Chapter 5

908 98 6
                                    

Sudah berhari-hari aku tak menjumpai pemuda itu. Sejak peristiwa itu, aku memutuskan menghindarinya untuk beberapa saat. Mengingat kejadian itu, aku berpikir entah betapa malunya diriku saat itu.

Sejenak aku tidak bertemunya, mungkin saja aku akan melupakannya walaupun kemungkinan bayangan sosok itu menggugah niatku untuk tidak melupakannya.

Kali ini, aku sedang berusaha menyibukan diri dengan beberapa tugas sekolahku. Biarpun bisa dikerjakan besok, tetap kukerjakan.

"Halo (Name)-chan! sedang apa nih?" Subaru menghampiri bangkuku.

Dengan tatapan datar, "Subaru-kun, tidak lihat 'kah aku sedang apa," jawabku.

"Em, sedang apa ya, ... nulis, ya?"

"Nah, itu tahu. Mau apa kesini? mau minta recehan? sekarang aku nggak ada recehan saat ini."

Raut wajah Subaru berubah menjadi muram.

"Yah, tau aja (Name)-chan. Nggak dapat koin logam hari ini."

Aku tertawa kecil sesaat, "Sudah, besok aku kasih kalau ada. Jangan muram gitu dong wajahnya."

"Asik, oke deh. Ke kantin, kuy (Name)-chan," ajak Subaru.

Aku menggelengkan kepala, "Ah, tidak. Aku harus mengerjakan tugasku yang belum kelar ini."

Subaru mengangguk—mengerti ucapanku, "Ya sudah. Ukki, ayo ke kantin! udah di tungguin sama Hokke!"

Subaru sudah tidak menampakan dirinya di kelasku. Aku melanjutkan pekerjaanku yang sedari tadi belum terselesaikan.

"Hah, dasar. Dia yang ajak, malah meninggalkanku begitu saja." Makoto yang mengeluarkan keluhannya.

"Ah, (Name)-chan. Ganbatte! oh, ya aku mau pergi dulu. Dadah!"

Aku melambaikan tangannya kearah teman kelasku. Hanya tersisa aku yang dikelas. Wajar jam istirahat, murid di kelas sudah bubar dari tempatnya.

Entah sepertinya aku diawasi seseorang, aku melihat sekilas sekeliling tempatku. Tapi, aku tidak menemukan siapa-siapa.

"Hm, bodoh amatlah."

Aku mengabaikannya. Daripada memimikirkannya aku menyelesaikan tugasku.

"Dikit lagi ... ayo (Name)," kataku yang menyemangati diriku.

Tak lama kemudian, sosok itu kini telah keluar dari persembunyiannya, dan berjaln mengarah bangku ku.

Aku terkesiap melihatnya. Aku yang tetap kukuh untuk menjauhi, sekarang orang itu hadir didepanku.

"Sudah selesai main petak umpetnya?" tanya Izumi dengan tampang mengesalkan dimataku.

"Maksudnya apa, Izumi-senpai? Aku 'tuh nggak lagi main petak umpet, loh. Aku sedang mengerjakan tugas, senpai punya mata 'kan, jadi harusnya bisa lihat aku sedang apa, 'kan?" Memutar bola mataku malas, menjelaskan ke Izumi.

"Baka! aku juga melihatnya, lah. Chou uzai~"

Aku menggebrakan meja, menahan emosi yang sejak tadi tertampung, "Izumi-senpai cuma bilang itu saja? buang-buang waktu."

Aku beranjak dari tempat duduku dan hendak pergi dari sana. Namun, suara aksen dari pria itu membuatku menggagalkan niatku.

"Ada yang harus aku jelaskan padamu, (Name)-chan." Suara serak nan tegas terdengar di indra pendengaranku.

Aku membalikan—menatap Izumi yang sama memandang satu sama lain.

"Tidak ada yang harus dijelaskan dan aku juga sudah melupakannya, jadi jangan diungkit dan diperjelas kembali."

Tanpa aba-aba, aku melangkah pergi, menjauh dari kelas dan pemuda itu. Aku tidak bisa menahan lagi, air mata yang membendung, mengalir di kedua pmatamu.

Namun, Izumi kini berusaha mengejarku dan segera menyamai langkahanku.

Nahasnya, sebuah tangan telah memegang lenganku. Lantas, kau terhenti dan menyudahi aksi kejar-mengejar.

"Sudah kubilang, tidak ada penjelasan lagi. Tinggalkan aku sendiri!" lirihku.

Izumi tidak menggubris perkataanku, ia menarik lenganku, lalu mendekapkanku dipelukannya. Sontak aku terdiam seribu bahasa.

"Aku harus bicara padamu sekarang."

"T-tidak mau."

"Kucium kalau tidak mau."

Aku menjauhkanku dari Izumi beberapa langkah. Raut wajahmu berubah merah padam, tapi dengan beberapa helaian rambutku untuk menutupinya.

"Gimana aku harus menjelaskannya." Izumi mengacak rambutnya, seperti sedang frustasi.

Aku mulai membuka suara, "Santai aja, aku akan menunggunya. Lagipula aku sudah lelah melarikan diri."

"Jadi, saat kejadiaan itu. Aku terkejut kau bilang seperti itu. Terlebih kau pasti marah kalau aku dengan Yuu-kun selama ini." Izumi alih-alih melihatmu sekilas.

"Akan tetapi, memang aku mencintai Yuu-kun, namun sebagai kakak adik," lanjutnya.

Aku mendelik, " Begitukah. Ah, maaf selama ini aku bilang kalau Izumi-senpai adalah seseorang gay yang dirumorkan di sekolah ini." Aku menunduk kepalaku dengan lesu.

Tangan izumi kini memegang kedua bahuku.

"Tidak apa-apa. Aku akan mengungkapkan suatu fakta kepadamu," ucap izumi.

"Suatu fakta?" aku memiringkan kepalamu dengan kebingungan.

"Faktanya, aku menyanyangimu juga (Name)-chan. Di hari itu juga perasaanku kini telah terbalaskan, aku juga memikirkan bagaimana aku harus menyatakannya dan pada akhirnya kau sudah mengutarakan perasaanmu."

Senyumanku mengembang, mataku berkaca-kaca terharu. Setelah sekian lama aku sudah menunggu saat-saat ini.

"Izumi-senpai baka!"

"(Name) yang lebih baka, chou uzai~"

"Izumi-senpai nyebelin—" Sebuah senyuman terukir di wajahku ini.

"—Tapi, aku menyukainya."

- ˏˋ  End  ˊˎ - 

A/N: Akhirnya selesai juga (T▽T)

Makasih sudah ninggalkan vote di book ini dan komennya, makasih loh hiks dan maaf gak bisa komen satu-satu :") tapi makasih atas komennya. Yang sider, makasih juga sudah memyempatkan waktunya untuk membaca book ini :D

Bye-bye-!

🎉 Kamu telah selesai membaca 𓍯 𝐑𝐞𝐝𝐚𝐦𝐚𝐧𝐜𝐲 | S. Izumi【✓】 🎉
𓍯 𝐑𝐞𝐝𝐚𝐦𝐚𝐧𝐜𝐲 | S. Izumi【✓】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang