“Di mana cewek itu, hah?!” tanya Atlantas tajam. Kedua matanya menyorot dingin, membuat Ferdi meneguk saliva keras.

“G—gu,”

Bugh

Atlantas menampar keras pipi Ferdi. Cengkeraman di kerah baju Ferdi semakin erat. “Katakan, atau lo gue bunuh!”

”D—di belakang!” Ferdi tidak bisa berkutik lagi. Rasanya, ia akan remuk di cengkraman Atlantas.

Dengan rasa tanpa bersalah, Atlantas menghempaskan tubuh Ferdi hingga membentur dinding. Ferdi punggung-punggungnya akan remuk karena bersentuhan dengan lantai keramik yang kasar dan dingin.

Setelah menyelesaikan dengan satu anak buah Vagos, dengan kasar Atlantas membuka pintu. Ah, tidak, lebih tepatnya menentangnya hingga engselnya lepas.

Keributan yang diciptakan oleh Atlantas, lantas membuat beberapa anak Vagos lainnya merasa terganggu. Dengan wajah memerah padam, mereka tidak menyangka akan kedatangan Atlantas secepat ini.

“Minggir, atau kaki lo semua gue patahin!”

Justin, cowok dengan jaket denim tersebut merasa tidak terima. “LO?! Lo sudah hancurin pintu markas Vagos! Lo mau mati, hah?!”

“Mati?" Atlantas terkekeh pelan, yang malah tersengat seperti alunan musik pengantar mayat ke kuburan. Ia mengangkat wajahnya, menatap satu persatu orang di depannya. Hanya ada empat orang.

Sangat mudah.

“Ada yang mau lo semua ucapin sebelum gue kirim ke kuburan?”

Justin benar-benar merasa direndahkan. Dengan aba-aba dadakan, ia beserta ketiga temannya langsung menyerang Atlantas.

Cowok blasteran tersebut hanya tersenyum miring. Menghabisi ke empat orang tersebut sangatlah mudah untuknya. Dan benar saja, tak lama setelah itu satu persatu mereka berguguran. Justin mencoba untuk bangkit, namun punggungnya diinjak oleh kaki Atlantas.

“Kasih tau di mana posisi cewek yang kalian bawa itu, atau Li pilih rumah terkahir sendiri. Mau kuburan atau neraka.” Atlantas semakin kuat menekan kebawah injakannya, sehingga membuat Justin tidak bisa bergerak lagi. “Rumah terakhir lo itu ... rumah sakit jiwa dan kuburan,” bisik Atlantas mematikan.

“Arrgghh, Lepasin kaki kotor lo itu dari punggung gue, sialan!” teriak Justin.

Atlantas tertawa keras. “Kaki gue emang kotor, dan akan semakin kotor setelah ini!”

Tak perduli dengan erangan Justin, Atlantas mengeluarkan pisau lipat yang selalu tersimpan rapi di dalam jaket. Menusuk-nusuk punggung Justin cukup dalam dan setelah itu menendang tubuh lemah tersebut hingga membuat lantai basah karena darah.

Justin tidak sadarkan diri.

Atlantas tertawa pelan. “Ah, baru mulai saja sudah seseru ini,” gumamnya. Lalu mulai berjalan menuju ke belakang markas dengan memutar-mutar pisau lipat di tangan kiri. “Bagaiman kalau hari ini kita ganti cat Markas Vagos jadi warna merah?” Ia menyeringai.

🏍️🏍️🏍️

Marco dan Rian duduk tidak jauh dari posisi Abel yang tengah diikat di sebuah kursi. Meraka tidak menduga kalau membawa cewek tersebut ternyata sangatlah mudah. Bahkan, bisa dibilang seperti membawa bayi, walaupun sempat pusing lantaran Abel yang cerewet.

ATLANTAS || ENDWhere stories live. Discover now