13. Painful kiss

1.1K 196 29
                                    

Tidur gue keganggu gara-gara ada yang bangunin. Habis nangis tuh capek. Pengen tidur mulu bawaannya. Tapi, belum ada dua jam udah dibangunin. Alhasil, gue pura-pura gak ngerespon. Tapi, yang namanya dia mah gak bakal percaya kalau gue masih tidur setelah pipi gue ditepuk-tepuk walaupun ritmenya pelan.

"Bangun, Na." ulangnya yang entah untuk keberapa kali.

Ya, masih dia. Emang direncanain banget, ini kak Jef sama kak Rosa gak balik-balik. Padahal udah lama. Ini udah jam lima sore, dan yang nungguin gue tetap Erga. Mereka berdua entah kemana, yang satu izin beli es krim tapi kayaknya beli di Dubai. Yang satu lagi cuma asal keluar gak ngasih tau mau kemana.

Akhirnya mau gak mau, kepaksa emang kepaksa gue buka mata walaupun rasanya masih lengket banget. Masih pengen merem sepuasnya. Toh, gue juga ngerasain hal yang beda setelah kejadian tadi. Yang biasanya gue seneng pas buka mata karena ada Arga yang nungguin, tapi sekarang inj di sisi gue bukan Arga. Melainkan laki-laki lain.

Dan yang lebih parahnya lagi, gue gak tahu sekarang Arga lagi dimana. Gue cuma dikasih tahu sama Kak Rosa kalau dia pulang mau ambil baju ganti buat nungguin gue. Tapi, nyatanya? Sampai sekarang dia gak nunjukin batang hidung. Dan, itu makin membuat pikiran gue bercabang-cabang. I kind of believe he's playing behind my back.

"Bangun, dokter Chen mau check kamu. Jadwal periksa."

Respon gue cuma mengangguk lalu menarik selimut. Gue pejamin mata lagi dalam posisi terlentang. Gue juga gak tahu sedari tadi Erga ikut tidur atau nggak. Yang gue ingat cuman dia yang tadi setia ngusap-ngusap kening gue supaya gue cepetan tidur.

"Udah ke sini susternya. Kamu bangun dulu, gih."

"..."

"Hanna."

"..."

"Bangun."

"..."

"Bangun."

"Sore, kak Hanna." sapa perawat yang diomongin Erga. Gue denger, kok. Cuman emang masih malas aja mau bangun. Lebih tepatnya berharap kalau yang gue lalui beberapa jam tadi cuman mimpi belaka.

"Na, bangun. Ada dokter."

Gue berdecak sebal. Ini kenapa semua orang tiba-tiba jadi bikin gue kesel? Kesannya kayak ngetawain gue yang lagi terpuruk gini. "Ck, iya-iya bangun."

Serangkain pemeriksaan dilakukan. Dokter Chen melakukan tugasnya ngecek dengan teliti. "Kondisi kamu udah baik. Tapi, karena obatnya masih perlu dihabisin lewat infus, jadi lusa bisanya pulang."

Gue mengangguk pelan. "Ya, terserah."

Gue mengalihkan pandangan gue buat melihat Erga. Dia lagi ngobrol sama susternya. Kelihatan serius banget. Abis itu dokter Chen juga ikutan ngobrol sama mereka berdua, mana pelan lagi. Ini kenapa, Ya Tuhan? Apa semuanya mau main rahasia-rahasia ke gue? Gak cukup apa gue dibohongin selama ini sama orang yang gue sayang?

Setelah obrolan mereka selesai, suster itu mendekat ke arah gue. Dia mengambil suntikan yang dia bawa. Dan gue cuman acuh aja, berpikir kalau itu obatnya. Kemudian suster itu menyuntikkan obat itu ke selang infus. Dan seketika itu juga gue merasa pusing banget, semua berputar. Gue megangin kepala gue.

"Akh..." desah gue pelan. Suster itu mempercepat laju cairan. Entah kenapa, gue merasa lebih enakan. Tapi, gila rasanya panas banget di tangan walaupun gak disuntikin langsung ke tangan gue. Perlahan gue merasa ngantuk menyerang. Bener-bener kantuk yang amat sangat. Mata gue gak kuat buat menahan mata tetap terbuka barang semenit pun.

"Ngantuk." keluh gue sembari memegang tangan Erga yang sudah kembali di sisi kiri gue.

Dia mengusap kening gue lagi. "Tidur aja."

The Invisible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang