Vol 1 Chapter 3 Bagian 2

12 1 1
                                    

"Apa ini...?! Rawa ?!"

Terjebak didalam unitnya yang sekarang tidak bergerak, Kaie menggelengkan kepalanya dan mengerang putus asa. Melalui layar, dia melihat kaki depan Juggernaut-nya yang terendam setengahnya kedalam tanah. Apa yang tampak seperti sebidang padang rumput berubah menjadi rawa-rawa, medan lembek yang bisa mengganggu keseimbangan Juggernaut adalah medan yang paling tidak bisa dilintasi.

Dia harus berjalan mundur untuk keluar. Setelah mencapai kesimpulan itu, dia mencengkeram kedua tongkat—

"Kirschblüte, pergi dari sana sekarang!"

Peringatan Shin membuat Kaie mengangkat kepalanya. Mengangkat sensor optik Kirschblüte, Kaie melihat Löwe berdiri tepat di depannya.

"...Ah."

Dia berada di dalam jarak minimum turrent tank, jadi Löwe malah mengayunkan kaki depannya. Ia melakukannya dengan kasar, melewati kekejaman seperti jarum jam yang tidak akan pernah berhenti berputar, tidak peduli berapa banyak orang yang terperangkap di antara roda giginya akan menjerit atau meronta.

"Tidak..."

Itu adalah jeritan yang lemah dan samar, seperti anak kecil yang hampir menangis.

"Aku tidak ingin mati ..."

Löwe mengerang ketika mengayunkan kakinya. Mesin Lima puluh ton datang dengan kecepatan tinggi memenggal Kirschblüte dengan sapuan kilat. Para Prosesor telah menjuluki kanopi tipe clamshell dengan guillotin, karena itu sangat buruk dan cenderung mudah patah dan terhempas-bersama dengan pilotnya- jika terkena serangan yang cukup kuat. Dan sesuai dengan nama yang mengerikan itu, kanopi Kirschblüte terlepas dari unitnya.

Objek bundar lain terbang ke arah yang berlawanan, jatuh ke tanah dan berguling, tidak pernah terlihat lagi ...

xxx

Setelah beberapa saat keheningan yang mengerikan, suara dan teriakan kesedihan dan kemarahan mengisi Resonansi.

"Kirschblüte ...?! Sialan !!!"

"Undertaker, aku akan menjemputnya. Beri aku waktu sebentar— kita tidak bisa meninggalkannya di sana!"

Jawaban Shin hanyalah keheningan, seperti danau beku di tengah malam musim dingin.

"Jangan, Snow Witch ... Mereka menggunakan tubuhnya sebagai umpan. Ini penyergapan."

Löwe yang membunuh Kaie masih mengintai di suatu tempat di dekatnya, menunggu musuh yang bermaksud mengambil kawan atau mayat yang terluka. Ini awalnya merupakan taktik penembak jitu yang ampuh. Dia bisa mendengar napas Anju yang sedih dan bunyi gedebuk saat dia memukul konsol dengan marah. Paling tidak, Snow Witch menembakkan rudal peledak 57 mm yang menyelimuti Kirschblüte dan sekitarnya dalam nyala api.

"Kirschblüte, KIA. Fafnir (Kino), pergi beri perlindungan (cover) pasukan keempat ... Tidak banyak musuh yang tersisa. Mari selesaikan ini sebelum mereka bisa mengambil keuntungan dari gugurnya Kirschblüte."

"Roger."

Sebuah tanggapan, betapapun sedih atau marahnya, datang dengan ketenangan para veteran yang telah melihat kawan-kawan mereka gugur berkali-kali. Itu karena mereka seringkali melihat titik yang bertuliskan nama rekan mereka tiba-tiba lenyap.

Mereka tahu betul bahwa mereka harus memendam kesedihan mereka sampai pertempuran usai. Kalau tidak, mereka hanya akan bergabung dengan teman mereka sebagai mayat. Pengalaman mereka memungkinkan mereka untuk melepaskan diri dari emosi mereka dan mempertahankan sikap dingin yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Itu semua adalah kesadaran manusia yang telah beradaptasi dengan kegilaan medan perang dan terdegradasi menjadi mesin pembunuh berdarah dingin.

Eighty Six 86 Eighty-SixWhere stories live. Discover now