Bab 3

12 1 0
                                    

Kembang Gula

Hujan pagi hari menjelma penghalang aktivitas sehari-hari, termasuk pergi untuk pergi ke sekolah atau ke tempat kerja. Hujatan, keluhan, mengapa hujan turun sepagi ini? Pasti ada. Namun, berbeda dengan Riana. Senyumnya mengembang melihat teras rumahnya basah.

Riana mengambil payung, bergegas pergi ke kantor dengan berjalan kaki menuju halte bus. Senyumnya masih melekat sempurna di wajah ayu khas jawa membuat Essal menatap heran pada gadis di depannya.

"Kau senang sekali, Sa. Apa yang membuatmu begitu bahagia?" Riana tertawa, bahasa keseharian sang Essal seperti program komputer, terlalu baku, seperti robot. Akan tetapi, Essal masih memiliki ekspresi.

"Tidak ingin menjawab, Sa?" tanya ulang Essal dengan wajah kesal.
Riana tetap tidak menjawab masih tersenyum ditambah tawa kecil, karena pikiran menggambar Essal adalah robot adalah hal konyol.

"Riana Davin!" panggil Essal, dirinya terlihat benar-benar kesal.

"Masih pagi, Bucin Endut udah cemberut aja, tu mulut," sahut Riana cuek.

"Gimana aku nggak cemberut, kesayangan aku nyuekin aku," Essal melipat tangannya di dada.

Riana menatap geli, Essal. Pemuda itu benar-benar pintar bersandiwara, pikirannya. Essal bukan robot, ini bukti kuat. Riana menganggukkan kepalanya berulang kali.

Essal menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Riana bertingkah aneh menurutnya.

"Saya permisi dulu ya, Pak, nanti saya terlambat." pamit Riana, membuat Essal semakin marah. Riana tidak menganggap dirinya yang sudah menunggu satu jam di sini, untuk menyusul agar tidak dirinya tidak kehujanan. Akan tetapi, apa Riana tahu?

"Kamu itu ya, saya pagi-pagi ke sini mau nganterin kamu biar kamu nggak kehujanan, sekarang apa?! Kamu mau saya, tidak mengantar kamu ke kantor?!"

Riana mengedipkan matanya terkejut dengan apa yang dikatakan seorang Essal Garandra mengkhawatirkan dirinya kehujanan.

"Saya sudah nunggu kamu satu jam, tau," ucap Essal kesal.

Riana seperti patung, mengunci rapat mulutnya dan menahan napasnya.

"Ayo naik mobil saya, saya nggak mau dengar suara kamu," perintah Essal membuat Riana seperti kucing yang akan diberi makanan oleh pemiliknya, menuruti Essal memimpin jalannya.

Riana menghela napas, karena terlalu lama menahan napas. Essal yang mendengar suara helaan napas Riana, pura-pura tidak mendengar.

"Silakan masuk, Sa," ucap Essal dengan senyum khasnya.

Riana memilih duduk di belakang, membuka pintunya sendiri, bukan duduk di kursi yang dibukan Essal.

"Bisa tidak kau tidak melawanku, Ri!" Essal mencengkam pintu mobil. Riana kembali tidak menghargai dirinya.

"Ehem," Riana menghilangkan rasa takut karena tatapan tajam Essal.
"Aku tidak bisa ... itu melanggar janjiku untuk pergi berdua aja dengan laki-laki."

Mendengar hal itu Essal membuka pintu yang baru saja ditutup, Riana.

"Kita naik, bis, aja," ajak Essal. Riana merasa bingung mengapa Essal sekarang ingin naik bus sekarang, kenapa Essal cepat mengalami perubahan, seperti cuaca pikir Riana.

Riana tetap mengikuti Essal dari belakang, enggan bertanya mengapa tiba-tiba berubah ingin naik bus.

Di dalam bus Riana menawan tawa, Essal kelihatan sangat tidak nyaman berada di sana. Dempetan, bau asap, keringat, bau kotoran hewan ternak (ayam) dan banyak lagi.

To już koniec opublikowanych części.

⏰ Ostatnio Aktualizowane: Jan 29, 2021 ⏰

Dodaj to dzieło do Biblioteki, aby dostawać powiadomienia o nowych częściach!

Kedua (Takdir Tak Pernah Salah).Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz