30. Two sides of the same

686 102 10
                                    

Yang kalian pertanyakan apakah sudah usai, jawabannya adalah iya. Memang benar kalau gue udah usai sama Arga. Selepas salam perpisahan yang kita sebut aja dengan perpisahan hati, baik gue dengan Arga sama-sama saling mengerti.

Masing-masing dari kita mencoba menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan kata kita. Berusaha untuk tidak sedikitpun mengirimkan pesan atau yang lain, entah gue atau Arga.

Kita berdua sama-sama ingin istirahat sejenak. Udah capek, banget. Badan capek, apalagi hati. Gue rasa tahun ini emang begitu berat buat gue pun yang lain. Benar-benar tahun yang gak bakal pernah gue lupain. Tahun dimana sebelumnya gak pernah gue bayangkan akan terjadi hal seperti ini.

Tapi, apa boleh buat kalau Tuhan udah berkehendak? Gue maupun dia cuman wayang. We are puppets who fill roles with various characters in the world, God is the mastermind. Lagipula, gue sama Arga udah sama dewasanya. Udah paham kalau lagi gak baik-baik aja terlebih harus memilih jalan kayak gini.

Gue bisa. Gue mampu. Gue terlahir kuat, ini cuman masalah yang bahkan belum seberapa dengan berbagai masalah yang udah menunggu gue kedepannya.

Ketika sekarang gue udah mulai lemah bahkan ingin menyerah, apa kabar kalau selanjutnya dihadang dengan masalah yang lebih rumit dari ini?

Obviously, we can't just fall over a problem like this. Rest is okay, but still fighting is the key to life.

Tentang rasa sakit yang dipertanyakan, tentu saja jawabannya iya. Sakit, banget. Coba deh kalian bayangin, udah lama bareng sama seseorang yang kalian sayang banget. Apa-apa bareng, udah saling serius, dan akhirnya begini? Jujur, ini bukan ending yang gue bayangkan, bukan pula yang gue inginkan.

Rencana, gambaran, bahkan tatanan kehidupan gue bersamanya yang selama ini udah disusun sedemikian rupa berakhir kayak gini.

Lucu? Iya. Tentu.

Semudah ini ternyata hubungan bisa hancur, bahkan gak bisa buat balik lagi. Kayak mustahil aja gitu kalau gue sama dia bakal balik seperti dulu. This is already a time and that is 100% very different.

Tapi kembali lagi. Kalau semesta aja gak memberi restu ke gue sama dia, bukankah kata menerima adalah jalan yang terbaik? Forcing isn't a good thing, right?

"Na, dimakan dong ayamnya."

Lamunan gue yang isinya berputar ribuan kata menyiksa seketika bubar jalan saat tangan hangat Erga menyentuh pergelangan tangan gue. Seketika gue sadar, kalau gue kembali dihadapkan dengan realita bahwasannya gue sekarang bukan apa dan siapanya Arga. Begitu pula sebaliknya. Gue maupun dia udah jadi apa dan siapanya orang lain.

Kira-kira begitu singkatnya.

Anggukan pelan adalah jawaban gue. Erga yang tetap saja paham mengenai kondisi gue saat ini hanya bisa tersenyum lembut. Terhitung sudah dua minggu semenjak malam itu, dimana gue sama Arga saling memeluk. Hugging in the same feeling one last time. Next is nothing. Dan, parahnya sampai sekarang gue masih jauh dari kata baik-baik saja.

Semakin lucu ketika sebelum gue sama Arga ketemu lagi, gue merasa bahwa diri ini perlahan membaik. Tapi ternyata, ketika gue bahkan berniat baik untuk benar-benar melepas Arga dan saling berhadapan langsung dengan dia, rasa sakit kembali menyerang.

Merasa aneh karena sebenarnya niat gue baik ingin menyelesaikan semua. Tapi, rasa sakit jadi imbalan apa yang gue lakuin.

Erga melanjutkan aktivitas yang tertunda. Kita semua lagi kumpul aja, kumpul di rumah gue tepatnya. Sebenarnya tiap hari ya kumpul. Karena semenjak kejadian itu, Erga sering tinggal di rumah gue karena keadaan lagi kayak gini. Mama juga nyuruh buat tidur di sini aja. Tentu beda kamar sama gue, tenang.

The Invisible Where stories live. Discover now