Epilog

339 28 6
                                    


Butuh beberapa bulan bagi Raka untuk mendapatkan pekerjaan baru. Sampai akhirnya, saingan berat mal yang sempat mempekerjakannya sebelumnya, menerimanya. Dan selama itu pula, Raka mencoba memulai hubungan serius dengan Heni. Apalagi, restu kedua belah pihak sudah ia kantungi.

Perhatian, mungkin itulah yang menjadikan Heni istimewa di hatinya. Meski sempat terseok menghadapi masalah pekerjaan dan juga percintaan, Raka selalu membisikkan kepada dirinya sendiri, setiap hari, untuk terus menatap dunia yang begitu indah dan meminimalisir menatap ke belakang. Sama halnya seperti spion mobil, sesekali saja.

Baginya, Alika adalah masa lalu untuk dikenang dan tidak lagi digauli.

Penerimaan, mungkin poin lain yang dimiliki oleh Heni. Meski ia kerap cemburu, tetapi Raka tahu Heni melakukannya karena cinta.

Untuk itu, setelah bekerja selama satu tahun di tempat baru, Raka memberanikan diri melamar Heni secara resmi di satu sore, saat ia berkunjung ke rumah Heni bersama dengan keluarga besarnya.

Bukannya tawa yang didapat, melainkan tangis yang Heni berikan kepada Raka, saat Raka melingkaran cincin di jari manisnya.

"Rasanya kayak mimpi ya, Mas," kata Heni bungah.

"Coba aku cubit."

"Aduh...."

Ulah mereka berdua langsung mendapat tawa dari orang-orang yang menyaksikannya.

Hari demi hari Heni lalui dengan perasaan waswas. Ia takut, jika terbangun pada pagi harinya, semua itu hanyalah mimpi. Namun, saat melihat layar ponsel dan Raka menghubunginya, ia akan seperti terbang ke langit ketujuh. Sampai urusan pernikahan menjadi hal yang membuat mereka kelimpungan. Stres.

"Harusnya kita nikah di KUA saja, Hen. Akad, terus walimatul 'ursy, beres. Nggak bakalan ribet kayak sekarang ini. Kalau nikah modelan begitu, sehari juga kelar. Pakai busana muslim kayak kamu kemarin juga cantik. Lha ini, butuh dua hari buat acaranya. Belum lagi aku datangnya harus dari rumah Bude Um," protes Raka.

"Jangan begitulah, Mas. Ingat kata Bunda, kalau kita ini masih punya adat, musti dipakai. Kan, nikah cuma sekali."

Raka malas mendebat dan mengikuti saran Heni yang tengah mengikuti langkahnya menuju dukun manten atas instruksi Nani.

#

Sehari setelah akad....

Perasaan Heni campur aduk begitu dukun manten mulai membuat lekukan paes, memasang sanggul dan duduk di depan pengantin perempuan yang sedang bersimpuh, sembari membacakan sembaga setelah memastikan semuanua beres dan meniupkannya di ubun-ubun sebanyak tiga.

"Wonten nopo, Mbak?" tanya dukun manten saat melihat wajah kaku Heni terpusat padanya.

"Mboten nopo-nopo, Bu. Namung ndredeg." Heni meringis.

"Sampun akad, nggih mboten sisah ndredeg malih."

"Nggih, Bu."

Heni menarik napas panjang dan dukun manten melanjutkan doanya. Setelah selesai, ia membantu Heni berdiri. "Mugi Gusti paring kawelasan."

"Amin."

Temu panggih mengetuk pintu kamar pengantin dan melongok, memeriksa sebelum memberitahukan kepada mereka yang ada di dalam kamar untuk bersiap-siap. "Sampun wancinipun temu, Mbak Yu."

Istana PasirWhere stories live. Discover now