°Pulang ke Rumah°

Start from the beginning
                                    

Sepeda menyusuri jalanan landai yang diaspal halus, pinggir kanan-kirinya ditanami bunga krisan kuning dan merah. Bunga-bunga itu melambai pelan ditiup angin laut, begitu pula anak rambut saya yang bergelepar seirama. Di antara kepulan kabut menggelitik leher, bau asin garam melalui hidung saya yang kembang kempis. Saya agak kepayahan memasok udara ke paru-paru, tetapi kaki saya tidak berhenti mengayuh. Sepeda karatan ini gesit menyibak kabut tebal, bersemangat membawa saya ke tempat tujuan.

Walau saya hendak ke pasar dekat dermaga, tentu bukan tempat itu yang saya maksud.

***

Saya pergi sedikit jauh dari dergama menuju ke pusat Kota Hum. Keranjang sepeda telah penuh dengan seikat asparagus dan buntelan ikan tuna yang bergoyang saat roda sepeda meniti jalanan paving pusat Kota Hum.

Kabul tebal yang bertengger di pusat kota mulai memudar. Cahaya matahari menampakkan diri dari balik gedung-gedung kubah berpilar tinggi, mencetak siluet samar bayangan di jalanan paving.

Melihat hal itu, saya mengayuh sepeda lebih cepat menuju ke tempat yang dimaksud. Namanya Gerbang Selamat Datang, yaitu peron kereta uap yang berdinding batu bata dan beratap genting.

Saya buru-buru memarkirkan sepeda di tempat khusus. Sembari menjinjing keranjang penuh isi sayur dan ikan, saya tergesa-gesa memasuki pintu masuk.

Peron yang tampak depannya biasa saja ini adalah tempat tersibuk kedua setelah dermaga. Memang tidak banyak ornamen dan kaca mozaim seperti gedung yang ada di jalanan Kota Hum, tetapi sebuah papan pengumuman lebar dan panjang; jam dinding berangka romawi yang menggantung kokoh; lantai segelap batu obsidian; beberapa bangku bercat karamel; orang-orang berkumpul; dan rel yang menancap mantap di antara tempat pemberhentian adalah ciri khas dari peron Kota Hum.

Terutama getaran serta suara desis kereta adalah hal yang paling ditunggu oleh saya—tidak, bukan hanya saya. Sudah banyak orang berdiri di peron sedari pagi. Yang menunduk sambil mengaitkan kedua tangan; yang bergerak ke sana kemari sembari menggigit jemari; yang memakai jam tangan tidak bisa berhenti menengok pergelangan tangannya; yang terus menyeka air mata dengan sapu tangan.

Lima menit saya terpengaruh ketegangan di peron. Saya tidak berhenti menekan saku kemeja yang menyimpan foto keluarga. Tangan saya merasakan degup jantung yang berpacu kuat saat merasakan getaran merambat di kedua kaki; kepulan asap pekat keluar dari cerobong; suara decit rem mengudara; dan kereta hitam kusam yang--pastinya--memuat para tentara berseragam hijau lumut polos.

Begitu pintu gerbong terbuka, para tentara bergegas mencari keluarganya yang menunggu. Nama-nama saling bersautan, suara tangis terdengar memenuhi peron kereta, dan pelukan erat memenuhi pandangan mata.

Saya berjalan mondar-mandir dari ujung ke ujung seraya menyebut namanya berkali-kali. Saya menjinjit dan memanjangkan leher barangkali ada yang terlewat. Hingga kereta mulai pergi meninggalkan peron, saya terus mencari. Saat suara tangisan kecewa terdengar menusuk telinga, saya masih mengelilingi peron. Kala semua orang mulai pergi, saya terus mengulang rute yang sama.

Mata saya mengelilingi setiap jengkal peron Kota Hum dalam diam. Langkah kaki saya memelan seiring saya sampai di papan pengumuman. Banyak foto dan kertas-kertas lusuh malang-melintang. Ucapan duka cita, pencarian orang, dan doa keselamatan untuk para tentara yang berjuang di garis terdepan.

Langkah kaki yang semangat ini baru berhenti saat peron tersebut hanya diisi oleh saya seorang.

Saya selalu melangkah pasti saat memasuki pintu utama peron. Mulut ini menggemakan namanya setiap kali para tentara keluar dari kereta. Sepasang mata ini awas memandang setiap jengkal pemandangan. Saya datang dipenuhi semangat, namun melihat kenyataan yang ada membuat kedua lutut hampir mencium lantai.

Kereta para tentara datang setiap enam bulan sekali di setiap pagi. Saya telah menanti selama tiga tahun dan selalu berakhir dengan keadaan yang sama. Untuk sekali lagi saya melongok ke arah di mana kereta uap selalu datang, barangkali ada kereta susulan. Tetapi keajaiban seperti itu tidak selamanya ada.

Kakak saya belum kembali sampai hari ini. Terakhir kali saya bertemu tiga tahun lalu, di peron kereta yang hancur seperempatnya. Dia mengenakan seragam, lengkap dengan topi baret yang dia selempangkan di bahu. Kedua tangan kurusnya merengkuh saya, Emma, dan Sacha. Jemari yang kapalan itu bergetar mengusap air mata kami. Meskipun sapuan jemarinya terasa kasar di pipi, kedua tangan itu telah menopang hidup kami bertiga.

Pada akhirnya saya pulang, membawa kekecewaan yang teramat besar dan kenangan perpisahan sekali lagi.

Pedal sepeda saya kayuh pelan. Di tengah perjalanan pulang, saya merasakan betapa ringannya sepeda peyot ini. Saat melongok ke belakang, jok boncengan itu masih terpasang erat, diselimuti titik-titik embun, teronggok membisu tanpa pernah diduduki semenjak saya buat khusus untuk dia.

Berapa banyak kenangan yang harus saya ingat di setiap malam?

Berapa lama saya menunggu kedatangan surat darinya?

Berapa kali saya harus menantinya di peron?

Mata saya menerawang jauh, memanggil namanya.

"Hannah ...."




















Selasa, 12 Januari 2021

Itu tadi cerita bersambung.
Sambungannya masih ada di Ms. Word.

Chapter ini masih belum siap dibuatkan ceritanya sendiri, masih ada yang harus diubah.

Rencananya kumao ambil tema keluarga :3





Ayam dan Ceker BesinyaWhere stories live. Discover now