Prologue

2.7K 199 40
                                    

Seperti biasanya, setelah bel pulang sekolah berbunyi seluruh siswa akan segera merapikan alat tulis serta buku-buku mereka. Tidak sabar ingin pulang, beristirahat dan sedikit bermain-main sebelum berkutat kembali dengan setumpuk buku untuk mengerjakan tugas harian yang selalu diberikan. Itu semua berlaku bagi mereka, tak terkecuali bagi seorang pemuda berkacamata yang hendak meraih sesuatu di bawah meja.

"Ah! Kau benar-benar menyusahkan, dasar sialan," makinya pada benda mati—bolpoin yang kini ada di genggamannya.

Pemuda itu, Kim Doyoung, mendengus sembari memasukkan si bolpoin di ikuti oleh beberapa lembar kertas yang sudah terlipat rapi ke dalam kotak pensil. Sepanjang hari Doyoung merasa kesal akibat salah satu barang penting miliknya menghilang entah kemana, padahal ia sangat yakin sudah meletakkannya dengan benar di loker. Lalu, kenapa sekarang buku bersampul biru kesayangannya itu menghilang? Tidak mungkin kalau seseorang mengambilnya. Lagipula untuk apa orang itu mengambil buku yang berisi coretan asal dari bolpoin atau pensil yang berbentuk abstrak? Doyoung bukanlah seorang pelukis yang andal seperti teman sekelasnya yang lain.

"Ayo, Doyoung. Siapa lagi yang kau tunggu?" tanya salah satu temannya, pemuda bermarga sama dengan pipi berisi yang menggemaskan—Kim Jaehwan.

Doyoung merengut, "Ya, tunggulah sebentar bodoh. Aku sudah mengatakannya padamu, kalau aku sedang kesal karena buku kesayanganku menghilang secara misterius," ketusnya untuk menjawab Jaehwan, tangannya terus bergerak dan memasukkan satu persatu barang-barangnya ke dalam tas.

Lantas, Jaehwan tertawa keras sampai beberapa orang menengok ke arah mereka berdua. Ia ingin sekali memukul Doyoung yang bodoh itu jika ia memiliki kekuatan lebih, mendengar ocehan si pemuda berparas bak kelinci itu saja bisa membuatnya memohon agar Doyoung berhenti. Dan Doyoung pun ingin menampar Jaehwan sebab membuatnya malu, tapi ini sudah terlalu sering terjadi dan, ya—Doyoung hanya bisa tersenyum masam.

Jaehwan tertawa semakin keras ketika teman-teman mereka mulai berhamburan keluar kelas. Pemuda Kim itu memang sangat berisik dan cerewet, tak tahu malu, dan akan tertawa terbahak-bahak walau alasan ia tertawa sangatlah tidak masuk akal bagi Doyoung. Seringkali Doyoung bertanya-tanya, kenapa ia bisa mendapatkan teman gila dan menyebalkan seperti Jaehwan?

"Kau saja yang terlalu yakin. Aku melihat—"

Pintu utama terbuka secara tiba-tiba, membuat mereka berdua yang tersisa di kelas ini terkejut bukan main. Sudah jelas, Qian Kun memang tidak pernah bisa lebih santai dari itu.

"Hei! Kenapa kalian masih ada di sini? Bukankah Ten sudah meminta kita menunggunya di halte?" tanyanya dengan nada kesal, napasnya pun terengah-engah karena berlari sepanjang koridor demi mempersingkat waktu.

Doyoung menaikkan sebelah alisnya, "Benarkah? Kau tidak—hmm," dan Doyoung memelankan suaranya di akhir, teringat kalau ponselnya tidak pernah sekadar berdenting atau berdering saat ada notifikasi baru.

Kun melipat kedua tangannya di depan dada, "Hm, ya, Kim bodoh Doyoung. Ayo, lebih baik kita segera pergi sebelum hujan turun," ajaknya buru-buru, tentu saja ia tidak ingin di guyur oleh hujan lalu berakhir demam.

Mau tak mau Doyoung menuruti permintaan temannya. Rencana pertama di akhir pekan kali ini adalah pergi ke cafe milik ayah salah satu teman mereka, Johnny Seo. Sekadar melepas penat dengan menikmati kopi di tambah pemandangan jalanan kota yang padat bisa menghilangkan sedikit beban pikiran—begitu kata Johnny.

Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berjalan beriringan menuruni tangga. Diam-diam Doyoung tersenyum tipis kala mengamati awan-awan yang mulai menutupi langit, menyisakan sedikit celah baginya untuk melihat kanvas berwarna putih bersih yang perlahan tertutupi. Angin bertiup kencang sampai mampu mengusak surai mereka dan membuatnya berantakan.

Amorist ; ᴊᴀᴇᴅᴏWhere stories live. Discover now