Hujan Kenangan

88 7 2
                                    

"Aroma, rasa, irama, lagu, suasana, maupun sebuah tempat bisa menguapkan kenangan."

.

.

.


Hujan deras disertai angin kencang mengguyur Jakarta malem ini. Tepatnya di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Dalam siaran berita ditelevisi memberitahukan banyak pohon tumbang serta atap rumah yang tak luput dari amukan angin. Tentu aja ini membuat Tuan Adrian Sugana sangat cemas memikirkan salah satu anaknya masih belum menampakkan batang hidungnya. Beliau terus mondar-mandir sembari menunggu jawaban dari sambungan telepon nya yang mungkin udah ratusan kali dia redial.

"Tenang dulu pah, mungkin Gibran masih ada pasien." Ujar sang Istri yang jadi ikut panik karena suaminya gak berhenti seliweran didepannya.

"Kok mama bisa tenang sih anak belum pulang disaat cuaca kaya' gini? Gibran tuh lagi diluar loh mah, ditelp juga gak diangkat-angkat. Mana mungkin papa bisa tenang." Jawabnya sambil terus menempelkan benda persegi panjang dikupingnya, berharap ada kata HALLO dari seseorang diseberang sana.

"Papaaaakuuuu sayaannggg ... Gibran itu udah gede, dia juga pasti bisa jaga diri." Jawab sosok lelaki tinggi putih yang baru aja keluar dari dapur sembari membawa coklat hangat untuknya dan kedua orang tuanya.

"KAK GIBRAN Gian ... Kamu tuh kenapa sih masih aja gak sopan sama kakak kamu. Meskipun usia kalian beda satu tahun, dia tetap kakakmu." Kata sang ayah.

"Iya iya .. KAK GIBRAN ...Nih minum dulu coklatnya mumpung masih anget pah." Jawab Gian sembari nyodorin secangkir coklat hangat untuk papanya. "Nih buat mamaku sayang." Ujarnya lagi untuk wanita No. 1 dihidupnya, tak lupa juga dia berikan senyuman terindahnya.

"Makasih sayang ..." Balas sang mama yang senyumannya gak mau kalah sama Gian.

"Pah, stop mondar mandirnya, nanti juga Kak Gibran pasti telpon balik kalau udah gak sibuk." Gian menjeda. "Papa sadar gak sih pah, papa tuh terlalu posesif sama Gibran ... Maksud Gian Kak Gibran hehe ..." Lanjutnya kemudian menyesap coklat hangatnya.

"Engga ah, ini karena hujan gede aja Gian."

"Ya ya ya ..." Jawab Gian yang kemudian langsung merogoh kantongnya dan mengambil ponselnya.

"Kamu mau telpon kakakmu?" Tanya Tuan Adrian.

"Eggak lah ... Gian mau ngegame ..." Jawabnya santai kemudian membuka aplikasi game nya.

"Dasar kamu tuh, gak ada pedulinya sama kakak kamu."

"Iya deh iya, Gian mah gak pernah peduli sama keluarga, iya ..."

"Giaaaannn ...Kaya' gak tau papa kamu aja." Sela sang mama mencoba menenangkan anak bungsunya tersebut.

"Papa juga gak boleh gitu iihh ... Lagian papa nya juga sih panikan. Bisa aja kan Gibran masih ada pasien." Lanjut Nyonya Rosa yang akhirnya membuat suami tercintanya berhenti mondar-mandir dan duduk tepat disampingnya.

"Anyway, gimana sidang kamu tadi sore Gian ? Masih panjang gak prosesnya ?" Tanya papanya.

"Tenang pa, gak lama lagi kok, Gian pasti bisa menangin kasus itu." Jawabnya tanpa menatap wajah papanya karena sibuk dengan game nya.

"Lihat tuh mah kelakuan anak kesayanganmu, gak sopan ngomong sama orang tua."

Tuan Adrian udah mulai kesel, sayangnya istri dan anak bungsunya malah menertawakannya. Mambuat wajahnya makin mendengus kesal.


***


Sementara diruangan yang bernuansa coklat, terdapat dua lelaki yang tampaknya sedang serius dalam obrolannya. Keduanya sedang duduk berhadapan, sepasang mata bulat terus menatap lawan bicaranya dengan seksama tanpa berkedip sekalipun.

"Ok Tony ... Kita coba lagi minggu depan. Hari Rabu jam 4 sore, tolong jangan sampai telat ya." Ujarnya setelah hampir dua jam mendengarkan keluhan pasien dan melakukan sesi tanya jawab yang diperlukan.

"Baik dok. Terima kasih. Saya permisi." Pamit Tony yang usianya jauh lebih muda darinya.

"Sama-sama." Jawabnya kemudian berdiri mengantar Tony keluar dari ruangan.

"Tony ..." Panggilnya lagi begitu pasien keluar 3 langkah dari ruangannya. "Semangat !! Kamu pasti bisa." Ujar Gibran mencoba memberikan semangat pada pasiennya. Tony hanya memberikan senyumannya dan menggangguk pelan. Kemudian Gibran menutup pintu dan kembali duduk diruang kerjanya. Dia menekan tombol 0 pada pesawat telepon yang menghubungkan dengan sekretarisnya.

"Cecil ... Masih ada pasien ?" Tanyanya.

"Tidak dok, Pak Tony pasien terakhir."

"Ok, kamu boleh pulang." Jawabnya kemudian hendak menutup teleponnya tapi tiba-tiba meletakkannya lagi dikupingnya. "Hati-hati, kaya'nya hujannya deres banget." Lanjutnya dan langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari sekretarisnya, kemudian merebahkan dirinya pada kursi nyamannya dan mencoba memejamkan mata. Namun itu gak berlangsung lama. Suara air hujan yang terus mengguyur mengalihkan atensinya. Dia bediri dan mendekat pada jendela, membuka tirai yang menghalangi pandangannya, kemudian bersedekap dada dengan senyuman miris. Hujan mengingatkan nya kembali akan kejadian dimana dia harus mendegar kata pisah dari sang kekasih dua tahun silam. Tiba-tiba saja bayangan itu muncul dalam benaknya. Terlebih setelah mendengar keluhan dari Tony yang bisa dibilang kisahnya sama persis dengannya bersama Flora, mantan kekasihnya.

"Semua wanita sama aja. Terus beralasan pergi hanya karena ingin mencari seseorang yang tepat untuk dicintai. Tapi mereka seringkali lupa kalau pada akhirnya kehilangan akan mengajarkannya siapa yang sebenernya mereka cari. Mereka membuatku muak." Bathinnya dengan smirk khas Gibran Saguna. Pandangan matanya tak beranjak dari rintikan air hujan yang sepertinya udah sedikit mereda. Getaran disaku celananya membuatnya terpaksa harus mengakhiri lamunannya.

"Assalamu'alaikum Pah ..." Sapanya.

"Wa'alaikumsalam nak, kok baru diangkat ?" Tanya Tuan Adrian.

"Maaf pah, tadi masih ada pasien. Gak etis aja rasanya kalau Gibran harus angkat teleponnya." Jawabnya mencoba menjelaskan situasi dimana dia mengabaikan telepon dari papanya.

"Iya sayang gpp, yang penting kamu baik-baik aja. Kapan pulang ?"

"Sebentar lagi pah, hujan juga udah mulai reda sih."

"Ya udah, hati-hati nyetirnya, udah malem."

"Paaaahh, baru jam 9 loh ini." Jawab Gibran terkekeh karena papanya yang terus berlebihan kalau dia telat pulang.

"Iya kan jam 9 juga malem Gibran. Udah cepet pulang keburu hujannya deres lagi." Titah sang papa.

"Iya pah, Gibran siap-siap dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati dijalan nak." Kalimat terakhir dari papanya.

Gibran kembali duduk di kursi nyamannya untuk beberapa menit sebelum dia bersiap pulang. Memijat pelan keningnya, dan diliatnya nya google map, berharap jalanan gak begitu macet. Sayangnya itu hanya angan belaka, mana mungkin Jakarta bisa bebas dari macet, apalagi disaat hujan seperti ini, emangnya ini lagi lebaran ? Jakarta kan bebas dari kemacetan cuma kalau lagi lebaran doank. Tapi meskipun begitu Gibran tetep cinta Jakarta, kota kelahirannya 31 tahun silam, tepatnya hari Minggu, pukul 01.01 pagi, dimana hanya butuh waktu dua jam bersalin terhitung dari pembukaan dua. Menurut mama nya, melahirkan Gibran jauh lebih gampang dan cepet dibanding dengan Gian yang membutuhkan waktu berjam-jam, itulah kenapa mama nya memutuskan untuk KB dan cukup punya 2 anak laki-laki yaitu Gibran dan Gian. Meskipun nyonya Rosa mendambakan bayi perempuan yang lucu untuk menemaninya, karena dia hanya wanita sendiri dalam keluarganya.


TBC !!!


Semoga suka ya temen-temen !!

Happy Reading !!! Jangan lupa Vote dan Comment nya. Thanks.

WITHOUT LOVEWhere stories live. Discover now