Bab 1

8 2 0
                                    

Ide Gila

Semua orang berlarian di lorong yang bernuansa serba putih dengan aroma khas obat-obatan. Tidak ada satu pun yang berjalan santai. Pemuda dengan kemeja putih yang digulung sampai siku tidak berhenti meneteskan peluh, wajahnya penuh dengan keringat. Pelipis sebelah kanannya tidak berhenti mengeluarkan darah, membuatnya sesekali meringis.

"Permisi!" Suara pemuda itu membuat gadis memakai kerudung dengan setelan seragam kantoran, mengerutkan kening.

"Bisa ban-tu saya," pinta pemuda itu.

"Bantu apa?"

"Bisa panggil perawat, di depan ada mobil Fortuner warna putih. Di dalamnya ada teman saya yang terluka."

Gadis itu makin tidak paham dengan pemuda itu, mengapa meminta tolong padanya. Padahal dirinya bukan perawat atau ahli medis lainnya.

"Mungkin Anda salah meminta tolong pada-"

"Saya sudah berusaha memanggil dan menghentikan perawat dan suster, tetapi mereka tidak dengar suara saya."

Gadis itu segera berlari memberitahu perawat dan suster ada orang yang terluka di dalam mobil Furtuner, seperti yang dijelaskan oleh pemuda tadi.

Roda ranjang untuk pasien rumah sakit berputar dengan kencang, bersama dengan dua orang perawat dan seorang suster menuju IGD (Instalasi Gawat Darurat). Gadis itu mengikuti dari belakang.

Merasa tugasnya selesai gadis itu hendak melangkah pergi, suster memanggilnya.

"Keluarga pasien? Silakan urus administrasinya, di sebelah sana."

"Saya bukan-"

"Ayo antarkan saya," ajak pemuda itu. Tanpa persetujuan pemuda itu hendak menyentuh tangan gadis itu, tetapi gadis itu menghindar.

"Baiklah saya akan mengantar Anda ke sana." sahut gadis itu sambil tersenyum.

Setelah menunggu lima belas menit, akhirnya registrasi administrasi selesai.

Mereka berdua duduk bersebelahan terpaut satu kursi tengah yang kosong.

"Kulihat, kau baik-baik saja," ucap gadis itu menghentikan kesunyian.

"Kelihatannya ya, mungkin. Aku baik-baik saja."

Gadis itu menoleh ke arah pemuda itu, terlihat jelas darah mengering di pelipis. Tanpa sadar gadis itu hendak menyentuh luka, ditepis oleh pemuda itu.

"Kita tidak cukup akrab, untuk bisa menyentuhku."

Gadis itu merasa malu dan juga tidak menyangka. Bagaimana bisa pemuda di sampingnya berlaku seperti itu. Berapa waktu lalu pemuda di sampingnya berusaha menyentuhnya tadi.

"Kamu jomlo ya? Betah banget duduk di sebelah saya." Perkataan pemuda di sampingnya, membuat gadis itu sadar.

"Ehem," Gadis itu berdiri. "Aku pergi dulu. Jangan lupa lukamu diobati."

Tanpa menoleh gadis itu melangkah cepat, meski pemuda itu terus berteriak menyuruhnya tetap duduk.

Gadis itu menghela napas, duduk di depan ruangan rawat atasannya yang kecelakaan.

Gadis itu masih penasaran bagaimana mereka terluka dan mengapa pemuda itu tidak mengobati lukanya. Namun, itu bukan urusannya, pikir Riana.

"Na, kamu dari mana aja? Mas Cakra nyariin kamu terus tu, tanya Riana di mana, Dira." Cerocos Dira.

"Aku habis ...."

"Kamu habis olah raga lari, Na?" Dira menatap tidak percaya Riana. "Ini rumah sakit R-I-A-N-A, bukan kantor yang biasa kamu ke sana-sini tanpa jeda." Cerca Dira melihat Riana sulit mengatur napas (tersengal-sengal).

Kedua (Takdir Tak Pernah Salah).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang