Pywe 4: Pertengkaran

180 33 61
                                    

Raga menyembunyikan Pywe dengan selimut. Karena kucing itu terus meronta-ronta, ekor dan kepala kucingnya menyembul ke luar. Pywe bersikeras ingin kabur. Dia bahkan mencakar Raga bila ada kesempatan.

Raga tidak perduli pada kucing malang itu. Dia membiarkan Pywe terus mengeong di sepanjang koridor. Raga tidak suka kucing dan dia tetap pada pendiriannya. Dia ingin membuang kucing Pywe ke selokan atau di manapun, terserah, yang penting jauh dari apartemennya.

"Miaw. Miaw. Miaw. Lepaskan aku, miaw!"

"Jangan berisik! Diam atau aku akan mematahkan kakimu!" bentak Raga.

Pywe langsung menutup mulutnya. Tapi hanya beberapa detik saja, karena Pywe tetaplah Pywe. Kucing alien dari luar angkasa itu kembali membuat suara-suara bising. Dia harap suaranya akan didengar Raga.

Orang-orang yang berpapasan dengan Raga hanya bisa melihat seekor kucing meronta-ronta. Orang-orang tidak dapat mengerti bahasa kucing, kecuali Raga. Yang dapat mereka dengar hanya suara miaw khas seekor kucing. Syukurlah! Dengan begitu identitas Pywe tidak terbongkar.

"Apa lihat-lihat?! Belum pernah lihat orang membawa kucing, ya?!" Bentak Raga pada orang yang berpapasan dengannya.

Mungkin mereka iba pada kucing Pywe, sehingga mereka berniat untuk menegur Raga. Tetapi baru juga ditatap sebentar, Raga sudah menghardik duluan. Pantas saja, jika Raga tidak punya teman di apartemen. Siapa yang mau punya tetangga galak begitu?

Ada seseorang yang menatap kucing Pywe dengan iba. Orang itu sedang menggendong seekor kucing berbulu hitam putih yang tampak manis. Kucing miliknya mengeong menyapa Pywe. Sebagai penyayang binatang, orang itu menegur Raga.

"Kasihan kucing itu. Lepaskan saja dia!"

"Kenapa? Kalau kau mau ambil saja!" ujar Raga dengan nada tinggi sambari mendekati laki-laki si pecinta kucing. Langkah kakinya dibuat seolah-olah dialah sang raja, Raga pun menyodorkan kucing Pywe kepada orang itu. "Nih, ambil!"

Pywe dalam genggaman Raga semakin meronta, tetapi dia tidak bisa ke mana-mana. Tubuhnya dalam posisi dipegang pada bagian ketiak, malah membuatnya terlihat memanjang, melar seperti karet. Kalau dia dijatuhkan pasti akan terlihat seperti jeli.

"Aku tidak mau, miaw!"

"Kucing itu suka padamu. Aku tidak mau mengambilnya," tolak orang itu.

Raga semakin geram.

"Tapi aku tidak suka kucing. Kau ambil saja. Dia bisa bicara."

"Kucing itu bisa bicara?" Si lelaki asing mengamati Pywe dari dekat. Ketika Pywe mengeong, lelaki itu lantas menggelengkan kepala. "Tidak mungkin! Kau pasti sudah gila!"

"Tapi dia betul-betul bisa bicara. Hei, kucing, ayo bicara! Tunjukkan padanya kalau aku tidak gila," paksa Raga pada Pywe, tetapi Pywe justru menggeleng.

"Lepaskan Pywe, miaw!"

"Nah! Apa kau dengar? Barusan dia bicara."

"Aku hanya dengar kucing itu mengeong. Mungkin ada yang salah dengan telingamu. Ha-ah. Sudahlah, kau piara saja kucing itu sendiri. Percaya atau tidak, kucing bisa menghilangkan stress dan hawa negatif dari tubuhmu," katanya sambil mengelus-elus bulu kucing yang lembut.

Raga bersin.

"Jauhkan makhluk peliharaan menjijikkan itu dariku!" Raga mundur, menjaga jarak dari si lelaki penyayang kucing. Raga terus mengusir mereka, seperti seseorang mengusir hama.

Si penyayang kucing membuang muka.

"Ya, sudah! Bambam, ayo kita tinggalkan manusia bar-bar ini. Dia sama sekali tidak punya hati nurani." Si lelaki penyayang kucing berbicara pada hewan peliharaannya dan pergi meninggalkan Raga yang kesal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PAW! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang