,
tak lain adalah Haryo, 31 tahun, karib saya,
anak seorang mantan pejabat zaman Orba yang
"mewarisi" beberapa perusahaan. Satu orang lagi
karib saya yang tengah bersama Manda adalah
Dhani, 29 tahun, pemilik sebuah usaha bengkel
mobil yang dikelola bareng kakaknya.
Haryo dan Dhani agak bingung melihat
Viki menghentikan aksinya. Namun, lantaran
Renita dan Manda terus "membombardir" mereka
dengan gerakan lapdance, akhirnya mereka hanya
no comment waktu saya dan Viki menggeser tempat
duduk.
VIKI membetulkan letak bajunya yang beran-
takan. Ia melepaskan aksesori bulu warna-warni
yang melingkar di lehernya. Untuk beberapa
saat lamanya, ia terdiam. Tangannya yang ram-
ping terulur mengambil sebatang rokok, dan
mengisapnya dalam-dalam.
86
Buat saya, apa yang dilakukan Viki sangat
wajar dan manusiawi. Meskipun menjalani pe-
kerjaan sebagai lapdancer, tetap saja ia seorang
perempuan biasa yang punya perasaan malu, suka,
marah, benci, dan nggak enak hati. Makanya,
kadang-kadang jadi jengah dan salah tingkah
ketika harus menari di depan tamu yang ia kenal.
Saya yakin, bukan hanya Viki yang mengalami
perasaan seperti itu.
Ufftttt..., Viki mengembuskan napas pan-
jang. Bersamaan dengan itu, asap putih rokok
keluar dari mulutnya, mengudara.
"Apa kabar, Vik?"
Ia tak langsung menjawab. Matanya sibuk
memandangi kuku-kuku di jemarinya yang ke-
cokelatan oleh kutek. Tak banyak yang berubah
dari diri Viki. Rambutnya masih panjang tergerai,
badannya juga masih terawat dengan baik. Hanya
saja, ia agak kurusan dan wajahnya terlihat sangat
capek.
"Yah, seperti yang kamu lihat. Aku masih
seperti dulu."
87 Akhirnya, Viki buka suara. Jawaban yang
meluncur dari bibirnya terdengar "ala kadarnya"
dan sarat basa-basi, mengingatkan saya pada lagu
lama yang sempat populer di tahun 80-an.
Meski sempat canggung di menit-menit awal,
tetapi pembicaraan kami perlahan mulai mengalir.
Viki menceritakan perjalanan hidupnya setelab
tak lagi bekerja di kelab "Rainbow". Di satu sisi, ia
merasa jenuh menari di depan komunitas gay dan
lesbian. Ia butuh suasana baru yang lebih fresh dan
membuatnya "excited'. Di sisi lain, ia memerlukan
penghasilan lebih dari sekadar menari-nari di atas
bar, atau melakukan drink & kissing bersama tamu
yang mau merogoh uang Rp. 100-200 ribu untuk
tip.
"Adikku butuh perawatan dan memetlukan
biaya yang nggak sedikit," keluhnya.
Setahu saya, Viki punya adik laki-laki berumur
tujuh belas tahun yang pernah menjemput Viki
di kelab "Rainbow", tempat pertama kali kami
bertemu dan berkenalan. Setelah bebetapa bulan
"putus komunikasi", temyata ada banyak petistiwa
terlewatkan.
88
"Adikmu yang waktu itu ngejemput kami di
kelab 'Rainbow'?" tanya saya, memastikan.
Viki menggelengkan kepala. Ah, masih sama.
Viki selalu menggelengkan kepala saat mengatakan
"tidak".
"Bukan. Adikku yang satu lagi. Masih kecil,
sekitar lima tahun umurnya," tukasnya.
Suara Viki timbul-tenggelam bersama musik
yang mengalun di dalam kamar. Musik itu menjadi
lagu pengiting bagi Manda dan Renita, dua teman
septofesi Viki yang menjamu Haryo dan Dhani.
Untuk bebetapa saat lamanya, kami sama-
sama terdiam. Sesekali, mata Viki melirik ke
arah Manda yang tinggal mengenakan pakaian
dalam. Sementara Renita, pakaian yang belekat di
tubuhnya sudah tak beraturan lagi. Sebagian malah
terjatuh di lantai kamat.
Diam-diam saya juga mengamati apa yang
tetjadi dengan Hatyo dan Dhani. Adegan lap-
dance yang diperagakan Manda dan Renita masih
berlangsung, bahkan lebih hot. Sebuah tontonan
yang bisa membuat jantung betdebat tak karuan.
"Mas...."
89 Suara Viki mengagetkan saya. Buru-buru
saya memalingkan wajah dan astaga... mata Viki
terlihat berair. la mengambil tisu di meja dan
membersihkan wajahnya.
"Sebenarnya aku mau cerita banyak, tapi aku
nggak enak...." Viki menghentikan ucapannya,
"Aku takut dikira ada maunya lagi," sambung
Viki.
Saya meyakinkan Viki untuk menceritakan
apa masalahnya. Lalu, ia mengeluarkan dompet
dari dalam tasnya. Viki menunjukkan selembar
foto kepada saya.
"Ini Kara, adikku," gumamnya.
Menurut Viki, adiknya mengidap autis yang
termasuk dalam jenis ADHD (Attention De-
ficit Hyperactivity Disorder). Polah tingkahnya
cenderung hiper aktif". Suka menjerit, menggigit,
dan berlarian ke sana kemari seolah tanpa merasa-
kan capek. Makanya, ia berusaha mati-matian
mencari uang untuk membiayai pengobatannya.
Ia tak mungkin meminta bantuan pada orang
tuanya yang ada di Medan. Justru, ia ke Jakarta
dalam rangka "kabur" dari ancaman bapaknya
. yang suka melakukan kekerasan. Main tangan
bahkan tak jarang menyakiti ia dan dua adiknya.
Karena tak tahan, Viki akhirnya membawa Kara
dan adiknya yang berumur tujuh belas tahun ke
Jakarta. Meski tak tega meninggalkan ibunya, Viki
terpaksa harus mengambil keputusan yang terbi-
lang nekat itu. Semua ia lakukan demi kebaikan
adik-adiknya.
Selama ini, Viki dan Kara berkomunikasi
menggunakan cara yang tak biasa. Viki akan
berbicara lewat sebuah tape recorder kecil yang
selalu dibawa Kara. Dari tape recorder itulah, Kara
akan mendengarkan omongan Viki.
Viki berencana menggunakan uang yang
dia dapat dari bekerja sebagai lapdancer untuk
menyekolahkan Kata di sekolah khusus. Dan
tentu saja, uang itu ia gunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
"Aku hanya menggunakan semua kekuatan
fisik dan pikiran untuk bertahan hidup di Jakarta,"
desahnya, "aku sadar, aku tak akan jadi "pemenang".
Tapi setidaknya, aku telah berusaha," imbuh Viki.
Dorongan untuk menyembuhkan bara itulah
yang membuat Viki mengambil jalan pintas. Selain
menjadi lapdancer di kelab NN, ia terpaksa juga
90
91 menjadi "penari panggilan" untuk acara-acara yang
lebih private. Hanya saja, ia tetap memilih tidak
masuk pada jalur transaksi seks. Sampai saat ini,
aku Viki dengan nada tegas, ia tak mau menerima
tawaran "tidur" meskipun diimingi imbalan uang
dalam jumlah besar.
"Aku tahu apa yang harus lakukan," tukas-
nya.
SATU bulan kemudian....
Viki duduk dengan anggun di atas sofa
berwarna merah. Berbalut gaun a la Cleopatra
warna keemasan, Viki memikat puluhan mata
laki-laki yang memenuhi kelab CH di kawasan
Permata Hijau, Jakarta Selatan. Di samping kiri-
kanan Viki, ada empat gadis dengan dandanan
serupa. Baju a la Cleopatra itu terlihat seksi karena
terbuka di beberapa bagian. Bahkan, ada bentuknya
menyerupai jaring laba-laba berwarna keemasan.
Viki beranjak dari duduknya, lalu berjalan
perlahan menaiki anak tangga. Di atas bar berben-
tuk vertikal, Viki mulai meliukkan tubuhnya. Di
92
sudut lain, empat gadis cantik bergerak serempak
mencari tempat untuk unjuk pesona.
Dalam sebuah tatapan singkat, Viki terse-
nyum kecil begitu melihat saya duduk di antara
para tamu malam itu. "Tampaknya, ia memang
tahu jalan yang jadi pilihannya," guman saya
dalam hati.
Lampu menyala terang. Viki menghilang
entah ke mana. Mungkin ia tengah berganti pa-
kaian dan bergegas pulang untuk menemui adik
kesayangannya, Kara.
9 3 94
(5)
SUITE SALOME
JAM telah menunjuk angka 20.45 WIB. Jalanan
menuju Kawasan Grogol masih ramai oleh lalu-
lalang kendaraan. Biasalah, namanya juga Jakarta
gitu loh. Tiada hari tanpa kemacetan.
Pemandangan serupa juga terjadi di depan
lobby hotel MR Puluhan mobil mewah parkir rapi.
Ada Mercy, BMW, Jaguar, dan merek-merek favorit
lainnya. Petugas valet tampak sibuk memarkir
setiap mobil yang datang. Beberapa tamu laki-laki
dengan dandanan modis, turun dan mobil dan
berjalan melenggang penuh percaya diri.
Apakah mereka tamu-tamu hotel yang lagi
check-in? Ternyata, bukan. Begitu turun dari mo-
bil, bukan ke resepsionis tapi langsung pergi ke
kafe yang ada di sudut kiri. Hary memegang ke-
mudi, Rob duduk di sampingnya, dan saya duduk
95 di jok belakang. Mau tak mau, kami pun ikut-
ikutan valet. Maklum, parkiran di lantai Bl dan
B2 ternyata sudah penuh sesak.
Puluhan tamu duduk santai di kafe. Lagu-
lagu syahdu sayup-sayup terdengar di telinga. Di
sebuah sofa panjang, terlihat sekelompok gadis
cantik tengah asyik mengobrol. Hanya sebentar
kami mengamati keadaan di kafe. Setelah itu, kami
langsung menuju ke lantai empat.
Malam itu, Hary dan Rob—yang sudah
seting mampit ke hotel MF, mengajak saya un-
tuk menyaksikan striptease couple (maksudnya
cewek-cowok) di tuang karaoke. Kebetulan, Hary
mendapat undangan dari salah satu teman bisnis-
nya. Tidak ada perayaan apa pun, yang ada hanya
aktivitas hura-hura saja, mencati hiburan untuk
melepaskan burn out di kepala. Begitu masuk,
Hary mengenalkan saya dan Rob kepada dua
orang temannya.
Double Stripper "Live Show"
MALAM telah lewat dari pukul sembilan ketika
kami masih di ruang karaoke sambil minum-
96
minum dengan ditemani LC (lady companion). Dua
teman Hary itu, rupanya langsung mem-booking
empat orang LC sekaligus. Di ruangan karaoke
kelas VIP itu tersedia fasilitas sofa memanjang
dengan dua meja terpisah dan satu kamar mandi.
Di samping kiri pintu masuk, terdapat meja kaca
bulat lengkap dengan empat kursi yang tertata
rapi. Seluruh dinding ruangan didominasi lukisan
berwarna cerah.
Lagi asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba dari
pintu kamar muncul seorang wanita mengenakan
ceiana panjang dan blazer berwarna hitam.
Mami Yeni, begitu ia menyebut dirinya sebagai
koordinator karaoke. Hary rupanya sangat kenal
baik dengan Mami Yeni, begitu pula sebaliknya.
Terbukti, mereka berdua tampak akrab.
Kedatangan Mami Yeni untuk memastikan
apakah pertunjukan bisa dimulai. Katanya, para
penarinya sudah stand by dan tinggal tunggu
perintah. Menurut Mami Yeni, karaoke di hotel
MF pada dasarnya tidak menyediakan gadis-
gadis striptease secara langsung. Kalau pun ada
tamu yang berminat, biasanya diambil dari luar.
Selama ini, Mami Yeni menggunakan jasa seorang
97 germo sekaligus pemilik event organizer yang pu-
nya sedikitnya dua puluh stripper. Mereka siap
dipanggil kapan pun. Sebagian besar mereka ber-
usia dua puluh tahunan.
"Kalau ada tamu yang butuh stripper, kita
tinggal panggil aja. Semua tergantung permintaan.
Dari striptease biasa sampai yang berpasangan
tersedia," jelas Mami Yeni.
Saking asyiknya ngobrol, Mami Yeni pun ikut-
ikutan nimbrung plus minum-minum sebentar.
Segelas Illusion —sejenis minuman yang memiliki
campuran alkohol diteguknya.
"Kalau striptease biasa, udah banyak tempat
yang menyediakan. Makanya, di sini, yang paling
laku striptease couple, cewek-cowok," imbuh Mami
Yeni.
Menurut Mami Yeni, tarif per show untuk
striptease couple kelas standar sekitar Rp 2 hingga
3 juta. Sementara untuk yang biasa sebesar Rp
450 ribu per orang. Harga sangat tergantung
pada tipe stripper yang diorder tamu. Untuk kelas
VIP, harganya bisa naik dua kali lipat dari kelas
standar.
98
Seperempat jam berlalu, Mami Yeni berjalan
mendekati dua teman Hary yang lagi berkaraoke
ditemani dua LC. Saya berpikir, pastinya Mami
Yeni bertanya kapan show bisa dimulai. Dan benar
saja, tak lama setelah Mami Yeni keluar, muncul
sepasang penari cewek-cowok di ruangan karaoke.
Musik menghentak. Tanpa banyak basa-basi,
sepasang penari itu langsung memperlihatkan ge-
rakan-gerakan yang sensual. Namanya juga tarian
couple, selama hampir setengah jam, kami disuguhi
adegan-adegan hot, tak ubahnya sex live show di
atas panggung.
Ah, sudahlah! Antar percaya dan tidak,
saya jadi serba salah menyaksikan pertunjukan
itu. Bercampur kaget dan gugup, saya jadi salah
tingkah sendiri. Bagaimana tidak? Dengan mata
kepala sendiri, saya menyaksikan adegan percin-
taan cewek-cowok yang begitu vulgar. Lagi pula,
saya diajak Hary di hotel MF bukan mau menik-
mati pertunjukan live show di karaoke tapi untuk
tujuan yang berbeda. Kami punya rencana lain
yang menurut Hary, jauh lebih gila. Makanya,
tanpa berlama-lama lagi, kami pun pamit keluar
ruangan.
99 "Kita mau nonton show ato ada planning
lain?" tanya saya ke Hary.
"Ya...iya. Udah nggak sabar bener," seru
Hary.
Bertiga, kami meninggalkan ruangan karaoke
menuju lift, keluar di lobby lalu masuk ke kafe.
Musik lembut mengalun. Lampu menyala agak
temaram. Suasana makin ramai. Tidak saja oleh
tamu laki-laki, tetapi juga oleh puluhan gadis dari
Uzbekiskan dan Mandarin. Beberapa di antaranya,
malah duduk semeja, berhadapan-hadapan. Soal
dandanan? Ehm...yang pasti, rata-rata berbaju
seksi. Apalagi gadis Uzbekistan yang kebanyakan
punya postur tubuh tinggi dengan badan moleg.
Rupanya, di kafe inilah ajang pertemuan
antara tamu dengan gadis-gadis " booking-an" di
Hotel ME Modus ini biasa digunakan bagi tamu
yang baru sekali dua kali mampir di ME Bagi
mereka yang sudah terbiasa, biasanya lebih suka
melakukan ajang pemilihan di kamar atau di ruang
karaoke.
"Kebanyakan sih lebih suka di room, nggak
keliatan banyak orang," jelas Hary.
100
"Lagian, kalo di room, bisa lebih bebas me-
melototinya," imbuh Rob.
Di kafe itu tampak juga Mami Yeni yang si-
buk mondar-mandir menghampiri tamu. Gayanya
persis seorang public relations yang lagi menjamu
klien penting. Buat Mami Yeni, semua tamu—
entah yang baru atau member, sama-sama penting.
Pelayanan yang mengutamakan keramahan, mesti
dinomorsatukan. Ini bisnis jasa pelayanan, Bung.
Salah-salah, tamu bakal kapok balik untuk kedua
kali dan seterusnya.
Mami Yeni sudah banyak makan asam garam
di dunia "permamian" alias "pergermoan". Profesi
itu sudah dia geluti selama hampir empat tahun.
Awalnya, waktu berumur 22 tahun, Mami pernah
bekerja sebagai escort di restoran Jepang.
Wanita blasteran Sunda-Cina itu hanya ber-
tahan selama 1,5 tahun sampai akhirnya mendapat
tawaran menjadi trainer di sebuah agensi yang
sering menyediakan gadis-gadis lokal untuk men-
jadi escort khusus laki-laki Jepang atau Korea.
Setelah kontraknya habis, dia bergabung di sebuah
karaoke di kawasan Blok M dengan status sebagai
koordinator.
101 "Jadi mau ngapain nih? Mau sauna plus
massage dulu, apa langsung ke lantai tujuh?" tanya
Mami Yeni dengan senyum manis.
Hary berpikir sejenak. Sekarang sudah ham-
pir pukul 10. Kalau mesti sauna plus massage,
rasa-rasanya butuh waktu sekitar satu-dua jam.
Kurang dari itu, rasa-rasanya susah mendapatkan
kenikmatan rileksasi. Apalagi, ini rileksasi yang
berbau seks. Untuk laki-laki seperti Hary dan Rob,
urusan massage dan sauna plus, barangkali bukan
lagi sesuatu yang aneh. Malah, sudah jadi agenda
wajib satu atau dua minggu sekali. Mereka berdua
punya beberapa tempat sauna langganan, dari
yang ada di Kawasan Blok M, Wijaya, Fatmawati
sampai di area Kota, Mangga Besar, dan Pluit.
Suite Room Package
"LO udah siap belom?" tanya Hary pada saya,
tiba-tiba.
"Maksud elo? Siap apanya?" sergah saya, balik
bertanya.
102
"Nggak usah banyak nanya. Pokoknya harus
siap. Awas kalo lo kabur," jawab Hary tanpa me-
nunggu reaksi saya.
Ada sesuatu yang disembunyikan Hary dan
Rob. Saya tidak tahu apa yang di benaknya. Jangan-
jangan mereka telah menyiapkan agenda pesta gila
secara diam-diam.
"Yang tadi saya pesan, emangnya udah siap
semua, Mam?" tanya Hary pada Mami Yeni.
"Tinggal naik aja ke kamar. Semua udah
siap. Atau mau pilih-pilih lagi yang ada di sini?"
tawar Mami sambil mengedarkan pandangan ke
beberapa gadis Cungkok dan Uzbekistan yang
tersebar di restoran.
Mau tidak mau, saya jadi ikut melihat-lihat
keadaan di sekeliling resto. Alhasil, saya malah
pusing kalau disuruh memilih. Rata-rata punya body
bagus dan wajah cantik. Mami memperlihatkan
dua gadis Uzbek yang katanya masih fresh.
"Belum ada dua minggu, mereka kerja di
sini. Masih muda-muda lagi. Di bawah dua puluh
tahun," jelas Mami.
Bukan Hary namanya kalau tidak langsung
tanggap. Promosi Mami Yeni disambut dengan
103 antusias. Hary meminta Mami memanggil dua
gadis Uzbek yang tengah membenahi make up di
wajahnya itu. Mami mengenalkan mereka satu
per satu pada kami.
Seperti sedang melihat dagangan bagus, Hary
dengan cermat meneliti dua gadis Uzbek dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Meskipun mereka
tidak terlalu fasih berbahasa Inggris, Hary dengan
santai bercakap akrab. Menawarkan minuman,
bertanya kabar, tempat tinggal sampai soal situasi
di Jakarta.
"Milana boleh tuh, Mam. Ntar ajak naik ke
atas ya?" Hary berbisik ke Mami Yeni yang langsung
menjawab dengan senyum dan anggukan.
Dua gadis Uzbek itu pun berlalu dari meja
kami. Mami Yeni meninggalkan restoran tak lama
kemudian. Katanya, mau mempersiapkan segala
sesuatunya. Saya? Terus terang, menjadi makhluk
paling bego malam itu. Saya lebih banyak diam
mendengarkan percakapan antara Hary, Rob,
Mami, dan dua gadis Uzbek. Segelas green tea di
meja sampai lupa saya minum.
Kira-kira pukul sepuluh iewat 35 menit, saya
dibawa Hary naik ke lantai tujuh. Lantaran tidak
I04
tahu, saya hanya pasrah saja. 'Apa acara apa lagi
di lantai tujuh?" Begitu pertanyaan pertama yang
terlintas di benak saya. Apakah ada pesta yang
lebih gila lagi dibanding pertunjukan striptease
couple yang barusan tadi saya lihat?
Sebelum pertanyaan saya terjawab, lift ber-
henti di lantai tujuh. Begitu keluar, saya melihat
deretan kamar di kiri-kanan lorong. Mami Yeni
tampak menunggu di depan meja resepsionis yang
terletak di samping kiri lift. Ada empat orang
berseragam waiter yang stand by menunggu order
tamu.
"Kamarnya ada di paling ujung sebelah ka-
nan," jelas Mami.
Ternyata, di lantai tujuh ini juga terdapat
beberapa kamar yang disulap menjadi ruangan
karaoke. Sisanya tetap berfungsi sebagai kamar
untuk menginap.
Tapi yang paling menarik dan bikin saya
penasaran adalah satu kamar yang berada di ujung
sebelah kanan. Ada apa sebenarnya?
Di depan pintu kamar, ada seorang waiter
yang berjaga-jaga. Dari luar, kamar itu tidak beda
dengan kamar-kamar lainnya. Bentuk pintu, warna
105 cat dan sebagainya. Ada tulisan "Suite Room"
terpampang di pintu. Sayup-sayup terdengar
suara beberapa wanita yang tengah bercakap.
Tapi saya tidak begitu jelas mendengar apa isi
pembicarannya. Jantung saya berdegup kencang
menahan penasaran.
Dan begitu Mami membuka pintu, saya
menemukan pemandangan kamar yang begitu
lux. Semua fasilitas yang disediakan sesuai dengan
standar kamar kelas "Suite" yang dipakai di hotel
bintang empat.
Tapi yang lebih mengejutkan lagi, di dalam
kamar itu sudah ada empat gadis Uzbekistan dan
dua gadis Rusia. Salah satunya adalah Milana yang
kami temui di resto.
Mereka duduk santai di sofa. Mami Yeni
mengenalkan mereka satu per satu kepada kami,
lalu dia menghilang di balik pintu.
Hary dan Rob tampak terbiasa menghadapi
enam gadis asal Uzbek dan Rusia itu. Dalam
hitungan detik, suasana akrab sudah terjalin.
Untuk menghangatkan suasana, Hary meme-
san dua botol red wine dan white wine. Hidangan
minuman itu sudah tersedia di meja tamu. Dua
botol white wine dimasukkan ke dalam tempat
yang sudah terisi es batu, sementara dua botol red
wine terhidang di meja dengan tutup setengah
terbuka.
Sesi perjamuan awal dimulai dengan acara
minum-minum. Biasalah, ini menjadi tahapan
basa-basi untuk lebih mengenal satu sama lain.
Menurut Hary, meskipun dia membayar keenam
gadis tersebut, bukan berarti langsung bisa "hantam
kromo" begitu saja. Tetap dibutuhkan proses dia-
log (meski cuma sebentar) biar ada keakraban dan
tidak kaku.
Apa yang akan terjadi di dalam kamar suite
malam ini? Enam gadis cantik dengan baju seksi
mengelilingi kami. Minum, ngobrol, dan tertawa
bareng. Ada yang mengenakan celana di bawah
lutut dengan baju lengan terpotong. Ada juga
yang membalut tubuh putihnya dengan sackdress
dan ada yang memakai rok supermini dengan baju
ketat.
"Banyak amat ceweknya?" Sebuah pertanyaan
bodoh muncul dari mulut saya.
"Justru itu serunya. Kalo cuma tiga orang,
udah biasa kaliii," jawab Hary, spontan.
106  107 "Jadi, kita bertiga mau pesta seks rame-rame?"
Sekali lagi saya bertanya. "Pastinya. Makanya gue
nanya ama elo: udah siap belom?" seru Hary.
Saya menggeleng pelan!
"Ah, udah. Lo tinggal pilih cewek yang lo
suka. Beres kan?" imbuh Rob dengan suara meng-
gebu-gebu.
"Lo bisa ambil dua cewek sekaligus. Kalo mau
bergantian sama gue, juga nggak pa-pa," imbuh
Hary.
Ucapan Hary dan Rob itu membuat dada
saya berdegup kencang. Pesta seks rame-rame?
Bergantian pula?! Astaga...! Apa yang saya duga
sebelumnya, ternyata menjadi kenyataan. Belum
lagi ditambah dengan polah tingkah gadis-gadis
Uzbek yang mulai liar dan berani.
Di Hotel MF ini, selain menyediakan karaoke
dengan pelayanan LC dan dancer, juga ada fasilitas
sauna plus massage di lantai tiga, dan terakhir paket
seks: satu pasangan, threesome sampai "groupsex"
package. Semua informasi itu saya dapatkan dari
keterangan Mami Yeni, Hary, dan Rob.
Ruangan suite yang kami tempati dilengkapi
ruang tamu lumayan lebar. Ada satu kamar utama,
108
satu kamar ekstra, serta satu kamar mandi besar
lengkap dengan bath up dan shower.
"Are you ready? Milana berseru dengan suara
lembutnya.
"So pasti!!!" jawab Hary.
Milana, gadis berusia 20 tahun, dengan ram-
but lurus berwarna kecokelatan. Tinggi badannya
tak kurang dari 170 cm dengan alis tebal dan
berkulit putih bersih. Sorot matanya terlihat tajam
dan memiliki bentuk bibir agak tebal. Baru sekitar
enam bulan di Jakarta setelah sebelumnya bekerja
di sebuah kelab malam di Singapura.
Tiba-tiba saja tangan Hary merogoh saku
celananya dan melemparkan puluhan benda yang
dibungkus plastik warna-warni. Kondom! Ya,
benda itu adalah kondom bermerek Durex dengan
tiga warna dan rasa yang berbeda: stroberi, duren,
dan pisang.
Keenam gadis "bule" itu berteriak kegirangan.
Milana mengambil kondom berwarna merah dan
melemparkan ke pangkuan Rozana, gadis asal
Rusia. Terjadi adegan saling lempar kondom untuk
beberapa saat lamanya. Sebuah pemandangan yang
seumur-umur baru saya alami.
109 Rozana! Ah, gadis Rusia yang umurnya baru
21 tahun itu memiliki tubuh seksi dan moleg.
Rambut blonde-nyz. mengikal hingga di bawah
bahu. Tampak seperti benang etnas ketika tertimpa
cahaya lampu. Kaus ketat tanpa lengan yang
membalut raganya, menjadikan Rozana sebagai
sosokwanita cantik dan seksi yang nyaris sempurna.
Apa saya terlalu memuji ya? Tapi, kalau saya
perhatikan dari ujung kaki sampai ujung rambut,
rasa-rasanya penilaian saya cukup obyektif.
"Banyak amat kondomnya? Emang mau
dihabisin semua?" sindir Milana.
"Siapa takut. Asal kamu kuat aja," sergah
Rob, blak-blakan.
Kalau dihitung-hitung, jumlah kondom yang
kini berserakan di meja itu tak kurang dari dua
puluh buah. Bagaimana mungkin bisa dihabiskan
dalam semalam, sementara kami cuma bertiga? Ah,
membayangkannya saja saya tidak berani.
"Lo jangan diam terus dong. Jadi laki-laki
mesti agresif," sindir Hary melihat saya yang lebih
banyak menjadi patung di sofa.
Entah bagaimana ceritanya, setelah Hary
melontarkan ledekannya itu, tahu-tahu Rozana
110
menjatuhkan diri ke tubuh saya. Dengan menahan
kaget, saya beranjak dari sofa dan masuk ke kamar
ekstra.
"Maklum, dia pasti grogi. Belum terbiasa,
soalnya," jelas Hary pada Rozana sambil menahan
senyum geli.
Hampir sepuluh menit saya bersembunyi di
kamar. Suara canda tawa di ruang tamu dengan
jelas bisa saya dengar dari dalam. Setelah merasa
tenang, saya memberanikan diri membuka pintu.
Dan...wow, saya mendapati pemandangan yang
mulai "panas". Tampaknya, pesta yang sebenarnya
sudah dimulai.
Milana dan Rozana Cs segera beraksi.
Prosesi paket seks rame-rame itu pun dimulai.
Secara hampir bersamaan, mereka mulai melucuti
baju dua teman saya yang tampak begitu happy.
Meskipun kini hanya tinggal underwear yang
melekat di badan.
Keenam gadis Uzbek dan Rusia itu lalu meng-
giring Hary dan Rob masuk ke kamar mandi.
Dengan berlarian mereka pun mencopot baju
mereka satu per satu hingga tinggal g-string yang
tersisa.
Ill Sebelum masuk ke kamar mandi, Hary sem-
pat menengok ke pintu kamar dan memergoki
saya yang tengah mengintip.
"Jangan beraninya ngintip doang. Buruan
ke luar kamar," seru Hary. Beruntung Milana Cs
segera menggamit lengan Hary menuju kamar
mandi.
Apa yang terjadi kemudian di kamar mandi,
pasti tidak jauh dari urusan "basah" bareng-bareng.
Dua laki-laki "dimandiin" enam cewek sekaligus.
Dan pastinya, sama-sama tidak memakai baju.
Ajang mandi basah rame-rame itu berlangsung
sekitar dua puluh menitan. Suara air shower ber-
campur teriakan-teriakan kecil terdengar jelas dari
kamar mandi. Hary keluar lebih bersama Rozana
dan dua gadis lainnya. Alamak, tubuh mereka sama
sekali tidak mengenakan penutup sehelai benang
pun. Mereka bugil semua!
Dengan menggotong Rozana masuk ke
kamar utama diikuti dua gadis lainnya. Pintu
kamar itu dibiarkan terbuka. Saya yang sedari tadi
memerhatikan dari balik pintu di kamar ekstra,
cuma bisa tercengang. Pesta seks rame-rame itu
benar-benar terjadi. Hary bersama tiga gadis
11 2
"bule" itu telah mengajarkan pada saya tentang
satu perilaku yang begitu vulgar, begitu liar,
begitu gila, dan entah dengan kata apa lagi saya
mengekspresikannya.
Sementara Rob bersama Milana dan dua
gadis lainnya, belum juga keluar dari kamar mandi.
Tampaknya, kamar mandi menjadi pilihan Rob.
Entah seperti apa gambaran pesta seks yang tengah
terjadi, yang pasti, tidak kalah gila dengan apa
yang dilakukan Hary bersama tiga gadisnya. Satu
laki-laki dan tiga cewek bermain-main di dalam
bath up yang dipenuhi air hangat. Sesekali pindah
ke shower dan sekali waktu cukup dengan duduk
manis di atas kloset.
Semua bentuk "kegilaan" yang terjadi di
kamar suite itu baru selesai dua jam kemudian.
Di kamar utama, Hary tidur telentang ditemani
tiga gadisnya. Di sofa, Rob duduk santai (juga)
diapit tiga gadisnya. Tak lama kemudian, Rob pun
menyusul ke kamar utama bergabung bersama
Hary. Dua laki-laki dan enam cewek mereguk
panasnya birahi yang bergelora secara bersama-
sama.
113 "Jangan sembunyi di kamar terus. Katanya
laki-laki, " teriak Hary.
Teriakan itu berulang kali terdengar di telinga
saya. Lama-lama, saya pun tak tahan. Dengan nekat
saya pun keluar. Tiba-tiba sosok Milana menyergap
saya. Entah bagaimana skenario yang terjadi, saya
hanya bisa pasrah. Semua terjadi begitu cepat,
bahkan sangat cepat.
Byarr!!! Saya seperti baru saja terbangun dari
mimpi yang sangat liar. Berulang kali saya hanya bisa
menelan ludah. Di dalam mobil, dalam perjalanan
pulang, Hary dan Rob tampak kelelahan. Tapi
wajah mereka berseri-seri kegirangan. Sepertinya
kepuasan dan kenikmatan sesaat telah mereka
dapatkan. Walaupun untuk itu, mereka harus
mengeluarkan uang tak kurang dari Rp 12 sampai
15 juta. Ya, tinggal hitung saja. Kalau satu gadis
Uzbek atau Rusia harga per-one short time-nyz
(sekitar dua-tiga jam) Rp 1.850.000. Tinggal di-
kalikan enam ditambah food & beverage (F&B) dan
tip. Kamar suite tidak perlu bayar karena sudah
masuk dalam paket.
"Payah lo!" kata Hary ketika kami sampai
di pelataran parkir Plaza Senayan. Mobil saya
11 4
memang sengaja saya tinggal di pusat perbelanjaan
yang terletak di Gatot Subroto ini biar tidak terlalu
merepotkan.
"Next time deh," jawab saya sambil masuk ke
mobil. Malam sudah lewat dari pukul dua dini hari.
Dengan setengah mengantuk, saya mengendarai
mobil menuju paviliun di Kawasan Senopati,
Jakarta Selatan.
115 116
(6 )
HAREM-HAREM
SAUNA BASAH
"Angel Party, everyday, 17.30 WIB s/d 18.30
WIB. Don't miss it!!!"
POSTER besar dengan warm terang itu dipajang
tak jauh dari meja resepsionis. Menjadi peman-
dangan yang rasanya sayang untuk dilewatkan.
Isinya? Informasi seputar fasilitas yang bisa dite-
mukan di wilayah sauna dan sekitarnya. Yang
membuat saya tertarik, tentu saja soal Angel Party
itu. Apakah itu semacam pesta bersama bidadari-
bidadari cantik dan seksi? Tak ubahnya seorang
raja yang sedang mandi bersama para haremnya
di kolam besar. Ada yang menggosok bagian
punggung, kaki, leher, dan bagian tubuh lainnya.
Pikiran itu terlintas begitu saja di benak saya.
117Tapi siapa yang tidak tergoda dengan hal
seperti itu? Pesta mandi di kolam ditemani puluhan
gadis cantik yang hanya mengenakan underwear
bahkan tidak memakai baju sama sekali. Wow!
Pada awalnya, saya masih berpikir enteng-
enteng saja. Namanya juga sauna, paling-paling
tidak jauh beda dengan beberapa tempat yang
pernah saya kunjungi sebelumnya. Misalnya
beberapa sauna yang tidak menjual seks sebagai
sajian utama bisa ditemukan di Kawasan Kebayoran
Baru atau di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan.
Pelayanan utamanya tidak jauh dari konsep
kebugaran. Ada sauna basah yang dilengkapi air
hangat dengan ramuan green tea dan rempah-
rempah. Ada juga sauna kering dengan beberapa
pilihan: green air, charcoal, lempung kuning, batu
jewel dan jenis lainnya yang tdak bisa saya ingat.
Tentu saja, steambath, massage, lulur, body scrub,
dan mandi susu juga tersedia.
Atau kalaupun ada unsur seksnya, paling-
paling tidak jauh dari layanan Double-Triple di
VIP Sauna seperti yang disediakan di CP, Ancol,
Jakarta Utara yang kini tampil dengan wajah baru
setelah beberapa bulan melakukan renovasi besar-
118
besaran. Menu utama yang terkenal di CP adalah
mandi bareng a la bayi di kolam susu. Sedangkan
pelayanan paling umum adalah layanan seks yang
disediakan di kamar-kamar pribadi ketika terjadi
proses massage, lulur, ataupun body scrup.
Clubbing & Angel Party
KALAU tidak karena Putera, sore itu saya tentunya
lagi enak-enak browsing internet di aparteman
sambil nonton ESPN. Malam sebelumnya, saya
dan Putera memang dugem bareng di Vertigo, di
Plaza Semanggi.
Putera sudah memesan satu meja persis di
depan bar. Seperti biasa, Putera datang dengan
rombongannya. Saya termasuk salah satu yang
ikut nimbrung malam itu.
Seperti biasa, acaranya cuma minum-minum,
ngobrol, joget, dan yang paling utama: tebar
pesona. Siapa tahu dapat kenalan cewek baru yang
cakep, baik, lagi pula tidak sombong. Komplit
deh!
Setelah semalaman berjingkrak dan meneng-
gak alkohol, yang paling asyik memang sesi joget
11 9 di dancefloor ditemani Lina dan Desi. Dua gadis
itu, tampak begitu enjoy dan nyaris liar. Mungkin
sudah kebanyakan minum alkohol atau memang
sudah bawaan. Yang beruntung, tentu saja Putera.
Nyaris sepanjang menit, Lina dan Desi selalu
bersama Putera.
Untuk pria sekelas Putera, urusan dugem
seperti itu, tentunya jadi agenda sehari-hari. Pria
berusia 28 tahun yang mengelola bisnis keluarga
di bidang bakery dan katering itu sudah terbiasa
mengocek dua sampai lima juta dalam semalam
untuk urusan senang-senang. Saya mengenalnya di
sebuah cocktail party yang diadakan seorang teman
di Bedroom, Kemang, Jakarta Selatan.
Sayang, pesta itu tidak berlanjut setelah
pukul tiga dini hari. Kalau saja Putera beruntung,
pastinya ia sudah CIA alias check-in-aaah.
"Kentang nih?" ceplos Putera. "Kentang"
maksudnya "kena tanggung" atau "kenceng tang-
gung". Kata ini biasa dipakai kalangan anak gaul
untuk mengekspresikan satu kegiatan yang tidak
tuntas, terhenti di tengah jalan. Awalnya istilah ini
sering digunakan kalangan triper yang menenggak
ekstasi tapi tidak tuntas.
"Daripada kentang, lanjut aja kalo gitu," usul
saya.
"Males ah. Jam segini, udah basi. Besok sore
aja deh, kita hunting, nyari yang bagus-bagus,"
sergah Putera. Kami pun berpisah di lobby Plaza
Semanggi.
Ternyata,ide hunting itu benar-benar kejadian.
Putera datang ke apartemen dan langsung menarik
saya ke mobil. Saya tidak sempat berganti baju.
Masih dengan celana jins dan kaos oblong.
Putera memang terbiasa dengan urusan yang
sifatnya mendadak. Tanpa banyak kata, mobil
Putera mulai meluncur ke Jalan Sudirman lalu
masuk kawasan Thamrin dan menyusuri sepanjang
jalan Gajah Mada, Jakarta Barat.
Di dalam mobil, saya tak berhenti bertanya
mau dibawa ke mana. Bukan apa-apa, Putera
sering banget keluar isengnya. Pernah satu waktu,
dia mengajak saya ke salah satu karaoke di Kawasan
Sudirman, tak tahunya saya "dikerjain" habis oleh
tiga penari striptease : dua cewek dan satu cowok.
"Kita mau ke BV. Ada Angel Party," jelas
Putera.
120  121 Begitu disebut Angel Party, saya hanya
manggut-manggut saja. Maklum, saya sudah
mendengar soal Angel Party dalam beberapa
minggu terakhir. Pesta itu memang sedang booming
dan jadi bahan omongan di kalangan anak gaul
terutama kalangan esmud malam.
Namanya juga anak malam, pasti kalau ada
tempat atau pesta baru yang gokil-gokil cepat sekali
beredar. Angel Party termasuk salah satu gosip
yang cepat sekali jadi bahan obrolan dari mulut ke
mulut. Meskipun masih samar, dari info mulut ke
mulut itu saya jadi bisa meraba kalau Angel Party
berlangsung pada sore hari. Isinya, semua laki-laki
yang datang bisa menikmati mandi bareng bersama
cewek-cewek cantik di kolam sauna.
Bagi industri seks di Jakarta, itu termasuk
salah satu menu terbaru yang muncul belakangan
ini. Ternyata, tidak hanya produk mobil atau
hanphone saja yang setiap bulan mesti berinovasi.
Industri seks pun melakukan hal yang sama. Hari
ini ada menu Threesome, bulan depan mestinya
ada menu Orgy. Hari ini ada menu cewek-cewek
Tasikmalaya, bulan depan mesti ada menu cewek-
cewek impor, begitu seterusnya.
122
"Kita mau ke Kawasan Ancol, ya?" tanya
saya.
"Nggak. Sok tau lo!"
"Pasti ke kawasan Mangga Dua."
"Udah, deh. Lo ikut saja, ntar juga tahu
sendiri," jawab Putera.
Kami sudah sampai di ujung jalan Gajah
Mada. Dari sebuah perempatan besar, Putera yang
pegang kemudi, mengambil jalan terus. 100 meter
kemudian, setelah melewati deretan toko-toko
dengan model bangunan ala Belanda, dia belok
kanan.
Gedung itu berada di daerah yang setiap
menitnya selalu dipenuhi mobil lalu lalang. Tem-
patnya diapit beberapa gedung perkantoran dengan
bangunan model Belanda. Dari depan, tempat itu
tertutup oleh sebuah pohon besar. Beruntung ada
papan nama besar bertuliskan BV yang terpampang
di pintu masuk.
Ternyata, sangat gampang untuk menemukan
lokasi BV. Tempatnya berada tak jauh dari sebuah
museum dengan bangunan tinggi. Begitu masuk
ke pelataran parkir, saya baru sadar kalau di sinilah
BV berada.
123 Di pelataran parkir terlihat puluhan mobil
dengan merek-merek bagus berjajar rapi. Dua orang
pria berseragam sibuk menata keluar-masuknya
mobil. Tak lama setelah turun dari mobil, tampak
dua mobil lain parkir di samping mobil kami.
Kaki saya baru saja masuk ke ruang sauna
ketika punggung saya ditepuk seseorang. Alamak,
rupanya ada seorang laki-laki muda yang wajahnya
sudah tak asing lagi.
"Kemal!"
Waduh, laki-laki yang satu ini, jangan canya
soal tempat-tempat "ngeseks". Boleh dibilang, dia-
lah "raja"nya. Hampir semua tempat yang ada menu
seksnya, pasti sudah ada di memori kepalanya.
"Ketahuan lo. Diam-diam, nakal juga lo ya!"
ledek Kemal sambil tertawa.
"Gue cuma ngikut. Lo sih, nggak pernah
ngajak-ngajak."
"Next time deh. Gue undang elo ke party
gue," jawab Kemal.
124
Harem-harem Triple X
KAMI sudah ada di depan meja respesionis. Kami
diberi kunci loker dan segera berganti baju: celana
pendek dan kimono.
Saya berjalan mengikuti Putera. Sejenak, kami
melongok ke kolam sauna yang sudah mulai ramai
oleh beberapa tamu laki-laki bertelanjang dada.
Kami melewati lounge bar. Di sini, terlihat
beberapa laki-laki yang tengah bersantai. Ada yang
cuma duduk duduk di bar dan sofa, ada juga yang
terlena di kursi panjang sambil menikmati pijatan
refleksi.
Kami berjalan menaiki anak tangga. Dan
ternyata, di lantai ini ada sebuah lounge-bar yang
tak kalah bagusnya. Bukan desain ruangannya yang
menggelitik rasa keingintahuannya saya, tetapi
sekelompok gadis cantik dalam balutan baju mini
yang tengah duduk berjajar di depan bar dengan
pose yang menggoda.
Di sebuah sofa bulat, saya dan Putera duduk
santai sambil terus mengamati satu per satu wajah-
wajah cantik yang ada di lounge-bar. Sebagian besar
berwajah Chinese dengan kulit putih susu. Hanya
beberapa saja yang berwajah pribumi.
125 "Silakan dipilih-pilih. Kalau ada yang cocok
tinggal panggil saya," ujar Lily, seorang wanita
berumur sekitar 35 tahun yang menjadi koor-
dinator untuk urusan booking cewek.
"Yang itu Jessica, 19 tahun. Service oke.
Orangnya baik, penyabar, dan ramah," jelas Mami
Lily sambil menunjuk ke sosok seorang gadis tinggi
berambut panjang dan berkulit kuning langsat.
Jessica. Sebuah nama yang kebule-bule-an dan
sangat berbau perkotaan. Lebih pas untuk sosok
gadis berwajah bule atau Indo. Itulah gunanya
nama. Wajah boleh Jawa atau Cina, tetapi nama
tetap "gaul" dan mudah diingat di kepala. Coba
kalau mereka menggunakan nama asli, mungkin
lidah orang pribumi rada susah mengejanya: Wang
Yi atau Li Chen. Jessica terdengar lebih akrab dan
terkesan mahal.
"Ajak mandi bareng juga boleh. Mau di
sauna rame-rame atau di sauna pribadi, sama saja,"
imbuh Mami Lily.
Putera hanya tersenyum dan menggangguk
pelan. Di meja, dia cuma melihat keadaan seke-
liling. Beberapa gadis Cina atau populer dengan
I26
sebutan Cungkok itu tersenyum lebar. Dari tempat
duduknya, mereka memberikan salam hangat.
Jangan tanya soal baju yang mereka kenakan.
Rata-rata mengenakan baju seksi abisss. Kalau
tidak underwear dipadu dengan kain transparan,
pastinya ya rok mini dengan baju u can see sangat
ketat. Bersepatu high-heel dan memoles wajah
mereka dengan make-up lumayan tebal. Lentik
bulu mata, blush on di pipi kiri kanan, bedak
halus di sekujur wajah dan lipstik terang di bibir
merekah. "Milihnya ntar aja. Kita liat-liat dulu
sambil minum-minum," jelas Putera.
Karena tidak mengerti dengan urusan prose-
dural di BV, saya hanya mengiyakan saja. Lagipula,
kenapa juga mesti repot-repot kalau ada pakarnya.
Follow the sun saja, begitu pikir saya.
Pukul 17.30 WIB, kami turun dari lantai satu
menuju ruangan sauna. Masih dengan kimono di
badan, kami segera bergabung dengan puluhan
laki-laki di sauna.
Alamak! Kolam besar yang bisa menampung
kira-kira lima puluh orang itu mulai ramai. Sedi-
kitnya ada dua puluh laki-laki bercelana pendek,
termasuk kami. Ada yang lagi duduk di pinggir
127] kolam sambil ngobrol, sebagian lagi berbasah-
basahan di dalam air hangat dan dingin. Hanya
dua-tiga orang yang masih setia di ruang sauna
kering.
Pesta di kolam uap itu tinggal menunggu
hitungan detik. Saya dan Putera sudah lebih dulu
berendam di kolam hangat, berbaur dengan tamu
yang lain.
Dari arah loungebar, muncul puluhan gadis
Cungkok dengan baju seksinya. Kalau tidak me-
ngenakan bikini atau underwear, mereka paling
hanya menutup tubuh dengan kain tipis. Hampir
bersamaan, mereka pun ikut berbaur di kolam
uap.
Jadilah kolam besar yang disekat menjadi dua
bagian itu (satu berisi air dingin 12 derajat celcius
& satu lagi berisi air hangat 42 derajat celcius)
menjadi ramai oleh gelak tawa dan kecipak air.
Sebagian besar lebih suka berada di kolam hangat.
Maklum, jarang ada yang bertahan lama di kolam
dingin.
Inilah Angel Party. Puluhan gadis dengan
busana nyaris telanjang berpesta bersama tamu
laki-laki di kolam besar. Di pesta ini, tamu
dipersilakan memilih pasangan masing-masing.
Mana yang cocok dan sesuai dengan selera, tinggal
tunjuk tangan. Atau langsung saja ajak mandi
bersama. Memandikan dan dimandikan, itulah
aturan mainnya.
"Sekarang lo boleh pilih mana yang lo suka.
Apa mesti gue yang pilihin?" bisik Putera.
Tanpa banyak kata lagi, Putera mendekati
salah seorang gadis. Mereka berdua tampak akrab.
Lalu tahu-tahu Jessica muncul dari belakang dan
mendekap tubuh saya. Bercampur kaget, saya
hanya bisa tertawa.
Bayangan seorang raja tengah dimandikan
para selirnya, kini menjadi begitu nyata. Suasana
di kolam itu lebih pas disebut "rendezvous party".
Tidak ada acara khusus selain "mandi bareng".
Selebihnya? Ya apalagi kalau bukan bercanda,
ngobrol, dan bermesraan.
Setelah hampir satu jam berlangsung, pesta
itu pun usai. Sebagian yang masih betah, memilih
untuk tetap berendam. Sebagian lagi pindah ke
lounge untuk bersantai atau bergegas ke kamar di
lantai tiga.
128  129 "Tunggu apa lagi. Langsung aja ke kamar.
Apa lo lebih suka 'main' di dalam air?" canda Putera
yang beranjak dari kolam dengan gadis pilihan-
nya. Saya pun mengikuti jejak Putera.
Kami bersantai sejenak di lounge. Menikmati
segelas fresh orange sambil mengeringkan badan.
Dari sini, saya bisa dengan bebas mengamati apa
yang tengah terjadi di dalam kolam uap.
Hanya tinggal beberapa pasangan yang masih
betah berendam. Kali ini susananya sedikit ber-
beda. Mungkin karena sudah agak sepi, beberapa
pasangan itu bukan cuma sekedar mandi bareng,
tetapi mulai berani bertingkab "nakal". "Jangan_
jangan, mereka "main" di dalam air?!" pikir saya,
penasaran.
Belum juga rasa penasaran terjawab, Putera
mengajak saya naik ke lantai tiga. Di sinilah ter-
sedia fasilitas kamar dengan segala tipenya: standart
deluxe, VIP sampai suite.
"Kita pesan kamar suite saja. Biar bisa main
bola," canda Putera.
"Maksudnya kita berempat satu kamar?"
tanya saya, terheran-heran.
"Memang kenapa?" jawab Putera.
13 0
Senja mulai berganti malam. Jakarta berubah
wajah. Lampu-lampu menghias jalanan. Kamar-
kamar di BV tenggelam dalam desahan napas
memburu. Selamat malam, Jessica!
131 132
(7)
GADIS-GADIS ES
BATU
SEBUAH kelab one stop sex-tainment yang
menyajikan aneka "jajanan seks" di setiap lantai.
Ada tarian striptease, karaoke dengan LC-LC seksi,
dan sauna yang dilengkapi menu gadis-gadis impor.
Menu utamanya: foreplay seks dengan es batu dan
air hangat a la Vietnam.
Maya meneguk segelas Cranberry-vodka de-
ngan nikmat. Malam baru saja beranjak dari pukul
delapan. Suasana lounge yang berada di lantai tiga
itu lumayan ramai. Puluhan kursi yang tersedia
nyaris terisi. Terdengar suara merdu seorang wanita
melantunkan lagu Everytime-nya Britney Spears.
Di sebuah layar putih, di tengah ruangan,
terlihat klip yang mempertontonkan geliat seksi
13 3 Britney Spears. Tepukan meriah terdengar ketika
lagu berakhir. Berikutnya, di layar terpampang
gambar Beyonce yang menyanyi sambil menari
dengan gerakan sensual.
Malam terus beringsut menit demi menit.
Suasana lounge makin gerah. Di atas panggung,
muncul empat orang penari dengan pakaian
seksi abis mulai menari. Kali ini, musik berubah
agak keras. Puluhan tamu segera mengalihkan
pandangannya.
Empat penari itu mengenakan celana pendek
dengan kaus ketat transparan tanpa bra. Lekuk
tubuh mereka dapat dengan mudah dipelototi, inci
demi inci. Bukan apa-apa, kaus ketat yang melilit
tubuh empat penari itu tampak basah.
Tak ubahnya sebuah pertunjukan yang ada di
Wet Party, selama hampir setengah jam, para tamu
disuguhi tarian erotis. Kadang mereka bergerak
layaknya para model yang tengah ber-fasbion-
dance. Kadang mereka beraksi dengan sangat liar.
Maya berulangkali berteriak kegirangan.
Dua teman wanita dan tiga laki-laki yang duduk
dengannya, tak urung ikut larut dalam suasana
pesta.
134
"Cheers...!" seru Maya sambil mengangkat
gelas Cranberry-vodka-nya. Kelima teman Maya
pun melakukan hal yang sama.
"Buka, buka...!!!"
Terdengar teriakan dari arah meja di dekat
bar. Tampak dua laki-laki berdiri di sana, mata
mereka terfokus pada empat penati di dalam
ruangan berbentuk kurungan dengan tiang-tiang
berwarna keperakan. Dengan gayanya yang khas,
para penari itu mengangkat kausnya. Astaga!
Bagian sex appeal yang paling vital di area dada
itu pun terbuka. Tapi hanya sebentar, mereka lalu
menutupnya kembali.
Perlahan, empat penari yang wajahnya mu-
lai ditumbuhi butir-butir keringat itu berjalan
mengelilingi meja-meja tamu. Satu dari mereka
menghampiri tamu laki-laki di bar. Lebih dari
sekadar menari, penari berambut ikal dan dikuncir
ke belakang itu mulai meraba tubuh salah seorang
tamu laki-laki. Ketiga penari lainnya juga melakukan
aksi yang sama. Suasana makin riuh. Setelah selesai
dengan aksinya, mereka kembali masuk ke dalam
kurungan; mempertontonkan tarian penutup.
Secara bersamaan mereka melepaskan kaus dan
13 5 menjadikannya sebagai aksesori menari. Beberapa
saat kemudian, mereka menghilang di balik
kerumunan para tamu. Musik house masih terus
berdentum, menghangatkan suasana lounge.
Ada yang menonton dengan tatapan tertegun.
Ada yang cuma senyum-senyum kecil. Ada juga
yang histeris berteriak. Yang unik, ada beberapa
tamu laki-laki yang pura-pura sibuk bermain
SMS dengan ponselnya tapi sesekali mata mereka
melirik aksi liar para penari.
"Mau ke ruang karaoke sekarang?" lamat-
lamat terdengar suara Maya berbicara pada teman-
temannya.
"Ayuk aja!" jawab seorang pria berbaju kasual.
Maya Cs itu pun hengkang dari kursinya.
1, 2, & 3 : Sex Club
MALAM itu, saya ditemani Wisnu (atau lebih
tepatnya, saya menemani Wisnu) menyaksikan
pertunjukan Sexy & Wild Dancer itu dari sebuah
meja, di sudut sebelah kiri, paling belakang.
Sudah hampir satu jam kami berada di lounge
yang berada di sebuah tempat hiburan one stop
I36
sex-tainment berinisial EP di sekitar kawasan Pasar
Baru. Makanya, pertunjukan sexy dancer itu bisa
kami tonton dari awal sampai akhir. Sedari tadi,
saya terus mengamati keadaan yang terjadi. Dari
polah para tamu sampai atraksi penari. Maya,
adalah salah satu perempuan yang malam itu cukup
menyita perhatian saya. Begitu dia cabut dari
lounge, saya masih menetka-netka siapa gerangan
wanita itu. Cantik, modis, lincah, dan menarik
perhatian.
Keberadaan saya di EP malam itu, bermula
dari ajakan Wisnu. Sekitar pukul lima sore, dia
menyambangi paviliun saya di Kawasan Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan. Wisnu berkantor di sebuah
perusahaan perbankan di Jalan Sudirman. Jadi,
secara jarak memang tidak begitu jauh. Katanya,
dia lagi pengin makan. Kebetulan, sore sampai
malam, saya tidak ada acara. Lagipula, ini kan
hari Senin. Kalaupun mau nongkrong di kafe
atau restoran, paling mungkin juga ke Pisa Cafe
di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Duduk
rame-rame mendengarkan lagu-lagu cinta yang
dibawakan band Romantic 4.
I37 Sebagai tempat hiburan untuk laki-laki, EP
punya fasilitas pelayanan yang serba komplit.
Lantai satu ada karaoke yang notabene dilengkapi
dengan koleksi LC. Di lantai dua, ada fasilitas
sauna, massage, dan bar. Sementara di lantai tiga,
tersedia ruangan lounge untuk bersantai. Di lantai
inilah, saya dan Wisnu tengah menonton sexy
dancer.
"Mau tambah lagi minumnya?" seorang pra-
musaji datang ke meja kami.
"Cukup, Mbak," jawab saya setengah kaget.
Terus terang, perhatian saya masih terfokus
pada sosok Maya yang barusan hengkang dari
lounge. Siapakah gadis cantik dan sensual itu? Meli-
hat dari gerak-gerik dan tingkah lakunya, Maya
bisa membuat suasana jadi ramai. Enak diajak
ngobrol, murah senyum, dan yang pasti, atraktif
Seorang pria dengan pakaian rapi mendekati
Wisnu. Pria bernama Ferdy itu ternyata bekerja
sebagai floor manager. Setelah berkenalan dengan
saya, Wisnu dan Ferdy berbicara panjang lebar soal
gadis-gadis di EP, terutama Maya.
"Dia salah satu LC (lady companion) favorit di
sini. Kalo mau yang impor dari Cina atau Filipina
juga ada," jelas Ferdy.
Maya, menurut Ferdy, sudah hampir delapan
bulan bekerja di EP. Umurnya baru sekitar 23
tahun. Selain bekerja, dia juga masih berkuliah
di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Dia
hidup mandiri di Jakarta. Orangtuanya masih
tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Di EP, Maya
termasuk dalam jajaran Top 5 alias LC yang jadi
most wanted para tamu.
"Dia punya banyak langganan. Tiap hari se-
lalu ada yang waiting list. Udah begitu,
"Bisa booking sekarang nggak?" potong saya
sebelum Ferdy menyelesaikan kalimatnya.
Ternyata, Maya sedang service—istilah yang
biasa dipakai para LC ketika sedang bertugas. Ti-
dak tanggung-tanggung, tamu yang mem-booking
Maya, langsung membayar untuk dua belas jam.
Itu artinya, tamu yang mem-booking Maya mesti
membayar empat voucher. Satu voucher senilai
Rp 400 ribu. Itu belum termasuk tip ratusan ribu
rupiah setelah service selesai.
"Next time aja, deh. Sekarang kita ke lantai
dua aja yuk," ajak Wisnu setelah menghabiskan
sisa minumannya.
139  138 Gadis-gadis Es Batu
FERDY mengantarkan kami ke lantai dua. Di
meja resepsionis, kami mengambil kunci loker lalu
menuju ke bar. Disinilah, saya melihat pemandangan
yang lebih menggiurkan. Di sebuah sofa panjang
yang ditata memutar tengah berkumpul puluhan
gadis cantik dari Cina, Thailand, Vietnam, dan
Kolombia dengan dandanan superseksi. Ada yang
mengenakan sackdress mini dan transparan, ada
juga yang cuma mengenakan underwear.
Saya dan Wisnu duduk santai sambil terus
mengamati puluhan gadis yang ada di depan
kami. Sebuah pemandangan yang begitu indah
dan menggoda. Tubuh-tubuh seksi dengan dada
dan paha terbuka menebar pesona. Memberikan
senyuman dan melambaikan tangan pada setiap
tamu yang datang.
Di kursi bar, beberapa gadis GRO (Guest
Relations Officer) sibuk beramah-tamah dengan
sejumlah tamu. Mami Tan, yang menjadi koor-
dinator, memanggil lima orang untuk berkontes.
Tiga dari Cina dan dua dari Vietnam. Mereka me-
ngenalkan diri satu per satu lalu berpose sebentar
di depan kami.
140
Wisnu memilih satu gadis dari Cina, semen-
tara saya lebih suka dengan gadis Vietnam, sebut
saja Ann, 22 tahun. Keduanya bergabung di meja.
Mami Tan menyerahkan dua lembar voucher untuk
kami tanda tangani. Satu voucher untuk gadis Cina
atau Vietnam senilai Rp 1,5 juta.
"Mau kamar standar atau VIP?" tanya Mami
Tan yang lancar berbahasa Mandarin, Inggris, dan
Indonesia.
Di kamar VIP tersedia fasilitas whirlpool, TV
29 inci, dan shower. Harga per dua jamnya sekitar
Rp 180 ribu.
Setelah berbasa-basi sebentar, Wisnu beranjak
menuju kamar VIP ditemani gadis Cina pilihannya.
Saya, Ann, dan Mami Tan masih ngobrol di bar.
Biasalah, saya ingin tahu lebih banyak soal kelab
EP; dari koleksi para gadisnya sampai menu utama
yang ditawarkan.
Foreplay seks dengan es batu dan air hangat
menjadi topik utama pembicaraan kami. Menurut
Mami Tan, pelayanan ini menjadi menu pembuka
sebelum masuk pada tahapan intercourse. Pelayanan
ini menjadi menu utama yang wajib diberikan oleh
gadis-gadis dari Vietnam maupun Cina.
141 Barangkali tidak jauh berbeda dengan menu
seks di sejumlah panti pijat plus yang biasanya
selalu didahului dengan proses "mandi kucing".
Begitu juga dengan model pelayanan yang ada di
EP
"Kalo di sini, service mandi kucingnya dikom-
binasi dengan es batu dan air hangat," jelas Mami
Tan.
Seperti apa bentuk pelayanan es batu dan air
hangat itu? Ehm...untuk beberapa saat lamanya,
saya hanya bisa membayangkan di kepala. Ann
hanya senyum-senyum kecil. Gadis asli Vietnam
yang batu dua bulan bekerja di EP itu, memang
tidak begitu fasih berbahasa Inggris. Tapi tingkah
lakunya sangat sopan dan ramah.
"Ya, udah. Ke kamar aja sekarang. Biar bisa
mandi bareng," saran Mami Tan sambil tertawa.
Saya menggangguk pelan. Dan segera ber-
anjak dari kursi. Saya menyempatkan diri me-
longok kolam sauna yang mulai sepi. Maklum,
sudah hampir pukul sebelas malam.
"Mau dimandiin di depan umum?" goda
Ann.
"Nggak ah. Di kamar saja," sergah saya.
142
Ann membawa saya ke sebuah kamar tipe
standar. Lebarnya tak lebih dari 4X 5 meter
persegi. Selain dilengkapi kasur, juga ada shower di
dalamnya.
"Ini es batunya. Dan ini air hangatnya."
"Iya, tahu. Terus?"
"Kamu diam aja. Biar saya yang bekerja.
Oke?"
"Kok bengong. Gemetar apa bergetar."
"Ehm....!"
"Santai saja. Saya nggak gigit kok."
Percakapan dengan Ann malam itu, sekitar
satu jam setengah. Selama itukah? Pastinya. Selain
mendapatkan foreplay seks, pastinya butuh waktu
untuk basa-basi, dan membersihkan badan di
bawah kucuran air. Ah, segarnya...! Jadi sebenarnya,
sebutan gadis-gadis es batu muncul karena service
foreplay yang mereka berikan menggunakan es
batu, dari A sampai Z. Ada-ada saja. Itu baru es
batu. Coba pakai tofu, apa jadinya ya?
143 144
(8)
Uzbek "V"
NATALIE.
Nama itu meluncur dari bibir seorang gadis
berambut pirang asli ketika ia mengenalkan
namanya. Sebuah nama yang sangat familiar dan
gampang diingat kepala, apalagi untuk lidah orang
pribumi yang tinggal di kota-kota besar. Padahal,
jelas-jelas mukanya Natalie itu bule banget khas
Rusia. Umurnya tak lebih dari 21 tahun. Tinggi
badannya 174 cm, dengan bentuk badan nyaris
sempurna seperti model profesional. Ini bukan
pujian gombal atau sengaja melebih-lebihkan, tapi
nyatanya memang begitu. Natalie baru sekitar tiga
bulan bekerja di Jakarta, setelah sebelumnya dia
bertugas di Cina selama dua bulan.
Ngakunya sih dari Rusia, tetapi lama-lama
akhirnya Natalie keceplosan juga kalau datang dari
145 Uzbekistan. Katanya, dia lebih suka mengenalkan
dirinya sebagai gadis Rusia karena alasan sejarah.
Rusia lebih bergengsi. Rusia lebih populer dan
punya taring lewat agen KGB-nya.
Welly itu awalnya. Begitu kena alkohol rada
banyak, Natalie mulai bicara terus terang. Lima
gelas vodka yang diteguknya, cukup membuat
Natalie jadi sosok yang enak diajak bicara. Lagipula,
itu sudah jadi rule standar. Bekerja di bisnis jasa,
membuat tamu merasa comfort dan enjoy adalah
tugas prioritas. Bayangin kalau baru setengah jam
saja tamunya bete, wah. . .wah.. .bisa-bisa tamunya
pulang cepat. Mestinya minimal order di ruangan
karaoke tiga jam, bisa jadi cuma satu jam.
"Bisa dimulai sekarang?" tanya Natalie dalam
bahasa Inggris yang agak kaku. Aksen Rusianya
terdengar begitu kental.
Dua orang teman saya, Daniel dan Tata, saling
pandang sejenak. Merekalah yang membuat saya
berada di sebuah ruangan yang terasa begitu asing.
Ini untuk kali pertama saya duduk di sofanya yang
empuk. Memandangi interior ruangan yang serba
modern.
"Bentar lagi, kita minum-minum dulu saja,"
sergah Sophia.
Ya, ya.. . Sophia. Siapa pula gadis yang punya
wajah tak kalah cantik dari Natalie ini. Sophia
duduk di antara Daniel dan Tata sambil mengisap
sebatang rokok Marlboro light. Asap tipis mengepul
dari sela-sela bibirnya. Sesekali, Sophia meneguk
Blacklabel on the Rock yang terhidang di meja.
Sophia, seorang gadia Rusia tulen. Berumur
sekitar 20 tahun. Rambut ikal mengombak ber-
warna agak kecokelatan. Matanya agak kebiru-
ruan. Entah asli atau bias dari softlens. Tapi yang
pasti, Sophia cakep banget. Bahasa Indonesianya
terdengar fasih. Inggrisnya pun nggak malu-
maluin. Rupanya, gadis yang murah senyum itu
sudah cukup lama tahu Jakarta dan Surabaya.
Ceritanya, Sophia dua tahun lalu pernah ke
Indonesia karena ada job khusus. Jauh-jauh dia
datang dari Rusia untuk memenuhi undangan
seorang pengusaha kaya yang tinggal di Jakarta.
Whatever siapa lah nama si pengusaha kaya itu,
yang pasti, perusahaannya ada di mana-mana, dari
mulai pengeboran minyak sampai sekuritas. Iming-
iming US $ 10.000 untuk waktu satu minggu,
membuat agen Sophia langsung bilang oke. Biaya
transportasi dan akomodasi ditanggung si pemesan.
147  146 Sophia tinggal bawa badan dan selembar kontrak
kerja. Beres!
Tugas Sophia selama seminggu intinya cuma
satu: menjadi asisten pribadi yang siap dibawa
ke mana saja. Dari mulai menemani dinner, golf
sampai perjamuan pribadi di kamar suite hotel.
That's it! Rupanya, pengalaman pertama itu
berbuah manis. Lantaran puas dengan performance
dan pelayanan Sophia, dia dipesan lagi untuk job
kedua dan seterusnya.
Berikutnya, Sophia malah dijadikan sebagai
"PR". Maaf, maaf, bukan public relations lho tapi
piaraan. Dia ditempatkan di sebuah apartemen
dilengkapi dengan seorang sopir yang merang-
kap sebagai agen Secret Service. Mengantar dan
mengawal ke mana pun dia pergi. Selama hampir
setahun, Sophia dikontrak sebagai PR. Setelah masa
perjanjiannya habis, dia dioper ke Jepang selama
tiga bulan. Lalu lanjut ke Singapura dan Malaysia.
Dia memang spesialis untuk kalangan Asia.
Dia kembali dikirim ke Jakarta sekitar tahun
2002 ketika bisnis PSK asing yang melibatkan
gadis-gadis Uzbek, Rusia, Cungkok, dan Thailand
mulai mewabah. Begitu ceritanya singkatnya.
148
Pantes kalau dia terlihat sangat menguasai la-
pangan. Bagaimana dia berbicara, menghibur, dan
melayani tamunya.
"Cheers...!" Sophia mengangkat gelas. Natalie
meneguk segelas vodka sampai tak bersisa. Daniel
dan Tata, menghabiskan dua gelas martel yang
dicampur dengan green tea. Mau tak mau, saya ikut-
ikutan membasahi kerongkongan dengan segelas
Black Russian. Saya sengaja memesan minuman itu
karena rasanya manis. Campurannya terdiri dari
kahlua, vodka, dan ada buah cherry-nya.
V-Room
SUASANA mulai panas. Hawa alkohol bereaksi
cukup cepat. Ruangan yang awalnya terasa sejuk
itu kini jadi agak gerah. Sebut saja ruangan itu
dengan nama V. Terserah mau menyebutnya
Van Room, Vulcano Room, Vantasi Room, Vip
Room, atau Velvet Room. Pokoknya, yang pen-
ting enak terdengar di kuping saja lah. Tapi ada
apa sebenarnya dengan V Room? Ini yang jadi
pertanyaan saya sedari awal. Jujur, saya berada
di ruangan V ini sebenarnya lebih karena faktor
149 tersesat. Lho kok? Iya, awalnya saya mikir bakal
datang ke sebuah party yang dihadiri ratusan tamu
dari anak malam.
Dan, ternyata saya tidak salah duga meski
tidak 100 persen benar. Kalau dirunut-runut
dari kejadiannya, sore hari saya terima SMS yang
isinya menyebutkan malam ini ada party dengan
tema Lingerie Dance di sebuah bar BQ di Kawasan
Kelapa Gading, Jakarta Utara. Biasalah, setiap
Rabu, Jumat, dan Sabtu, puluhan tempat hiburan
malam Jakarta memanfaatkan media SMS sebagai
jalur untuk berpromosi. Sifatnya lebih personal
dan langsung ke pokok sasaran. Daniel dan Tata,
termasuk dua orang yang juga menerima SMS
tersebut.
Saya tak begitu antusias untuk datang ke
pesta itu. Maklum, saya ada acara lain yang lebih
menarik. Dan, sorry to say. buat saya kok lebih
punyai nilai, begitu.
Come TODAY to the Soft Opening
of MU MU Spa & Lounge. Jl. Batu
Tulis 35-37 Jakarta from 1PM
till 2AM. Feats Sexy Dancers
8 Live DJ. 30% Off Beverage &
Spa. Info 351-9988.
150
Itu isi SMS yang menggoda saya untuk
datang. Kebetulan, Minggu ini saya lagi pengin
suasana baru. Bosen juga keliling dari satu
diskotek ke diskotek, cafe to cafe. Memanjakan
diri di sauna, menyantap buah-buahan segar dan
mendengarkan musik-musik syahdu, rasanya kok
lebih menyenangkan. Dapat diskon 30% lagi, itu
kan jarang-jarang terjadi. Sebulan bisa jadi cuma
sekali kecuali buat tamu yang berstatus "member".
Tapi planning saya bubar ketika Daniel tele-
pon dan mengajak saya pergi ke BQ. Mau nolak
saya jadi nggak enak hati. Maklum, Daniel ini yang
banyak membantu saya dalam menguak fenomena
malem-malem di Jakarta. Muda—umurnya baru
30 tahun, banyak duit, banyak teman, royal
pula. Jadi, nggak mungkin banget kalo saya tidak
mengiyakan ajakannya.
Saya dan Daniel janjian ketemu di BQ
pukul sembilan malam. Dia bilang akan datang
bersama Tata, partner bisnisnya di bidang ekspor-
impor batu bara. Saya terpaksa melupakan agenda
bersauna ria.
Kha-kira pukul sembilan lewat 35 menit saya
sampai di bar HQ. Acara belum dimulai. Daniel
151 dan Tata sudah booking satu meja, tak jauh dari
bar. Mereka terlihat asyik ngobrol dengan ditemani
sebotol martel. Di atas panggung, sekelompok
band tengah menyanyikan lagu-lagu RnB. Saya
langsung bergabung di meja mereka.
Lingerie Dance yang menjadi tema acara
malam itu baru dimulai sekitar pukul 22.30 WIB.
Ratusan tamu sudah memadati ruangan. Sebagian
memilih duduk, sebagian lagi asyik bersanding
di depan bar. Lima orang model cantik dengan
busana seksi transparan melenggok-Ienggok di atas
panggung. Lalu perlahan turun dan membaur di
antara puluhan tamu.
Daniel dan Tata terlihat tidak terlalu serius
menyaksikan aksi para model. Buat cowok seperti
mereka, lingerie dance barangkali bukan satu acara
yang istimewa, malah masuk kategori sangat biasa.
Di sejumlah kafe-diskotek trendsetter hampir setiap
minggu pasti ada acara sejenis. Entah temanya Go
Go Dancers, Sexy Dancers sampai Wet-Wet Girls. Ini
bukan acara private dengan komunitas terbatas tapi
terbuka untuk umum. Makanya, saya pun jadi
heran kenapa mereka berdua begitu bersemangat
datang ke BQ.
"Tumben lo mau dateng ke acaran beginian.
Cuma lingerie dance, jooo Apa nggak salah?"
tanya saya, penasaran.
"Ini baru appertizer-nya. Maincourse-nya me-
nyusul," jawab Daniel.
Benar dugaan saya. Rupanya, lingerie dance itu
hanya sebagai tahapan rendezvous. Santai sejenak,
menghabiskan segelas sampai tiga gelas minuman,
baru masuk ke pesta yang sebenarnya.
V Room, ya di ruangan inilah akhirnya saya
berada. Ruangan itu berada satu gedung dengan
BQ. Hanya tinggal berjalan beberapa puluh meter,
pintu V Room sudah menanti untuk dibuka.
Sebuah ruangan yang desainnya dibuat berdasarkan .
gabungan antara bar dan karaoke.
Natalie dan Sophia. Dua gadis cantik itu
mukanya mulai memerah karena pengaruh alko-
hol. Daniel dan Tata tak ada bedanya. Mabuk?
Tunggu dulu. Muka memerah hanya salah satu efek
setelah minum alkohol. Kalau jalan sempoyongan,
ngomong ngelantur, jack-pot pula, itu baru na-
manya mabuk. Tipsy alias setengah mabuk, mung-
kin itu sebutan yang lebih tepat.
IS 3  152 V?-Lapdance
NATALIE mematikan rokoknya. Sophia mengikat
rambut ikalnya ke belakang. Mereka berdua saling
mengerling. Lalu....
"Oke, guys. Sudah bisa dimulai sekarang?"
terdengar suara Sophia.
Daniel mengangguk. Tata tertawa.
Natalie dan Sophia masuk ke restroom dengan
menenteng tas mereka. Daniel, Tata, dan saya
menunggu di sofa.
"Ini baru maincourse-nya" ceplos Daniel
sambil menepuk punggung saya.
"Emang mereka mau ngapain?"
"Liat saja sendiri. Nggak usah banyak tanya!"
potong Daniel.
Daripada malu-maluin karena kebanyakan
nanya, mendingan saya menunggu apa yang akan
terjadi. Coz, yang saya tahu selama ini, gadis
Uzbek atau Rusia sebagian besar hanya menjual
jasa perjamuan di atas kasur. Kalau pun ada yang
menjadi "sexy dancers' jumlahnya tidak seberapa.
Di Jakarta sendiri, paling-paling hanya ada dua-tiga
tempat hiburan malam yang berani menggunakan
Russian Dancers.
Lima belas menit kemudian. Natalie dan
Sophia keluar bersamaan. Muka mereka tampak
lebih fresh. Mereka sudah men-touch up riasan di
muka. Lipstik di bibir mereka yang sebelumnya
mulai pudar kali ini kembali menyala.
Setelah meletakkan tas, mereka mulai berpose
lalu menari secara perlahan mengikuti musik yang
mengalun. Mereka masih mengenakan baju utuh.
Sophia mengenakan sack-dress tak berlengan dengan
sepatu berhak tinggi. Sementara Natalie memakai
celana jins ketat dengan kaos yang ukurannya nge-
pas di badannnya.
Menit demi menit, gerakan Natalie dan
Sophia makin menyerupai tarian striptease. Hanya
saja, sampai lima belas menit, mereka belum juga
melepaskan baju yang melekat di tubuh mereka.
Walah, kok lama sekali, itu pikir saya. Bukan apa-
apa, biasanya para penari striptease yang banyak
ditemui di sejumlah karaoke elit di Jakarta, akan
mencopoti satu per satu bajunya setelah lewat 15
menit. Dimulai dari baju atasan, underwear sampai
akhinya totally naked.
Posisi Natalie dan Sophia sudah berada di
depan Daniel dan Tata. Mata mereka menatap
154
155 tajam. Sesekali Sophia meremas rambut ikalnya
lalu menjatuhkan tubuhnya di dada Daniel.
Natalie mengangkat kakinya dan membiarkan kaki
jenjangnya yang masih mengenakan sepatu berhak
tinggi menyentuh "danger zone" milik Tata. Bau
harum Kenzo tercium enak di hidung. Butir-butir
keringat menghias di sebagian tubuhnya.
Pada menit berikutnya, posisi mereka mem-
belakangi Daniel dan Tata. Lalu, tanpa permisi,
mereka mulai melalukan adegan lapdance. Menari
dengan meliuk seksi dan panas di atas pangkuan.
Momen ini makin menjadi-jadi ketika Sophia
membuka sackdress-nya., dan Sophia mulai menu-
runkan kancing celana jins-nya.
Pesta sebenarnya baru akan terasa ketika
mereka mulai melepaskan baju, underwear sampai
akhirnya tidak mengenakan sehelai kain pun.
Di tahap inilah, V***na lapdance atau biasa juga
disingkat V lapdance, mencapai puncaknya.
Mereka sepertinya tahu persis apa yang ha-
ras dilakukan ketika Daniel dan Tata mulai bling-
satan. Mula-mula metrka sengaja menolak ketika
misalnya mulai diraba. Tapi, pada adegan tertentu
mereka sengaja membiarkan dirinya menjadi
bulan-bulanan. Let's play the game, itulah intinya.
Mereka akan terus bermain-main dengan segala
adegan dan tarian untuk menggoda tamunya.
Makin besar tip yang dikeluarkan, makin pandai
mereka memainkan perannya. V lapdance baru
akan selesai ketika terjadi adegan "having sex".
Saya menahan napas dan pura-pura nggak liat
ketika adegan itu terjadi. Daniel dan Tata berulang
kali menenggak minuman untuk menghangatkan
tubuhnya. Tata malah langsung minum dari botol
untuk beberapa detik lamanya. Sebagian alkohol
tumpah membasahi bajunya. Di kalangan anak
malam, memang ada tren sendiri ketika minum
langsung dari botol. Biasanya, sebelum botol
sampai di mulut, mesti ada perjanjian dulu: 5, 10,
atau 15 detik!
Saya pikir, pesta sudah usai ketika V lapdance
itu berakhir. Daniel dan Tata mengembuskan napas
penuh kepuasan, mereka berdua ber-toast. Dua
gelas bertemu. Merayakan kesuksesan mencapai
titik klimaks biologis. Natalie dan Sophia mulai
berjalan mendekat ke arah saya. Secara hampir
bersamaan, mereka langsung duduk di pangkuan
saya dan menari sejadi-jadinya.
157  156 "Kerjain dia sampe teler," teriak Daniel.
"Rasain lo," ceplos Tata.
Well, semua berakhir setelah hampir satu se-
tengah jam Natalie dan Sophia mempertontonkan
V lapdance yang liar dan agresif itu. Saya me-
nyalakan sebatang rokok untuk menghilangkan
kekagetan yang baru saja saya alami. Inilah sex-
entertainment yang sarat permainan. Sex is all about
game. Itu intinya. Inovasi baru, barang lama. V
lapdance menjadi menu yang diciptakan untuk
menarik tamu. Obyeknya? Ya, tetap Uzbekistan
atau Rusia. Bagi sebagian orang, menikmati sajian
lapdance mungkin bukan lagi satu pertunjukan
yang luar biasa. Rata-rata lady companion (LC)
yang mangkal di karaoke, sudah tak asing dengan
sajian lapdance. Hanya saja, lapdance menjadi
menu yang memacu adrenalin dan rasa penasaran
ketika diramu dengan racikan bumbu yang "extra-
convensional". V lapdance dengan objek gadis-
gadis Uzbek atau Rusia adalah salah satunya.
So... setelah pesta usai, Natalie dan Sophia
sibuk merapikan tip beberapa lembaran US $ 50
dan US $100 yang tadinya berserakan di meja
dan lantai. Mereka balik ke restroom lalu muncul
IS8
dengan make-up baru seperti saat pertama kali saya
bertemu mereka. Cakep banget, swear!!!
159 160
(9)
SANDWICH BODY
MASSAGE
SEBUAH tempat pelesir cinta untuk laki-laki.
Layanannya? Seks sandwich ala body massage
dengan dayang-dayangcantik asli pribumi, Thailand,
Cungkok, dan Uzbekiskan.
Ruangan itu terasa sejuk oleh hawa AC yang
berembus. Musik chill-out terdengar lamat-lamat.
Suara manja menyeruak dari kerumunan gadis
cantik yang duduk di sofa. Di bar, kami duduk
santai sambil menyeruput minuman beralkohol.
Dicky sudali menghabiskan dua gelas Chivas
yang dicampur dengan green tea, sementara saya
masih menyisakan setengah botol Corona.
"Mau tambah bir Corona-nya?" tanya barten-
der cewek yang tampak gesit meracik minuman.
161 "Ayo dong. Kan baru dua botol." Dicky ikut-
ikutan menyemangati saya.
"Oke. Hajar aja! Tapi kalo gue sampai mabuk,
lo yang tanggung jawab," jawab saya sambil
mengbabiskan sisa bir dengan sekali tenggak.
Saya menggunakan istilah "hajar", yang artinya
kira-kira sama dengan "oke". Satu kata itu, kini
tengah jadi tren di kalangan anak dugem untuk
mengungkapkan rasa setuju. Padahal, awalnya
istilah itu hanya dipakai kalangan "triper-mania"
ketika sedang "on" di diskotek.
"Tenang. Udah ada kok yang akan bertang-
gung jawab," sergahnya sambil melirik ke arah
beberapa gadis cantik dengan baju supermini yang
duduk di sofa lounge.
Sore itu, ceritanya saya diajak Dicky "ngupi-
ngupi" (bahasa kerennnya: afternoon tea atau coffee)
di sebuah kelab yang di dalamnya dilengkapi bar,
lounge, dan sauna. Dengan tidak banyak bertanya,
saya cuma mengiyakan. Maklum, saya kenal cukup
baik dengan Dicky. Pria yang sehari-hari menggeluti
usaha di bidang telekomunikasi (khususnya
jual-beli ponsel) lumayan sering saya jumpai di
162
sejumlah tempat "dugem". Bahkan, beberapa kali
saya sengaja janjian "hang out" bareng.
Sore itu, Dicky mengundang saya ke kantornya
di Kawasan Casablanca. Biasalah, dia ingin ngo-
brol-ngobrol sekalian menunjukkan produk pon-
sel terbaru yang belum dijual di pasar nasional.
Tanpa banyak tanya, saya langsung mengiyakan.
Ya, hitung-hitung silaturahmi. Sudah cukup lama,
saya tidak mendengar celotehan Dicky yang suka
asal bicara tapi sarat humor.
Hanya lima belas menit, saya dan Dicky
berada di kantor. Usai memperlihatkan produk
ponsel terbarunya, Dicky mengajak saya keluar.
"Kita ngupi-ngupi di luar saja yuk. Udah
lama nggak ngeceng," ajak Dicky.
"Pake mobil lo, apa mobil gue?" tanya saya.
"Mobil gue saja. Mobil lo parkir di sini aja.
Aman kok!" jawab Dicky
Saya tidak menyangka kalau cerita "ngupi-
ngupi" itu ternyata berubah haluan. Padahal,
awalnya saya mengira akan diajak ke Zinc Pool &
Lounge, di daerah Bulungan Jakarta Selatan. Kalau
tidak ke situ, ya paling ke Hard Rock Cafe di X-
tainment, Jakarta Pusat atau ke Romeo Resto &
163 Bar di Automall, Kawasan Tenda Semanggi, Jakarta
Selatan. Mentog-mentognya, paling nongkrong di
Plaza Senayan atau ke Plaza Semanggi.
Ah, dugaan saya, ternyata salah 180 derajat.
Tahu-tahu, arah mobil yang dikendarai Dicky
melaju di sepanjang jalan Kuningan Raya.
"Kita mo ngupi-ngupi di mana sih?"
"Udah. Lo ikut aja. Dilarang banyak tanya.
Kayak pengacara saja," sergah Dicky.
Sampai di perempatan Monas, saya masih
belum juga mafhum mau dibawa ke mana. Kalau
ambil arah ke kiri, itu berarti menuju ke Kawasan
Kota atau Mangga Besar alias Mabes. Kalau belok
ke kanan, berarti masuk Kawasan Pasar Baru. Lalu
lintas mulai padat merayap. Tapi Dicky tampak
santai-santai saja memegang kemudi.
"Kita mau ke mana sih? Nggak mungkin
dong lo mau bawa gue ke Mabes?"
"Nggak! Kita ke Gunung Sahari. Kita nyobain
tempat baru yang menurut temen-temen gue,
punya pelayanan yang oke banget."
Begitu Dicky menyebut Kawasan Gunung
Sahari, saya langsung teringat sejumlah informasi
164
yang selama ini sering saya dengar dari beberapa
anak gaul Jakarta.
Selama beberapa tahun terakhir di kawasan
itu, ada beberapa tempat pelesir cinta, mulai
dari sauna, salon, KTV, gym sampai hotel yang
menawarkan menu seks dengan inovasi baru.
Seperti seks instan di private-whirlpool dengan
dua atau tiga cewek, sexy-sex-sbow di KTV, pijat
seks dengan menu gadis-gadis impor dan Iain-
lain. Sejauh ini, saya baru dengar dari mulut ke
mulut saja tanpa pernah membuktikannya secara
langsung. Makanya, begitu Dicky melajukan
mobilnya di sepanjang Jalan Gunung Sahari, saya
mulai menebak-nebak. Hotel, sauna, tempat pijat,
salon, atau malah di sebuah apartemen.
Tiba di sebuah perempatan besar, traffic light
menyembulkan warna merah. Antrean panjang
segera terjadi. Kami berada di deretan tengah, kira-
kira lima mobil dari depan. "Duh, Jakarta memang
tiada hari tanpa macet," gerutu saya dalam hati.
"Masih jauh, Dick?" tanya saya tak sabar.
"Nggak. Udah nyampe. Tempatnya udah
keliatan tuh," jawab Dicky sambil menunjuk
sebuah hotel berinisial G berwarna keemasan
165 dengan tulisan besar. Hotel G tampak mencolok
dibanding gedung-gedung lainnya.
Lounge Rendezvous
BAGI saya, Hotel G sebenarnya bukan tempat
baru. Beberapa kali, saya pernah melintas di
depannya. Tidak ada sesuatu yang membuat saya
tertarik untuk singgah. Yang namanya hotel gitu
loh, di mana-mana kan biasanya cuma menjadi
tempat untuk menginap. Entah dengan membawa
pasangan kencan, pesan via germo, atau iseng-iseng
bertransaksi dengan salah satu gadis pemijat yang
biasanya tersedia di hotel. Model begituan, rasa-
rasanya sudah nggak aneh lagi. Modus operandinya
terlalu umum dan mudah ditebak.
Seluruh bangunan Hotel G didominasi warna
krem. Ada jalanan menanjak menuju ke lobby.
Tapi mobil yang kami tumpangi tidak menuju ke
lobby melainkan masuk ke pelataran parkir. Setelah
melewati beberapa blok, mobil berhenti tak jauh
dari lift. Seorang petugas keamanan, mengantarkan
kami ke pintu lift.
Kami naik lift ke lantai tiga. Begitu terbuka,
166
dua resepsionis menyambut kami dengan ramah.
Di belakang meja resepsionis, terpampang tulisan
CS dengan desain neon sign warna-wami.
"Ini tempat apaan, Dick?"
"Udah ngikut aja. Lo pura-pura atau sengaja
bego?"
"Sumpeh deh, gue nggak ngerti. Baru sekali
ini gue ke sini."
"Ntar lo juga ngerti. Masuk yuk!" jawab Dick
sambil mendorong tubuh saya.
Resepsionis mengantarkan kami sampai di
pintu masuk. Kami berada di sebuah ruangan
yang bentuknya tak ubahnya lobby hotel. Setelah
melewati satu pintu lagi, kami tiba di sebuah
lounge yang dilengkapi bar dan sofa berbentuk
memutar. Di bar, ada tiga pria yang asyik ditemam
tiga cewek. Sementara pemandangan di sofa, tak
kalah serunya. Ada dua grup laki-laki yang duduk
santai sambil terus bercengkrama.
Tentu saja, bukan pemandangan sejumlah
pria yang tengah asyik bercengkrama sembari
berpesta bir, tetapi sekelompok gadis-gadis cantik
dengan busana yang sangat mini. Sebagian dari
mereka, ada yang sesekali ikut nimbrung minum
167 bersama para tamu, sebagiannya lagi ada yang sibuk
membenahi make up, "kontes" dengan perantara
mami, dan tentu saja, duduk sambil mejeng di sofa
menunggu tamu datang.
Istilah "kontes" sendiri, bagi mereka, itu ber-
arti tahapan untuk berkenalan dengan para tamu.
Biasanya mami akan memanggil lalu mengenalkan
mereka pada para tamu, satu per satu. Kontes bisa
dilakukan di launge, bisa juga langsung di dalam
kamar.
Saya jadi mafhum kalau bar dan lounge yang
ada di CS, lebih sebagai tempat untuk rendezvous;
ajang pertemuan face to face antara tamu dan gadis-
gadis di CS.
Saya dan Dick memilih duduk di depan bar.
Mami Nana, begitu para tamu CS menyebutnya,
menyambut kami dengan ramah. Biasalah, nama-
nya juga mami, pastinya dituntut untuk pandai
berbasa-basi. Kalau perlu, selalu tersenyum sepan-
jang hari.
"Kok baru keliatan lagi, Pak Dicky. Ke mana
aja?" tanya Mami Nana.
"Cari nafkah, Mam. Masak foya-foya melulu,"
jawab Dicky dengan cuek.
168
"Bos, bisa aja." Mami Nana ikut duduk di
sebelah kami.
Saya tak berhenti mengamati keadaan seke-
liling. Di setiap dinding lounge, saya melihat
foto-foto hitam-putih berpigura besar dipajang.
Foto-foto itu berisi gambar perempuan dan laki-
laki dalam pose-pose seksi, sensual bahkan nyaris
telanjang tapi tidak terlihat seronok. Malah,
menurut saya, indah sebagai sebuah karya yang
artistik.
"Bengong aja lo. Minum dong Corona-nya,"
suara Dicky mengagetkan saya.
"Iya. Gue lagi mengagumi foto-foto yang
dipajangdi dinding." Saya masih saja memerhatikan
satu foto yang terletak di belakang bar. Seorang
perempuan telentang di atas sofa dengan hanya
ditutup kain tipis dan membiarkan rambutnya
tergerai. Di ruangan tengah, terdapat screen ber-
ukuran besar yang tengah melansir acara fashion
TV.
169 3 or 4-Some Service
"MAU nyobain apa hari ini? Lokal, Cungkok,
Thailand, atau Uzbek?" Mami Nana menawarkan
beberapa alternatif cewek yang bisa di-booking.
"Ada stok yang baru nggak, Mam?" sambung
Dicky.
Pembicaraan antara Mami Nana dan Dicky
tampaknya mulai menjurus pada inti persoalan.
Ya, apalagi kalau bukan seputar menu seks yang
bisa didapatkan di kelab CS. Dengan fasihnya,
Mami Nana mempromosikan sex service ala bo-
dy massage yang bisa diberikan anak didiknya.
Tidak tanggung-tanggung, Mami Nana langsung
menawarkan paket "Threesome" pada kami. Saya
lebih banyak menjadi pendengar setia sambil se-
sekali melihat ke arah kerumunan anak didik
Mami Nana yang masih duduk mejeng di sofa.
Tiba-tiba, dari belakang kami, muncul dua
perempuan Uzbekistan dengan dandanan seksi dan
langsung duduk di sofa. Mami Nana memanggil
mereka dan mengenalkannya pada kami.
"Helena."
"Sabrina."
170
Hanya lima menit, mereka lalu kembali ke
sofa. Duduk manis sambil mengembuskan asap
rokok Marlboro Light dari bibirnya. Dua gelas
cocktail Sexy Blue terhidang di meja.
"Gimana? Berminat? Atau mau cewek Thai-
land freelance?' tawar Mami Nana. Dari tasnya, dia
mengeluarkan dua lembar foto berwarna ukuran
4R.
"Dua jam paketnya Rp 2,5 juta. Mau di hotel
boleh, di apartemen juga tidak masalah. Terserah
saja mau dibawa ke mana. Gue tinggal telepon
mereka kok," jelas Mami Nana.
Untuk beberapa saat lamanya, Dicky terlihat
menimbang-nimbang. Melihat dari fotonya, dua
gadis Thailand yang ditawarkan Mami Nana cukup
menarik. Tinggi di atas 170 cm dengan ukuran bra
sekitar 36 B.
"Gimana? Lo mau lokal, Cungkok, Uzbek,
atau Thailand?" tanya Dicky pada saya.
Saya bungkam, tidak tahu harus menjawab
apa. Boro-boro harus menentukan pilihan,
mendengar pembicaraan Dicky dan Mami Nana
saja, saya sudah gemetar. Belum pernah terbayang
di kepala saya melakukan seks threesome. Apalagi
dengan cewek-cewek impor. Alamak! "Jangan diam saja dong. Tentukan pilihan
sekarang. Semua on me" desak Dicky.
Yang dimaksud "on me", artinya semua bia-
ya Dicky yang tanggung. Semuanya, tanpa ter-
kecuali.
Sejujurnya, saya lagi bingung harus memilih
yang mana. Untuk mengelak, bisa-bisa saya men-
dapat setumpuk ejekan dari Dicky. Satu-satunya
jalan, saya coba mengulur-ulur waktu.
"Terserah lo, Dick. Gue ikut saja. Kalo nggak,
lo dulu aja yang masuk, gue mikir-mikir bentar."
"Paling bisa lo. Kalo kelamaan, gue masuk
dulu nih," balas Dicky.
"Iya...iya. Gue nggak keberatan. Duluan
aja," timpal saya tanpa pilar panjang.
Dicky tampak tersenyum. Mami Nana spon-
tan menyodorkan sex package yang ia punya.
"Jadi, mau body massage biasa atau mau three-
some?" tanya Mami Nana.
Dicky memilih paket threesome ala body
massage. Tidak tanggung-tanggung, kali ini dia
memesan dua gadis Cungkok sekaligus. Rupanya,
penawaran Mami Nana cukup membuat Dicky
tergoda.
172
Tak lama kemudian, Mami Nana memanggil
lima gadis Cungkok untuk berkontes di sofa lounge.
Satu per satu, mereka diperkenalkan. Ah, agak
pusing juga mengingat nama mereka satu per satu,
apalagi kalau sampai harus berdialog. Bukan apa-
apa, boro-boro ngomong pakai bahasa Indonesia,
pengetahuan mereka akan bahasa Inggris sangat
terbatas. Alhasil, dialog hanya bisa dilakukan ala
kadarnya.
Kontes hanya berlangsung tak lebih dari lima
menit. Lima gadis Cungkok itu lalu kembali ke
sofa. Terjadi pembicaraan serius antara Dicky dan
Mami Nana. Rupanya, Dicky tengah bertanya
ihwal kelebihan dan kekurangan dari kelima gadis
Cungkok itu.
Dua gadis Cungkok telah dipilih Dicky. Satu
bernama Ching, berusia 21 tahun, rambut lurus
melintasi bahu, tinggi 170 cm lebih dan tentu
saja, berkulit kuning bersih, sedangkan yang satu
lagi biasa dipanggil Wei, berusia 19 tahun dengan
wajah khas Mandarin dan memiliki tubuh agak
sintal dibanding Ching.
Menurut Mami Nana, mereka berdua terma-
suk "top 5" dari sepuluh gadis Cungkok yang
173 tersedia di CS. Selain gadis Cungkok, masih ada
25 gadis lokal, lima gadis Thailand, dan tujuh gadis
Uzbekistan yang saban hari "stand by" di CS.
Dicky memesan kamar Royal Suite yang
dilengkapi whirlpool, shower, ranjang berukuran
besar, dan TV 29 inci. Kamar tipe ini, di SC
menjadi fasilitas nomor satu. Di bawahnya ada
tipe Junior Suite dan Standar.
Dicky dan dua gadis Cungkok itu sudah
menghilang dari lounge menuju ke kamar Royal
Suite. Saya masih ditemani Mami Nana di bar.
"Apa gerangan yang akan terjadi dengan Dicky?"
tanya otak saya. Ups! Di kamar yang serba nyaman
dan enak sambil ditemani gadis cantik.... Hm.. .
sudahlah tidak usah kita bahas.
Saya jadi teringat dengan Order Orgy Rumah
Cinta XXX, di sebuah tempat bernama BO, di se-
kitar Pondok Indah, yang pernah saya tulis sebe-
lumnya. Pelayanan yang diberikan oleh gadis-gadis
di CS tidak jauh berbeda. Hanya saja, di CS koleksi
gadisnya lebih variatif dan selalu di Up-Grade.
"Kalo mau foursome juga boleh," jelas Mami
Nana dan cukup membuat saya terbengong untuk
beberapa detik.
174
"Ah, Mami bisa saja. Saya ini masih awam.
Jangankan threesome atau foursome, satu saja udah
bingung."
Atas inisiatif sendiri, saya meminta Mami
Nana untuk melihat-lihat kamar yang ada di CS.
Saya dibawa berjalan ke lorong kamar tak ubahnya
seperti yang terdapat di hotel. Perpaduan warna
krem dan hijau mendominasi dinding. Mami Nana
membawa saya untuk melihat-lihat kamar Royal-
Suite. "Ehm...pantas setiap tamu betah berlama-
lama di dalam." Kalimat itu yang pertama terlintas
di benak saya.
Kamar seluas kira-kira 3X 5 meter persegi
dilengkapi sebuah ranjang besar, whirlpool, shower,
lemari, meja hias, dan TV 29 inci yang meng-
gantung persis di atas ranjang.
"Kita menyediakan film biru, kalo tamu
pengen nonton," ujar Mami Nana sambil meng-
ambil remote dan menyalakan TV. Beberapa
potongon adegan panas segera muncul di layar
TV.
Otak saya segera membayangkan apa yang
kini tengah dilakukan Dicky, di kamar sebelah.
Dua gadis Cungkok, tahap pertama, akan meman-
ns dikannya di dalam whirlpool dengan air hangat.
Sekujur tubuh Dicky, tanpa terkecuali, akan "dira-
wat" layaknya seorang bayi. Dan pastinya, sama-
sama tidak mengenakan baju selembar pun.
Tahap kedua, Dicky akan mendapat suguhan
body massage service dengan dua pilihan: (1)
menggunakan busa sabun, dan (2) menggunakan
krem pelicin yang dijamin tidak lengket dan aman
untuk tubuh. Tahap ketiga, proses body massage
yang biasanya selalu dibumbuhi service mandi
kucing akan berlangsung seru dan panas. Ya,
dalam benak saya, tergambar bagaimana ketika
kucing lagi mandi. Tidak jauh dari unsur jilat dan
menjilat, begitu seterusnya.
Tahap selanjutnya, Dicky akan dimandikan
di bawah siraman shower. Usai sesi ini, Dicky akan
mendapatkan pelayanan terakhir, ya apalagi kalau
bukan sex-intercourse alias "bobo-bobo bertiga".
"Kok bengong. Mulai tertarik atau lagi nge-
bayangin dimandiin cewek Uzbek?" seru Mami
Nana.
Seruan itu membuat lamunan saya buyar.
"Ah, barusan gue mikirin apa?" Pertanyaan demi
pertanyaan terus muncul di benak saya.
176
"Apa sih bedanya bercinta dengan satu, dua,
atau tiga cewek sekaligus?"
"Apa nggak risih, ya?"
"Bagaimana cara mainnya? Apa nanti konsen-
trasi tidak terpecah karena lawan main lebih dari
satu?"
"Kalau cuma untuk sensasi dan variasi, apa
letak keistimewaannya?"
Belum juga sejumlah pertanyaan itu terjawab,
tahu-tahu Mami Nana mengajak saya kembali ke
bar-lounge.
"Udah, jangan bengong terus. Kita ke lounge
saja, biar Bos bisa pilih-pilih." Saya mengangguk
dan berjalan melintas di lorong kamar yang semua
pintunya tertutup rapat.
Di tengah perjalanan, saya berpapasan dengan
seorang pria yang berjalan beriringan dengan gadis
Thailand. Pria itu berwajah pribumi, mengenakan
baju rapi. Sekilas terlihat baru saja pulang dari
kantor. Sementara gadis Thailand-nya, membalut
raga langsingnya dengan sack-dress warna biru
muda, sepasang sepatu berhak tinggi membuat
kaki langsingnya semakin jenjang.
n "Met sore, Bos," sapa Mami Nana. Mereka
tersenyum lalu sedetik kemudian masuk ke kamar
tipe Standar.
Rp 30 juta / bulan
SUASANA bar-lounge tidak banyak berubah. Ada
tiga tamu baru yang tampaknya baru saja datang.
Kali ini, saya duduk di sofa dan kembali memesan
sebotol Corona. Mami Nana memanggil lima gadis
lokal yang duduk bergerombol tak jauh dari saya.
Begitu melihat mereka dari dekat, yang tak
luput dari perhatian saya adalah baju mereka. Rok,
misalnya. Kalau cuma mini, barangkali saya sering
melihatnya di mal atau plaza. Tapi yang mereka
kenakan, jauh di atas mini. Bagaimana tidak?
Rok yang melilit di tubuh bagian bawah mereka,
tak ada bedanya dengan swimwear. Begitu juga
dengan baju penutup bagian atas. Rata-rata nyaris
memperlihatkan sex appeal mereka. Transparan!
Julie dan Sally. Dua gadis lokal itu akhirnya
menenami saya duduk di sofa. Julie berambut
pirang (pastinya hasil olahan salon), berumur 20
tahun, dan berkulit sawo matang. Sementara Sally
178
berusia 21 tahun, dengan rambut warna hitam
kecokelat-cokelatan, dan berkulit kuning langsat.
Keduanya mengaku sama-sama dari Cirebon, Jawa
Barat.
Julie baru empat bulan bekerja di CS. Sebe-
lumnya, ia pernah bekerja di beberapa tempat
hiburan malam seperti di karaoke BV sebagai
LC (lady companion) — gadis pemandu lagu, di
kawasan Kota dan sebagai theraphist (pemijat) di
SR, sebuah tempat kebugaran di Kawasan Wijaya,
Jakarta Selatan.
Selama menjadi LC dan therapist, Julie
mengaku hanya sekali dua kali melakukan tran-
saksi seks. Selebihnya, ia lebih banyak melakoni
pekerjaannya sesuai aturan. Ya, paling-paling kalau
pun harus menjurus pada aktivitas seksuai, itu tak
lebih dari seks kecil seperti lapdance (menari di atas
pangkuan) atau memberikan pelayanan seks hand-
job pada klien. Itu saja!
Sementara, Sally sudah bergabung dengan
CS sekitar enam bulan lebih. Sebelumnya, ia me-
mulai karir dengan menjadi therapist di tempat
pijat ST, di kawasan Pondok Indah, Jakarta Sela-
tan. Tapi hanya berjalan lima bulan, lalu ia memu-
tuskan pindah ke CS. Tidak berbeda dengan Julie, selama menjabat
sebagai massage-girls, Sally lebih banyak berpraktik
normal; memberikan pelanan pijat-memijat dalam
arti sebenarnya. Kalaupun sekali dua kali harus
terlibat pada aktivitas seksual, itu lebih dikarenakan
faktor "X". Seperti, diam-diam dia menyukai tamu
yang sudah jadi pelanggan tetapnya atau karena
kebutuhan keuangan yang mendesak.
"Pelayanan seks tidak jadi prioritas. Kadang-
kadang saja," ungkap Julie yang hanya tamatan
SMP itu.
"Namanya juga kerja beginian. Kalo pas ke-
temu tamu yang handsome, masak kita anggurin.
Udah enak dapet duit lebih lagi," sergah Sally
berterus terang.
Berbekal pengalaman sebagai LC dan thera-
phist itulah, mereka akhirnya memutuskan ber-
gabung di CS. Mereka tidak langsung bekerja begi-
tu saja tapi mesti menjalani dulu proses trainings?'
lama dua sampai tiga minggu. Bukan apa-apa, dari
segi pelayanan, masing-mastng tempat kebugaran
punya spesialisasi. Treatment di CS misalnya,
mengandalkan "body massage" sebagai jualan utama
yang berujung pada pelayanan seksual. Meskipun
ISO
Julie dan Sally menguasai teknik pemijatan secara
dasar, tetap saja harus menjalani pelatihan untuk
memahami gerakan khususnya.
"Basic-nya. memang pijat tapi kalau body
massage punya rumus gerakan sendiri," jelas Sally.
"Kalo pijat beneran kan menggunakan ta-
ngan sebagai alat utama. Kalo body massage, ya
mestinya menggunakan seluruh badan, terutama
dada dan perut. Pokoknya semua deh. Ditambah
lagi dengan gerakan mulut. Dan semua itu butuh
latihan," imbuh Julie, panjang lebar.
Mereka tahu, bergabung di CS itu berarti
mereka harus siap memberikan pelayanan seksual,
lain tidak. Body massage, dalam praktiknya, hanya
menjadi tahapan foreplay yang akan berlanjut
pada "intercourse" dan terakhir, afterplay. Untuk
tahapan terakhir ini, mereka biasanya dilatih
untuk melakukan pijatan refreshing dan terakhir,
memandikan tamu di shower atau di dalam whirl-
pool.
"Praktiknya seperti apa ya kira-kira?" Pikiran
saya jadi membayangkan adegan yang bukan-
bukan.
Obrolan itu makin mengasyikkan. Satu demi
181 satu, sedikit banyak saya mulai tahu tentang gadis-
gadis yang menjadi "penghuni" kelab CS. Belum
lagi ditambah keterangan panjang lebar dari Mami
Nana. Sesekali, wanita berumur sekitar 34 tahun
itu ikut bergabung di meja kami.
"Ngobrol melulu, kapan masuk kamarnya?"
sindir Mami Nana.
"Bentar lagi, Mam. Lagi seru nih ngobrolnya,"
jawab saya sambil melirik ke arah Julie dan Sally
secara bergantian.
Mami Nana kembali berlalu, menyambut dua
orang tamu yang baru masuk. Saya melanjutkan
obrolan yang sempat terputus.
Dalam sehari, Julie dan Sally bisa mendapat-
kan tamu, minimal satu-dua orang. Kalau kebe-
tulan lagi ramai, bisa tiga sampai lima kali dari
pukul 11.00 sampai 22.00 WIB (last order).
Untuk satu kali transaksi all-in (sekitar satu
setengah jam), gadis lokal dipatok harga Rp 500
ribu, gadis Uzbek, Cungkok dan Thailand sebesar
Rp 1,5 juta. Harga itu belum termasuk food &
beverage (F&B) dan tip.
Dari harga itu, gadis-gadis di CS mendapatkan
bagian sebesar 50-70%. Gadis lokal misalnya, dari
182
transaksi Rp 500 ribu, mereka memperoleh Rp
250 ribu. Sedangkan gadis "impor", dari harga Rp
1,5 juta bisa mengantongi uang sebesar Rp 1 juta.
Urusan tip, sepenuhnya menjadi milik gadis-gadis
CS.
Yang membuat saya tertarik adalah penda-
patan per bulan yang bisa didapatkan anak didik
Mami Nana itu. Dalam sebulan, dengan perkiraan
terendah, gadis-gadis lokal bisa mengantongi uang
Rp 12 hingga 15 juta. Estimasi tertinggi (tiga-
empat kali dalam sehari), berarti bisa mendapatkan
uang Rp 25 sampai 30 juta.
Sementara untuk gadis-gadis impor, penda-
patan mereka per bulan dengan hitungan terendah
senilai Rp 25 hingga 30 juta dan hitungan tertinggi
bisa di atas Rp 50 sampai 60 juta. Untuk kasus
terakhir, biasanya berlaku pada gadis-gadis impor
yang menjadi primadona di CS.
"Untuk gadis impor, yang paling laku Cung-
kok ama Uzbek. Sehari minimal mereka dapet satu
tamu," terang Sally.
"Tapi, gadis lokal tetap paling favorit di sini,"
imbuh Julie, bangga.
Jam sudah hampir menunjuk angka tujuh
183 malam ketika Mami Nana kembali muncul di
meja kami.
"Jadi masuk nggak nih? Udah hampir sejam
lho ngobrol-ngobrolnya," kata Mami Nana.
Ups! Rupanya, tanpa terasa hampir satu jam
saya ngobrol dengan Julie dan Sally.
Belum juga saya menjawab, dari arah lorong
kamar, muncul Dicky dengan rambut masih basah
dan wajah sumringah. Dia tersenyum.
"Lo belum masuk dari tadi?" tanya Dicky
sambil menghenyakkan diri di sofa.
"Belum. Gue keasyikan ngobrol dari tadi."
"Udah, buruan masuk sekarang. Gue tungguin
lo," sambung Dicky, setengah memaksa.
Saya tidak menjawab. Jam sudah melintasi
angka 7. Musik syahdu terus mengalun, memenuhi
tiap sudut ruangan.
"Ayolah, Bos. Minum sudah. Ngobrol su-
dah. Mau apalagi? Tinggal berlabuh di surga
dunia kan...," suara Julie dan Sally terngiang-
ngiang di kepala saya. Terdengar begitu manja dan
penuh ajakan. Surga dunia? Waduh, seperti apa
wujudnya, saya belum berani membayangkannya.
Mana tahan!
(10)
Club BDSM
"PECUT terus, Sayang!"
See, ini bukan suara yang keluar dari para pemain
debus. Tapi suara itu terdengar dari bibir Joyce.
Dua tangannya merentang, mencengkeram erat
tiang tempat tidur. Hanya mengenakan lingerie
tipis warna merah menyala yang terbuka di bagian
punggungnya, Joyce terus meronta. Sesekali,
tubuhnya yang langsing dan berkulit putih itu
bergerak tak ubahnya liukan penari.
Laki-laki yang berdiri di belakang Joyce dan
memegang pecut itu tersenyum puas. Beberapa kali
ia melecutkan pecut di tangannya. Joyce meringis
untuk kesekian kalinya. Mulutnya berdesis seperti
ular kepanasan. Punggungnya tampak memerah
karena luka pecutan. Tubuh laki-laki itu basah
oleh keringat. Ekspresi wajahnya menyiratkan
IBS  184 kepuasan yang belum maksimal. Ada sesuatu yang
mengganjal di kepalanya, sesuatu yang belum
terlampiaskan secara sempurna.
"Stop, stop! Aku ingin istirahat sebentar."
Nada suara Joyce mengendor. Dia membalik
badannya, mengecup bibir laki-laki itu lalu
tutun dari ranjang. Dia mengambil kimono yang
tetgantung di dinding lalu berjalan menuju sofa.
"Danar, sini dong, temenin aku minum."
Laki-laki yang dipanggil Danar itu tak lama
kemudian tutun dati kasut dan duduk di samping
Joyce. Keringat membanjiri tubuh setengah telan-
jangnya. Secarik handuk putih melingkar di ping-
gang Danar.
Joyce duduk dengan menyilangkan salah satu
kakinya. Asap rokok masih mengepul dari bibirnya
yang basah. Dua botol wiski Martel terhidang
di meja lengkap dengan sepiring buah segat.
Uniknya, di meja itu tidak hanya ada makanan
dan minuman, tetapi juga ada pecut, borgol, lilin,
dan tali yang terbuat dari bahan halus.
"Kenapa berhenti?" tanya Danar.
"Ada tiga temen yang mau join. Biar lebih
seru!"
186
Joyce membuang abu rokok ke dalam asbak.
Diteguknya segelas Martel dengan perlahan.
Joyce terlihat begitu excited saat alkohol mengaliri
kerongkongnya. Padahal, aroma wiski itu seperti
menusuk hidung. Rasanya pahit di lidah dan
dengan cepat membuat datah memanas.
"Pesta tanpa minum, kayak makan nggak
pakai lauk," guraunya.
Dari luar pintu kamar, terdengar bunyi
ketukan tiga kali. Joyce beranjak meninggalkan
sofa, membukakan pintu. Muncul sosok Teddy
bersama Ruth dan Meta. Sepasang mata bundar
milik Joyce melebar senang.
"Lama amat!" sambutnya antusias pada tiga
otang temannya yang juga tak kalah antusias.
Danar menatap mereka satu per satu lalu tersenyum
sebagai tanda "welcome". Tanpa banyak basa-basi,
meteka bergabung di meja, dan langsung menuang
minuman.
"Biar panas, mari bersulang," seru Joyce meng-
ajak teman-temannya ber-toast.
Ruangan di apartemen Joyce itu dilengkapi
dua kamar tidur, dan satu ruang tamu. Interiornya
sarat dengan nuansa serba gothic. Tirai-tirai warna
187 gelap menggelantung di ruangan tengah, di kaca
jendela, dan menjadi hiasan di ruang tamu. Bau
aroma terapi semerbak menerobos ke lubang hidung.
Cahaya lilin menghias di ruangan, menyatu dengan
lampu warna kebiruan yang membias temaram.
Alunan musik berirama melankolis mendayu-dayu
menyusup ke telinga. Suasana apartemen Joyce
tak ubahnya kamar praktik seorang cenayang atau
paranormal. Begitu mistis!
Perpaduan interior, aroma terapi, dan musik
lembut seperti menghadirkan nuansa erotis yang
siap meledakkan nafsu terpendam. Belum lagi
pasokan amunisi alkohol membuat tubuh terus
hangat dan perlahan tapi pasti aliran darah berpacu
dengan cepat serta jantung berdegup kencang.
"Ready?" tanya Joyce.
Danar, Teddy, Ruth, dan Meta saling tatap
sejenak.
"Oke, siapa takut," sergah Meta.
" Let's go for party!" seru Joyce.
Pesta pun dimulai. Joyce dan Danar me-
lanjutkan adegan liar mereka yang tadi sempat
tertunda. Danar mengikat dua tangan Joyce pada
188
tiang ranjang. Dengan pecut di tangannya, Danar
melanjutkan segala bentuk "kebringasannya". Ter-
lihat sangat kasar dan emosional.
Di sudut lain, Teddy menjadi pasien dalam
posisi terikat. Sebuah borgol membelenggu kedua
tanggannya. Ruth dan Meta memainkan lilin yang
masih menyala lalu mengeluskannya di tubuh
Teddy berulang kali.
Ada rintihan terdengar. Ada jerit kesakitan
terlontar. Ada senyum kepuasan terpancar dari
wajah mereka.
Ada naluri sadisme dan kepasrahan yang
saling tarik-menarik satu sama lain. Sadisme yang
menghasilkan luka gores dan memar. Kepasrahan
yang mengalir tanpa perlawanan. Dua-duanya
mewamai pesta malam itu.
Seks Pesakitan (?)
SEBENARNYA apa yang tengah dilakukan
Joyce Cs? Sebuah pertunjukan seks pesakitankah
atau cuma sekedar fantasi overdosis yang diidap
beberapa orang tanpa mereka sadari? Di bawah
189 alam sadar, mereka sangat menginginkannya. Di
alam nyata, mereka mengingkarinya.
Jawabannya: bisa dua-duanya. Seks bondage
sado-masochist atau biasa disebut dengan istilah
BDSM, mungkin bukan perilaku baru dalam
berhubungan seks. Sejak dulu, perilaku ini sudah
ada. Hanya bungkus dan labelnya saja yang kini
membuatnya jadi berbeda. Bisa atas nama tren,
atau sangat mungkin karena sudah jadi lifestyle.
Sebagian orang yang cenderung mengguna-
kan jalur normal dalam berhubungan seks,
menganggap seks BDSM sebagai fantasi belaka.
Sebagian orang yang menyukai gaya-gaya aneh
dalam bercinta, menyebutnya sebagai perilaku
yang biasa-biasa saja. Seperti Joyce dan grupnya
yang menganut paham BDSM merupakan segala
bentuk ekspresi dan apresiasi dalam berhubungan
seks.
"Aku tidak sedang bermimpi kok. Ini nyata
bukan fantasi," sergah Joyce berkilah tentang apa
yang telah dia lakukan bersama grupnya.
Di sini, di hit-lounge berinisial MT di
Kawasan Kuningan, Joyce mengungkapkan se-
muanya. Sebuah janji temu yang tidak pernah
190
saya duga sebelumnya. Lewat pertemuan ini saya
mendapatkan informasi dan gambaran yang detail
tentang bagaimana seks BDSM, lengkap dengan
lika-likunya.
Pertemuan tanpa disengaja, itu awalnya.
Saya bertemu Joyce pertama kali di sebuah acara
grand launching sebuah kelab baru berinisial NC
di Kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Kelab NC itu tidak terlalu besar. Paling-
paling berkapasitas tiga ratus orang untuk standing
party. Di beberapa sudut ruangan dilengkapi
sofa berukuran besar untuk bersantai. Ada bar,
panggung kecil untuk live band, dan tentunya, DJ
yang memainkan lagu-lagu populer.
Ada pertunjukan spesial malam itu. Di
atas panggung, muncul dua cewek dan satu
cowok berbaju kulit hitam dan masing-masing
mengenakan topeng di bagian wajah. Mereka
mempertontonkan atraksi BDSM selama hampir
45 menit. Sambil terus menari dengan gerakan
teratur, indah dan sensual, mereka memperagakan
adegan memborgol, memecut, dan menyakiti diri
sendiri dengan membakar tubuh menggunakan
nyala lilin.
191Setiap kali satu pecutan mengenai tubuh,
terlihat bekas luka memerah. Bekas pembakaran
lilin itu pun tampak jelas menempel di kulit.
Entah sudah berapa bekas luka pecutan yang
menjadi hiasan di punggung selama pertunjukan
berlangsung.
Saya pikir, itu hanya bagian dari show dan
entertainment semata. Ternyata, pecut dan lilin
yang menyala itu bukan hasil sulap atau tipuan,
melainkan adegan yang sebenarnya. Kebetulan,
saya kenal baik dengan Vera, public relation di
kelab NC. Dari Vera lah, saya diperkenalkan
dengan Joyce.
Joyce inilah yang menjadi "leader" dari
pertunjukan BDSM malam itu. Joyce terlihat
santai menikmati pertunjukan. Dia duduk di sofa
ditemani seorang pria yang mengenalkan dirinya
sebagai Danar.
Menurut Joyce, atraksi BDSM yang
diperlihatkan itu nyata, bukan tipuan. Mereka
yang menari di atas panggung, memang para
pecinta BDSM.
"Kalo nggak percaya, ntar gue panggilin
mereka. Lihat saja sendiri bekas luka pecutannya,"
tukas Joyce.
"Tuh kan, beneran. Saya nggak bohong," seru
Vera sambil melihat ke arah saya.
Sebelum Joyce meninggalkan kelab NC,
saya sempat berpapasan dengannya. Tak mau me-
lewatkan kesempatan, saya pun bertukar nomor
ponsel.
"Nanti gue undang kalo ada acara," janji
Joyce.
Dan di sinilah sekarang, di bar MT, saya
dan Joyce akhirnya bertemu untuk kedua kalinya.
Joyce datang ditemani Danar. Tampaknya, Joyce
dan Danar adalah sepasang kekasih, atau malah
suami-istri dalam tanda kutip. Habis, di beberapa
kesempatan, mereka terlihat selalu bersama. Tapi
masa bodo ah, mau sepasang kekasih atau suami-
istri, nggak penting buat saya. Yang paling penting,
saya bisa mendapatkan informasi tentang Club
BDSM yang belakangan lagi ramai dibicarakan.
"Kenapa ingin tahu soal DSSM. Tertarik mau
coba?" pancing Joyce.
Saya hanya tertegun. Begitu blak-blakan
wanita berumur 31 tahun ini mengungkapkan apa
yang di kepalanya. Belum lagi saat dia menceritakan
pengalamannya. Tak terlihat sama sekali, dia ber-
193  192 usaha menutup-nutupi apa yang telah dia jalani
selama mi.
"Buat gue dan Danar, nggak ada yang salah
dengan seks BDSM. Ya kan, Sayang?" ujar Joyce
sambil menyandarkan kepalanya di bahu Danar.
Tidak ada yang salah memang dengan
seks BDSM. Secara orientasi, setiap orang sah
menentukan apa yang dia inginkan dalam
kehidupan seksualnya. Setidaknya, itu yang
dipahami seorang Joyce dan teman-temannya.
Joyce memesan lagi segelas Cosmopolitan.
Dari mulutnya terus saja mengepulkan asap rokok.
Setiap kali rokoknya habis, dia menyalakan sebatang
rokok lagi, begitu seterusnya. Makin banyak dia
berbicara, makin cepat dia menghabiskan rokok
yang diisapnya. Makin lama, obrolan Joyce makin
menarik dan bikin penasaran.
Bosan? Bagaimana mungkin saya merasa
bosan berada di depan wanita cantik seperti
Joyce. Orang mungkin tidak bakal menyangka,
Joyce punya orientasi BDSM berkaitan dengan
seksualitasnya. Penampilannya seperti wanita-wani-
ta yang biasa pergi ke pesta-pesta pejabat. Anggun
dan memesona. Orangnya smart. Gaya bicaranya
194
mengalir, dan tidak dibuat-buat. Kalau saya betah
mengobrol dengan dia, itu juga harap dimaklumi.
Club BSDM
SIAPA yang menyangka, kalau di balik itu semua,
Joyce menyimpan cerita hidup yang istimewa.
Selain menggeluti usaha katering dan butik, Joyce
juga mengoperasikan usaha event-organizer (EO).
Usaha EO milik Joyce sebenarnya lebih cenderung
pada praktik agensi. Karena selama ini, dia hanya
menerima order untuk mengisi acara tertentu.
Itu pun dengan satu catatan, dia hanya mau
menyajikan show yang ada hubungannya dengan
BDSM.
Joyce mengoordinir beberapa anak didik,
cewek dan cowok, yang sewaktu-waktu siap
dipanggil. Mereka ini pun pilihan. Artinya, secara
orientasi seks, mereka adalah pecinta BDSM.
Ini sengaja dilakukan agar pertunjukan yang
disuguhkan benar-benar nyata.
"Kalo nggak sado, mana tega mecut orang
sampai berdarah. Kalo nggak masochist, siapa yang
kuat tubuhnya ditempelin lilin," kilah Joyce.
195 Wanita blasteran Cina-Sunda itu selama ini
lebih banyak menerima order yang sifatnya private
atau pesta untuk kelompok tertentu. Pertunjukan
di kafe, diskotek atau tempat hiburan umum, dia
jarang mau menerima kecuali ada alasan tertentu.
Dalam beberapa kesempatan, Joyce juga
kerap diminta menggelar pesta yang berbau BDSM
untuk pesta-pesta tertentu. Bachelor adalah salah
satunya.
Sudah jadi rahasia umum, dalam bachelor
party, biasanya selalu ada unsur perpeloncoan buat
yang mau nikah. Perpeloncoan itu bentuknya
secara praktikal mengarah pada aktifitas BDSM.
Dalam hal ini adalah bondage. Bisa dengan ikatan
biasa atau dengan borgol betulan. Kalau calon
pengantin pria, berarti Joyce menyediakan gadis-
gadis BDSM dan begitu sebaliknya.
"Tapi dengan satu syarat lho," seru Joyce.
"Korbannya mesti benar-benar siap dikerja-
in. Kalo nggak, mending gue nolak job-nya,"
lanjutnya.
Joyce tidak menyangka, kalau usaha iseng-
iseng itu malah menambah jaringan ke orang-
orang yang mencintai aliran BDSM. Karena makin
196
lama anggotanya makin banyak, Joyce iseng-iseng
membentuk perkumpulan BDSM. Belakangan
orang lebih suka menyebutnya sebagai Club.
Tidak ada kegiatan rutin selain merekrut
anggota baru yang dengan sukarela bergabung,
selebihnya adalah memasok beberapa BDSM
dancer ke beberapa acara dan menggelar pesta
bareng anggota di Club BDSM.
Tidak ada iuran resmi yang harus dibayar.
Kalau pun ada, biasanya berlaku untuk keperluan
pesta. Dari membeli aksesori pecut, borgol, lilin,
makanan-minuman sampai menyewa tempat pes-
ta.
"Kan tidak selalu di apartemen gue. Sekali
waktu kita bikin di hotel atau tempat spesial," jelas
Joyce.
Malam makin larut. Suasana di bar MT
perlahan mulai sepi. Hanya tinggal beberapa tamu,
termasuk saya, Joyce dan Danar yang tersisa.
Joyce meneguk gelas minumannya sampai
habis. Saya pun demikian. Danar terlihat mulai
gelisah.
"Kenapa, Sayang? Udah nggak sabar ya?" bi-
sik Joyce.
197 Saya mafhum kalau percakapan harus ber-
akhir. Sudah cukup lama saya menghabiskan waktu
Joyce dan Danar.
"Dua minggu Club BDSM bikin pesta di
apartemen gue. Kalau mau, ntar datang ya. Coba
dulu, siapa tahu ketagihan," canda Joyce.
Datang ke pesta Club BDSM? Well, well...
nanti saya pikir-pikir dulu. Pestanya sih oke, tetapi
kalau dipecut dan ditetesin lilin? Nggak janji deh!
198
(11)
WAXING BIKINI
AREA
NGOPI-ngopi di mal, paling enak sore hari. Agak
maleman, antara pukul tujuh hingga sebelas, buat
mereka yang doyan bergaul, mungkin nongkrong
di lounge atau main biliar jadi pilihan kedua. Habis
itu, buat mereka yang masih mau "lanjut" tinggal
memilah-milah beberapa alternatif: ke diskotek,
kafe yang ada live band-nya, berkaraoke, atau
mampir ke Strip-Bar yang menyediakan sexy dancer
setiap malamnya.
Itu kalau sore dan malam. Gimana dengan
siang? Siang-siang, mestinya buat orang kantoran,
ya menyelesaikan pekerjaan. Tapi kalau lagi nggak
ada pekerjaan menumpuk, boleh jadi pergi ke salon
jadi pilihan yang menarik buat sebagian orang.
199 Entah cuma sekedar creambath, potong rambut,
pedikur, and bla... bla. ..bla. Siapa tahu bisa seka-
lian cuci mata.
Itu berarti perginya mesti ke salon beneran.
Maksudnya? Ya salon yang berfungsi sebagai
salon. Lho, kok? Iya, soalnya ada juga salon yang
praktiknya ada embel-embel seks. Nah lho? Itu
bukan rahasia lagi sebenarnya.
Dulu, ada beberapa salon di Jakarta yang
menyediakan layanan Lulur Triple-X bagi para
eksekutif laki-laki yang doyan perawatan di salon.
Tren lulur Triple-X itu belakangan bergeser ke
tempat kebugaran yang di dalamnya ada fasilitas
spa & sauna. Di beberapa tempat spa & sauna
khusus laki-laki misalnya, ada paket menu special
massage yang di dalamnya termasuk mandi susu
dan lulur seks. Meski sekarang tidak terlalu favorit,
tetapi setidaknya menu itu tetap dipertahankan
oleh sejumlah tempat spa dan sauna. Maklum,
peminatnya masih cukup banyak.
Nah, tren yang belakangan lagi banyak
dibicarakan orang, terutama kalangan esmud laki-
laki adalah waxing bikini area. Ini bukan hal yang
baru di dunia persalonan, sebenarnya. Waxing bagi
2.0 0
cewek yang doyan merawat diri pastinya sudah
jadi kebiasaan setiap dua minggu atau satu bulan
sekali. Dari waxing bulu kaki, waxing under arm
alias bulu ketek sampai waxing bikini area. Itu
standar normalnya.
Kemajuan teknologi membuat sebagian
wanita memilih cara laser untuk menghilangkan
bulu di bagian tubuh tertentu. Meski ada sebagian
laki-laki ada yang suka dengan wanita berbulu,
tetapi sebagian besar sangat emoh dengan wanita
yang berbulu.
Tak heran kalau banyak wanita memilih
"membunuh" bulu mereka dengan sinar laser.
Harganya? Wow, pasti mahal. Jauh di atas harga
waxing. Untuk laser di bagian under arm harganya
Rp 9 juta, bikini area Up 7,5 juta, dan untuk kaki
Rp 25 juta dengan garansi dua tahun. Artinya,
selama dua tahun, bulu dijamin tidak tumbuh.
Metode laser ini hanya bisa didapatkan di beberapa
klinik kecantikan tertentu. Jadi tidak sembarang
salon atau klinik kecantikan punya fasilitas laser.
Karena harganya yang relatif mahal itu, ma-
kanya banyak wanita yang lebih suka mengguna-
kan cara waxing, meskipun hanya bertahan selama
20 1 dua minggu sampai satu bulan, maksimal.
Khusus untuk waxing bikini area, tidak
hanya sebatas membersihkan bulu doang tapi juga
mengurusi bentuk dan potongan rambut di daerah
paling vital. Dari potongan berbetuk kumis laki-
laki, segi tiga, "gambar love" sampai oval bulat
telur.
Waxing untuk Laki-laki
KIRA-kira begitu prolognya kalau mau ngomongin
soal wanita dan waxing. Bagaimana dengan laki-
laki? Ehm.. . sepetti apa ya kita-kira modelnya?
Barangkali, laki-laki yang berani mencap dirinya
sebagai metroseksual, urusan waxing sangat
mungkin jadi bagian perawatan diri. Tampil
bersih, klimis, dan tetbebas dari segala sifat berbau
Tarzan.
Atau, laki-laki yang secara penampilan mau-
pun orientasi seks cenderung menjadi gay feminin,
umumnya sangat jengah dengan bulu.
Tapi bagi laki-laki kebanyakan, bulu dianggap
sebagai salah satu indikasi kejantanan. Mungkin
agak berbeda dengan wanita. Makanya, jarang ada
202
laki-laki yang tega mencukur bulu kaki. Paling-
paling, kumis, jenggot, dan bulu di sekitar ketiak
serta bikini area saja yang mesti dirapikan ketika
sudah melampaui batas ukuran normal.
Cukur kumis, jenggot, dan bulu ketiak, laki-
laki lebih melakukannya sendiri. Ada juga sih
yang pergi ke salon atau barbershop. Nah, kalau
ada laki-laki yang hobi mampir ke salon untuk
urusan waxing bikini area, rasa-rasanya sih perlu
dicurigai. Pasalnya, belakangan terakhir, jumlah
salon seks makin bertaburan di Jakarta. Salon
khusus laki-laki dengan tenaga cewek-cewek can-
tik, dan pastinya, menyediakan menu seks yang
variatif, inovatif, dan eye-catching. Maksudnya,
menarik secara nama, menggelitik dan membuat
orang penasaran untuk mencoba. Namanya juga
pedagang, bikin merek mesti gampang diingat dan
secara psikologis memunculkan shock-effect dan
pastinya, sensasional.
Makanya, iklan oli saja misalnya, bintangnya
mesti wanita yang cantik dan seksi. Kalau dipikir-
pikir, apa ya hubungannya wanita cantik dan seksi
dengan oli? Jauh kan... . Namanya juga iklan,
yuuuuk!
203 Salah satu menu yang sekarang lagi in adalah
sex waxing. Awalnya, saya berpikir bahwa menu
sex waxing itu tidak jauh berbeda dengan layanan
Mount Blow—seks oral dengan menggunakan teh
ginseng dan air dingin, bisa didapat di beberapa
karaoke yang menyediakan cewek-cewek Makao,
Cina. Atau setidaknya mirip dengan Handroll
Service—layanan mas***basi dengan lubrican atau
oil massage di dalam kamar mandi, yang biasanya
diberikan para penari striptease.
Dugaan saya, ternyata salah, meski tidak
100%.
Sex Waxing Bikini Area
DIDORONG rasa penasaran, saya mulai me-
ngumpulkan informasi dan data soal sex waxing.
Orang pertama yang saya hubungi adalah Dito —
Sebut saja begitu. Laki-laki yang satu ini, entah
sudah berapa kali saya jumpai di sejumlah pesta.
Dari pesta yang melibatkan model-model X
sebuah tabloid khusus laki-laki di ibukota sampai
pesta-pesta berbau unsur sensual dan seksual yang
digelar di sejumlah private kelab di Jakarta.
204
Dito bekerja sebagai general manager di sebuah
kelab malam yang notabene punya fasilitas resto,
bar, karaoke, dan kamar. Tak tanggung-tanggung,
di tempat Dito bekerja, sebut saja inisialnya M,
di Kawasan Mangga Besar, disediakan puluhan
cewek cantik yang siap memberikan pelayanan
seksual. Itulah kenapa di Kelab M dilengkapi
dengan fasilitas kamar-kamar pribadi.
Saya bertemu Dito di acara product launching
sebuah butik baju yang di dalamnya ada pertun-
jukan Wet & Half Naked Dancers sekitar Februari
2006. Di acara itu, Dito menceritakan tengah
merintis usaha salon khusus laki-laki.
Begitu saya telepon, dengan antusias, Dito
mengundang saya mampir ke salonnya. Tentu
kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Karena masih
buta dengan letak dan lokasi salonnya, saya janjian
dengan Dito di Kelab M pada Sabtu siang. Ya,
hitung-hitung saya bisa bersantai dulu dan melihat-
lihat suasana di kelabnya.
Suasana kelab M di Sabtu siang terlihat sepi.
Hanya ada empat orang tamu laki-laki yang duduk
di bar ditemani empat cewek cantik. Sepuluh
menit kemudian, mereka berjalan menaiki tangga.
205 Mudah diduga, mereka akan masuk ke dalam
kamar untuk melakukan "private date" yang hanya
lebih hardcore.
"Cabut sekarang aja yuk. Lagian di sini baru
ramenya jam tujuhan. Dari salon, ntar kita balik
sini lagi," ajak Dito.
Dito menyuruh saya meninggalkan mobil
di parkiran Kelab M. Dengan mengendari mobil
Dito, kami segera meluncur ke salon untuk waxing
bikini area. Kira-kira di mana tempatnya, ya? tanya
saya dalam hati.
"Nggak papa ya. Tempatnya agak jauh dari
sini," jelas Dito.
"It's oke, sob. Emang di mana tempatnya?"
"Di sekitar Tomang."
Untung hari Sabtu, jadi jalanan tidak begitu
macet. Makanya, Dito tidak mengambil arah
memutar di perempatan Harmoni tapi langsung
menuju Thamrin. Masuk Sudirman, naik ke
Jembatan Semanggi lalu menyusuri jalan besar ke
arah Slipi.
Setelah melewati sebuah mal perbelanjaan,
sekitar 300 meter ada belokan ke kiri, persisnya
sebelum sampai di sebuah bangunan universitas
dan apartemen.
Kira-kira 1 km, Dito mengambil arah ke
kanan. Ternyata tidak begitu mudah menemukan
lokasi salon karena letaknya agak masuk ke gang.
Setelah melewati dua belokan, akhirnya kami
sampai di lokasi.
Salon BH, sebut saja begitu. Tulisan itu ter-
pampang dengan jelas di pintu masuk. Ada lima
hingga tujuh mobil yang lagi parkir persis di depan
salon. Ini dia salonnya, pikir saya penuh selidik.
Pemandangan apa yang dominan ketika Anda
masuk ke salon? Cermin. Ya, biasanya setiap salon
akan dilengkapi fasilitas cermin besar yang ditata
secara berjajar dengan kursi empuk di depannya.
Mestinya di salon itu ada beberapa peralatan
dan perlengkapan yang dipajang di ruang utama.
Mulai dari cermin besar yang didesain menyatu
dengan meja dan kursi multifungsi. Namun,
justru dekorasi utamanya adalah empat set sofa
yang dilengkapi meja kaca. Juga ada bar mini di
sudut paling kanan. Beberapa perabotan yang
macth dengan nuansa salon hanyalah dua meja
cermin dan kursi panjang untuk tempat refleksi
yang dipisah oleh kaca. Selebihnya, nuansanya
lebih pas disebut lounge atau resto dengan konsep
modern-minimalis.
207  206 Nuansa boleh beda tapi soal menu pelayanan,
beda-beda tipis. Artinya, sama seperti kebanyakan
salon kecantikan, di salon ini juga tersedia berbagai
pelayanan perawatan untuk rambut dan tubuh.
Rate harganya pun sesuai dengan pasaran yang
berlaku. Untuk creambath normal misalnya Rp 75
ribu, dan waxing bikini area Rp 150 ribu.
Itu patokan harga untuk pelayanan standar.
Tapi begitu ada embel-embel seks di belakangnya,
harganya bisa melonjak dua hingga empat kali
lipat.
Begitu melewati meja resepsionis, Dito me-
manggil salah seorang staf wanitanya, Jessy—sebut
saja begitu.
"Tolong Bapak yang satu ini dilayani dengan
baik. Kasih saja apa yang dia mau," ujar Dito.
Jessy menyilakan saya duduk di sofa hitam,
di belakang meja resepsionis. Dito pamit sebentar
ke ruang belakang. Ada urusan sebentar, katanya.
Suasana di salon sore itu, agak sepi. Terus
terang, ini membuat saya bingung. Tidak ada
tamu yang lagi di-creambath, pedikur, atau potong
rambut. Hanya ada dua tamu yang lagi duduk
ditemani dua gadis cantik. Mereka terlihat asyik
mengobrol dalam suasana hangat dan akrab.
Lho, tamu-tamunya pada "ngilang" ke mana?
Pemandangan yang sangat menarik buat saya,
justru terfokus pada lima orang gadis yang duduk
di satu meja.
"Mereka para karyawan di salon ini. Cantik-
cantik kan?" suara Jessy mengagetkan saya.
Cantik, boleh jadi. Dan secara dandanan,
nggak ketinggalan tren. Tapi jangan punya eks-
pektasi berlebihan karena mereka memiliki fisik
seperti para model.
Dua gelas red wine pesanan Jessy telah ter-
hidang di meja. Sambil melanjutkan pembicaraan,
saya membaca daftar menu yang tersedia di meja.
Ada dua macam menu. Satu, menu yang berisi
makanan dan minuman. Kedua, menu yang ber-
tuliskan aneka pelayanan dan perawatan untuk
salon. Tapi jangan mengira di daftar menu itu
tertampang jenis-jenis pelayanan seks. Tidak ada.
Untuk urusan menu yang sifatnya "esek-esek" bisa
ditanyakan pada resepsionis atau karyawan salon
yang lagi bertugas.
Jessy. Ah, saya sampai lupa bercerita tentang
sosok gadis manis berkulit kuning langsat itu. Dia
yang in charge setiap hari. Jabatannya boleh disebut
2.08  2.09 manajer, public relation, atau bisa juga guest relation.
Maklum, dia lah yang bertugas menyambut setiap
tamu yang datang, menyilakan duduk, menemani
ngobrol, dan sebagainya. Dari Jessy juga, segala
informasi seputar Salon BH bisa saya ketahui.
"Ada yang ditaksir nggak?" tanya Jessy sambil
melirik ke lima karyawan salon yang masih betah
di tempat duduknya.
Daripada penasaran saya meminta Jessy untuk
memanggil dua orang gadis untuk bergabung di
meja saya.
"Ngobrol-ngobrol dulu boleh dong," sergah
saya.
"Yang mana?" tanya Jessy.
"Yang menurut elu paling oke deh," jawab
saya singkat.
Jessy tersenyum lalu beranjak dari kursi dan
berjalan mendekati kelima gadis itu. Kini, dia balik
ke meja saya dengan membawa dua gadis.
"Santi."
"Amel."
Dua-duanya terlihat masih muda. Santi me-
ngenakan celana jins dengan kaus ketat warna biru
muda, sementara Amel rok mini berbahan jins
dengan kaus pink berlengan panjang.
Kedatangan Santi dan Amel menambah
obrolan jadi seru. Jessy makin berani bercerita
panjang lebar soal menu-menu yang ada di salon.
"Jadi, gue bisa dapet apa saja di salon sini?"
tanya saya polos.
Jessy mengubah posisi duduknya. Santi
menyalakan sebatang rokok. Amel meneguk mi-
numannya.
"Mau lulur bareng saya juga boleh kok,"
sergah Santi.
"Atau mau sama saya. Saya jago lho untuk
urusan creambath. Bukan sembarang creambath,
tapi...?" Amel tak melanjutkan ucapannya. la
malah tertawa cekikikan sambil menutupi mulut-
nya.
"Maksudnya Amel, creambath yang pakai
bonus spesial gitu," imbuh Jessy.
Lulur bersama Santi atau creambath plus
bonus spesial dengan Amel, dua-duanya memang
tawaran yang menggiurkan. Meskipun sedikit ba-
nyak saya pernah mendengarnya, tetapi tetap saja
muncul rasa penasaran.
"Atau mau nyobain sex waxing. Itu sih dijamin
bakal puas," kata Jessy.
211  210 Sex waxing! Tawaran apalagi ini? Samar-
samar, saya cukup mengerti dengan waxing tetapi
kalau itu dikaitkan dengan akktivitas seksual, saya
belum bisa membayangkan.
"Masih belum ngerti juga.. . ato emang pura-
pura nggak ngerti," canda Jessy.
Tanpa diminta, Jessy langsung nyerocos mem-
promosikan paket seks yang memang jadi favorit
di salon BH. Mungkin karena naluri PR-nya, Jessy
dengan fasih dan santai bertutur soal sex waxing.
Sex waxing yang ditawarkan di salon BH
itu, ujarnya, mengikuti aturan main yang biasa
dilakukan pada waxing bikini area. Mula-mula,
tamu yang datang dipersilakan memilih karyawan
salon —cewek, tentunya, yang dibiarkan berpose
di sofa lounge.
Basa-basi sebentar, ngobrol sambil minum-
minum segelas sampai dua gelas. Lalu? Jessy me-
matikan rokoknya.
"Habis itu, ya masuk kamar dong, masak di
sofa," canda Jessy.
Kamar? Oh ya, saya baru ingat kalau ternyata
di Salon BH terdapat delapan kamar tertutup.
Tadinya, saya berpikir itu ruangan yang berfungsi
212
sebagai kamar ganti dan office. Ternyata bukan.
Justru di kamar-kamar itulah, semua layanan dari
mulai lulur, creambath sampai waxing berlangsung.
Private only dan tertutup.
"Di dalam kamar, disediain kok peralatan
untuk nyalon. Kursi pijat, tempat untuk cuci
rambut, dan yang pasti, kamar tidur," lanjut Jessy.
Sebenarnya, ada dua jenis waxing bikini area
yang populer, yakni bikini line dan brazilian. Tapi
lambat laun, karena tren terus berkembang, model-
model waxing pun ikut berubah. Tidak hanya gaya
bikini line dan brazilian tapi mulai muncul gaya
potongan berbentuk "heart" sampai "segiempat
sama tipis".
"Keren kan," sela Santi sembari menyilang-
kan kaki. Sebentar-bentar, dia melirik ke jam
tangannya.
Sudah lebih dari satu jam, saya menghabiskan
waktu berbincang dengan Jessy Cs. Selama satu
jam itu, Dito juga nggak kelihatan batang hidung-
nya. Jangan-jangan, Dito memang sengaja mau
"ngerjain", itu pikir saya.
"Kok malah bengong. Mau nyobain seks
waxing nggak? Kita ada lho, potongan ala
213 kumis Charlie Chaplin...," goda Jessy. Bahunya
terguncang menahan tawa. Sepasang tangannya
menutupi bibirnya agar tak keluar tawa yang
lepas.
Muka saya memerah. Bukan jaim atau malu,
tetapi salah tingkah. Seumur-umur, saya belum
pernah nyobain yang namanya waxing bikini area.
Apalagi yang berbau seks. Membayangkannya saja
bikin saya merinding.
"Dijamin nggak sakit kok," sela Amel sambil
mengedipkan mata kirinya.
"Mau yang 'hot' boleh, yang 'cold juga bo-
leh. Tinggal pilih doang," timpal Santi. Jari-jari
lentiknya menyusuri garis jahitan di samping
celana jinsnya.
"Maksudnya?" tanya saya, spontan.
"Maksudnya, waxing-nya boleh pakai yang
panas atau yang dingin, begitu...," jawab Jessy.
Dito tiba-tiba muncul dan langsung duduk
di sebelah saya. Katanya, dia baru saja kelar dengan
staf bagian akunting.
"Sorry, agak lama. Biasa, urusan duit," bisik
Dito.
214
Madu, Stroberi, & Karamel
KINI, saya duduk diapit Santi dan Amel. Sementara
Dito dan Jessy bergeser ke sofa sebelah. Mereka
berdua kelihatannya lagi sibuk membicarakan
urusan bisnis.
Berulang kali Santi mengajak saya untuk
segera masuk ke kamar. Begitu juga dengan Amel
yang tak kalah gesitnya membeberkan keistimewaan
seks waxing yang bisa dia berikan selama dua jam
penuh.
Buat laki-laki, tentu ini sebuah tawaran yang
sangat menggoda. Prosedur treatment-nya tidak
jauh berbeda dengan waxing bikini area yang bisa
ditemukan di sejumlah salon dan klinik kecantikan.
Ada lilin, krem, dan beberapa menu pilihan seperti
karamel, madu, atau stroberi.
Hanya saja, karena di salon BH yang di-
utamakan adalah seks waxing-nya, maka selama
dalam proses perawatan, semua aktivitas yang
berlangsung ya ujung-ujungnya tidak jauh dari
seks foreplay. Dan terakhir, ditutup dengan sesi
intercoursing.
Kalau dipikir-pikir, seks waxing sebenarnya
tak lebih dari soal jualan bungkus atau kemasan.
215 Kemasannya sih boleh waxing bikini area yang
secara nama terdengar begitu seksi, tetapi isinya
tidak jauh beda dengan layanan Mount-Blow
Service. Bedanya, kalau seks waxing menggunakan
karamel, stroberi, atau madu sebagai "alat bantu"
untuk seks oral, Mount-Blow memakai gabungan
teh ginseng dan air dingin.
"So, mau masuk sekarang?" tawar Santi.
"Kalo Santi masuk, berarti saya boleh ikutan
dong," sergah Amel.
Bingung hams menjawab apa, saya pamit
sebentar untuk menemui Dito dan Jessy yang
terlihat masih ngobrol serius.
"Help me, dong!"
"Rasain elu. Udah, nggak usah banyak mikir.
Masuk sana!" seru Dito.
Jessy tertawa, saya malah masih duduk diam
di sebelah Dito. Lho?
216
(12)
UNDERWEAR DINNER
PESTA dan pesta. Barangkali, satu kata itu terlalu
sering didengar oleh masyarakat perkotaan. Tidak
cuma tempat hiburan yang berlomba-lomba
menggelar pesta dengan tema yang sangat beragam
tapi juga kelompok atau malah perorangan. Tak
heran, kalau setiap bulan bahkan setiap minggu
hampir selalu ada tren baru yang muncul. Salah
satunya, pesta yang erat kaitannya dengan tema
"orgy" sebagai entertainment-nya.
Ngomong soal pesta, kalau anak gaul bilang:
NGGAK ADA MATINYA! Pesta yang satu ini,
bagi masyarakat Jakarta, apalagi yang sudah terbiasa
dengan budaya hidup malam, sepertinya menjadi
sebuah kewajiban. Setiap ada yang mau menikah,
tak peduli laki atau perempuan, mesti ada pesta
lepas lajang sebagai bagian tak terpisahkan sebelum
217 menuju ke pelaminan. Atau kalau ada yang lagi
berulang tahun, bukan lagi pemotongan kue yang
jadi prosesi utama, tetapi yang lebih penting lagi
adalah hiburan penari-penari telanjangnya. Iiiihhh,
gila ya(?).
Saya masih ingat dengan beberapa pesta
lajang yang digelar teman-teman karib belakangan
ini. Pesta terakhir yang saya ikuti adalah pestanya
Vanda—sebut saja begitu, berusia 26 tahun, saha-
bat perempuan saya, yang sehari-hari mengelola
salon dan butik. Perempuan berambut blonde ini
(yang pasti bukan asli, tetapi dicat) punya gang
arisan yang kerap meluangkan waktu dengan
nongkrong dan ber-window shopping di mal-mal.
Pria-pria-X
SEMINGGU menjelang hari H pernikahannya,
Vanda menggelar bachelorette party di sebuah
kafe di sekitar Blok M, Jakarta Selatan. Temanya
sih sederhana: X-RED PARTY. Tamu undangan
yang sebagian besar adalah teman dekatnya harus
mengenakan pakaian serba merah sebagai dress
code. Untuk pestanya itu, Vanda rela mem-booking
kafe tersebut semalam suntuk. SORRY, WE ARE
CLOSED 4 PUBLIC! Kira-kira begitulah tulisan
singkat yang dipasang di pintu masuk. Jadi, maaf,
yang bukan undangan untuk malam ini tidak
boleh masuk.
Tamu undangan yang datang sebagian besar
memang perempuan dalam balutan busana serba
merah. Pesta dimulai sekitar pukul sepuluh malam.
Sebagai pembukaan, acara diisi dengan ber-toast
bersama. Karena free flow, setiap tamu bebas me-
mesan minuman favorit, pesta berlangsung meriah
dengan iringan musik DJ. Puncaknya, muncul
lima penari cowok: keren, berotot, pandai menari,
yang beraksi di atas bar. Vanda yang punya gawe
langsung didaulat naik ke bar dan dikeroyok lima
penari laki-laki yang hanya mengenakan cawat
tipis warna hitam itu.
Mudah dibayangkan, kemeriahan pesta pasti-
nya makin menggila dengan tontonan lima penari
laki itu. Belum lagi pengaruh alkohol membuat
sebagian besar tamu, larut dalam suasana pesta.
Hingar-bingar dan so pasti, liar tapi terkendali.
Maksudnya, keliaran pesta tidak sampai menjurus
pada aktivitas-aktivitas seksual. Yang ada hanya
219  218 ledakan-ledakan kecil yang membuat tamu
berteriak dcngan nyaring. Misalnya ketika Vanda
"dikerjain" lima penari laki-laki yang dengan
aktif meraba, memeluk, dan meliuk seksi secara
bergantian. Dan Vanda menjadi "ratu semalam"
yang dijadikan piala bergilir sekitar satu setengah
jam lebih. Selebihnya adalah suara tawa, denting
gelas, musik disko yang mengalun keras dan aroma
alkohol yang berembus bersama dinginnya air
conditioner.
X-Red Party, pastinya hanya satu dari sekian
puluh jenis pesta yang digelar untuk merayakan
lepas lajang atau ulang tahun. Bagaimana dengan
pesta yang ada hubungannya dengan gathering
perusahaan atau untuk urusan lobi-lobi dalam
bisnis? Sama saja. Malah, dalam skala besar, pesta
yang digelar bisa lebih gokil dan dikonsep dengan
perencanaan matang.
Sex gathering
SEPERTI pesta "sex gathering" yang satu ini.
Tujuannya sih sederhana: perjamuan klien. Tapi
kalau cuma dinner di ballroom hotel dan menyewa
2.2.0  221
penyanyi papan atas, rasa-rasanya sudah terlalu
biasa. Makanya perlu ada "sex-entertainment" di
tengah perjamuan. Ruangan private dan berskala
besar. Suguhan utamanya: sex-tainment,
Diawali dengan sebuah perjamuan di ruangan
besar dengan kapasitas lebih dari seratus orang,
25 gadis yang rata-rata hanya mengenakan baju
bikini, underwear atau g-string berenda itu berpose
di tempat duduknya masing-masing.
Sebuah ruangan besar dengan dekorasi ala
zaman Romawi itu terlihat mewah. Ruangan kelas
president suite yang bisa menampung lebih dari
80 orang itu berada di Karaoke MH, di Kawasan
Monas, Jakarta Pusat. Sofa panjang warna merah
darah yang ditata melingkar lengkap dengan dua
meja panjang menjadi perabotan utama di ruang
tengah, ditambah dengan dua TV berukuran besar.
Ada fasilitas tambahan berupa satu kamar tidur
dan satu kamar mandi.
Di sofa itulah, ke-25 gadis itu duduk dengan
anggunnya. Masing-masing memegang piring ber-
isi handuk basah yang masih hangat. Terlihat uap
tipis mengepul dari handuk itu. Dari arah pintu besar yang terbuat dari
ukiran kayu jati, muncul 16 laki-laki yang rata-
rata mengenakan pakaian santai. Mereka segera
disambut oleh 25 gadis yang sejak tadi sudah stand
by di ruangan. Lantaran jumlah laki-lakinya lebih
sedikit, ada yang mendaparkan teman kencan
dobel.
Saya kebetulan datang karena diundang
oleh yang empunya acara. Siapa lagi kalau bukan,
Mas Sapto, sang big bos. Sebagai pengusaha yang
memasok peralatan untuk otomotif, Sapto punya
beberapa distributor yang tersebar di sejumiah
kota besar di Indonesia. Sekali dalam setahun, dia
memberikan bonus spesial kepada distributor yang
melampui target penjualan. Bonus itu bisa berupa
liburan ke luar negeri sampai pelesir seksual yang
dikemas seperti halnya "sex gathering'.
Beruntung juga saya tidak absen malam
itu. Paling tidak, ada dua gadis yang ditugaskan
menemani saya dan Mas Sapto. Saya memanggil
Sapto dengan "mas" karena dia lebih tua dari saya.
Umurnya lebih dari 40 tahun, nggak enak saja
kalau saya memanggil namanya langsung.
2.2.2.
Hubungan saya dan Mas Sapto lebih karena
faktor kebetulan. Sebagai pria berduit yang sudah
berkeluarga, rupanya Mas Sapto punya cem-cem-
an alias PR (baca= piaraan). Nah, si cem-cem-an
itu, sebut saja namanya Shinta, 23 tahun, nggak
tahunya saya kenal dengan baik. Shinta adalah
seorang foto model majalah khusus laki-laki yang
berani dan terbiasa tampil seksi. Saya mengenalnya
dua tahun lalu pada sesi pemotretan sebuah
majalah. Dari Shinta inilah, saya dikenalkan dengan
Mas Sapto. Dalam beberapa bulan terakhir, saya
lumayan sering diajak jalan bareng mereka berdua.
Entah cuma berkaraoke atau nongkrong di kafe.
Makanya, begitu Sapto mengundang saya
untuk hadir di acara sex gathering, saya jadi susah
menolaknya. Ada beberapa alasan kenapa saya
sampai ikut di pesta itu:
1. nggak enak menolak undangan teman,
2. aji mumpung dan tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan. Soalnya gratis alias gretong bo'!,
3. penasaran dengan ide pesta "sex gathering",
4. ketemu orang-orang baru (orang baru berarti
informasi baru, itu prinsip saya).
223 Underwear Dinner
TIDAK percuma saya hadir. Ini menjadi pe-
ngalaman pertama mengikuti sex gathering. Me-
narik, sebagai sebuah ide meskipun isi yang
ditampilkan ujung-ujungnya seks juga.
Hidangan makan malam sudah tersedia di
meja bulat. Mereka menempati kursi yang dise-
diakan. Sambil menunggu makan malam dimulai,
ke-25 gadis itu mulai mengelap pasangannya
masing-masing. Bukan sekedar mengelap, tetapi
dibumbuhi dengan pijatan kecil, mulai dari bagian
wajah, punggung, dan tangan. Begitu seterusnya.
Acara dinner malam itu menjadi ajang ramah
tamah dan perkenalan. Sebuah pemandangan yang
agak lucu, pikir saya. Gimana nggak? Yang laki-laki
masih mengenakan baju lengkap sementara yang
perempuan hanya menutup tubuhnya dengan baju
underwear. Sangat kontras!
Tapi justru di situlah uniknya. Ini memang
dinner yang luar biasa. Menggabungkan konsep
dinner dengan bumbu "' sex-entertainmnent" Bagi
tamu yang datang ke perjamuan, kehadiran 25
gadis underwear ini memang jadi kejutan tersendiri.
224
Mereka tidak menyangka bakal mendapatkan
suguhan makan malam yang beda dari biasanya.
Mereka diundang liburan ke Jakarta oleh
Mas Sapto selama lima hari. Gratis! Semua biaya
akomodasi, transportasi, dan entertainment
ditanggung oleh perusahaan Mas Sapto. Boleh
bawa keluarga, tetapi sangat dianjurkan untuk
datang sebagai "bujangan". Bukan apa-apa, sedari
awal, Mas Sapto sudah memberikan "warning"
bakal ada acara gila-gilaan.
Ini adalah hari ketiga mereka berlibur di
Jakarta. Dua hari sebelumnya, mereka diberi
kebebasan untuk berjalan-jalan pada malam hari
selepas pukul tujuh malam. Maklum, siang harinya
ada acara kunjungan ke pabrik dan beramah tamah
dengan awak perusahaan Mas Sapto.
Rupanya, Mas Sapto sudah mengatur
segalanya. Dia menyewa event orgaziner (EO)
untuk menyiapkan konsep perjamuan yang penuh
dengan suguhan hiburan. Tidak saja fun, tetapi
juga "full-sex-entertainment". Di hari ketiga itulah,
perjamuan dimulai. Underwear dinner, menjadi
perjamuan pertama.
225 Usai menyantap hidangan "maincourse", kini
para tamu mulai mengunyah makanan penutup.
Suasana jadi lebih rileks. Sebagian laki-laki pindah
duduk di sofa yang letaknya di ruangan tengah
bersama pasangannya. Perkenalan di meja makan
itu cukup membawa hasil. Terbukti, mereka lebih
akrab satu sama lain. Obrolan, canda, dan tawa
tampak lebih intens dari sebelumnya.
Di atas meja disediakan berbagai macam
botol minuman beralkohol. Wiski, wine, vodka,
semua ada. Tinggal racik sendiri, dan silakan
minum sepuasnya. Mereka yang tak mau repot,
tinggal menenggak langsung dari botol. Mereka
yang tidak begitu menyukai minuman berat, ada
puluhan botol bir yang diletakkan di dalam box.
Yang cukup mengagetkan lagi, usai acara
makan malam, skenario hiburan berikutnya adalah
Massage Session. Para laki-laki kali ini "dipaksa"
untuk melepaskan baju atasan mereka tanpa ter-
kecuali.
Di sela-sela pemijatan, sebagian gadis yang
"nganggur" berunjuk atraksi dengan menari-nari
mengitari ruangan. Sesekali menghampiri para
226
laki-laki yang lagi dipijat. Menggoda mereka
dengan gerakan-gerakan sensual.
Tidak hanya sampai di situ, para gadis yang
tengah memijat, tak mau ketinggalan ikut menari
di atas tubuh para laki-laki. Dalam hitungan
menit, beberapa gadis mulai membuka bra mereka.
Inilah babak pesta yang sebenarnya. Sejumlah
laki-laki yang sudah tak mampu menahan hasrat
biologisnya, buru-buru masuk ke kamar tidur
yang tersedia. Mereka yang kalah cepat, terpaksa
menunggu giliran berikutnya.
Sebagian lagi, tanpa pikir panjang melakukan
permainan seksnya di atas sofa. Ada juga yang
bergantian menggunakan kamar mandi sebagai
tempat alternatif. Benar-benar pemandangan
yang membuat kepala saya jadi pusing. Mas Sapto
hanya tersenyum melihat semua kejadian yang
berlangsung.
Perjamuan "underwear" malam itu memakan
waktu empat jam lebih. Pesta di ruangan president
suite itu memang sudah usai. Tapi bagi sebagian
laki-laki yang melakukan transaksi "booking out",
masih ada pesta lanjutan di kamar hotel.
227 Ini adalah skenario terakhir. Ke-25 gadis
yang menjadi pengisi perjamuan, memang diberi
keleluasaan untuk melakukan transaksi seks
lanjutan. Namun, untuk yang satu ini, pihak
EO tidak ikut campur lebih jauh, terutama soal
tarif. Semua diserahkan sepenuhnya pada peserta
perjamuan, person to person!
"Udah pada gede ini. Biarin saja kalau mereka
mau bawa ceweknya ke hotel," bisik Mas Sapto.
Dalam perjalanan menuju lobby, saya jadi
penasaran dari mana 25 gadis yang menjadi bintang
pada sex gathering malam itu? Pertanyaan itu sangat
mengganjal di benak saya sejak kali pertama saya
datang ke pesta perjamuan.
"Tanya saja langsung sama dia," jawab Mas
Sapto sambil menunjuk seseorang di samping
kirinya.
Perempuan? Lho, jadi EO yang mengurus
pestanya Mas Sapto itu perempuan. Sendirian
pula! Standar normalnya, sebuah EO yang bikin
acara musik di kafe saja butuh tiga hingga lima orang
yang in charge di lapangan. Agak nggak masuk
akal buat saya.
22 8
Mimi , begitulah ia mengenalkan namanya.
Masih muda, kira-kira baru berumur 25 tahun.
Wajahnya cantik, dan punya bentuk badan
yang bagus. Keterlibatan Mimi tidak tanggung
tanggung. Selain terjun sebagai EO, dia juga
sekaligus menjadi salah satu "bintang" acara di
pesta perjamuan itu. Pantas, dari tadi saya tidak
melihat siapa sebenarnya yang mengatur acara dari
A sampai Z.
Cewek-cewek yang didatangkan Mimi, ter-
nyata berasal dari berbagai komunitas. Mulai dari
yang berprofesi sebagai LC di karaoke, tercantum
di bawah bendera sebuah agency, SPG "bispak",
sampai freelancer yang dimanajeri seorang germo
atau broker.
"Gila juga ya pestanya," sergah saya tanpa
malu-malu.
"Itu belum seberapa, Mas. Yang lebih gila lagi,
masih banyak kok. Kalau nggak percaya, datang
saja ke pesta saya minggu depan," tantang Mimi.
Sebuah tawaran yang sayang kalau disia-
siakan. Jarang-jarang kesempatan seperti ini
datang dengan tidak disangka-sangka. Namanya
juga rezeki, kaliii...!
229 "Beneran nih. Boleh minta nomor hand-
phone-nya?"
Saya menghambur ke dalam mobil. Mimi
masih terlihat ngobrol dengan salah satu tamunya
Mas Sapto di depan lobby.
2-30
(13)
Baby Face
INI lebih pada soal menu. Seksrame-rame, threesome,
atau pun sandwich 1 for 3 memang tidak jauh
berbeda. Tapi namanya juga jualan, merek tetaplah
jadi iklan untuk menggaet tatnu. Tapi iklan tidak
ada artinya tanpa model yang oke-oke. Baby face—
gadis belia berumur antara 14-18 tahun adalah
satu daya tarik yang cukup menggoda dan dijadikan
sebagai "main-course" untuk mengundang tamu
berdatangan. Wow!
Kalau bukan karena hujan dan kemacetan,
mestinya saya tak perlu repot-repot mampir ke
Plaza Semanggi, menghabiskan waktu sore di
Coffee Break sambil cuci mata. Sebel memang.
Jalanan macet dengan antrean mobil panjang di
jalan-jalan utama, membuat saya tak punya banyak
23 1 pilihan. Daripada stres di mobil, mendingan
saya menghabiskan saat-saat happy hours sambil
menyeruput segelas kopi panas dan menyantap
sepiring sandwich tuna.
Kalau juga bukan karena Donny, mestinya
saya tak usah berlama-lama sampai hampir pukul
sembilan malam. Donny muncul begitu saja
di depan meja yang saya tempati. Laki-laki ini
termasuk kawan lama, dan sudah lebih dari satu
setengah tahun saya mengenalnya. Bujangan yang
hari-harinya sibuk mengurusi usaha kontraktor
itu termasuk bujangan sukses untuk ukuran pria
seusianya. Umur 27 tahun tapi sudah punya rumah,
mobil sendiri, dan penghasilan yang cukup besar
setiap bulannya. Pantas kalau di waktu senggang,
ia sering menyempatkan diri cuci mata di kafe, mal
atau mampir ke sejumlah diskotek, dan tentunya,
tempat-tempat pelesir yang menyuguhkan menu-
menu seks.
Bujangan dan banyak duit, tinggal di Jakarta
pula, apalagi kalau bukan mencari berbagai ma-
cam kesenangan untuk mengisi jam-jam kosong.
Entah karena boring dengan aktivitas sehari-sehari,
bete dengan pekerjaan, sekadar iseng mencari
2.32.
kencan baru yang berbeda atau karena dihinggapi
segala kecanduan seks. Yang jelas, beberapa alasan
itu menjadi pemicu mengapa banyak laki-laki
berduit enggan bersenang-senang di rumah.
Seperti juga Donny. Selain karena alasan
senang-senang, saya tidak banyak bertanya kenapa
dia suka berpelesir cinta. Habis, saya jarang sekali
melihat dia susah atau bete. Setiap kali ketemu,
selalu berseri-seri bahkan dalam keadaan tipsy
(setengah mabuk) sekalipun. Jujur, untuk urusan
informasi seputar isu-isu kehidupan malam di
seputar Jakarta, saya kalah jam terbang kalau
dibandingkan dengan Donny. Sejumlah teman
malah bilang: jangan deket-deket dengan Donny
kalau mau jadi laki-laki setia.
Pantas, sore yang mestinya hanya menjadi
persinggahan satu atau dua jam itu, malah molor
hingga malam menjemput. Kalau dihitung-hitung,
tak kurang dari empat jam kami nongkrong di
kafe. Dari sekadar minum kopi sampai akhirnya
tak kurang dari tiga gelas vodka Cranberry saya
tenggak, sementara Donny tak kurang dari lima
gelas Jackdaniel, on the rock\
23 3 The First Sex(ualit^)
Selama ngobrol di kafe, akhirnya kami sampai
pada isu seputar maraknya gadis-gadis belia yang
mulai jadi dagangan utama di dunia prostitusi. Ada
sebuah jaringan germo yang menjual anak-anak
SMU dengan harga tinggi. Modus transaksinya
pun tidak tanggung-tanggung. Klien langsung di-
bawa menjemput ke sekolah. Maklum, kalau tidak
"on the spot", siapa yang percaya kalau gadisnya
memang anak SMU betulan.
Fenomena gadis-gadis SMU yang dijadikan
sebagai dagangan seks, bisa dikatagorikan sebagai
transaksi "hi-class". Gimana nggak kelas atas kalau
sekali transaksi saja bisa mencapai puluhan juta
rupiah. Lucunya, kok ada saja supply dan demand-
nya.
"Sudahlah. Kalo anak-anak SMU, lupain saja.
Mahal dan ribet prosesnya. Mending nyari yang
gampang tapi kualitas sama," kata Donny.
"Gue nggak ngerti omongan lo!"
"Maksud gue, mending kita nyari yang pasti-
pasti. Datang ke tempatnya, bayar, eksekusi di
tempat, beres deh," imbuh Donny.
234
Ternyata, jasa pelayanan seks seperti yang
dimaksud Donny jelas tersedia. Kedoknya memang
bukan anak-anak SMU tapi secara umur, tidak
jauh berbeda. Ya, apalagi kalau bukan gadis-gadis
belia berumur antara 14-19 tahun!!!
Memang agak pusing kalau memikirkan
fenomena remaja sekarang ini. Yang jadi PSK
jumlahnya banyak, yang secara perilaku dan
pergaulan sehari-hari sangat berisiko, juga tak
kalah banyak. Kalau PSK remaja, memilih profesi
itu memang sebagai ladang mata pencaharian.
Tapi remaja kebanyakan, entah yang menyebut
dirinya sebagai remaja mal, remaja dugem, remaja
sekolahan sampai remaja rumahan, boleh dibilang
sudah masuk area "lampu kuning". Tidak saja dari
sisi gaya pacaran tapi sudah sampai pada tahap
berhubungan seks.
Data yang saya dapat dari Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2005 saja
misalnya, menyebutkan bahwa :
% 23% remaja (cewek-cowok) berumur 14-19
tahun melakukan hubungan seks dengan pacar
pertama.
235 - 58% remaja cowok melakukan hubungan seks
dengan pacar kedua sampai kelima. Sementara
presentasi remaja cewek sebesar 73%.
- Dilihat dari umur pertama kali melakukan
hubungan seks, entah sewaktu pacaran atau
setelah menikah, 93%-nya adalah kelompok
umur 15-19 tahun.
- Remaja cewek, 15-19 tahun, pertama kali
melakukan hubungan seks sebanyak 48.2%,
sementara remaja cowok 46.8%.
Wow! Itu baru sekelumit data yang saya
ingat. Kalau mau disebut satu per satu, ada banyak
Catalan penting yang berhubungan dengan perilaku
berisiko remaja di Jakarta. Serem banget kalau saya
baca satu per satu.
Fakta memang susah dipungkiri. Pergaulan
remaja sekarang ini bukan lagi bicara apel dan
nonton bareng, tetapi sudah merambah pada seks
bebas, alkohol dan drugs. Yang tak kalah seremnya
adalah fenomena di industri seks yang menjadikan
gadis-gadis belia sebagai daya jualan. Kalau boleh
berestimasi, dari sisi transaksi yang paling laku
keras, the most wanted girls di dunia prostitusi kelas
236
B sampai A+, nomor satunya adalah mereka yang
berumur 14-18 tahun. Nomor keduanya baru
mereka yang berumur 19-24 tahun, berikutnya
25-30 tahun.
Acara ngopi-ngopi bersama Donny di Coffee
Break itu akhirnya berubah arah menjadi "tour of
the nite''.
"Kita tengok dulu gadis belia dan imut-imut,"
ujarnya, enteng.
Dari Plaza Semanggi, kami bergerak ke
arah Jalan Thamrin, bergabung dengan padatnya
kendaraan yang merayap. Secara baru lewat 3 in
1 gitu. Satu-satunya jalur yang bebas hambatan
cuma Busway. Saya memang nggak pernah ngerti
kenapa mesti ada aturan Busway. Tapi gara-gara
itu, saya dan Donny butuh dua jam lebih untuk
sampai di lokasi. Ah, sudahlah. Forget it!
Baby Face
TEMPAT itu sebenarnya, lebih pas disebut seba-
gai tempat kebugaran. Habis, kalau disebut panti
pijat, kesannya kok seperti kurang elit. Tapi apalah
artinya sebuah istilah, mau disebut panti pijat,
237 tempat kebugaran, rumah penampungan, atau
rumah cinta, yang pasti urusannya cuma satu: di
dalamnya ada kesenangan yang bermuara pada
pelayanan seks. Soal kebugaran, ya itu masuk
hitungan bonus. Tamu yang suka dengan sauna-
ria, toh tinggal nyebur ke air atau berlama-lama di
ruang steam.
Di tempat itu tersedia koleksi gadis cantik
yang masih teenage. Di dalamnya juga menyediakan
kamar-kamar untuk transaksi langsung di tempat.
Menariknya, ternyata bukan cuma satu tem-
pat, tetapi ada tiga tempat sekaligus yang berde-
katan. Tak kurang dari 200 gadis dikarantina
di tiga tempat kebugaran itu. Main-service yang
diberikan, tak berbeda jauh dengan sejumlah
panti pijat yang tersebar di sudut Kota Jakarta.
Ya, " massage" memang menjadi menu utama yang
ditawarkan. Dari the real-massage alias pijat urat
sampai sex massage,
Sebenarnya, ide untuk mampir di tempat
kebugaran atau rumah cinta itu, tiba-tiba saja
terlontar dari Donny. Selain karena ingin menun-
jukkan pada saya soal fenomena gadis-gadis belia
yang terjun di bisnis prostitusi, Donny juga sudah
238
lama ia tak menyambangi Susan, gadis ber-body
sintal, berambut panjang, dan kulit bersih. Paras
muka berbentuk oval telur. Atau dengan lepasnya,
pria yang hobi olahraga balap mobil itu menyebut
soal keramahan Lusy, dan pandainya melayani
tamu dengan canda dan gaya tertawanya yang
manja tapi menggemaskan.
"Kayaknya kita mesti mampir. Biar lo nggak
penasaran. Lagian, ceweknya ada yang baru-baru.
Denger-denger, ada service baru yang gila-gilaan,"
ceplos Donny sambil terkekeh.
Mobil yang kami kendarai melaju melewati
kawasan Monas lalu masuk ke Jalan Gunung
Sahari. Kami sengaja mengambil jalur ini untuk
menghindari kemacetan di kawasan Harmoni
dan daerah Glodok. Setelah melintasi dua lampu
merah, kami belok ke kiri menyeberangi sebuah
jembatan kecil. Kami memasuki Jalan PJY, Jakarta
Barat.
Tidak seperti yang saya perkirakan, tempat
kebugaran itu berada di deretan bangunan ruko.
Lebih pas, kalau kawasan itu disebut sebagai
komplek ruko. Isinya campur-campur. Dari
toko kelontong, restoran, kafe sampai tempat
239 kebugaran. Tiga tempat kebugaran itu sendiri
menggunakan papan nama dalam ukuran lumayan
besar. Letaknya saling berdampingan satu sama
lain. Masing-masing berinisial PA, LV, dan RO.
Kami memarkir mobil di sebelah kiri bangunan
PA.
Selain mobil kami, tak kurang dari dua puluh
mobil tampak parkir rapi di halaman depan.
Area parkir cukup luas dan kira-kira muat untuk
menamping sekitar lima puluh mobil.
Begitu masuk, pemandangan pertama yang
saya temui adalah sebuah bar dengan nuansa
pencahayaan agak temaram. Tidak terlalu besar,
tetapi cukuplah untuk bersantai sambil minum-
minum. Kami dipersilakan duduk oleh waiter
yang bertugas.
Dua gadis yang duduk di sofa, letaknya agak
membelakangi bar, menyambut kami dengan se-
nyuman dan kedipan mata. Wajah mereka masih
muda dan fresh! Bentuk tubuhnya juga tidak terlalu
besar, malah boleh dibilang kecil dan imut-imut.
Sebenarnya, kami tak perlu bersusah-susah
karena Donny sudah punya beberapa calon gadis
pilihan yang akan menjadi teman kencannya.
Sebagai tamu yang lumayan sering bertandang,
rasa-rasanya kami tak perlu kesusahan untuk men-
dapatkan gadis yang cantik dan menjadi prima-
dona di PA.
Akan tetapi lantaran ada kabar kalau ada
sejumlah gadis pendatang baru, mau nggak mau,
kami menyempatkan diri untuk "cuci mata" seje-
nak. Ya, hitung-hitung buat penyegaran.
"Itu Rosa. Baru satu bulan kerja, dari Indra-
mayu. Umurnya 19 tahun. Kalau yang kuning
langsat itu namanya Mona, baru 17 tahun lho,"
ucap Pak Aris, yang bekerja sebagai manajer
bar. Rupanya, lewat Aris inilah, Donny sering
mendapatkan pasokan berita soal gadis-gadis di
PA.
Untuk beberapa saat lamanya, kami meng-
amati Rosa dan Mona yang direkomendasikan
oleh Pak Aris. Lalu, kami mulai melihat keadaan
sekeliling. Ramai juga. Selain Rosa dan Mona,
masih ada puluhan gadis lain yang memenuhi
ruangan bar.
"Yang baru datang ada 25 orang. Sebagian
besar dari Indramayu dan Tasikmalaya," bisik Pak
Aris.
24 1  24 0 Di PA, setidaknya ada sekitar seratus gadis
yang setiap hari stand-by di lokasi. Sebagian besar
dari mereka, dijamin 100% masih gadis belia.
Rata-rata berumur antara 15-19 tahun. Mereka
yang berumur di atas 20 tahun, paling hanya
30%-nya.
"Yang lain lagi pada kerja. Sebagian ada
yang lagi tugas keluar. Ya tinggal ini yang tersisa,"
sambung Pak Aris sambil melihat ke puluhan "anak
didiknya" yang tersebar di bar.
Donny tampaknya tidak mau berpikir lama-
lama. Dia menjatuhkan pilihannya pada Rosa.
Sementara saya yang baru sekali diajak Donny
mampir di PA, lebih suka gambling dengan
memilih Mona. Ya, siapa tahu saya mendapatkan
berkah besar karena ditilik dari sosoknya, Mona
tampak lebih seksi dan cantik.
"Mau langsung di sini atau dibawa keluar,
Bos? " tanya Pak Aris.
"Di sini saja, Pak Aris. Males kalau harus
check-in lagi di hotel," jawab Donny.
Kami memang sedari awal sepakat untuk
menyelesaikan semuanya langsung di tempat.
242
Makanya, tanpa banyak bicara lagi, kami
memutuskan untuk transaksi "on the spot"!
Daripada makan waktu lagi mencari hotel atau
losmen, mendingan yang cepat dan siap saji
saja, pikir kami. Lagi pula, kalau dibawa keluar,
harganya naik jadi dua atau tiga kali lipat dari
bandrol standar.
Sebelum masuk, Donny sempat berbisik
kepada saya sembari tersenyum kecil. "Kalau ada
tawaran yang 'aneh-aneh', cobain saja. Biar masih
ABG, cewek-cewek di sini service-nya jago-jago,"
bisiknya pelan-pelan sambil memukul pundak
saya.
Pak Aris meminta salah satu anak buahnya
untuk mengantar kami. Kami dibiarkan memilih
kamar yang sudah ada di depan mata. Biar
nyaman, kami sengaja menyewa dua kamar VIP
yang letaknya berdampingan. Yah, lumayanlah
untuk tempat kebugaran sekelas PA. Fasilitas di
kamar VIP, setidaknya tidak kalah dengan kamar
hotel kelas deluxe.
Musik-musik bernada lembut mengalun
lamat-lamat seolah menyusup di antara dinding
kamar bercat krem.
243 Jam di tangan sudah menunjuk pukul
delapan lebih lima ketika Mona mcngetuk pintu.
Tak terlalu meleset perkiraan saya. Malah, jujur
saya katakan, Mona lebih cantik kalau dilihat dari
jarak dekat. Bertinggi kira-kira 169 cm, berkulit
kuning langsat, dan berambut lurus sebahu.
Di balik sackdress biru muda yang membalut
raganya, Mona tampak anggun. Kakinya terbung-
kus stocking halus warna cokelat dengan sepatu
hitam berhak tinggi.
Semua berjalan perlahan tapi pasti. Dengan
gaya bicara berdialek Sunda kental, Mona mulai
memperkenalkan diri, berusaha membuat tamu
senyaman mungkin dengan membuka obrolan
demi obrolan. Setiap kali bicara, ia selalu
memperlihatkan senyum ramahnya.
Sambil terus ngobrol, Mona mulai mem-
berikan sentuhan magic lewat jari-jarinya. Sen-
tuhan itu berupa pijatan-pijatan kecil dan sesekali
diselingi dengan cubitan manja.
Pijatan dan cubitan itu hanya basa-basi
belaka. Selebihnya, skenario berjalan seperti la-
yaknya sebuah transaksi cinta antara tamu dengan
gadis-gadis kencan. Seks, ya, memang itulah
244
layanan utama yang diberikan gadis-gadis di PA.
Namun, belum juga sesi pijat-memijat itu sampai
di penghabisan, dari mulut Mona tiba-tiba saja
keluar sebuah tawaran layanan yang membuat
wajah saya agak memerah.
"Mau langsung, atau pake body-kissing dulu?
Di kasur oke, mau di bawah siraman air, juga
boleh," tanya Mona sekalian memberikan opsi
pilihan.
"Body kissing apaan?"
"Masak nggak tahu. Kayak body massage lah.
Tapi tip-nya. beda dari yang biasa," jawab Mona.
Sebuah tawaran yang sebelum masuk tadi
sempat dibisikkan Donny. Rupanya inilah tawaran
yang masuk kategori "aneh-aneh" itu. Tawaran
service body kissing; perpaduan antara mandi kucing
yang dilanjutkan pada tahapan body massage.
"Terserah kamu saja deh!" jawab saya spontan
separuh gemetar.
Body-kissing ternyata memang masuk "pela-
yanan ekstra dan istimewa". Makanya Mona me-
minta tip dalam jumlah besar. Kalau pelayanan
standar saja, Mona biasanya bisa mendapatkan tip
245 sebesar Rp 200 ribu. Itu berarti, untuk pelayanan
ekstra bisa di atas Rp 300 ribu.
"Tapi semua bisa dinego kok. Kalau tamunya
baik, ada yang sampai kasih tip Rp 500 ribu.
Terserah, Mas deh. Asal jangan di bawah Rp 400
ribu saja," ujar Mona, manja.
Jujur, mungkin karena umurnya masih 17
tahun, gaya bicaranya terdengar lugu dan apa
adanya. Belum lagi, ditambah dengan logat Sunda
yang masih kental. Tanpa sadar, saya jadi tertawa
sendiri. Kontan saja sikap saya itu membuat Mona
bertanya-tanya.
"Kenapa tertawa. Saya terlalu muda ya untuk
pekerjaan seperti ini?"
"Memang bener umur kamu 17 tahun?" saya
balik bertanya.
Kini malah giliran Mona yang tersenyum.
Dia hanya mengiyakan dengan anggukan kepala.
Dengan sikap polosnya, Mona malah meng-
ungkapkan kalau dirinya sudah menjanda sejak
umur 14 tahun.
Hah! Saya terperanjat hampir tak percaya.
246
"Biar kata 17 tahun, jam terbang saya sudah
banyak, Mas. Nggak percaya? Kita buktikan saja
sekarang," tantang Mona.
Dan detik demi detik berlangsung dengan
cepat, bahkan sangat cepat. Di antara bayangan
temaram lampu yang membias kamar berukuran tak
lebih dari 4X 4 meter persegi, Mona membuktikan
omongannya. Umur, sih, boleh 17 tahun, tapi soal
service, "ampyuuun" deh pokoknya.
Mona, Mona!!!
247 (14)
12 Pussy girlsS
12 pussy girlss!!!
7 wanita baik-baik.
3 cowboy striper!!!
22 esmud gaul.
Apa jadinya kalau mereka bertemu di ruangan
president suite untuk merayakan sebuah pesta? Ah,
kalau dipikir-pikir, sih, pasti urusannya tidak jauh
dari pesta, mabuk-mabukan, dan seks liar. Apalagi,
12 pussy girlss yang ada memang sengaja didatang-
kan dan diorder secara khusus untuk menghangat-
kan suasana pesta. Mereka nggak hanya bertam-
pang cantik dan berbadan seksi, tetapi juga jago
nari, ramah, dan so pasti, pintar berakting sensual.
Dan benar saja. Apa yang saya temui pada
malam Sabtu, di pertengahan bulan Agustus 2005
2.4-6  249 itu membuat saya makin sadar kalau ternyata di
Jakarta makin banyak orang yang doyan dan
begitu senang merayakan aktivitas seksual. Mau
nikah saja misalnya, harus didahului dengan pesta
lepas bujang atau bachelor party. Ulang tahun atau
kenaikan pangkat juga mesti ada perayaannya.
Kalau cuma sekadar pesta yang diselingi dengan
acata makan dan mabuk-mabukan, barangkali
sudah jadi hal yang biasa. Tetapi kalau dalam
pesta itu selalu ada unsur seks, itu baru layak
dibicarakan. Unsur seks itu misalnya dari sekadar
menyewa penari striptease, couple live show sampai,
tukar pasangan.
Yang lebih menarik, ada sekelompok laki-laki
dan wanita di dunia nite life yang gaya hidupnya
memang tidak jauh party to party. Pokoknya tiada
hari tanpa dugem, yang berakhir pada pesta seks.
Menyewa kamar penthouse di hotel berbintang,
menggelar pesta seks di rumah pribadi sampai rela
berada di pulau terpencil demi merayakan seks.
Apa yang saya temui pada Jumat malam di
pertengahan Agustus 2005 lalu, membuat pan-
dangan saya tentang adanya kelompok masyarakat
urban yang doyan pesta seks, makin terbukti.
250
Ceritanya bermula dari ketidaksengajaan.
Namanya juga private-party, datangnya tidak bisa
ditebak. Mestinya, malam itu saya tak perlu repot-
repot mampir ke Planet Hollywood kalau saja
tidak ada janjian kencan dengan seorang cewek
SPG (bukan Seks Pajero Goyang lho tapi Stand
Promotion Girl, hehehe...) yang saya kenal di
sebuah pameran produk ponsel di Pondok Indah
Mal. Gadis yang mengenalkan diri sebagai Loni
itu—sebut saja begitu, baru berumur 21 tahun.
Cantik, berkulit kuning langsat, dan yang pasti,
punya sensualitas yang cukup menggoda. Terutama
bentuk badan dan bibirnya. Alamak!
Saya sudah berada di bar selama lebih dari
dua puluh menit ketika Loni muncul dengan
baju warna birunya. Pukul sepuluh kurang dua
belas menit. Kami duduk bercakap-cakap sambil
menikmati sebotol red wine Lambrusco. Kami
ridak sendirian. Ada puluhan tamu lain yang juga
memilih menghabiskan waktu di bar ini.
"Kalo punya temen cakep jangan dimakan
sendiri dong!"
"What?' saya kaget. Ternyata, di samping
saya sudah ada Bimo, pria berumur 33 tahun
2.SI yang sering saya panggil dengan sebutan si Kutu-
kupret. Orangnya supel, ramah, banyak omong,
dan suka jahil. Pekerjaan sehari-harinya manajer
marketing di sebuah perusahaan minuman ber-
energi. Bimo memang sering nongkrong di bar
Planet Hollywood, terutama kalau hari-hari week-
end.
"Sialan, gue pikir siapa. Kenalin ini Loni."
Dengan senyum lebar Bimo mengulurkan tangan-
nya dan duduk di samping saya.
"Lo lagi nge-date atau cuma kenalan iseng-
iseng?" bisik Bimo.
"Dua-duanya. Mau tau aja lo!"
"Daripada kelamaan di sini, mending lo ikut
ke pestanya temen gue. Lo kenal juga kok. Katanya
sih bakal ada yang 'seru-seru'...," jelas Bimo.
Pesta? Pastinya menarik. Apalagi kalau Bimo
sudah menyebut bakal ada yang seru-seru. Itu
berarti, pestanya akan dipenuhi dengan pernak-
pernik yang tidak terduga. Biasanya tidak jauh
dari urusan erotisme, sensualitas, keliaran, dan
seksualitas.
Mendengar akan ada pesta seru, Loni tam-
pak antusias. Sambil terus menikmati anggur
252
Lambrusco-nya, Loni mulai ikut berbicara. Wajah
gadis cantik itu sedikit memerah. Mungkin karena
pengaruh anggur yang sudah hampir tiga gelas ia
habiskan. Ditambah lagi, dua gelas tequila yang ia
pesan sendiri dengan diam-diam. Sepertinya, Loni
sudah tak asing dengan namanya alkohol.
"Ya, sudah kalo gitu. Kita berangkat saja
sekarang." Kami meninggalkan bar sekitar pukul
sebelas malam. Bimo mengendari mobil Mercy
C 200-nya, sementara saya dan Loni mengikuti
dari belakang menuju Kawasan Kuningan lalu
masuk ke Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Di sebuah
kelab malam berinisial ND, yang lebis pas disebut
sebagai tempat one stop entertainment (ada restoran,
diskotek dan karaoke) Bimo memarkir mobilnya.
Saya dan Loni sampai di tempat parkir tak lama
kemudian.
12 Pussy girlss, 3 Cowboy Striper.
TERNYATA, tak perlu repot-repot untuk meraya-
kan pesta lepas bujang. Tiga hari atau seminggu
sebelumnya, tinggal telepon manajer di kelab
ND, merinci apa yang kita mau satu demi satu,
Z.S3 deal harga, yup...beres deh! Seperti halnya pesta
bachelor-nya Irwan, sebut saja begitu. Seorang
esmud muda berumur 34 tahun yang mengelola
bisnis di bidang travel dan pariwisata. Setidaknya,
ada lima perusahaan tersebar di lima kota besar
yang kini menjadi ladang duit bagi Irwan.
"Oh, elo toh yang bikin pesta. Kok nggak
ngundang gue?" sindir saya ketika bertemu
Irwan di kamar karaoke tipe president suite. Saya
mengenalkan Loni pada Irwan. Demikian juga
sebaliknya, pria yang bakal segera mengakhiri
lajangnya itu mengenalkan teman-temannya yang
ada di ruangan. Setidaknya, ada dua puluh pria dan
lima wanita. Saya lupa namanya satu per satu.
"Gue kehilangan nomor elo, Man. Sori, yang
penting sekarang kan elo udah di sini," jawab
Irwan.
Pesta sudah dimulai sejak pukul sepuluh
malam. Selama satu jam, acaranya hanya sekadar
makan dan minum. Di ruangan president suite
ini bisa menampung sekitar seratus orang lebih.
Ada ruang makan dengan meja bundar dan enam
kursi. Ada juga satu kamar terpisah yang bisa
menampung sepuluh orang. Di ruang tengah, ada
254
sofa memanjang dan di depannya ada empat buah
TV 29 inci, Ruangan ini juga dilengkapi dengan
dua kamar mandi dalam ukuran besar, dan satu
kamar ganti.
Loni dengan cepatnya bisa mengakrabkan
diri kepada lima tamu wanita yang menjadi teman
Irwan. Sementara Budi sudah asyik menyanyi
bersama tamu-tamu lainnya. Puluhan botol mi-
numan, dari wiski, wine, sampai vodka tersedia
di meja lengkap dengan makanan kecilnya. Suara-
suara fals, dan canda tawa, bercampur denting
gelas yang beradu.
Mas Yan, 29 tahun, yang menjadi koordinator
karaoke di kelab ND, berjalan mendekati Bimo
dan saya yang tengah berbincang santai. Ah,
tampaknya "yang seru-seru" sudah bisa dimulai.
Itu yang ada di benak saya dan itu artinya, sebentar
lagi ruangan president suite akan memanas.
Sepuluh menit berlalu. Dua belas gadis
cantik berbalut pakaian supermini, masuk ke
dalam ruangan dengan diantar Mas Yan dan tiga
laki-laki berbadan atletis. Kedua belas gadis itu
mengenalkan diri satu per satu. Rata-rata berambut
di bawah pundak dan memoles wajahnya dengan
255 make-up agak menor. Maklum, cahaya lampu di
ruangan memang di-set-up remang-remang. Lalu
siapa tiga laki-laki berbadan atletis itu? Mereka
hanya mengenalkan diri lalu ikut duduk bersama
Mas Yan. Saya tidak mengenal mereka, demikian
pula dengan Budi.
Lampu masih saja menyala ketika kedua belas
gadis itu mulai ber-fashion show mengikuti irama
musik house. Setelah sepuluh menit, muncul tiga
laki-laki berbadan atletis dan mulai menari-nari.
Secara bergantian, mereka melepaskan baju satu
per satu. Kedua belas gadis itu kini hanya tinggal
mengenakan baju dalam, demikian juga dengan
ketiga laki-lakinya.
"Huuuu...!"
"Hajar...!"
"Buka terus, nari terus...!"
Terdengar teriakan-teriakan di dalam ruang-
an.
Dalam hitungan menit, mereka menanggalkan
baju dalam yang melekat di tubuh mereka sampai
tak bersisa. Dengan gayanya yang khas ketiga
laki-laki yang kini dalam keadaan telanjang
itu memperlihatkan aksi "malu-malu" dengan
256
menutupi bagian paling vital dari tubuhnya, meng-
goyangkan badan, dan selalu mengembangkan se-
nyuman.
Kedua belas gadis seksi yang kini membiarkan
tubuhnya tanpa penutup sehelai benangpun beraksi
tak kalah serunya. Menari-nari, meliuk, sesekali
beratraksi di atas meja, dan bahkan, merangsuk ke
kerumunan tamu laki-laki.
Pertunjukan makin panas karena menit-menit
berikutnya, ketiga laki-laki yang ternyata adalah
cowboy stripper itu mempertontonkan aksi "blue
live-show' berkolaborasi dengan kedua belas pussy
girls. Saya lebih suka menyebutnya begitu karena
mereka tidak saja menari bugil tapi juga cantik dan
sangat entertaining.
Setelah pertunjukan "blue live-show" yang
berlangsung tak kurang dari lima belas menit,
ketiga cowboy striper menarik semua tamu wanita
termasuk Loni untuk pindah ke kamar samping.
Sementara kedua belas pussy girls bersama 22 tamu
laki-laki termasuk saya dan Budi, tetap stand-by di
ruangan utama.
Lampu tiba-tiba padam!
257 Suasana di ruang president suite menjadi
gelap gulita. Hanya ada satu lampu bohlam di atas
meja makan yang dibiarkan menyala. Dari kamar
sebelah, saya mendengerkan jeritan dan teriakan
kecil dari para tamu wanita. Entah apa yang sedang
terjadi, saya cuma bisa mereka-reka. Paling-paling,
ketiga cowboy striper yang rata-rata punya wajah
cukup ganteng itu sedang mempermainkan para
tamunya.
Di ruang utama, kedua belas pussy girls
juga tak kalah panas aksinya. Mereka tidak lagi
menari-nari dan ber-catwalk di depan tamu, tetapi
langsung membaurkan diri dalam keadaan tanpa
busana. Astaga! Saya yang duduk di samping
Irwan, samar-sama melihat bagaimana kedua
belas gadis itu memplonco tamu satu demi satu;
dari mempreteli baju sampai tinggal tersisa celana
dalam dan mengeroyoknya secara beramai. Adegan
demi adegan yang sangat erotis segera terjadi. Ada
yang buru-buru pergi ke kamar mandi dengan
ditemani dua gadis pussy girls karena malu, risih,
dan tidak terbiasa meng-"eksekusi" di depan
umum, tetapi ada juga beberapa tamu yang
cuek saja mempertontonkan potongan-potongan
258
film biru di atas sofa, berdiri di depan TV dan
menggunakan meja sebagai tempat tidur.
Hampir sejam berlalu. Masih dalam keadaan
gelap, tiba-tiba Irwan diserbu dan dikeroyok kedua
belas pussy girls secara beramai-ramai. Irwan tidak
bisa berbuat banyak selain pasrah ketika baju yang
melekat di badannya dicopoti satu demi satu.
Sampai akhirnya tak sehelai benang pun melekat
di badannya.
Menit berikutnya, beberapa orang pussy
girls memborgol kedua tangan dan kaki Irwan.
Tidak tanggung-tanggung, kali ini kedua tangan
dan kakinya sudah terikat pada dua buah kursi.
Suasana makin riuh ketika Irwan diperlakukan tak
ubahnya kelinci percobaan.
"Tuang wine ke badannya!" seru seorang tamu
laki-laki menyemangati
"Banana-split juga!" yang lain menimpali.
Seorang gadis menghampiri Irwan. Di ta-
ngannya ada dua gelas madu. "Siram! Siram!
Siram!" teriak para tamu beramai-ramai. Si gadis
pussy girls tersenyum. Irwan meringis pasrah. Lalu,
perlahan, mulai dari kepala, ia menuangkan cairan
pekat yang manis itu ke tubuh Irwan, hingga ke
ujung kaki.
259 Semua bertepuk tangan riuh. Lalu, bergantian,
kedua belas pussy girls mulai menarikan tangan
mungilnya di atas tubuh Irwan secara bersamaan.
Ada yang mengoleskan madu ke semua bagian
tubuhnya, ada juga yang menggerayanginya
tanpa henti. Proses perploncoan itu juga diselingi
dengan pelayanan spesial, dari mandi kucing, body
massage, oral seks, dan seterusnya. Semua tamu
undangan termasuk saya dan Budi, ikut bersorak
histeris menyaksikan tontonan yang "superseru"
itu. Irwan hanya bisa memejamkan mata dan
sesekali berteriak menaban geli, hawa dingin, dan
tentu saja, libidonya.
Beberapa tamu wanita yang tadinya berada di
kamar sebelah, serempak menghambur keluar dan
bergabung di ruang utama. Saya mendekati Loni
yang sudah mulai berjalan sempoyongan karena
kebanyakan minum alkohol. Samar-samar, saya bisa
melihat tubuh dan wajahnya yang berkeringat.
Suasana pesta makin meriah. Semua tamu
undangan berkumpul di ruang utama dan
menyaksikan Irwan telentang dalam keadaan
kelelahan. Irwan sepertinya merasa lengkap
mengakhiri masa lajang dengan "pesta gila"-nya.
260
"Udah dong, gue capek banget!" katanya
berteriak. Suaranya timbul tenggelama di antara
tawa dan teriakan tamu undangan. "Gue udah
lemes nih...!" katanya makin melemah.
Teriakan Irwan itu mengakhiri pesta malam
itu. Lampu menyala dan Irwan digiring ke kamar
mandi dan dimandikan oleh kedua belas pussy girls.
Wow...!!! Saya, Loni, dan Budi duduk di meja
makan sambil meneguk minuman yang masih
tersisa.
Mas Yan datang dengan membawa kertas
tagihan.
"Bill-nya berapa, Mas Yan?" tanya Budi.
"27 jutaan," jawab Mas Yan.
Total Rp. 27 juta itu untuk pembayaran
satu kamar president suite selama 4 jam, food &
beverage (F&B), dua belas pussy girls, tiga cowboy
striper, dan enam lady companion. Total persisnya
Rp. 27.450.000,-
Ups!!!
261 262
(15)
DEBUS "V"
GADIS cantik itu berdiri di panggung tanpa
busana. Sorot lampu menyiram tubuhnya. Puluhan
penonton, termasuk saya, tak ada yang bersuara.
Laki-laki dan perempuan menjadi satu. Semua
dewasa, tak ada yang berumur di bawah 17 tahun.
Tak ada penonton yang boleh membawa ponsel,
apalagi kamera.
Tiba-tiba, gadis cantik berambut panjang
itu memegang tiga ekor tikus putih dan sejenak
memamerkannya pada penonton. Sambil terse-
nyum, ia memasukkan tiga ekor tikus putib itu, satu
per satu, ke bagian paling vital (V) dari tubuhnya.
Lalu, dalam hitungan detik, ia mengeluarkan 3
ekor tikus putih secara bergantian. Anehnya, 3
ekor tikus putih itu masih dalam keadaan hidup
dan segar bugar.
263 Sebagian penonton ada yang bertepuk
tangan, tetapi banyak juga yang cuma terbengong-
bengong tak percaya.
Gadis itu tak sendirian. Di atas panggung, ia
ditemani dua gadis lain dan dua laki-laki. Secara
bergantian, hiburan yang terkenal sebagai Thai
Girl Show itu berlanjut dengan aneka ragam
atraksi yang lebih mendebarkan. Dan semuanya,
menggunakan bagian V sebagai "main course'
atraksinya.
Selesai "bermain-main" dengan tikus putih,
ketiga gadis di atas panggung bersama dua laki-laki
menyuguhkan atraksi yang tak kalah menggiriskan.
Bermain-main dengan silet, kura-kura, ikan hidup,
telur mentah, burung pipit, dan jarum + balon
warna-warni.
Saya masih ingat betul pada saat salah satu dari
tiga gadis penari itu melakukan atraksi "bermain-
main" dengan dua ekor burung pipit yang kakinya
diikat pada sebuah benang panjang. Begitu selesai
"memasukkan" dua ekor burung pipit itu ke
bagian V dan kemudian mengeluarkannya, dua
ekor burung itu diterbangkan ke arah kerumunan
penonton. Ada-ada saja! Antara geli bercampur
264
rasa ingin tahu, saya coba menangkap salah satu
burung pipit itu. Burung asli lho, dan kondisinya
sehat walafiat. Padahal, menurut logika waras,
mestinya burung itu KO setelah masuk dalam
lubang gelap yang tak ada ventilasinya.
Dalam pikiran saya muncul beberapa
pertanyaan dan keheranan seketika. Kok bisa?
Gimana caranya? Masak sevulgar itu boleh
ditonton oleh publik? Buat saya, tontonan itu rasa-
rasanya lebih pas disebut sebagai Debus V.
Pemandangan yang membuat bulu kuduk
berdiri itu saya temui di Pattaya, Thailand,
beberapa bulan lalu. Lokasinya berada di jalan
protokol dan terbuka untuk siapa saja. Tempatnya
berdampingan dengan sebuah kelab kebugaran
body massage bernama Sabai Room. Ini kunjungan
saya yang kedua ke negeri Gajah Putih itu.
Pada kunjungan pertama, Thai Girl Show—
istilah populernya—yang saya lihat, masih ter-
golong biasa-biasa saja. Paling-paling atraksi buka-
tutup botol Coca Cola atau memasukkan beberapa
buah silet yang diikat dengan benang ke dalam V.
Ternyata, dalam perkembangannya, atraksi
itu kini malah menggunakan sejumlah binatang
265 seperti tikus, ikan, dan burung. Nggak masuk
di akal saya. Swear! Dibilang tontonan, letak
hiburannya di mana? Bukannya terhibur, saya dan
mungkin sebagian penonton yang datang malam
itu malah merasa "ngeri". Habis, rada nggak
manusiawi. Bermain-main dengan kelamin di atas
panggung dan ditonton puluhan orang.
Bagaimana dengan Jakarta? Apakah tontonan
a la Debus V itu juga ada? Well, itu juga yang jadi
pertanyaan saya ketika tiba di bandara Soekarno-
Hatta. Selama dua minggu di Thailand, saya
mendapatkan bahan cerita seputar wisata seks
yang begitu banyak. Mulai dari seks body-massage
yang menjamur di sudut-sudut jalan, Russian
Rollet, sampai kelab-kelab elk di Bangkok yang
mengemas bisnis sex-entertainment dengan quality
standart yang oke punya.
Thai Tangju
SEKITAR pukul 01.00 dini hari, ponsel saya
berbunyi. Sebuah SMS membuat konsentrasi saya
agak terganggu. Padahal, saya lagi serius-seriusnya
menikmati film Temptress Moon yang dibintangi
266
Gong Li dan Leslie Cheung di sebuah kamar hotel
berbintang empat di Kawasan Sudirman, Jakarta.
Biasa, malam itu saya lagi dapat jatah tidur gratis
dari salah satu karib saya, Setiawan, 34 tahun, yang
baru dapat promosi jabatan di sebuah perusahaan
perminyakan.
Di layar ponsel saya tertulis pesan pendek
yang membuat saya terpaksa melupakan sejenak
kecantikan Gong Li.
MEET = 1) New Thai
Sexy dancers 2 TEASE UR
LIBIDO. 2) Thai BODY
Massage 2 RELAX. 3) 10
Most Beautiful Thai MODEL
4 Limited time 2 FINISH
UR LIBIDO. 4) Info call:
021-6269 XKX .
Ini bukan sembarang SMS dan bukan kali
pertama saya menerimanya. Dalam sebulan, saya
bisa menerima SMS serupa tiga sampai empat
kali. Tiga tawaran menggiurkan yang ditulis tak
ubahnya seperti iklan baris itu memang tengah
menjadi salah satu menu seks utama di sejumlah
267 kelab elit di Jakarta saat ini. Jadi tak perlu heran
kalau suatu ketika Anda mampir ke karaoke, kelab,
sauna, diskotek, atau tempat pijat akan disuguhi
puluhan gadis cantik asal Thailand.
"Cewek Thailand-nya asli betulan atau
aspal?" Seorang teman, sebut saja Harry, 27
tahun, berseloroh ketika kami berbincang santai
di Kawasan Pecenongan, Jakarta Barat, sambil
menikmati aneka hidangan sea-food: kerang hijau
rebus, kepiting saus tiram, dan gurame bakar
sambal kecap. Tentu saja ceweknya asli, bukan
aspal apalagi imitasi. Mereka diimpor langsung
dari Thailand—negara yang banyak mendapatkan
pemasukan devisa dari pariwisata seks yang
"dilegalkan".
Nggak percaya? Saya pun melompat dari
kasur dan langsung tancap gas menuju Kawasan
Gajah Mada, lalu u-turn masuk ke Jalan Hayam
Wuruk. Tepat di samping sebuah mal perbelanjaan,
saya belok kiri dan berhenti di lobby sebuah hotel.
Daripada susah mencari parkir, jalan satu-satunya:
valet parking. Di sinilah lokasi kelab berinisial
TE.
Harry, lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai
marketing promotion di perusahaan distributor
minuman pengimpor vodka dan wine itu sudah
menunggu di depan meja resepsionis.
Begitu masuk, kursi-kursi di kelab TE sudah
terisi sehingga banyak juga tamu yang harus
berdiri. Sementara itu, di atas panggung terlihat
enam orang penari berwajah khas Thailand tengah
unjuk kebolehan.
Ooo... .
Rupanya, seperti inilah sex-entertainmentyang
diberikan oleh gadis-gadis Thai. Tak beda jauh
dengan isi SMS di ponsel saya. Pertama, mereka
menyuguhkan pelayanan tarian tangju (baca:
tanggal baju). Dalam aksinya, mereka tidak sekadar
meliuk-liuk di depan tamu tanpa baju dengan
goyangan sensual dan erotis, tetapi lebih dari itu.
Mereka juga memberikan pertunjukan ekstra yang
sejenis dengan Thai Girl Show berskala softcore.
Meskipun sebelumnya saya pernah menonton
pertunjukan serupa di Patiaya, tetapi terus terang,
saya kaget juga ketika di sebuah ruangan karaoke
kelas VIP—yang ini di Jakarta lho, mereka dengan
berani mempermainkan rokok, botol bahkan
benda-benda tajam di bagian, maaf, alat vitalnya.
269  268 Kedua, mereka memberikan pelayanan
seks a la body-massage dan Thai Scrub. Tak beda
jauh dengan pelayanan body-massage yang juga
biasa ditawarkan sejumlah tempat pijat dengan
tenaga lokal yang banyak menjamur di Jakarta,
para gadis Thai ini pun tak kalah gesit dan lihai
dalam menjamu tamunya di atas ranjang anti-
air yang dipenuhi busa. Bahkan, mereka punya
menu andalan lain berupa pelayanan Thai Scrub
untuk menambah sensasi berekreasi-seksual:
menggunakan spon dan bulu binatang selama
proses body-massage berlangsung.
Tempatnya, tenta saja bukan di atas
panggung. Kalau pun gadis Thai-nya mau, tamu
yang booking, apa berani unjuk "ketelanjangan"
di panggung dan dipelototi puluhan pasang mata.
Makanya, kelab TE menyediakan fasilitas private
room untuk menuntaskan transaksi body-massage
& Thai Scrub.
Yang tak kalah hebatnya adalah menu
ketiga: 10 Most Beautiful Thai MODEL 4 limited
time 2 FINISH UR LIBIDO. Waduh, kalau baca
kalimatnya, kedengarannya kok agak-agak vulgar
kali ya. Tapi yang pasti, menu ketiga ini adalah
270
pelayanan seksual a la full body contact service
(baca: pelayanan seks tuntas, tas, tass....) bersama
gadis Thai untuk waktu satu jam. Sebutan model
mungkin tidaklah terlalu muluk. Pasalnya, secara
fisik, mereka memang memiliki tinggi tubuh di
atas 170 cm, berkulit halus, berwajah khas Melayu,
dan memiliki ukuran sex-appeal di atas rata-rata.
Barangkali, tanpa bermaksud melebih-
lebihkan, komunitas gadis Thai yang menjadi
"penghuni" di sejumlah tempat hiburan malam
itu sudah jadi tren tersendiri. Di beberapa tempat
hiburan malam, mereka menjadi primadona yang
menyebabkan tamu rela masuk daftar waiting list
sebelum mem-booking. Meski keberadaan pekerja
seks lokal relatif murah, tetapi gadis-gadis Thai
yang notabene mematok harga tinggi itu, nyatanya
tetap menjadi incaran para lelaki berduit untuk
menuntaskan wisata dan rekreasi seksual-nya.
Lihat saja pada malam Minggu di kelab TE.
Para gadis Thai ini ditampilkan sebagai maskot
acara. Sepuluh gadis Thai dengan dandanan
seksi akan menari sensual di atas bar. Para tamu
diberi kebebasan memberi minuman kepada
mereka. Tamu tinggal mendekat, menaruh segelas
271 "shooters" di mulut, lalu para penari Thai itu
akan menjemput dengan mulutnya juga. Dalam
hitungan detik, mereka akan berjoget a la "kayang"
sambil menenggak gelas minuman tanpa sisa. Aksi
mereka tak ubahnya seperti pertunjukan penya-
nyi dangdut Putri Vinata. Sebuah pemandangan
yang, menurut saya, fantastis karena tak jarang
aksi "beradu bibir" kerap terjadi.
"Rp 1,5 juta for new Thai sexy dancers and
body Massage to tease your libido. Rp 2,5 juta for
one most beautiful Thai model for limited time to
finish your libido" jelas Harry, tak ubahnya seperti
seorang public relations.
Debus V
KINI, tarian Tangju dan atraksi Debus V dengan
menu gadis-gadis asliThai bukan lagi jadi tontonan
superspesial di sejumlah tempat hiburan. Artinya,
buat orang-orang yang biasa kelayapan malam
dan berwisata dari satu kelab ke kelab berikutnya,
sudah nggak asing dengan tontotan seperti itu.
Baru "dihukumi" superspesial, kalau penarinya asli
pribumi.
272
"Yang lokal mana?" tanya saya pada Harry.
"Kalau cuma gadis Thai, saya juga tahu," sambung
saya.
Usut punya usut, gadis-gadis lokal yang
berprofesi sebagai stripper, entah itu yang mangkal
di sejumlah tempat hiburan atau freelance, ternyata
mulai berani "unjuk gigi" dengan gerakan a la
Debus V, seperti yang dipraktikkan dalam Thai
Girl Show di Pattaya.
Sebut saja di karaoke KB di bilangan
Sudirman atau karaoke CI di Kawasan Hayam
Wuruk. Di tempat tersebut, para stripper lokal-
nya sudah berani "bermain-main" dengan rokok,
buah-buahan, dan dildo.
Dalam aksinya, para stripper akan meng-
gunakan empat hingga delapan batang rokok
dalam kondisi menyala. Mereka juga dengan
lihai menari-nari di atas meja. Tak cukup hanya
rokok, mereka berani mempertontonkan adegan
"bermain-main" dengan buah-buahan, seperti
terong dan ketimun. That's it? No! Kita juga
bakal dibuat melongo melihat kepiawaian mereka
beratraksi dengan alat-alat bantu seks, seperti
vibrator.
273 Dibanding Thai Girl Show, atraksi para
stripper lokal itu memang belum ada separuhnya.
Tapi setidaknya, mereka tak mau ketinggalan
dalam berinovasi. Kalau sebelumnya hanya meng-
andalkan goyangan dan liukan sensual yang
akhirnya berujung pada traksaksi seks, kini mereka
mulai membumbuhinya dengan atraksi vulgar
yang menggunakan rokok, buahan-buahan, dan
dildo sebagai atribut.
Hebatnya, kalau Thai Girl Show kebanyakan
dilakukan di atas panggung, maka para stripper
lokal melakukannya di private room, di atas sebuah
meja atau sofa dan kapan pun bisa berinteraksi
dengan tamu.
"Berarti bisa gaya bebas dong, Jo?" tanya
saya.
"Embeerrr...!" seru Harry. "Jangan sok
nanya-nanya deh, kayak elo nggak pernah liat saja,"
sambung Harry sambil menepuk pundak saya.
Ember...!!! Tampaknya sex-tainment yang
disuguhkan sejumlah tempat hiburan malam atau
dalam pesta-pesta tertentu, sudah melampui nalar
sehat. Tak ada lagi batas-batas kevulgaran maupun
2.-74-
sisi kemanusiaan yang diperhatikan. Semua ber-
inovasi dengan bebas atas nama: entertainment. Ya,
inilah salah satu potret kevulgaran kota bernama
Jakarta.
275 276
(16)
BUNNY GIRLS/
Seks Face Off
APA bagian paling seksi dari manusia? Perut six
packs, payudara yang berisi, atau sepasang belahan
pantat yang bahenol? Untuk saya, jawabannya
bukan itu. Bagian paling seksi dari tubuh manusia
itu OTAK. Yup, sebab ia bebas berfantasi. Namun,
berapa banyak tempat plesir seks di Jakarta yang bisa
mewujudkan fantasi di otakAnda?
Setiap orang pasti punya fantasi seks. Nggak
peduli laki-laki atau perempuan, nggak peduli
muda atau tua. Dan fantasi, sah-sah saja dilakukan
oleh siapa pun.
Namanya juga fantasi, tidak merugikan
siapa-siapa karena adanya cuma dalam pikiran.
Mengeksplorasi imajinasi tanpa batas untuk
277 mencapai kesenangan seksual juga sah-sah saja.
Toh, namanya juga pikiran, mana bisa dilarang-
larang.
Saya beberapa kali terlibat pembicaraan
dengan teman laki-laki atau perempuan berkaitan
dengan fantasi seks mereka. Ada yang "biasa-biasa
saja", tetapi ada juga yang kelewat gilanya. Konon
kabarnya, fantasi seks ini terkait dengan tingginya
libido seseorang. Ya, bisa karena tingginya dotongan
seks atau bisa juga karena frekuensi orgasme.
Tiap kali ngobrol bersama beberapa teman
laki-laki atau perempuan, pertanyaan yang muncul
sangat simpel: what is your sex-fantasy?
Tentu saja, setiap orang punya jawaban yang
sangat beragam. Misalnya:
Aldi, 29 tahun: "Bercinta dengan gadis seksi yang
mengenakan baju tentara. Kalo nggak, pake
baju perawat."
Bondan, 23 tahun: "Bercinta dengan tiga atau
lima cewek yang berdandan ala harem-
harem Mesir."
Vicky, 24 tahun: "Laki-laki bertato, macho, ya.. .
kira-kira setipe dengan Tora Sudiro. Bercinta
di pinggir pantai, bugil bareng."
278
Linda, 25 tahun: "Bercinta dengan cowok yang
memiliki wajah dan bentuk badan seperti
Brad Pitt di pinggir pantai."
Dena, 27 tahun: "Bercinta di bawah guyuran
hujan deras di atas bukit yang cuma ada satu
pohon. And get naked together''
Dari beberapa jawaban yang terlontar,
terlihat bahwa fantasi seksual manusia itu berbeda-
beda. Setiap orang memiliki preference-nya. sesuai
dengan apa yang dianggap mereka bagus dan
menyenangkan. Dari yang terfokus pada imajinasi
setting romantis, ragam gaya adegan seksual,
jumlah pasangan sampai objek fantasi yang bertato,
berbaju ala Harem Mesir, dan saya yakin, kalau
mau ditelusuri lagi ke lebih banyak orang, varian
dari fantasinya pun akan semakin beragam.
Dalam praktiknya, fantasi kerapkali jadi
realitas. Attinya, apa yang sebelumnya hanya
ada dalam pikiran dan angan-angan, tahu-tahu
kejadian betulan.
Celakanya—atau malah menguntungkan bagi
sebagian orang—perkembangan industri hiburan,
dalam hal ini wisata seks-nya, menginspirasi
2.-79 sejumlah pengusaha untuk mengembangkan menu
layanan seks dengan ide-ide yang selalu baru.
Salah satunya adalah mewadahi dan memfasilitasi
sekelompok orang untuk mewujudkan fantasi seks
mereka.
Bentuknya? Well, inilah fakta yang saya
temukan di lapangan. Ini bukan serba kebetulan
melainkan dimulai dengan usaha mengorek
informasi dari sejumlah laki-laki yang selama ini
doyan melakukan pelesir malam.
Isu yang beredar adalah munculnya sebu-
ah kelab—bisa juga disebut mansion—yang
menyediakan jasa layanan seks untuk mereka
penggemar fantasi. Bukan segala macam fantasi
seks bisa dipenuhi tapi lebih pada fantasy fashion.
Bercinta dengan pasangan yang mengenakan baju
army look, misalnya. Kalau tidak, seranjang bersama
lawan main yang memakai baju suster, sekretaris,
kinky atau sado-masochist. Bahkan, gadis dengan
baju a la pramugari pun tersedia.
280
Home of Fantasy
MASALAHNYA, siapa narasumber terpercaya
yang bisa menunjukkan pada saya di mana lokasi
Home of Fantasy itu berada. Kabarnya, tempat itu
cuma ada satu di Jakarta. Dan di tempat itulah,
segala fantasi seks, terutama yang berkaitan dengan
fantasy fashion bisa ditemukan.
Awalnya, saya berpikir, Home of Fantasy
itu adanya di sebuah tempat kebugaran di hotel
berbintang di kawasan Jakarta Selatan. Maklum,
di situ para massage-girls di hotel berinisial MA
itu memakai baju a la suster yang identik dengan
warna serba putih, mulai dari rok mini, baju lengan
pendek sampai sepatu.
Apa karena faktor baju a la suster membuat
tempat itu laris manis dan masuk dalam jajaran
"Lima Tempat Terlaris" di Jakarta? Saya tak tahu
pasti. Yang jelas, di tempat itu, fasilitas yang
disediakan memang tergolong lux dan ekslusif.
Misalnya, ruang tunggu yang di-setting seperti
lounge atau ruang untuk massage yang kelasnya
sebanding dengan kamar tipe De Luxe di hotel
berbintang lima.
28 1 "Bukan di situ tempatnya," tukas Dedy
ketika saya nongkrong bareng dia di Red Square,
Senayan. Biasa, Rabu malam ada acara Ladies Nite.
Jadi, bisa menyaksikan sexy dancers sambil duduk
santai di bar.
Laki-laki berusia 32 tahun yang sehari-hari
sibuk di sebuah perusahaan sekuritas ternama
itu, rupanya punya sejumlah informasi tentang
Home of Fantasy. Beruntung juga kenal dengan
Dedy. Minimal, kalau pas ketemu di kelab malam,
bisa dapat jatah minum gratis. Apalagi kalau dia
mengajak clubbing atau dugem, semuanya "on
him". Artinya, saya tinggal bawa badan saja alias
"modal nganga doang", kata anak gaul.
Seperti pada Ladies Nite malam itu, Dedy
yang datang bersama rombongannya sudah larut
dalam suasana pesta. Dua botol Jack Daniels
lengkap dengan campuran Coca Cola dan Green
Tea terhidang di hadapan kami.
"Nggak usah dipikirin. Besok gue ajak lo ke
Home of Fantasy. Sekarang, kita enjoy aja," kata
Dedy. Tangannya mengambil sebotol Jack Daniels
dan langsung menuangkannya ke mulut saya.
Melakukan toast dari botol ke botol, sudah
282
jadi adat istiadat berpesta. Dalam situasi seperti
itu, susah untuk menolak minum. Alhasil, begitu
datang ke pesta, ya siap-siap aja "dicekokin".
Makanya, mesti pandai-pandai menakar diri.
Kalau merasa sudah sampai pada tahap tipsy alias
setengah mabuk, lebih baik stop minum. Kalau
pun terpaksa dan tak bisa mengelak, minum se-
kadarnya. Dan jangan pernah minum bergaya
tenggak langsung habis. Wuih, salah-salah tinggal
tunggu jack-pot. Bisa bikin repot banyak orang dan
malu-maluin.
"Biar nggak jackpot, tambah dong minum-
nya," tantang Dedy.
Soal minum, Dedy memang nggak ada
matinya. Selama jalan bareng dia, entah itu
ke diskotek atau karaoke, belum pernah saya
melihatnya tepar gara-gara mabuk. Yang ada malah
Dedy terlihat begitu enjoy, agresif, dan happy
setelah minum.
Ah, sudahlah. Lupakan cerita Dedy dengan
pengalaman minumnya. Mendingan juga mengo-
rek informasi keberadaan Home of Fantasy dari
mulutnya. Timing-nya pas. Efek alkohol, paling
tidak, membuat Dedy jadi enteng bicara.
2.83 "Pokoknya, begitu lo masuk kamar, cewek
yang lo pengenin udah siap sedia dengan dan-
danannya. Suster, army look, Marlyn Monroe, body
painting, atau... . Ah, besok aja gue telepon elu. "
Dedy tak melanjutkan kata-katanya. la
keburu merangsuk ke kerumunan tamu yang
begitu bergairah menyaksikan tiga penari cantik di
atas bar.
Suster Fantasy, Army Look, Bunny Girls
BANGUNAN besar itu lebih pas disebut mansion.
Dikelilingi pagar tembok, punya halaman sangat
luas yang ditata seperti sebuah taman. Di pintu
gerbang, ada dua orang penjaga berseragam serba
hitam.
"Jadi ini tempatnya? Kok, keren bener?" pikir
saya. Sore itu, seperti yang dijanjikan Dedy, ia
mengajak saya menyambangi sebuah tempat yang
ia sebut-sebut sebagai Home of Fantasy. Tempat itu,
masih sangat asing di mata saya. Boro-boro pernah
mampir, tahu lokasinya juga nggak.
Perjalanan menuju ke Home of Fantasy itu
memakan waktu sekitar satu jam. Pukul tiga sore,
284
saya dan Dedy berangkat dari apartemennya di
kawasan Gatot Subroto. Kami mengambil jalur tol
menuju arah Tanjung Priok. Laiu lintas berjalan
merayap. Biasalah, namanya sih boleh jalan tol,
highway getu, tetapi tetap saja macan tutul alias
macet total. Butuh waktu 25 menit untuk sampai
di belokan yang menuju Cempaka Putih, Jakarta
Timur.
"Kita mo ke mana jo?" tanya saya.
"Kelapa Gading," jawab Dedy.
"Ooo...."
"Kenapa ooo...emang tau tempatnya?" pan-
cing Dedy.
Saya cuma menggelengkan kepala dengan
ekspresi kecut. Kena deh! Terus terang, saya rada-
rada kuper kalau ditanya soal spot-spot di Kelapa
Gading. Selain luas banget, di situ dipenuhi ruko,
kompleks perumahan, apartemen, mal, pusat
berbelanjaan, restoran, kafe, food court, dan tempat
kebugaran. Paling-paling hanya dua tempat yang
saya tahu dengan baik. Satu adalah sebuah tempat
kebugaran berinisial MS yang di dalamnya terdapat
berbagai pelayanan seks, dari menu lokal sampai
mancanegara. Kedua, sebuah kelab malam yang
285 ada fasilitas bar, biliar dan karaoke, dan so pasti,
punya beberapa menu seks yang bisa dinikmati
tamu secara private. Selebihnya, saya blank.
Dan sore itu, setelah berputar-putar selama
lima belas menit, akhirnya kami sampai di sebuah
rumah mewah bercat kuning mentah. Bentuk
bangunan itu bergaya mediteranian dan terkesan
mewah bener.
"Nggak salah, jo. Ini kelab, rumah, atau
mansion. Serius lo?" komentar saya.
"Welcome to Home of Fantasy, "tukas Dedy.
Rumahnya bagus dan gede banget. Berada di
dalam sebuah komplek perumahan yang letaknya
sangat strategis. Halaman depan dihiasai aneka
bunga dan tanaman. Beberapa buah mobil tampak
parkir dengan rapi. Untung saya bareng Dedy.
Kalau nggak, saya juga mikir-mikir mau masuk,
apa nggak. Awalnya, saya malah menyangka, kalau
Home of Fantasy ini adalah rumah tinggal milik
seorang pengusaha kaya raya.
Finally, here we are!
286
DI samping pintu masuk, ada monitor TV. Dedy
memencet tombol dan say hello. That's it.
"Tenang, wajah gue udah register," kata
Dedy.
"Maksudnya?"
"Maksudnya, nggak sembarang orang bisa
masuk ke sini. Mesti register dulu, atau paling
nggak ada yang menggaransi," jelas Dedy
"Pantes pakai monitor TV di pintu masuk dan
menggunakan jasa body guard di pintu gerbang,"
pikir saya.
Seorang perempuan berwajah cantik mun-
cul di balik pintu. la tersenyum ramah, dan mem-
persilakan kami duduk di ruang tunggu.
"Selamat datang. Apa kabar? Kok lama nggak
ke sini?" sapanya.
"Baru juga sebulan absen," balas Dedy.
Di sini, suasananya begitu nyaman. Duduk di
sofa empuk dengan pemandangan air mancur dan
taman mini. Ada suara gemericik air yang menyatu
bersama lantunan musik lembut. Seorang pramusaji
datang ke kami dan menawarkan minuman. Saya
memesan fresh orange, sementara Dedy mengorder
segelas red wine.
287 288
Dedy malah cengar-cengir doang. Ia sibuk
melihat-lihat ke layar monitor. Di situ, terpampang
puluhan foto gadis cantik dengan pose yang
berbeda-beda. Tak ubahnya sebuah komposit
model, puluhan foto gadis itu juga dilengkapi
data pribadi. Nama, umur, tinggi, berat, ukuran
bra, dan warna rambut.
Dedy meng-klik salah satu gadis yang ter-
pampang di monitor. Gadis itu menggunakan
nama: Vanda. Berumur 22 tahun, tinggi 169
cm, berat 50 kg, bra 34C, dan rambut berwarna
kecokelatan.
Yang menarik, setelah foto itu di-klik, di
bawahnya ada satu pertanyaan multiple choice yang
mesti diisi. Kira-kira isi pertanyaannya seperti ini:
Gadis Anda ingin berdandan seperti apa :
A. suster,
B. army look,
C. secretary,
D. Bunny Girls a la Playboy,
E. Marlyn Monroe,
F. sado-masochist,
G. lingerie,
H. bikini style.,
289
"Terus, kita cuma duduk-duduk doang nih?"
tanya saya.
"Sabar napa. Bentar lagi, lo juga tahu mesti
ngapain," celetuk Dedy.
"Memang disuruh ngapain?"
"Ngapain kek, udah gede ini. Yang pasti, lo
bakal di-'apa-apa-in'," jawab Dedy, sekenanya.
Dan benar saja. Masa penantian sekitar
sepuluh menit itu selesai sudah. Petugas resepsionis
menghampiri kami dan mempersilakan masuk ke
sebuah kamar, tak jauh dari tempat duduk kami. Di
dalam kamar itu, cuma meja-kursi dan seperangkat
peralatan komputer: 1 buah PC dan monitor.
Inilah repotnya kalau kita jadi "new comer".
Di dalam kamar itu, saya nggak ngerti mesti
melakukan apa. Jalan satu-satunya, ya follow the
master. Dedy. Jangan malu bertanya untuk urusan
yang satu ini. Bisa-bisa, malu bertanya sesat di
ranjang, katanya.
"Jadi, gue mesti ngapain nih?"
Pernah terbayang wajah cowok jomblo yang
kuper banget terus tersesat di sebuah kelab gay?
Mungkin seperti itu ekspresi wajah saya waktu itu.
Culun abisss! I. Arabian fantasy.
J
Saya tak ingat persis berapa banyak "pilihan"
yang ditawarkan kepada customer. Pokoknya,
saya hanya mengikuti apa yang dilakukan Dedy.
Hitung-hitung latihan rumus learning by doing.
Setelah meng-klik gadis pilihannya dan
menuliskan menu "Lingerie" di bawahnya, Dedy
tinggal menekan kata "Enter". Beberapa saat
kemudian, di layar muncul tulisan: "Silahkan
tunggu tiga puluh menit. Permintaan Anda akan
segera dilayani. Terima kasih."
Done!
Sekarang tiba giliran saya. It's time for choose.
Pilih menu Bunny Girls a la Playboy, suster, army
look, atau bikini style. Semua tawaran itu bergitu
menarik, buat saya. Terlepas apakah itu match
sama fantasi saya selama ini atau tidak. Jarang-
jarang ada tempat yang menyediakan jasa sex-
entertainment seperti ini.
"Jo, jangan kebanyakan mikir. Sekarang
giliran lo. Lo ketik aja cewek yang lo pengenin,"
suruh Dedy.
290
Layar monitor itu kini ada di depan saya.
Sederet foto gadis cantik terpampang dengan jelas.
Buat saya, modus operandi ini agak unik. Biasanya,
sejumlah tempat hiburan lebih suka menggunakan
metode "rendezvous" sebelum costumer memilih
pasangannya. Entah itu di lounge, bar, resto,
aquarium-glass, atau di karaoke.
Di Home of Fantasy, modus rendezvous itu
hanya lewat foto. Teori umumnya, foto biasanya
suka menipu. Namun, justru di situlah letak
tantangannya. Customer disuguhi ruang untuk
melakukan proses semi "blind-date". Artinya,
memilih pasangan hanya lewat foto, dan baru bisa
bertatap muka di dalam kamar. Dan untuk tempat
sekelas Home of Fantasy, agak-agak mustahil
memajang gadis-gadis yang "bad-stock". Karena
persoalan brand-image, saya percaya, rata-rata pasti
"excellent-stock".
Akhirnya, saya pede saja mengklik salah satu
gadis yang ada di layar monitor. Lidya, 22 tahun
berkulit kuning langsat, rambut hitam lurus, tinggi
168 cm, bra 34 C, dan Iain-lain. Menu fantasi yang
saya pilih: Bunny Girls a la Playboy.
291 Ups!
"SAMBIL nunggu, mau pijat refleksi atau pijat
punggung dulu, Pak?" tawar seorang pramusaji
perempuan yang bertugas sore itu.
Dedy hanya menggelengkan kepalanya.
Saya dan Dedy, selama hampir tiga puluh
menit, bersantai di ruang tunggu. Kami tidak
sendirian. Ada beberapa tamu lain yang juga
tengah menunggu "orderan". Karena nggak mau
salah langkah, saya banyak tanya sama Dedy.
"Ntar kita ngapain, Ded?"
Mungkin pertanyaan itu terdengar lugu atau
malah bego. Tapi, daripada miskin informasi,
mending banyak bertanya. Atau istilahnya, dari-
pada sotoy alias sok tau, mending tau bener.
Dedy meneguk birnya. Ini sudah gelas
ketiga. Ia menunjuk deretan kamar yang ada di
lantai. Katanya, di situlah semua costumer akan
menemukan fantasi seksnya sesuai dengan yang
"diorder" di komputer.
"Keren kan. Begitu masuk kamar, apa yang lo
pengen, udah siap sedia," tukas Dedy.
292
Rutenya kira-kira akan seperti ini. Pertama,
tamu akan dipersilakan resepsionis untuk masuk
ke kamar. Lalu, tamu akan diantar menuju kamar
Kedua, resepsionis cuma akan bilang: "Have
fun. Semoga fantasi Anda terpuaskan."
Ketiga, ya tinggal masuk ke kamar, Kecuali
Anda berubah pikiran dan memilih untuk balik ke
rumah atau nongkrong di Kelapa Gading Mal.
Keempat, begitu masuk kamar, the girl of
fantasy sudah stand-by dengan gayanya. Bisa
bergaya "Baling-baling Bambu", "Kera Manjat
Pohon", atau malah "Who likes the Dog-Style?".
Hold on...!
Sebelum melakukan adegan yang pasti akan
disensor kalau masuk ke Lembaga Sensor Film
(LSF), jangan lupa menilai interior kamar. Itu
juga kalau masih sempat dan tidak sedang diburu
"libido syndrome". Bukan apa-apa. Setiap kamar
itu punya ciri tersendiri. Desainnya disesuaikan
dengan fantasi seks yang dimaui para tamu. Kamar
untuk pecinta sado-masochist fantasy misalnya,
dilengkapi tiang-tiang besi yang melingkari tem-
pat tidur. Dinding dipenuhi omamen-ornamen
293 seperti gambar dan lukisan yang berbau sadisme.
Ada juga hiasan lilin di setiap sudut ruangan.
Belum cukup? Tinggal mencet remote TV, maka
di situ ada tontonan yang akan memancing gairah
Anda.
Kamar untuk penggemar suster, lain lagi.
Pernah masuk ke ruang praktik dokter? Ya, seperti
itulah gambaran kamarnya. Bedanya, di kamar
itu tidak ada peralatan kedokteran, seperti jarum
suntik, gunting bedah, atau infus. Karena di kamar
itu, pasien laki-laki yang akan bertindak sebagai
"dokter"-nya. Mulai dan "menyuntik" sampai
"menginfus" si Suster. Nah lho!
"Kok, lo tahu semua? Jangan-jangan lo udah
cobain satu per satu? Ngaku deh, jangan bo'ong,"
tanya saya dengan sedikit bumbu provokasi.
Dedy cuek bebek, ia malah mengepulkan
asap rokok dari mulutnya. Meneguk bir dan duduk
dengan menyilangkan kaki.
"Ntar, lo juga liat sendiri."
"Eh, berapa gue harus bayar buat gadis kelinci
yang tadi?"
"2,5 juta," jawab Dedy pendek sambil kemu-
dian mengisap rokoknya dalam-dalam.
294
Saya manggut-manggut. 2,5 juta rupiah
untuk mewujudkan sebuah fantasi yang ada di
kepala. Hmmm... , saya belum bisa memenilai
apakah angka itu worth if atau tidak untuk membeli
sebuah fantasi yang ada di Home of Fantasy.
SAYA sudah berdiri di depan pintu kamar. Setelah
menghela napas untuk beberapa hentakan, saya
membuka pintu. Kira-kira seperti apa ya Bunny
Girls yang saya pilih? Apakah ia secantik Pamela
Anderson dengan rok berbulu yang ada buntut
di belakangnya? Ataukah dia hanya seorang gadis
cantik dengan dandanan baj u kelinci yang terbaring
manis sambil tersenyum menggoda?
Siap...siap... .
"Come to Mama!"
Suara itu terdengar lembut tapi penuh
tantangan. Pintu kamar tertutup rapat. Lamat-
lamat terdengar desahan manja. Lampu yang
menerangi kamar perlahan meredup. Dan gadis
dengan dandanan "Bunny a la Playboy" itu kini
nyata ada di depan saya.
295 "Heh, ngelamun aja! Naik yuk... . Orderan
kita udah siap."
Dedy menepuk pundak saya dan Iamunan
saya buyar seketika.
296
(17)
Sashimi Jai l
House
SEKS Sashimi Girl. Menu yang satu ini pernah
jadi salah satu ikon seks di rentang waktu 2002-
2004. Menikmati sajian daging sushi—makanan
khas Jepang—dengan nampan gadis telanjang di
sebuah ruangan tertutup. Cara makannya? Boleh
menggunakan sumpit atau tangan, tetapi 180%
dianjurkan dengan mulut. Hanya saja, harganya
memang relatif mahal, sekitar Rp 2,5 juta untuk
satu gadis sashimi selama satu jam.
Dalam perkembangannya, seks Sashimi Girl
kini tak lagi jadi menu di kelab tertentu, melainkan
jadi tema private party yang digelar sejumlah
komunitas tertentu. Cara penyajiannya pun bukan
lagi membiarkan gadis sashimi telentang di atas
297 segelintir orang yang mem-booking, melainkan
dipertontonkan di depan orang banyak dan siapa
pun boleh "menikmatinya".
Seperti apa bentuknya? Well, saya mendapat-
kan gambaran detailnya kira-kira di pertengahan
Agustus 2006. Kejadiannya bermula dari sebuah
SMS yang langsung dikirim oleh sebuah kelab
berinisial NZ di Kawasan Thamrin. SMS itu berisi
tentang program spesial dengan tema Jail House
yang digelar pada Rabu malam. Buat saya, NZ
memang jadi salah satu tongkrongan alternarif
bersama teman-teman, terutama pas hari-hari bia-
sa. Maklum, setiap hari selalu ada "pesta" di kelab
yang di dalamnya dilengkapi fasilitas lounge, resto,
dan karaoke.
Singkat cerita, pesta Jail House yang digelar
di area lounge itu dihadiri oleh puluhan tamu
laki-laki. Area lounge didesain seperti sebuah
penjara. Acara dibuka dengan sexy dancers yang
mengenakan baju seperti Jeng Iskhan dalam acara
Bintang-bintang di RCTI yang dipandu "Teteh"
Tika Panggabean. Busana serba hitam lengkap
dengan topeng, sepatu bot, dan pecut. Hanya saja,
busananya jauh lebih "krisis", artinya minimalis
dan terbuka di beberapa bagian. Seperti biasa,
mereka menari dengan seksi dan mengajak tamu
untuk berinteraksi. Sekadar joget bareng di atas
bar, atau bertukar minuman dari bibir ke bibir.
Lalu, acara dilanjutkan dengan fashion dance
yang menampilkan lima model cewek dan dua
model cowok. Kalau sekadar fashion show biasa,
mungkin nggak ada geregetnya. Tapi, kalau
model ceweknya mengenakan baju lingerie "nyaris
terbuka", tentu jadi tontonan yang dijamin bisa
"memanjakan" mata laki-laki. Sementara model
cowoknya hanya membungkus raganya dengan
sehelai cawat transparan saja, dan pertunjukan itu,
ternyata cukup sukses membuat beberapa tamu
cewek yang datang berteriak histeris. Entah geli,
terbawa euforia, atau malah tergoda, saya juga
nggak ngerti.
Puncak acaranya berupa: kemunculan se-
orang gadis cantik dalam kerangkeng buatan dan
ditandu empat laki-laki bertelanjang dada. Ini dia
Sashimi Jail House. Gadis cantik itu tiduran dengan
menyandarkan kepalanya di bantal warna merah.
Tubuhnya yang hanya terbungkus kain seadanya
itu terlihat dipenuhi irisan daging sushi, terutama
di daerah perut dan sekitarnya.
298
299 Dengan menebar senyum, gadis itu diarak
mengelilingi bar. Para tamu boleh menyomot
daging sushi yang menempel di tubuh gadis itu
dengan satu syarat: membayar Rp 50 ribu untuk
satu irisan daging, begitu seterusnya. Tamu cowok
boleh, cewek pun dipersilakan. Tak ada larangan.
Pokoknya: bayar!
Dan yang terjadi, terjadilah. Sebagian tamu
yang rada malu-malu kucing, menyomot daging
sushi dengan tangan. Sementara sebagian yang
lain, cuek saja melumat sushi dengan mulutnya.
Sebuah ide lama dengan gaya entertainment
baru, pikir saya. Awalnya, Sashimi Girls identik
sebagai menu seks yang hanya bisa dinikmati di
ruang tertutup, ekslusif, mahal, dan hanya untuk
private booking. Belakangan, Sashimi Girls dibuat
di tempat terbuka, siapa pun bisa interaktif,
diletakkan dalam kerangkeng buatan dengan
prototype penjara, dan dipadu dengan sexy dancers
plus lingerie fashion dance.
Kebetulan, malam itu saya ketemu dengan
konseptor yang bertindak sebagai Event Organizer
(EO)-nya. Tara, begitu nama panggilannya, berusia
28 tahun, sehari-hari mengelola sebuah agensi
30 0
model yang seringkali juga bertindak sebagai EO
untuk acara-acara tertentu.
Ooo.. . pantas. Tara bukan nama baru
lagi di dunia entertainment malam. Pria yang
mengkoordinir lebih dari 50 model itu punya
spesialisasi sebagai EO basah. Artinya, ladang
garapannya tak jauh dari aneka acara yang berbau
"syur-syur".
"Nggak nyangka, bisa serame ini," tukasnya
ketika berbicara dengan saya setelah gadis sashimi
dalam Jail House keluar dari area lounge dan
menghilang di kamar ganti.
Private Jail House
NAH, ternyata konsep Jail House itu oleh Tara
dikembangkan menjadi private party yang tak
kalah serunya. Bahkan, lebih gokil, vulgar, dan
amburadul.
Kok tahu? Ya, iyalah. Seminggu setelah
pertemuan pada acara Sashimi Jail House itu, Tara
mengundang saya ngupi-ngupi di salah satu kafe
di Senayan City, Jakarta. Tak tanggung-tanggung,
sore itu Tara membawa empat modelnya yang
masing-masing menenteng satu buah tas besar.
30 1 "Mereka mau show ntar malem di daerah
Pondok Indah," jelas Tara.
"Show krisis?" pancing saya.
"Ya, iyalah. Kalo show baju ketutup sih,
bukan kelas gue kali," timpal Tara dengan logat
"keriting"-nya.
Di Jakarta, untuk urusan fashion show yang
digelar sejumlah tempat hiburan malam, rata-
rata memang menjual tema sensualitas. Apalagi
kalau tempat hiburan itu—entah kafe, lounge,
resto, karaoke atau kelab—terkenal dengan brand
triple X. Golnya? Memberikan entertainment yang
berbeda buat member-guest dan menjaring costumer
baru.
So...
Ada beberapa skenario yang muncul sore itu.
Pertama, Tara mengajak saya datang ke acaranya
nanti malam. Kedua, Tara melontarkan ide untuk
membuat private party dengan tema Sashimi Jail
House, sekaligus sharing-idea.
Skenario kedua, jelas lebih menarik buat
saya. Lingerie show, half-naked dancing, topless
fashion hampir setiap hari jadi pemandangan biasa
di sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta.
3>OZ.
Private party? Dalam seminggu, belum tentu saya
bisa dapat satu undangan.
"Enak banget jadi elo, dapet undangan terus.
Ajak-ajak napa," tukas Nino, karib saya, waktu saya
bercerita soal undangan private party dari Tara.
"Bisa diatur. Yang penting, elu bayar, Jo!"
Hari H itu datang juga. Tara mengirim SMS
ke ponsel saya untuk re-confirm. U re invited .
Sashimi Jai l House 8 Lelang Cewe.
Privat e Party . Friday, 17 November
Z006. 9pm unti l drop. Only Rp. 500
ribu 4 free-flow Jl . BD Kav. 15,
Kemang Utara, Jakse1 . Kira-kira seperti itu
isi undangannya.
Saya pun membalas SMS-nya, sekadar mem-
beritahu bahwa saya akan hadir dalam private party
itu.
Malamnya, mendekati pukul sembilan, mobil
saya mendekati lokasi sebagaimana yang tertera
dalam SMS. Dari luar, rumah itu dikelilingi pagar
tembok yang ditumbuhi tanaman rambat. Puluhan
mobil tetlihat parkir berjajar. Saya melirik Nino
yang duduk di belakang kemudi. "Pukul berapa
sih? Kok udah rame banget, ya?" tanya saya.
30 3 Nino melirik ke jam tangan metal yang
melingkari tangan kirinya. "Sembilan kurang
seperempat," Jawabnya sambil celingukan mencari
tempat parkir yang kosong.
Setelah memarkir mobil, berdua kami
memasuki rumah besar itu. Suasana di dalam
rumah sudah mulai ramai. Tara sebagai tuan
rumah, sibuk beramah tamah dengan puluhan
tamu laki-laki. Ia didampingi lima model cantik
yang bertindak sebagai host. Tampang kece, body
oke, baju terusan bertali yang menampakkan
bagian punggung dengan belahan V.
Rumah besar itu ternyata cukup mewah. Di
dalamnya ada bar tersendiri, ruang tamu besar,
kolam renang, dan garden terrace. Untuk tempat
pesta, rasa-rasanya lebih dari memadai.
Tak disangka, di antara puluhan tamu
undangan itu, saya bertemu dengan Jody—sebut
saja begitu—bos yang punya puluhan gerai bakery
di Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Saya nggak
kaget karena Jody memang terkenal sebagai biang
pesta, dari yang private sampai yang terbuka untuk
umum seperti di kelab-kelab hiburan malam.
Selain itu, saya juga melihat setidaknya dua wajah
30 4
pengusaha muda yang namanya sudah tak asing di
bidang bisnis property.
Suguhan Sashimi Jail House malam itu agak
berbeda dengan yang saya lihat sebelumnya.
Perbedaannya lebih pada menu ceweknya. Tak
tanggung-tanggung, Tara menampilkan lima
Sashimi Girl yang diusung di atas tandu berbentuk
mirip kerangkeng penjara.
"Lima cewek? Nggak salah nih?" bisik saya ke
telinga Tara.
Uniknya, masing-masing mengenakan baju
seksi yang berbeda-beda. Dari warna, model
sampai standar ke-krisisan alias kevulgaran. Tapi
yang pasti, kelima Sashimi Girl itu membiarkan
bagian perut terbuka karena di bagian itulah, irisan
daging sushi ditebat secara acak.
Yang mengagetkan kemunculan gadis sashimi
ketiga yang berdandan tak ubahnya "putri laut".
Ia menutup bagian dadanya dengan mie jepang—
kira-kira seperti bihun—yang di atasnya ada
beberapa irisan sushi. Sementara di sekitar bikini
area, ia menutup bagian V-nya dengan sebuah
kerang ukuran besar yang di dalamnya juga berisi
irisan sushi. Ya, kira-kira sebagai pengganti under-
wear.
30 5 Dandanan Sashimi Girl nomor tiga ini
ternyata mendapat respon yang luar biasa dari
undangan. Puluhan tamu laki-laki yang datang
terlihat begitu antusias.
Ajang untuk berinteraksi dengan Sashimi Girl
pun tidak disia-siakan. Beberapa laki-laki dengan
bersemangat menyomot irisan sushi di tubuh
Sashimi Girl langsung dengan mulut. Maklum,
aturan mainnya: siapa saja yang mau makan daging
sushi harus menggunakan mulut. Tidak boleh
pakai tangan, apalagi sumpit.
Gratis? Ya, nggak lah. Untuk satu iris sushi,
tiap tamu mesti memberikan tip sebesar Rp. 100
ribu. Harga itu berlaku untuk irisan sushi yang
ada di daerah perut. Sementara untuk sushi yang
bertebaran di bagian dada dan bikini area, satu
irisan bertarif Rp. 200 ribu.
"Lumayan mahal ya, Jo?" sindir Nino.
"Eit, siapa dulu sashimi girl-nya. Model bo'
bukan cewek asal comot lho," bela Tara tak mau
kalah.
Toh, nggak ada kata mahal buat sebagain
tamu undangan yang berpesta malam itu. Kelima
Sashimi Girl Jail House yang berputar-putar
306
mengelilingi ruang tamu, garden terrace sampai
berpose di pinggir kolam renang itu, rata-rata
kecipratan tip dalam jumlah besar.
Tapi, teteeep..., sashimi girl nomor tiga
yang bergaya a la putri laut, meraup uang paling
banyak. Daging sushi yang menghias di tubuhnya,
terutama di bagian perut dan dadanya, hanya
tersisa beberapa irisan saja.
"See...dagangan gue laris manis kan," tukas
Tara dengan senyum lebar.
Dagangan? Yup. Buat Tara, pesta yang ia bikin
malam itu memang berkonotasi bisnis. Segala
bentuk hiburan bahkan sampai urusan makan +
minum saja, Tara mengambil keuntungan. Sebagai
EO yang biasa bergerak di bidang acara "syur-
syur", ia paham dengan pangsa pasar yang dibidik.
Ia tinggal memanfaatkan jaringan dan komunitas
yang ia miliki. Dan tentunya, membuat pesta
dengan tema yang extra-ordinary atau super-extreme
sekalian. Yang pasti, sarat dengan hiburan bernilai
unik, aneh, dan lain dari pada yang lain.
Pertunjukan kelima cewek Sashimi Jail
House itu baru jadi ajang pemanasan. Segala jenis
minuman yang diracik dua orang bartender, kapan
307 pun bisa ditenggak. Lagu-lagu berirama classic
disco, garage, R'nB sampai progesif yang dimain-
kan seorang DJ makin menyemarakkan suasana.
Lelang Cewek
"MYRA," gadis sashimi yang berdandan a la putri
laut itu menyebutkan namanya.
Kali ini, Myra memang tak lagi berada di
dalam kerangkeng. Dan, astaga, ia sama sekali
tak mengubah dandanannya. Kerang besar masih
melilit di bikini areanya. Kerang itu dibuat
menyerupai G-string bertali. Sementara bra trans-
paran yang menutup wilayah dadanya dihiasi
asesori mie jepang. Keempat sashimi girl lainnya
juga mengenakan dandanan yang sama.
"Berani terima tantangan?" kata Myra sete-
ngah berbisik di telinga saya.
Tantangan yang dimaksud Myra adalah ber-
lapdance ria di atas sofa yang ada di ruang tamu. Ini
memang menjadi salah satu babak entertainment
yang bisa dinikmati dalam pesta. Myra akan
memberikan tarian lapdance—menari-nari di atas
30 6
pangkuan—selama kurang lebih lima belas menit
kepada setiap tamu yang berani menyelipkan uang
Rp. 300 ribu ke dalam underwear kerang-nya.
Inilah sesi acara yang paling dinanti-nanti.
Selain bisa menari lapdance, para undangan bisa
mengikuti acara Lelang Cewek! Tak hanya Myra
yang mulai melakukan tebar pesona, keempat
Sashimi Girl lainnya pun sudah membaur bersama
para undangan. Mereka berjalan memutar seperti
halnya para model yang lagi ber-fashion show.
Semenit kemudian, dua belas gadis cantik yang
memakai baju-baju seksi dan dijamin no bra,
muncul dari sebuah kamar, tak jauh dari ruang
tamu.
Lima orang naik ke atas bar, langsung berpose
dan bergoyang mengikuti irama lagu. Sementara
lima lainnya berkeliling sambil menyapa para
undangan. Di bahu kiri mereka, masing-masing
ada hiasan pita dengan warna berbeda.
The Red Diva! Pandangan mata saya tertuju
pada salah seorang gadis yang membungkus raga
liatnya dengan baju warna merah menyala. Ia
memoles bibirnya dengan lipstik warna merah juga.
Ia mengenakan pita warna hitam. Rambutnya yang
30 9 ikal tergerai sampai ke punggung. Sorot matanya
tajam menukik.
"Miss Sisy," seru Tara mengenalkan The Red
Diva lewat microphone. Oh, rupanya Tara juga
bertindak sebagai MO Sisy membungkukkan
badan sebagai salam hormat.
Layaknya sebuah lelang, Tara mengenalkan
kesebelas gadis lainnya satu per satu. Tak
ketinggalan, Tara juga mengenalkan kelima Sashimi
Girl yang membuat suasana pesta tambah panas.
Dalam acara lelang cewek itu, ada dua
penawaran diberikan. Pertama, lelang cewek hanya
untuk menemani dinner after midnite & companion
saja, Kedua, Lelang cewek untuk transaksi seks one
nite stand.
Misalnya, Miss Sisy. Perempuan yang terlihat
sangat menggoda dalam balutan warna merah
yang melekat ketat ini oleh Tara dibuka dengan
harga Rp. 2 juta untuk dinner after midnite &
companion. Dengan harga segitu, setidaknya ada
delapan hingga sepuluh orang undangan langsung
angkat tangan untuk mem-booking~nya.
Banyaknya peminat membuat lelang berjalan
cepat. Dari Rp 2 juta naik ke Rp 3 juta, lalu me-
nembus angka Rp 5 juta sampai akhirnya lelang
ditutup di harga Rp. 8 juta. Dan pemenangnya
adalah Jody.
Hah, untuk dinner doang Jody bela-belain
bayar Rp. 8 juta? "Itu biasa terjadi di kota-kota
besar seperti Jakarta," kata Nino, antara sok tahu
dan setengah bercanda. "Kalo gue kelebihan duit,
jangankan Rp. 8 juta, lebih dari itu juga gue bayar,"
lanjutnya dengan pede.
Kalau dipikir-pikir, harga itu kayaknya cukup
setimpal untuk Sisy. Model didikan Tara itu bukan
anak kemarin sore. Wajahnya beberapa kali pernah
menghiasi sampul majalah pria di Ibukota. Lagi
pula, untuk ukuran seorang gadis yang pantas
mendapatkan predikat cantik dan seksi, Sisy boleh
dibilang perfect.
"Judulnya sih dinner. Setelah itu, kita kan
nggak tahu. Kalo harga cocok, bisa-bisa jadi dinner
in bed" ceplos Nino.
Ketika tiba pada giliran Myra, Tara memasang
harga pembuka Rp 4 juta untuk seks one nite
stand.
Saya agak kaget juga melihat respon para
undangan. Peminat Myra lebih dari 6 orang.
Akhirnya, lelang untuk Myra ditutup pada harga
Rp 12 juta. Well, harga yang nggak murah untuk
310
311 orang-orang seperti saya, misalnya. Tapi untuk
seorang pengusaha yang berpenghasilan Rp 200
- Rp 500 juta per bulan, apalah artinya Rp 12 juta.
Nothing!
"Trus, kita ngapain di sini. Nonton doang?"
sindir saya sambil melirik ke Nino.
"Kalo cuma lapdance, gue bayarin deh. Kalo
urusan check-in, bayar sendiri-sendiri," jawab Nino
nggak mau pusing.
Tak semua gadis yang dilelang Tara terjual.
Ada tiga sampai lima gadis yang tersisa. Tapi bukan
berarti mereka nganggur dan pulang dengan tangan
hampa. Meskipun tak terjual dalam lelang, mereka
tetap bisa mengeruk tip sebanyak-banyaknya dari
tamu undangan. Sekadar menemani minum,
berdansa sampai memberikan pelukan mesra di
pinggir kolam renang sudah menambah tebal
kantong mereka malam itu.
Rupanya, tak semua tamu undangan yang
datang ingin ikut lelang cewek. Ada juga yang
cuma ingin berpesta di tempat, lain tidak. Toh,
suguhan Sashimi Jail House sudah memberi warna
tersendiri. Belum lagi, pesta beginian belum tentu
kejadian sekali dalam sebulan. Ada-ada saja.
(18)
Sashimi Boy
SEX-TAINMENT for women. Why not? Seperti
apa kira-kira bentuknya? Sedahsyat sex-tainment
for men, atau malah sebaliknya?
Sex-tainment for women adalah salah satu tema
yang kini tengah menggeliat di Jakarta. Seiring
dengan maraknya bisnis hiburan—terutama yang
berjualan seks untuk kaum laki-laki, entah itu
melalui media karaoke, spa, sauna, kelab, dan
tempat pijat—menu seks yang diperuntukkan
untuk kaum perempun pun mulai bermunculan.
Tak banyak memang jika dibandingkan de-
ngan industri sex-tainment for men. Jika dipersentase
bisa-bisa 90:10. Artinya, prostitusi dengan objek
perempuan jumlahnya mencapai 90%, sementara
yang melibatkan objek laki-laki hanya 10%-nya.
31 3  312 Toh, perbandingan yang cukup tajam
itu tidak berpengaruh banyak pada soal menu
yang disajikan. Dalam hal ini, menu seks untuk
kaum perempuan punya kemasan yang tak kalah
gokilnya. Pernah mendengar sashimi boy? Itu hanya
salah satunya. Apakah pernah juga mendengar soal
stripper laki-laki golongan VIP atau "gigolo" dari
Afghanistan dan Afrika? Oh, satu lagi yang tak
kalah menariknya, yakni pelayanan seks waxing
dengan tenaga pria yang OK punya. Maksudnya,
OK secara body, wajah, penampilan, dan ke-
bersihan.
Well, untuk urusan yang satu ini, rasanya rada
impossible kalau saya lakukan sendiri. Alasannya
bisa seribu satu macam, tetapi yang paling utama
tentu saja karena saya mesti masuk wilayah
industri seks untuk perempuan. Menyamar jadi
perempuan, rasa-rasanya saya nggak bisa. Kalau
pun bisa, ujung-ujungnya pasti bakal ketahuan.
Ya, iyalah, jenggot saya mau dikemanain??
Makanya, pilihan paling mungkin adalah
pertama, memanfaatkan semua link yang saya
punya. Mulai manager, PR (public relation), GRO
(Guest Relation Officer) yang bekerja di sejumlah
tempat hiburan seperti kafe, karaoke, dan nite-
club, tamu-tamu reguler, baik laki-laki maupun
perempuan sampai objeknya langsung. Dalam hal
ini, laki-laki yang berprofesi sebagai penghibur
untuk perempuan.
Kedua, beruntung sekali saya mengenal baik
beberapa komunitas perempuan yang biasa terlibat
dalam private party, dari yang mengatasnamakan
kelompok arisan, kelompok clubber sampai
kelompok party animal alias kelompok tiada hari
tanpa pesta.
Kelompok party animal inilah yang banyak
memberikan masukan, informasi dan tentu saja,
undangan, ketika ada acara-acara seru. Tak jarang,
beberapa orang dari mereka malah menjadi event
organizer (EO) sejumlah private party, mulai dari
bachelor, ulang tahun, farewell sampai party for fun,
only.
Ketiga, rajin berkomunikasi alias berperes-
peres ria dengan para mami dan papi. Itu tuh,
mereka yang bertugas sebagai koordinator atau
broker para weice-wiece alias cewek-cewek dan
laki-laki penghibur, baik yang menetap di sebuah
314  3IS tempat hiburan malam atau yang bekerja secara
freelance.
Sashimi Boy
JULIA, sebut saja begitu namanya. Perempuan
berusia 29 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai
project manager di sebuah perusahaan konsultan
ini, sudah terbiasa dengan urusan meng-entertain
klien. Artinya, urusan entertain yang kaitannya
erat dengan urusan senang-senang di wilayah XXX
Rated.
Menghadapi klien laki-laki yang biasanya
selalu minta bonus entertainment dalam rangka
golnya sebuah proyek, Julia tak perlu pusing.
Maklum, ia cukup punya link untuk mewadahi
urusan dan kepentingan bisnisnya. Dari kontak
sejumlah germo, tempat-tempat berwisata cinta
unruk laki-laki sampai agen yang mengoleksi gadis-
gadis siap "booking', ia telah mengantonginya.
Namun, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba
Julia harus bertemu dengan klien perempuan dan
tak disangka juga menginginkan "entertain" yang
berbau sensualitas.
316
Secara tak sengaja, saya bertemu Julia di
sebuah kafe di Kawasan Kemang. Hampir tiga
tahun saya mengenal Julia. Biasalah, meskipun kerja
kantoran, Julia tak melewatkan ajang dugem untuk
menghilangkan rasa jenuhnya. Julia menceritakan
uneg-unegnya. Intinya, ia lagi pusing karena belum
menemukan cara untuk memenuhi keinginan klien
perempuannya yang menginginkan "laki-laki"
penghibur. Boro-boro berpikir tentang menu yang
mau ia berikan, mencari kontak person yang bisa
"meng-handle" masalahnya saja, ia belum ketemu.
"Kasih sashimi boy aja," usul saya secara
spontan. Padahal, saya juga baru sebatas "denger-
denger doang". Melihat dengan mata kepala
sendiri, saya juga belum pernah melakukannya.
"Masalahnya, di mana nyarinya?" tanya
Julia.
Ah, benar juga pertanyaan Julia. Di mana
mencarinya? Hitung-hitung membantu Julia, saya
coba menghubungi Papi Eri yang selama ini saya
ketahui punya koleksi anak didik yang bertugas
sebagai sashimi girl di beberapa kelab malam. Papi
Eri juga menyalurkan anak didiknya untuk acara-
acara tertentu yang bersifat "private booking .
3>n Sebagai papi sashimi girl, mestinya Papi
Eri rahu juga soal sashimi boy, begitu pikir saya.
Dan ternyata, dugaan saya tidak salah. Selain
mengkoordinir beberapa gadis sashimi girl, Paki
Eri juga punya stok sashimi boy yang setiap saat
bisa "di-calling" sesuai perjanjian.
Sashimi girl, mungkin sudah biasa buat laki-
laki yang kerap menghabiskan sebagian waktunya
untuk pelesir malam. Tapi sashimi hoy, bisa jadi
hiburan yang luar biasa buat perempuan yang
menginginkan extra-entertainment. Bisa dalam
rangka bersenang-bersenang bersama teman, bisa
juga karena keperluan bisnis. Seperti halnya Julia
yang mengorder sashimi boy untuk "entertain"
klien.
Berbeda dengan sashimi girl yang dalam
praktiknya disediakan tempat display tersendiri
di sejumlah kelab, maka sashimi boy lebih banyak
mengandalkan transaksi a la "booking call'.
Pantas, menurut Papi Eri, jika membutuhkan
sashimi boy, sebutkan dulu tipe yang diinginkan klien
seperti apa—mulai dari umur, warna kulit, tinggi
dan lain-lain—lalu berapa orang, di mana tempat
pestanya, tanggal, pukul berapa, dan sebagainya.
318
Itu pun dengan satu syarat, "booking call' harus
dilakukan minimal satu hari sebelumnya.
"Bukan apa-apa, kalo dadakan, takutnya
stok yang ada terbatas. Ntar nggak sesuai dengan
kemauan klien," tukas Papi Eri.
Untuk urusan tempat, Papi Eri menyerahkan-
nya pada klien. Artinya, tempat bisa di mana saja.
Hotel, apartemen, rumah pribadi, atau ruang
karaoke.
"Tapi kalo mau aman dan nggak repot, sewa
ruang karaoke atau kamar hotel saja," usul Papi
Eri.
Sehari-hari, Papi Eri bekerja di sebuah kelab
malam berinisial TC di Kawasan Roxy, Jakarta
Barat. Di tempatnya bekerja itu, Papi Eri menjadi
"koordinator" gadis-gadis lokal yang setiap harinya,
dari pukul 13.00 WIB - 01.00 WIB dini hari (last
order) bertugas menanti tamu laki-laki yang ingin
mendapatkan kehangatan cinta one short time.
Meskipun bekerja di TC, tak mengurangi
aktivitas Papi Eri untuk melebarkan sayapnya
menjadi "agen" sashimi girl. Toh, kata Papi Eri, apa
yang ia lakukan sekarang ini lebih tepatnya "sambil
menyelam minum air". Pertama, di tempatnya
319 bekerja, ia bisa bertemu tamu-tamu potensial
yang bisa dimanfaatkan sebagai klien. Kedua, ia
bisa mengikuti perkembangan terbaru di bisnis
prostitusi, terutama soal menu dan kemasan, dan
ketiga ia bisa menyalurkan beberapa orang "anak-
didiknya" ke tempat ia bekerja sekarang ink
Finally.
Sesuai kesepakatan, Julia akhirnya mem-
booking dua orang sashimi boy untuk klien
perempuannya. Biar nggak salah pilih, Julia
mengadakan janji temu dengan Papi Eri di sebuah
kafe di mal Pondok Indah 1.
Untuk itu, Julia rela mengganti uang
transportasi dan mentraktir makan siang. Mau
nggak mau, saya pun "dipaksa" ikut oleh Julia.
Papi Eri membawa serta dua orang sashimi
boy yang dipesan Julia. Masing-masing berumur 24
tahun dan 26 tahun. Siang itu, mereka berdandan
kasual dan terlihat santai bercakap-cakap dengan
Julia.
Julia cukup puas dengan "pesanannya". Seti-
daknya, apa yang ia order ke Papi Eri, tidak meleset
jauh. Dengan tinggi badan rata-rata di atas 170
32. 0
cm, berkulit putih bersih, dan yang paling penting,
bertampang cukup ganteng untuk ukuran laki-laki.
Itu yang membuat Julia tak berpikir ulang untuk
mengganti "pesanannya".
"More than enough," bisiknya ke telinga saya.
Done!
Besok malamnya, usai melakukan afternoon
tea di sebuah kafe di Plaza Indonesia, Julia bersama
klien perempuannya, Retno, sebut saja begitu,
meluncur ke arah Kota, Jakarta Barat.
Saya? Well, Julia lagi-lagi memaksa saya untuk
turut serta. Nggak penting saya harus ngapain
sesampainya di lokasi, kata Julia, pokoknya saya
harus ikut menemaninya. Karena terus memaksa,
saya pun mengiyakan. Daripada ribet mencari
alasan untuk menolak, ya mending saya setuju
saja. Hitung-hitung mencari petualangan dan
informasi baru.
Tempat yang dipilih Julia adalah sebuah
karaoke di kelab berinisial KS di kawasan Beos,
Jakarta Barat. Agak jauh memang, tetapi Julia
mengantisipasi kalau sewaktu-waktu kliennya
tidak suka dengan menu sashimi boy, ia bisa meng-
gantinya dengan menu yang lain. Dan menu itu
321 bisa ia temukan di kelab KS. Lagi pula, rumah
kliennya berada di sekitar Menteng, jadi jaraknya
tidak terlalu jauh dari lokasi.
Julia memesan ruangan VIP yang berkapasi-
tas sepuluh sampai lima belas orang. Julia ditemani
seorang stafnya dan saya tentunya, sementara
Retno didampingi dua rekan perempuannya.
Ruang karaoke itu berada di lantai dua. Sekitar
pukul 20.00 WIB, Julia dkk sampai di tempat. Ia
memesan dua botol red wine, makanan kecil, dan
buah-buahan segar. Julia juga tak lupa memesan
tiga paket sashimi pada pramusaji.
Ditemani seorang pria berumur sekitar 40
tahunan yang menjadi asisten Papi Eri, dua orang
sashimi boy itu datang sesuai jadwal yang dijanjikan.
Sekitar pukul 20.30 WIB, mereka masuk ke
ruang VIP dengan diantar seorang pramusaji
perempuan.
Skenarionya cukup sederhana. Dua orang
sashimi boy itu datang layaknya tamu kebanyakan.
Mereka masing-masing membawa sebuah tas.
Setelah cukup berbasa-basi barang sejenak, dan
tiga paket sashimi sudah terhidang di meja, mereka
bersiap-siap untuk melakukan pertunjukan.
32 2
Asisten Papi Eri menyilakan Julia memilih
asesori yang diinginkan. Dua tas yang dibawa
sashimi boy itu ternyata berisi berbagai macam
perlengkapan untuk "show". Di dalamnya ada
beberapa buah underwear dengan motif yang
berbeda, ada juga beberapa macam topeng untuk
menutupi sebagian wajah yang terbuat dari bahan
kulit. Yang cukup mengejutkan, di dalam tas itu
juga ada aneka macam kondom, seperti "glow in
the dark" dan "bulu mata kucing".
"Up to you, Ma'am Mereka mau disuruh
pake underwear atau kondom. Dua-duanya juga
boleh," jelas asisten Papi Eri.
Julia terlihat berbincang sebentar dengan kli-
ennya, Retno. Entah karena alasan apa, akhirnya
Julia meminta para sashimi boy untuk mengenakan
topeng, underwear, dan kondom "glow in the
dark".
That's it!
Dua orang sashimi boy telah masuk ke kamar
mandi untuk berbenah dan bersiap-siap melakukan
tugasnya.
"For women only" bisik Julia ke telinga saya.
Yes, saya juga sadar itu. Sedari tadi, saya juga tak
32.3 begitu nyaman berada di ruang VIP. Apalagi,
hiburannya "sashimi boy" yang memang untuk
perempuan. Alhasil, dengan ditemani asisten Papi
Eri, saya ke luar ruangan dan menghabiskan waktu
di bar yang berada di lantai dasar. Lumayan, di sini
ada "live performance" yang menampilkan para sexy
dancer. (Perempuan, lho...bukan penari laki-laki).
2 Men, 1 Lady
SATU jam berlalu. Julia mengirim SMS ke HP
saya untuk kembali ke ruang karaoke. Show sudah
selesai, tulisnya.
"Seru nggak?" tanya saya ke Julia begitu
sampai di ruangan dan duduk di samping Julia.
"Seru. Lumayan buat lucu-lucuan," canda
Julia.
"Maksudnya?"
Menurut Julia, klien-nya sebenarnya hanya
penasaran dengan menu Sashimi boy. Setelah
dua orang sashimi boy telentang di atas meja dan
membiarkan sekujur tubuh mereka ditaburi
daging sushi, Retno—klien Julia—dan dua teman
perempuannya, malah merasa geli dan bingung
32.4-
harus "ngapain."
"Untung ada wine dan tequila" tukas Julia.
Ooo... .
Sejenak saya melihat ke meja. Setidaknya ada
lima botol wine yang sudah terbuka tutupnya dan
beberapa buah gelas tequila berserakan. Maksud
Julia, dengan bantuan minuman itu para klien-
nya jadi berani menyantap sushi yang ada di tubuh
sashimi boy.
"Mereka udah tipsy kayaknya," kata Julia,
pelan.
Justru karena tipsy, Retno malah mengingin-
kan pertunjukan lain yang lebih menghibur dan
atraktif. Julia sudah mengantisipasi hal ini akan
terjadi. Makanya, pilihan untuk pergi ke kelab KS
tidaklah salah.
"Gue udah pesan tiga stripper. Dua cowok,
satu cewek," katanya.
Dua orang sashimi boy yang barusan bertugas,
kini sudah bergabung di ruangan. Mereka duduk
bersebelahan dengan asisten Papi Eri. Julia
meminta mereka untuk tinggal sejenak. Paling
tidak, dengan kehadiran mereka, pesta jadi lebih
ramai dan semarak.
325 Dua stripper cowok dan satu stripper cewek
itu pun datang. Tanpa banyak basa-basi, mereka
langsung ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Kalau hiburan yang satu ini, saya sudah tak begitu
asing. Di beberapa karaoke yang ada di Jakarta,
lady-stripper memang jadi menu langganan yang
mungkin bagi sebagian orang sudah terlalu biasa.
Nah, baru menjadi spesial jika dikombinasikan
dengan stripper laki-laki. Jadilah, couple stripper. Ini
mungkin yang sering diklaim banyak orang bahwa
entertainment di malam hari, khususnya Jakarta,
memang tak pernah mati dari inovasi. Selalu saja
ada yang baru. Barang lama "dikemas" menjadi
barang baru yang punya nilai jual cukup tinggi.
Dan malam itu, Julia justru memesan dua
stripper cowok dengan satu stripper cewek. Lengkap
sudah "entertain" yang ia berikan untuk klien-
nya.
"Habis berapa, Say?" tanya saya.
"Sashimi boy, Rp 5 juta. Stripper-nya habis
Rp 4,5 juta. Itu belum termasuk tip lho...," tukas
Julia, "tapi it's OK lah... yang penting, proyeknya
gol," imbuhnya sambil menyeruput segelas red
wine.
326
Note # 1:
Uncut Waxing
LAIN sashimi boy, lain lagi Uncut Waxing. Menu
yang satu ini sebenarnya tidak jauh dengan waxing
bikini area yang biasa dilakukan oleh banyak
perempuan. Hanya saja, urusannya jadi lain
ketika waxing-nya menggunakan tenaga laki-laki
"handsome". Ini yang juga menjadi salah satu sex-
tainment for women di Jakarta, saat ini. Meskipun
belum banyak, tetapi beberapa salon dan kelab
kebugaran khusus wanita, mulai mempratikkan
layanan kemanjaan penuh aroma sensualitas dan
seksualitas itu.
Sebut saja misalnya salon "rumahan" ber-
inisial BS di seputaran Pondok Indah, Jakarta
Selatan atau kelab kebugaran khusus wanita
bernama SR di sekitar Cikini, Jakatta Pusat. Atau
yang paling populer belakangan ini adalah salon
SE di wilayah Kebayoran Baru.
Sex-tainment for women yang menggunakan
label salon atau tempat kebugaran, tampaknya
juga menjadi incaran bagi sejumlah pebisnis untuk
metaup keuntungan betlipat. Maklum, persaingan
bisnis salon yang melulu menjual jasa perawatan
327 "dalam arti sebenamya" begitu membanjir.
Mungkin faktor inilah yang membuat beberapa
pebisnis mulai menambahkan menu plus-plus.
Salah satunya, sex-waxing.
Note # 2 :
From Afghanistan with love
GIGOLO atau dalam bahasa "jadul"-nya Lola alias
"lonte lanang" adalah satu salah menu sex-tainment
for women yang dari dulu sampai sekarang ada di
Jakarta. Ini bukan isu baru sebenarnya. Contoh
paling santer adalah gigolo on the street yang
banyak mangkal di kawasan Lapangan Banteng,
Jakarta Pusat. Selain mencari tamu perempuan
yang butuh kehangatan, beberapa di antaranya
juga mencari mangsa laki-laki.
Dalam perkembangannya, gigolo impor pun
mulai muncul di Jakarta. Contohnya, gigolo dari
Afghanistan dan Afrika. Hanya saja, mereka ini
tidak mangkal layaknya gadis-gadis penghibur
yang didatangkan dari Rusia, Uzbekistan, Turki,
Cina, Thailand, Manchuria, ataupun Amerika
Latin. Selama menjalankan operasinya, sebagian
besar mengandalkan jalur "booking call' melalui
32.6
sejumlah germo atau broker. Kalau tidak, mereka
mencari tempat-tempat nongkrong yang strategis
untuk menjaring tamu. Misalnya, mengunjungi
beberapa kafe atau lounge yang sering dikunjungi
para wanita pekerja kantoran dan kelompok
TG alias tante-tante girang. Sebut saja TH yang
berada di sebuah hotel berbintang di kawasan Jalan
Sudirman, atau mengunjungi sejumlah kafe yang
sering dijadikan ajang kongkow para "bule". Coba
saja berkeliling di sekitar kawasan Wahid Hasyim
atau di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat.
Note # 3:
Stripper Laki-laki
DALAM pesta-pesta tertentu, terutama yang
melibatkan komunitas perempuan, entah itu
dalam rangka bachelor, arisan ataupun ulang tahun,
stripper laki-laki banyak dijadikan sebagai maskot
"penghibur". Untuk kasus yang satu ini, fakta yang
saya temukan di lapangan, rasa-rasanya banyak
"banget". Hanya saja, jika sebelumnya kehadiran
stripper laki-laki itu lebih banyak dimanfaatkan
dalam private party, maka kini mereka mulai berani
ditampilkan ke publik. Meski tidak dibeti tempat
329 untuk ber-"display", rata-rata tempat hiburan yang
menyuguhkan tontonan stripper perempuan, juga
menyediakan stripper laki-laki. Sebut saja karaoke
CI di Hayam Wuruk, AS di Ancol, NZ, dan SD di
Thamrin, ME dan LC di kawasan Krekot, dan VL
di Gunung Sahari.
Bedanya, para stripper laki-laki ini—khu-
susnya lokal—terbagi dalam beberapa kelas. Ada
yang biasa, menengah, dan VIP. Untuk kelas
biasa dan menengah, tak perlu susah mencarinya.
Karena kontak mereka ada pada para koordinator
stripper yang mangkal di sejumlah tempat hiburan.
Tinggal sebut saja ciri-ciri yang dikehendaki. Mau
yang berbadan tegap dan berotot yang mampu
mengangkat dua gadis sekaligus, tinggal panggil
stripper yang biasa merawat tubuhnya di gym. Mau
yang berbadan biasa tapi punya tarian mematikan,
itu juga tersedia.
Nah, khusus kelas elit, dengan brandrol Rp
3 juta ke atas untuk sekali show, hanya beberapa
"germo" saja yang pegang kendali. Maklum,
mereka ini kebanyakan dari kalangan model atau
setidaknya, punya wajah, badan, penampilan
layaknya seorang model. Jadi, dengan brandrol
33 0
Rp. 3 juta ke atas itu, pelanggan dijamin "puas".
Biasanya, para koordinator stripper yang bekerja di
kelab-kelab executive punya akses ke mereka. Kalau
tidak, para EO yang biasa menggarap acara-acara
dengan tema XXX Rated, dijamin punya nomor
telepon mereka.
WARNING !! !
Hati-hati dan waspada dengan iklan yang
ada di sejumlah media cetak. Bukan rahasia lagi,
banyak gigolo dan tenaga pemijat laki-laki yang
berpromosi di media. Biasanya, dengan tarif yang
lumayan murah, antara Rp. 200 ribu - Rp. 1 juta.
Tak semuanya, iklan-iklan sesuai dengan apa yang
ditawarkan. Ada juga yang menjadikannya sebagai
kedok untuk tujuan-tujuan tertentu. Be Worry, So,
baru hepi!
33 1 332
(19)
SEX LOCKEROOM
"SHU QI!"
Nama itu spontan ke luar dari mulut David.
Pandangan David seperti terhipnosis untuk
beberapa saat. Sebuah lampu berwarna kuning
menerangi sebuah sofa berbentuk bulat. Seorang
gadis bermata sipit duduk dengan anggun di sofa
itu. Kakinya menyilang hingga sebagian betis
mulusnya terlihat jelas, sementara dua tangan
mungilnya bertumpu pada dua pahanya. Gayanya
tak kalab dengan model-model yang mengenyam
pendidikan attitude.
"Maksud elo Shu Qi yang artis Mandarin
itu?" sergah saya coba menebak apa yang ada di
kepala David.
"Iya. Elo kan sering nonton film Cina,
mestinya tahu dia dong. Gimana sih?" jawab
33 3 David, singkat. Sementara, ehm. . .dua mata David
menatap lekat, mengamati segala gerak-gerik gadis
yang mirip Shu Qi itu.
Well, bisa jadi sih, gadis yang mengenakan
baju serba biru itu mirip Shu Qi. Itu lho, salah satu
aktris Mandarin yang belakangan sering nongol
di layar lebar. Mereka yang doyan nonton film-
film Cina, pasti sudah tak asing dengan wajah dan
sosok Shu Qi. Tubuh langsing. Rambut panjang
mengikal. Bentuk hidung dan bibirnya mungil
menggemaskan. Lingkaran dada 32 dengan ukuran
"cup C". Alamak, kalau dipikir-pikir, omongan
David memang ada benarnya.
Is she a pretty girl? Yup, definitely. Ya iyalah.
Kalau ada cewek yang mirip Shu Qi, pastinya
cantik. Penilaian itu terasa sempurna ketika dia
berjalan mendekati meja bar. Saya dan David tak
menyia-nyiakan kesempatan itu, kami mengamati
semua gerak-geriknya. Cewek itu mendekati
seorang tamu dan saling memberi kecupan di
pipi kiri-kanan. Mereka duduk berdekatan, dekat
sekali malah. Segelas Long Island terhidang di meja
bar. Mereka berbicara dengan wajah berdekatan,
nyaris seperti orang yang mau berciuman. Hanya
334
sepuluh menit, lalu si cewek itu pindah lagi ke sofa,
bergabung bersama rekan-rekannya.
Beautiful!
"Bukannya elo biasa kelayapan malem, masak
nggak pernah ngeliat doi?"
"Ini pasti stok baru. Udah hampir sebulan
gue nggak ke sini," jawab David.
"Namanya Paula, Bos," kata bartender yang
menuangkan minuman ke gelas saya.
Dari gelas kaca yang kembali diisi cairan
minuman, bayangan gadis itu terpantul. David
mengangkat gelasnya, lalu menenggak isinya
sampai tandas seolah Paula pun berada dalam
genggamannya.
Oooo... Paula!
Lesbian Show
NAMUN, saya jadi terheran-heran melihat David
begitu terpesona melihat sosok Paula. Why? That's
the biggest question mark on that night, swimming in
my head. Padahal, di sofa itu ada sekitar dua betas
gadis Mandarin yang duduk berdesakan. Rata-rata
berwajah cantik dengan dandanan seksi. Bahkan,
33 S ada yang cuma membungkus tubuhnya dengan
baju tipis tanpa bra. Laki-laki normal, mestinya
lebih tertarik dengan gadis yang no bra ini.
Bukan hanya itu saja pemandangan menarik
untuk dilihat. Di atas panggung bulat yang
dilengkapi besi bulat warna silver, ada dua penari
striptease tengah menari-nari dengan begitu hot-
nya. Sementara di atas bar, juga ada dua penari
yang tak kalah hebohnya. Mereka membiarkan
bagian dadanya terbuka. Dengan posisi tubuh
saling tindih, mulut mereka berciuman penuh
gairah. Di antara mulut mereka, ada gelas kecil
yang menjadi bahan rebutan.
Puluhan tamu berteriak. Suasana jadi
makin ramai. Apalagi ketika dua penari itu
mulai memperlihatkan gerakan-gerakan layaknya
sepasang lesbian yang sedang ber-asmara. Ssst !
Ini kalau ditulis pasti nggak lolos sensor, jadi
cukup bayangin sendiri saja. Silakan masuk dunia
fantasi!
"Ini soal taste, Man. Striptease gue udah
bosen. Biasa banget," jelas David, percaya dm.
Masuk akal juga kalau David terlalu biasa dengan
tontonan striptease. Dari tahun 1997, zamannya
336
striptease jadi primadona di kelab-kelab malam,
terutama karaoke, David sudah jadi pelanggan
setia. Di awal tahun 2000, tren striptease perlahan
tergusur oleh suguhan entertainment yang lain,
seperti sashimi girl, body massage, strip on the bar,
dan top-less dance. Strip on public dalam kemasan
lesbian show yang saya lihat malam ini, tak lain
adalah inovasi baru yang belakangan menghiasi
sejumlah kelab malam di Jakarta.
Striptease sekarang ini bukan lagi jadi barang
tontonan private yang hanya bisa dinikmati
di ruang karaoke, di kamar-kamar hotel, atau
apartemen, tetapi sudah jadi tontonan publik yang
bisa ditemukan di lounge, bar, diskotek, atau kafe
sekalipun. Yang nonton bukan lagi lima hingga
sepuluh orang tapi bisa jadi di atas lima puluh
bahkan sampai ratusan orang.
Seperti malam ini, detik ini, di tempat saya
berada, di antara puluhan laki-laki yang haus
hiburan.
Dengan penuh energik, empat penari ber-
aksi di atas panggung dan bar itu masih saja
mempertontonkan gerakan-gerakan sensual. Sete-
lah setengah jam berlalu, keempat penari yang
337 masih membiarkan bagian atasnya terbuka itu
mulai membaur bersama tamu. Mereka melakukan
show dari meja ke meja. Dari meja-meja tamu
inilah, mereka berusaha mengeruk tip sebanyak-
banyaknya. Sekadar meladeni atraksi transfer
minuman dari mulut ke mulut, lapdance sampai
membiarkan tubuh mereka jadi bahan raba-an.
David boleh menganggap tontonan itu biasa-
biasa saja. Namun buat saya, penilaiannya jadi lain.
Tetap saja tontonan ini jadi suguhan hiburan yang
sayang dilewatkan. Tamu-tamu yang memadati
kursi bar dan sofa, misalnya sebagian besar sengaja
datang untuk melihat lesbian show. Paling tidak,
show itu jadi semacam ajang pemanasan sebelum
melakukan ini dan itu.
Bukan apa-apa, segala macam pleasure un-
tuk laki-laki ada semua di tempat ini. Dari bar,
sauna, massage, karaoke, restoran sampai hotel.
One stop shopping! Mau belanja apa saja, ada!
Produknya? Segala macam bentuk hiburan yang
ada hubungannya dengan pelesir seks.
33 8
Afternoon Tea with Model
SEBENARNYA, saya dan David ada di mana
sih? Kok tahu-tahu sudah ada di lokasi kejadian.
Duduk di bar, terpesona oleh kecantikan Paula,
dan nonton lesbian show.
Dua jam sebelumnya, sekitar pukul enam
sore, saya dan David janjian ketemu di Coffee
Club, Plaza Senayan. Ceritanya, David lagi ngum-
pulin beberapa model cantik dari dua agensi besar
di Jakarta untuk keperluan pembuatan iklan
sabun mandi. Kebetulan, David yang mendapatan
proyeknya. Sebagai produsernya, minimal dia
mesti ikut screening casting. Cuma liat-liat doang
sebagai bahan masukan. David sengaja mengajak
saya untuk bantuin ikut milih-milih. Untuk urusan
casting yang lebih dalam, sudah jadi pekerjaan
casting director.
Enak juga bisa nongkrong di kafe ditemani
cewek-cewek cakep. Kalau tidak salah hitung,
ada delapan model yang datang. Meskipun cuma
ngobrol ala kadarnya, tetapi setidaknya, saya nggak
perlu lagi celinguk kiri-kanan. Maklum, hari Sabtu
suasana di plaza lumayan ramai. Secara malam gaul
itu.
33 9 Dalam sejam, ada lima model yang sudah
masuk list untuk ikut casting berikutnya. David
menyerahkan tahap berikutnya pada casting di-
rector.
Dari Plaza Senayan, saya dan David sama-
sama malas pulang ke rumah. Saya jomblo,
sementara istrinya David kebetulan lagi pulang
kampung di Surabaya. Jadilab kami berdua ber-
gaul di malam Minggu. Bukan pacaran lho, tetapi
keliling-keliling mengitari Jakarta sampai akhirnya
masuk Kawasan Monas.
Mau nongkrong di kafe sambil dengerin live
music, malas! Pergi nonton bioskop, lebih nggak
mungkin lagi. Ngapain juga saya dan David yang
sama-sama cowok nonton berduaan. Bisa-bisa ma-
lah jadi bahan tertawaan.
Akhirnya, kami memutuskan masuk ke da-
erah Pecenongan, Jakarta Barat. Itu juga atas ide
David. Katanya, daripada pusing-pusing, men-
dingan nongkrong di bar sambil melihat-lihat
cewek-cewek cantik. Habis itu, baru sauna dan
massage.
Mobil kami sampai di sebuah bangunan hotel
berinisial CC. Tak jauh dari pintu, ada neonsign
34 0
warna-warni dalam ukuran besar. Di situ terdapat
informasi beberapa fasilitas yang bisa didapat di
hotel. Bar, restoran, sauna, karaoke, dan butik.
Dari jalan raya, tulisan di neon sign itu dengan jelas
terbaca. Tapi dengan satu catatan, kecepatan mobil
jangan lebih dari 60 km/jam.
Setelah melewati petugas security checking,
kami mem-valet mobil. Ini sekadar usul, kalau
tidak mau valet, mending parkir di halaman depan
hotel persis. Meskipun harga per jamnya lebih
mahal, tetapi" aman kok. Ada juga, sih, pelataran
parkir yang tersedia di lantai empat. Namun, kalau
nggak jago nyetir, bisa-bisa nubruk. Maklum,
jalannya sempit, dan berputar-putar.
Begitu sampai di lobby hotel, kami melewati
anak tangga menuju lantai Bl . Tempat sauna lah
yang kami tuju.
"Mau ke langsung bar, apa mau ke sauna
dulu?" tanya seorang wanita berbaju rapi yang
berjaga di meja resepsionis.
"Ke bar dulu aja deh," jawab David.
34 1 Sex Via Locker
RUPANYA, di sinilah pintu utamanya. Setiap
tamu yang mau pergi ke sauna, akan diberi satu
kunci loker. Tamu yang ingin langsung ke bar akan
diberi satu chip kuning yang dilengkapi nomor
urut.
Begitu masuk, seorang petugas akan mena-
nyakan berapa nomor chip kami. Setelah melewati
lorong yang di samping kiri-kanannya terdapat
kamar-kamar, kami menaiki anak tangga menuju
lantai satu. Suara musik mulai terdengar jelas.
Pukul 21.30 WIB. Kami diantar seorang
waiter ke bar berinisial BR. Ya, di bar BR inilah
kami menghabiskan malam Minggu. David yang
terpesona dengan kecantikan Paula, dan saya
yang terus memelototi aksi para striptease di atas
panggung dan bar.
David sudah menghabiskan sedikitnya empat
gelas Chivas-coke, sementara saya baru tiga gelas
bir Corona. Pertunjukan striptease sesi kedua di-
mulai pada pukul 22.30 WIB. Sama seperti aksi
sebelumnya, dua penari meliuk di atas panggung
bulat, sementara dua lainnya menari di atas bar
dengan gaya lesbian show.
342
"Cuma berdua aja, Bos. Nggak mau dite-
menin?"
Seorang wanita yang mengenakan stelan
blazer hitam mendekati kami.
David menoleh dan tertawa.
"Eh, Mami Kiki. Dari tadi ke mana saja kok
baru keliatan?" tanya David.
"Biasalah, muter-muter. Malam ini lumayan
banyak booking-an," jawab Mami Kiki.
Yang dipanggil dengan Mami Kiki itu ternyata
masih lumayan muda. Umurnya tak lebih dari
30 tahun. Berambut panjang dan berkulit agak
kecokelatan. Kata David, Mami Kiki ini berasal dari
Medan. Sebelumnya, dia pernah bekerja sebagai
mami di dua kelab malam besar di Jakarta.
Sebagai mami, Kiki mendapat tugas mem-
bawahi cewek-cewek Rusia dan Uzbekistan.
Ooo.. . jadi di CC juga ada cewek-cewek dari
Eropa Timur? Yup, betul sekali!
Begitu menengok ke bagian ruangan yang
di dalamnya berisi sofa berwarna hitam, saya
menemukan beberapa orang anak didik Mami
Kiki. Ada yang lagi bercakap-cakap dengan tamu,
ada juga yang cuma duduk bersama teman sekerja
sambil menunggu order tamu.
343 Ternyata, kalau dilihat lebih detail, bar BR
selain dilengkapi sarana panggung, juga dikelilingi
sofa yang ditata membentuk huruf U. Barnya
sendiri persis berada di tengah-tengah.
Di bagian kiri, sofa ditata membentuk kotak-
kotak tersendiri. Kotak pertama berisi cewek-
cewek Mandarin. Kotak kedua dan ketiga dipenuhi
koleksi cewek lokal. Aneka lukisan warna-warni
menghiasi seluruh dinding. Pencahayaan di area
ini sedikit terang.
Sementara di bagian kanan, disediakan area
yang lebih menyerupai lounge. Pencahayaan di area
ini agak temaram. Kalau tamu ingin bersantai,
minum, makan sambil ditemani pasangan cewek,
lebih banyak menggunakan area ini sebagai pilihan
yang mengasyikkan.
Saya meneguk bir Corona. Dance show su-
dah berakhir. Paula yang sedari tadi tak luput
dari incaran David, tahu-tahu menghilang dari
pandangan.
"Nyari siapa, Bos? tanya Mami Kiki.
"Paula, Mi. Tadi masih duduk di sofa, kok
sekarang udah ngilang."
34 4
"Bos kalah cepet. Pasti udah di-booking orang.
Dia memang lagi jadi primadona," tukas Mami
Kiki.
Primadona? Sebutan yang cocok untuk Paula.
Gimana nggak primadona kalau dalam sehari, itu
berarti praktik dari pukul dua siang sampai satu
malam (kecuali ada booking-out), dia bisa melayani
lima hingga sepuluh tamu. Sekali short-time ban-
drol harganya Rp 1,5 juta. Kalau booking out di
bawah pukul sembilan malam, berlaku hukum tiga
kali lipatnya. Kalau di atas pukul sembilan malam
cuma dua kali lipatnya. Kalau dihitung-hitung
dalam sebulan Paula bisa mengantongi uang sekitar
Rp 30 juta.
Yang bisa menandingi pendapatan Paula
adalah Yala, gadis asal Rusia yang berbadan molek
dengan rambut blonde. Dalam sehari, Yala bisa
melakukan transaksi tak jauh beda dengan Paula.
Sehari lima hingga sepuluh tamu? Jumlah yang
cukup fantastis. Nggak terbayang gimana mereka
melakukan prosesi pelayanan seks dengan tetap
ramah dan menggairahkan. Dari mulai kenalan,
basa-basi sampai masuk ke kamar tidur yang ada
di lantai Bl .
345 Karena penasaran, saya minta Mami Kiki
memanggil Yala. Dan apa jawabnya? Alamak, lagi
service, katanya.
"Atau mau cobain yang lokal. Mereka ba-
nyak juga yang cantik-cantik," tawar Mami Kiki.
Ada sekitar lima belas gadis lokal yang masih
mejeng di sofa. Kebanyakan masih muda-muda,
paling-paling umur mereka tak lebih dari 22 ta-
hun. Dandanan menarik dan seksi, tak kalah ka-
lau dibandingkan dengan gadis-gadis Mandarin
ataupun Rusia, mereka setia menunggu order
sambil bersantai.
"Mau coba yang lokal? Ada yang bagus tuh.
Cuma 800 ribu rupiah, kok," ledek David sambil
menahan ketawa.
Sialan! Sudah tahu saya lagi bingung menen-
tukan pilihan, David malah cengar-cengir. Dengan
santainya, David memanggil tiga gadis lokal untuk
bergabung di bar. Saya berpikir David mau mem-
booking tiga-tiganya. Nggak tahunya, dia cuma
mengajak mereka ngobrol-ngobrol sebentar. Tapi
nggak gratis lho. Paling nggak, David mesti beliin
mereka minum. Kalau kebetulan lagi berbaik hati
dan banyak duit, ya ngasih mereka tip.
346
Ah, saya jadi tambah pusiinnggggg! Begitu
banyak pilihan yang ditawarkan sampai-sampai
saya mati ide.
"Daripada bingung-bingung mending kita ke
bawah sebentar," ajak David.
Jadilah kami turun ke lantai Bl . Ternyata,
masih ada satu fasilitas lounge yang dilengkapi
bar dan sofa. Di sini pun, tampak ada beberapa
tamu laki-laki yang tengah bersantai dengan baju
kimono.
"Yang di pojok itu, para gadis "body massage".
Tarifnya 650 ribu rupiah. Udah all in," jelas David
layaknya seorang papi.
"Nah, kalau mau mijit tinggal pilih nomor
yang ada di meja resepsionis. Kalau mau sauna,
tinggal ke ruangan sebelah," lanjut David.
Saya jadi tambah pusing. Habis, apa saja ada.
Saya seperti disodori daftar menu yang menawar-
kan beragam pelayanan yang menggiurkan:
1. 1,5 jam bersama Paula,
2. 1,5 jam bersama Yala,
3. 1,5 jam bersama gadis lokal,
4. 1,5 jam "body massage",
5. Lesbian Striptease Show,
347 6. basah-basah di kolam sauna,
7. massage tanpa "sex".
"Gue mau mijit saja. Lumayan, buat ngilangin
jet-lag."
"Paula sama Yala gimana? Nggak jadi booking
mereka nih?" pancing David.
"Next time deh. Lagian udah malam. Udah
basi kali. Gue ama elo, mungkin tamu nomor
kesembilan buat mereka." Saya mencoba cari-cari
alasan.
Ternyata cukup manjur. David untuk kali ini
mau mengikuti ide dan saran saya.
"Oke kalau begitu. Kita mijit saja! Tapi next
time, jangan sampai nggak jadi booking Paula sama
Yala. Awas lo!"
Di meja resepsionis, kami cuma tinggal
menunjukkan kunci loker. Ternyata, kunci loker
ini menjadi akses untuk masuk ke semua fasilitas
yang ada di CC. Dari pesan makanan, minuman,
sauna, massage sampai urusan transaksi seks. Begitu
semua urusan beres, kami tinggal ke luar dan
menyerahkan kunci loker. Semua tagihan akan di-
print-out. Tinggal bayar dengan uang tunai atau
kartu kredit, transaksi selesai!
34-6
(20)
Seven Steps to
Heaven
MENU seks yang sangat populer di Taiwan, Tujuh
langkah menuju petualangan seks yang "rrruuuaar
biasa". Seperti apa bentuknya? Bagaimana dengan
Jakarta?
Jalan-jalan ke Taiwan, jangan lupa mampir
ke Distrik 10. Lirik kiri, lirik kanan. Awas,
jangan sampai keblablasan. Apalagi kalau sampai
berpetualang mencoba menu Seven Steps to Heaven,
bisa-bisa males pulang ke rumah.
Sudah bukan hal aneh, kota-kota besar di
belahan dunia, seperti Amsterdam, Camden
Town (London), Tashkent (Uzbekistan) Bangkok
atau Pusan pasti dipenuhi tempat hiburan yang
34-9 beraneka ragam, mulai dari diskotek, kelab, bar
sampai tempat kebugaran, seperti spa, sauna, dan
massage.
Di Camden Town, dari sentral kota London
menuju ke North London mendekati kawasan
Golders Green misalnya, terdapat salah satu
kelab yang sangat kental dengan aroma seks-nya.
Dingwalls, begitulah nama tempatnya. Di situ,
setiap tamu yang datang akan dimanjakan oleh
pemandangan dan aktivitas yang menggugah
fantasi. Dinding kelab terbuat dari batu, tak
ubahnya seperti bangunan kastil zaman dulu.
Bangunannya terdiri dari tiga tingkat. Satu tingkat
berada di basement yang difasilitasi kamar-kamar
berdekorasi gaya Victoria. Yang menakjubkan,
segala peralatan di tempat ini serba modern. Di
sinilah, segala jenis layanan seksual, dari softcore
sampai hardcore sekalipun (misalnya, sadomasochist
dan animal fantasy) bisa didapatkan. Sementara di
bangunan lain—di lantai satu dan dua—terdapat
Peanut Club dan Headbanger.
Awalnya, tempat ini digunakan untuk kan-
dang kuda. Tapi kini disulap menjadi sebuah kelab
dengan aneka hiburan yang bisa membuat air liur
ke luar setiap detiknya.
Setiap saat, puluhan gadis cantik selalu me-
nebarkan pesona sensualitasnya. Di Peanut Club
misalnya, kebanyakan gadisnya dalam keadaan
"naked". Lantainya dipenuhi kulit kacang. Di
beberapa sudut, ada drum besar yang di dalamnya
berisikan kacang. Siapa pun boleh memakannya
dan membuang kulitnya secara sembarangan. Di
Headbanger yang musiknya beraliran "metal", X
rated entertainment-nya hanya striptease saja.
Untuk setiap tamu yang datang akan diberi-
kan "tag"—semacam tanda pengenal. Sekadar
mau hang-out atau memang ingin "menikmati"
segala layanan seks yang ada di Dingwalls. Jika
mengenakan tanda pengenal "cuma mau hang-
out?, jangan coba-coba mengajak kencan gadis
yang ada di Dingwalls. Bisa-bisa bukan seks yang
didapat tapi malah tamparan di pipi.
Di Tashkent, ibukota Uzbekistan punya gaya
yang agak beda. Sejumlah tempat hiburan menanti
setiap tamu yang datang dengan keceriaan dan
kemanjaan yang menggiurkan.
350  35 1 Mampir di Julianos (Bobur Park)—sebuah
kelab yang terpanas di Tuskent—lalu singgah
sejenak di bar, duduk sepuluh hingga dua puluh
menit sambil menenggak segelas-dua gelas bir.
Tak perlu sibuk tebar pesona karena empat dari
lima gadis yang ada di kelab tersebut adalah call
girl. Begitu gampang mencari pasangan one short
time dengan tarif $50 - $100. Dengan tarif yang
tidak jauh beda, tinggal melewatkan malam di
Sky Club. Tempat ini memang terkenal dengan
puluhan hostes-nya yang seksi dan cantik.
Bukan hanya Julianos dan Sky Club, di
Tashkent juga ada beberapa tempat lain yang tak
kalah "hot"-nya, seperti Dutch Club dan di sekitar
kawasan Chilanzar.
Bagaimana dengan Bangkok (Thailand)?
Ai.. . ai.. . kota yang satu ini tak perlu diragukan
lagi. Wisata seks-nya nyaris bisa ditemukan
di setiap sudut kota. Salah satu yang paling
populer—untuk kalangan atas—adalah Champ
Elysees. Sebuah tempat yang dilengkapi fasilitas
resto, hotel, dan lounge. Sambil ber-dinner, setiap
tamu bisa berendezvous dengan Thai Girls—
banyak di antaranya model betulan—dan begitu
352
cocok dengan pilihannya, tinggal melanjutkan
petualangan di private room yang ekslusif. Tentu
saja dibutuhkan modal antara 10.000 baht sampai
20.000 bath (sekitar Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta)
untuk berkencan 1,5 jam.
Sementara di Taiwan, tepatnya di Distrik
10—sebuah kawasan dengan sebutan center of
entertainment—dari sekian puluh tempat hiburan
yang tersebar di sejumlah titik, tentu saja ada yang
terang-terangan menyuguhkan menu-menu seks
yang cara penyuguhan dan kemasannya "sangat
lain" dan maaf, vulgar. Salah satunya, ya itu tadi,
Seven steps to heaven.
Menu yang satu ini, cara penyajiannya
sederhana: setiap tamu diberi kesempatan untuk
menikmati layanan dan kemanjaan seks dalam
tujuh tahapan. Pertama, threesome aromatherapy.
Tamu ditempatkan pada sebuah kamar lalu
akan mendapatkan layanan kemanjaan dengan
aromaterapi dari tiga orang gadis cantik sekaligus.
Tamu harus "pasrah" tanpa boleh melakukan
gerakan balasan. Kedua, foreplay three in one. Kira-
kira terjemahan bebasnya, tamu didudukkan pada
sebuah kursi "berlubang" dan akan "dikerubungi"
35 3 tiga orang gadis sekaligus. What they do? Pokoknya,
layanan foreplay seks dari A sampai Z. Berhasil
melewati dua tahapan ini, tamu akan melanjutkan
sesi petualangan berikutnya: 3,4, 5, dan seterusnya.
Tamu yang bisa bertahan sampai pada tahapan
kelima, diberikan bonus berupa: bayar satu untuk
tujuh pelayanan sekaligus. Harga untuk satu ta-
hapan itu sekitar $ 50.
Bagaimana dengan Jakarta? Apakah menu
seks yang serupa dengan seven steps to heaven ini
juga bisa ditemukan di sebuah tempat tertentu?
Ehmmm... .
Bisa iya, bisa tidak. Maksudnya, belum ada
satu tempat pun yang menawarkan menu sejenis.
Kalau pun ada, paling-paling konsepnya lebih
pada one-stop-sextainment. Di satu tempat, setiap
tamu bisa mendapatkan pelayanan seks dengan
menu yang berbeda. Misalnya di kelab AS (baca
tulisan Seks Kinky Helikopter) di kawasan Ancol
yang setiap lantainya punya pelayanan berbeda.
Lantai dua ada fasilitas lounge dengan siluet
striptease, private room untuk "nude show" dan lady
companion yang siap menemani tamu minum dan
bergoyang sampai teler. Di lantai 3, 4, 5, 6, dan 7,
354
masing-masing menawarkan menu entertainment
berbeda, tiga di antaranya seks helikopter, karaoke,
dan mandi sauna bareng "putri duyung" yang
mengenakan bikini.
Di tempat lain seperti di kelab B, di sebuah
hotel berbintang tiga di Kawasan Krekot yang
juga terkenal dengan one-stop-sex-tainment, paling-
paling hanya ada tiga atau empat menu. Pertama,
kelab dengan fasilitas bar dan lounge sebagai ajang
untuk rendezvous antara tamu laki-laki dengan
gadis-gadis lokal, Cina, dan Uzbekistan, lalu
kamar-kamar lux sebagai pelabuhan cinta. Kedua,
seks rolling door untuk tamu yang lebih suka
privacy. Dari area parkir, menuju ke lantai atas, dan
langsung masuk ke kamar yang dilengkapi fasilitas
garasi rolling door. Ketiga, ya fasilitas karaoke
dengan menu Lady Companion (LC), dan penari
stripper.
Di sebuah hotel berbintang dua di Kawasan
Mangga Besar,—sebut saja Hotel LT—punya tiga
paket menu kesenangan yang ditawarkan kepada
setiap tamu laki-laki. Pertama, paket menginap
lengkap dengan selimut hidupnya. Kedua, paket
"body-massage" + "full body contact" dengan harga
3S S Rp 300 ribu. Ketiga, paket karaoke bersama gadis-
gadis cantik yang siap berpesta semalam suntuk.
Menu sejenis seven steps to heaven memang
tidak bisa didapatkan di satu tempat. Menu
ini hanya bisa ditemukan dengan berkeliling—
setidaknya—empat atau lima tempat hiburan dan
kebugaran di Jakarta.
Sebenarnya, buat saya, apa yang digambarkan
dalam menu seven steps to heaven ini lebih menjadi
potret bagaimana industri seks di Jakarta melakukan
inovasi dalam hal menu dan kemasan. Bisa jadi
memang belum ada satu tempat pun di Jakarta
yang mempraktikkan menu ini. Namun, jika saya
berkeliling dari kelab ke kelab lain, terutama di
Jakarta Selatan, Pusat, dan Barat, sejumlah menu
yang ditawarkan "beda-beda tipis" dengan apa yang
ada dalam layanan seven steps to heaven. Hampir
semua tahapan dalam menu itu, rasanya-rasanya di
Jakarta pun juga ada. Bahkan, dari sisi inovasi dan
kemasan, Jakarta tak kalah di banding kota-kota
besar di belahan dunia.
Jadinya?
Dengan berbagai menu seks yang tersedia
di sejumlah tempat hiburan kategori X-Rated,
356
Jakarta sepertinya memang jadi kota pilihan un-
tuk berwisata. Forbidden sih, tetapi tetap saja
seperti sebuah paradise bagi banyak orang.
Tequila Body Kissing, Shower Girls, Gulat
Lumpur, Body "V", Latino for Sale, No Hand
Service, Libido Massage, dan Sandwich Sex adalah
sederet menu yang bisa membawa banyak laki-
laki (dalam beberapa kasus bisa juga perempuan)
menikmati—tidak saja—tujuh tapi bisa jadi de-
lapan atau sepuluh langkah menuju "surga".
Let's see the list... !!!
Lis t 1
Tequila Body Kissing
357 3S B
List 2
Shower Gir l
35 9 360
List 3
Gulat Lumpur
361 Lis t 4
Body V
36 3  362 List 5
Libido Massage
364  365 366  367
Lis t 6
Latino for Sale 368  369
List 7
Sandwich Sex 370
(21)
Epilog :
Swing Couple.
How come?
BAYANGKAN ada sebuah pesta. Ya, kira-kira
sejenis sex party bertema Swing Couple. Pesertanya
bukan saja sekadar orang-orang berduit dari
kalangan eksekutif muda, atau pengusaha, tetapi
juga public figure. Tempatnya di sebuah hotel yang
bagus sekali. Bisa berbintang tiga atau malah lima.
Lalu, saya menjadi salah satu orang yang diundang.
Saratnya harus membawa pasangan perempuan.
Bisa pacar, selingkuhan, atau istri betulan. Apa
yang harus saya lakukan? Datang atau menolak
tawaran itu mentah-mentah dan melupakan se-
buah pesta yang mungkin tidak akan saya temui
sekali dalam seumur hidup. Sebuah pilihan yang
371 serba susah. Datang berarti saya harus membawa
pasangan yang secara teori wajib berwajah cantik
dan berbadan bagus. Menolak datang berarti
saya harus melupakan jauh-jauh keinginan untuk
menyaksikan sebuah peristiwa yang boleh jadi
sangat penting untuk data penelitian saya.
Ooo.. . akhirnya saya memilih untuk datang.
Meskipun dengan risiko yang lumayan ribet. Ya
iyalah, saya mesti bolak-balik telepon sejumlah
gadis yang mau berpura-pura jadi pacar saya.
Ughhh... kerja keras, Jo! Monik, sebut saja begitu,
gadis yang bekerja sebagai GRO (Guest Relation
Officer) di RH—sebuah executive club—yang ada
di kawasan Pertama Hijau. Sebutan GRO yang
disandang Monik, sebenarnya hanya nama saja.
Praktiknya, Monik lebih banyak bertugas sebagai
LE (Lady Escort): mengundang, menemani, dan
membuat tamu merasa betah lalu ingin kembali.
Bayangkan—sekali lagi—apa rasanya jadi
salah satu peserta pesta swing couple?
37 3
Masalahnya, ini bukan sekedar pesta senang-
senang dalam tanda kutip. Tapi sekaligus sebagai
ajang untuk menggali info sebanyak-banyaknya.
Artinya, saya punya tugas lain yang tak boleh
dilupakan begitu saja: menempatkan diri sebagai
seorang jurnalis atau setidaknya sebagai pengamat
lepas. Ternyata, dalam pesta itu saya bertemu
dengan tiga orang yang saya kenal baik. Dua laki-
laki dan satu gadis. Mereka bukan orang asing buat
saya.
Pertama, gadis yang saya kenal terlihat sangat
seksi, malah ekstra seksi. Gaun yang dikenakannya
"terbelah menganga" di bagian punggung bela-
kang sampai mendekati G-string-area. Gestur
punggungnya yang putih bersih terlihat jelas dan
transparan. Hany, 23 tahun, pecinta barang-barang
bermerek, fashion-minded, seringkali terlihat di
berapa kelab malam yang banyak didatangi para
esmud, pengusaha gaul, dan elite society. Satu lagi,
ia sangat dekat dengan beberapa seleb cewek, dari
foto model, artis sinetron sampai penyanyi. What is
she doing? Believe or not, Hany juga menjadi salah
satu peserta pesta.
372 Orang kedua, justru membuat saya makin
shock. Laki-laki berbadan agak gempal dan usianya
tak lagi muda, hampir mendekati lima puluh tahun.
Seorang pengusaha sukses di bidang properti dan
obat-obatan. Sebut saja namanya Hendra. Kenal
dekat, sudah pasti nggak. Tapi, sekedar say hello
dan bercakap-cakap dalam beberapa kesempatan,
sudah pasti iya. Yang lebih mengagetkan lagi, Hany
justru datang ke pesta karena berpasangan dengan
Hendra.
Lalu ada seorang laki-laki berusia sekitar
38 tahun, sebut saja Andre, pengusaha muda
yang membuka ladang bisnis di bidang restoran,
mal, dan showroom mobil di Jakarta. Selama ini,
ia dikenal akrab dengan sejumlah konglomerat,
bahkan ada satu atau dua orang yang menjadi
partner bisnisnya. Andre datang bersama istrinya.
Ini istri betulan, bukan selingkuhan atau piaraan.
How come? Banyak orang yang tidak menyangka
bahwa dalam urusan seks segala sesuatu bisa jadi
mungkin. Pada awalnya saya juga ragu apakah
Andre benar-benar membawa istrinya. Tetapi,
setelah kroscek kiri-kanan, fakta itu benar adanya.
Dan dalam swing couple, target utamanya adalah
374
pasangan suami-istri. Kok bisa? Kan tadi sudah
saya bilang, dalam seks, segala sesuatu yang nggak
mungkin, bisa jadi mungkin banget. Memang
rada nggak asuk akal, kan? Tapi, kenyataanya,
tidak hanya Andre yang membawa istrinya. Ada
beberapa pasangan melakukan hal yang sama.
Edan! Mungkin sebagian orang berpendapat
seperti itu. Buat saya? Eit..eit...saya nggak berani
menuduh apakah itu edan atau bukan. Buat
mereka yang jadi peserta pesta, bisa jadi itu hal
yang lumrah dan biasa. Buktinya? Sejumlah grup
swing couple bermunculan di Jakarta—mungkin
juga di kota-kota lain(?)—dari yang berskala kecil
sampai yang besar dengan kelompok lebih dari tiga
puluh hingga lima puluh pasangan.
Inside story:
Pesta Swing Couple ini diadakan di sebuah hotel di
Kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Lokasinya strategis
karena berdekatan dengan kafe, bar, dan resto.
375 Wuuuzzz up, next?
Alurnya mudah ditebak. Sebagian besar
pasangan yang datang, sekitar 60-70 %, sudah
saling kenal satu sama lain. Sisanya, 30-40 %,
adalah pasanga baru yang sengaja diundang
untuk melakukan testing atau semacam audisi.
Ini menjadi semacam rekruitmen anggota baru.
Anggota lama boleh merekomendasikan siapa-
siapa yang berminat dan tertarik untuk bergabung
dalam kelompok swing couple. Kenapa saya turut
diundang? Inilah uniknya. Sebagian besar peserta
swing couple itu paham bahwa expose akan terjadi
jika saya melihat dan terlibat langsung dalam
pesta. Ternyata, ada sejumlah kelompok penyuka
"pesta seks aneh-aneh" itu yang menginginkan
aktivitasnya terekspos ke publik. Ada semacam
kebanggaan tersendiri karena mereka memiliki
gaya hidup yang lain dari biasanya. Ekslusif karena
tak semua orang bisa melakukannya. Lifestyle yang
agak "membingungkan" jika dipikir dengan nalar
biasa. But, they do it! Dan saya bisa melihatnya
langsung dari Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Well, cerita selanjutnya adalah bagaimana para
pasangan dalam pesta itu mulai saling berkenalan
376
dan beramah-tamah satu sama lain. Diiringi musik
yang melantun, perjamuan yang lebih mirip di-
sebut sebagai cocktail-party itu berlangsung santai.
Tak ada tontonan X-Rated, seperti striptease atau
topless dancing yang mengiringi perjamuan itu.
Semua berjalan smooth tapi pasti.
Di sebuah kamar suite yang nyaman dan
dilengkapi fasilitas ruang tamu, mini bar, dan
dua kamar tidur yang terpisah, sekitar sepuluh
pasangan mulai larut dalam pesta. Dirty talk,
sebagian orang melakukannya di pesta. Bicara
bisnis, ada juga. Dancing dengan kenalan baru,
juga terjadi. Bercerita seputar pengalaman dan
petualangan seksual, ehmmm...itu juga terdengar
di telinga saya. Tentu saja, ini baru tahap opening
party. Next....
Uncut:
Explore your animal-insting!
377 It's true. Boleh jadi tagline itu sangat pas
untuk menggambarkan apa terjadi. Di dalam pesta
itu, setiap orang dilarang jaim. Salah tempat kalau
itu terjadi. Artinya, setiap orang—terutama untuk
peserta baru—dari awal mesti sadar bahwa berani
datang berarti berani coba dan berani gila. That's
it!
Bebas, memang iya. Namun, tetap saja ada
aturan mainnya, terutama dalam hal memilih
lawan main pada saat "tukar pasangan". Di
beberapa kelompok lain, ada yang menggunakan
aturan semacam "game" untuk menentukan
"siapa berpasangan dengan siapa". Ada yang
menggunakan cara kocok seperti dalam arisan, ada
juga yang menerapkan "key game". Yang satu ini,
melalui permainan tukar kunci. Bentuk lainnya
menggunakan cara 'tutup mata' dengan kain. Siapa
yang jadi korban pertama, matanya akan ditutup,
lalu dipersilakan mencari pasangannya.
Nah, dalam pesta yang diprakarsai Hendra
dan Andre itu, aturannya lebih pada mengarah
"challange game". Bentuknya lebih pada kebera-
nian tiap-tiap peserta untuk meng-eksplor dirinya.
Seberani apa seorang peserta menerima tantangan?
378
Misalnya, tantangan untuk ber-swing couple "two
in one": dua lawan satu (bisa ceweknya yang dua vs
cowok satu, atau sebaliknya). Atau challange-game-
nya berbentuk "You play, I watching". Artinya,
peserta yang ber-swing couple akan ditonton oleh
pasangannya masing-masing.
Sebagai peserta awam, saya lebih banyak
mengamati keadaan. Sekali dua kali ikut nim-
brung dalam percakapan, begitu saja. Mencoba
mengakrabkan diri dengan peserta pesta, tetutama
Hendra dan Andre. Beruntung saya membawa
Monik. Gadis cantik itu memang jago dalam
urusan bersosialisasi. Jam terbangnya tak kalah
dibanding Hany. Beda embel-embel status saja.
Mereka memang punya potensi untuk menjadi
seorang "bintang" di setiap acara. Dalam hitungan
menit, mereka hampir bisa mengakrabkan diri
dengan peserta pesta. Mereka begitu percaya diri.
Cara mereka berbicara dan berjalan saja terlihat
menarik. Belum lagi cara mereka memainkan
gestur badan atau memainkan mata dan bibir.
Sepertinya, untuk urusan pergaulan, mereka sah
diberi nilai cumlaude. Pantas, Hendra dan Andre
begitu bernafsu untuk menggaetnya sebagai lawan
tukar pasangan.
379 "Berani nggak test drive ama bini gue?" tan-
tang Andre.
"Kalo nggak, gue tuker deh sama Hany," sela
Hendra tak mau kalah.
Ups! Saya mesti ngomong apa. Apa yang ter-
jadi dalam pesta itu, terjadi begitu saja. Namanya
juga pesta seks. Kita tak pernah bisa membayang-
kan apa yang akan terjadi. Skenario A, bisa ber-
ubah menjadi Z. Ini bukan acara dinner di sebuah
restoran yang menu makanan dan minumannya
bisa kita pilih. Ini pesta seks, Jo!
Inside story:
Swing couple hanya salah satu bentuk "private party"
yang masih jadi tren sampai hari ini. Model-model
lainnya, bisa bejibun. Komunitas "private party" yang
ada di Jakarta dari hari ke hari makin membesar.
Sinyalnya? Makin menjamurnya industri seks yang
menyediakan menu layanan kemanjaan dengan ino-
vasi luar biasa. Di Jakarta saja ada sekitar empat ratus
tempat yang menawarkan pariwisata seks. Dari yang
menggunakan label kelab, karaoke, spa, sauna sampai
tempat pijat.
380
Finally, sebagai epilog, saya cuma bisa bilang:
berbagai peristiwa yang saya tulis dalam buku ini
takkan pernah ada habisnya. Setiap bulan—bahkan
tiap hari—selalu saja ada yang baru. Generasi lama
berganti dengan generasi baru. Menu lama di-up-
date dengan menu baru yang lebih menggoda, sen-
sasional, dan menggiurkan mata. So, pilihan ada di
tangan Anda.
381 Coming Soon
• JAKARTA UNDERCOVER the movie
• JAKARTA SENANG-2 (Guide n the City)
• THREESOME CITY
(Surabaya, Bandung, & Jogyakarta) MOAMMAR EMKA lahir di Ds. Jetak, Montong -
Tuban, Jawa Timur, 13 Februari 1974. Pernah
bekerja sebagai wartawan di sejumlah media
cetak, seperti Prospek dan Popular. Saat ini,
selain menjadi kontributor untuk kolom "Sex in
The City"di majalah X Men's Magazine, juqa
menggelut i bisnis di bidang penerbitan dan
public relations.
Selama rentang waktu 5 tahun, dia telah
merilis lebih dari 13 buku, baik fiksi maupun
non-fiksi. Karya-karyanya adalah Jakarta
Undercover (Sex 'n the city). Red Diary (Catatan
Harian Lelaki Malam), Jakarta Undercover 2
(Karnaval Malam), Ade Ape dengan Mak Erot?
Beib.. .Aku Sakau, 365 Hari 3 Cinta 2
Selingkuhan, Siti Madonna, 132 KM SMS Cinta
Abisss, SMS Lovaholic, Tentang Dia, Gue Kapok
Jatuh Cinta, In Bed With Models, dan Kamus
Gaul Hare Gene!!!.
Buku pertamanya, Jakarta Undercover (sex 'n
the city) edisi bahasa Inggris yang diterbitkan
Monsoon Book Singapura telah beredar di
Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan kini
memasuki cetakan ke-4.
Saat ini tengah menggarap sebuah film layar
lebar yang ceritanya diangkat dari bukunya:
Jakarta Undercover, la juga tengah
merampungkan buku JAKARTA SENANG-2
(Guide'n theCity) yang akan dirilis sekitar Mei
2007. Emka masih berstatus "jomblo" dan lagi
sibuk mencari pasangan hidup. Obsesinya?
Menikah secepatnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 11, 2011 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jakarta-UndercoverWhere stories live. Discover now