BAB V : KANWA

1.9K 121 8
                                    

Markas Dakara, Pejaten Timur, 11.41 WIB

Syailendra mendapatkan memo di arloji komunikatornya yang isinya mengatakan bahwa Presiden RI serta Panglima TNI hendak bertemu dengannya di Istana Merdeka. Syailendra menghela nafas panjang, lalu berjalan keluar dari kantornya menuju lift dan memencet tombol PB – Parking Basement, di mana kendaraan para petinggi BIN biasa terparkir.

Setelah melintasi beberapa kendaraan yang tengah parkir, Syailendra mendapati dua orang ajudan telah bersiap di depan kendaraan dinasnya dan segera menyambutnya saat mereka melihat dirinya. Seorang ajudan berjalan membukakan pintu bagi Syailendra, dan Syailendra pun segera naik ke kendaraan bertipe station-wagon itu. Sementara ajudan yang lain segera menempatkan diri di balik kursi kemudi dan bertanya, "Ke mana Pak?"

"Istana Merdeka," jawab Syailendra.

Ajudan kedua langsung mengambil tempat duduk di samping ajudan pertama yang mengemudi lalu tangannya menyerahkan sebuah pad kepada Syailendra, "Ini semua data yang bisa kami temukan soal Satyawati Corp. Pak."

"Cuma segini?" Syailendra mendecakkan lidahnya, tak puas dengan hasil kerja ajudannya .

"Sayangnya kami cuma bisa mendapatkan segitu, Pak. Lembaga Sandi Negara sudah berusaha menembus pertahanan sistem mereka, tapi sistem SEDNA yang mereka kembangkan masih terlalu kuat untuk ditembus oleh sistem Lembaga Sandi Negara."

"Dasar!" Syailendra dengan sebal meremas layar holografik yang keluar dari pad tersebut dan menyimpan pad berukuran setelapak tangan itu di balik saku jasnya.

Ajudan Pertama mulai memberi usul, "Mungkin kita bisa memakai sistem FAM yang dikembangkan oleh Kanwa Group Pak? Sistem mereka nyaris serupa dengan SEDNA milik Satyawati Corp, kalau Kanwa Group mau membagi rahasia dengan kita, kita bisa ... ."

Syailendra langsung memotong perkataan ajudan yang tengah mengemudi itu, "Kanwa Group masih tidak mau berurusan dengan kita. Tidak, setelah apa yang Rakeyan Hariwangsa lakukan pada mereka beberapa tahun yang lalu."

*****

Istana Merdeka, 12.00 WIB

Saat tiba di Istana Merdeka, Syailendra melihat bahwa kendaraan dinas atasannya, Sang Kepala BIN Jafar Hamadi, juga telah parkir di halaman parkir Istana. Kehadiran Brigjen Jafar di istana bersama-sama dengan Panglima TNI dan dirinya berarti satu pertanda jelas. Presiden tengah merasa terancam, tapi jelas bukan terancam oleh gerombolan mahasiswa yang tengah berdemo di depan gerbang istana itu.

"Kembalikan anggaran dana BPJS ke porsinya yang semula! Jangan korting dana BPJS! Selesaikan kasus-kasus HAM! Jangan buat air mata rakyat semakin menggenang! Turunkan harga barang! Bagimana kita bisa mencintai rupiah jika rupiah semakin tak berharga, jika gaji masyarakat sehari-harinya hanya habis untuk biaya makan tanpa bisa menabung? Kami juga menuntut Presiden segera menyelesaikan masalah kita dengan Laskar Pralaya! Sepuluh tahun sudah TNI bertempur dengan gerakan separatis ini, tapi mana hasilnya? Mereka makin merajalela, rakyat terkoyak, terinjak, tertindas di antara dua kekuatan antara TNI dan Laskar Pralaya! Wahai Bapak Presiden! Itulah tuntutan kami kepada anda Pak Presiden! Anda dengar? Pasti anda dengar! Tapi anda pura-pura tak dengar! Anda bersembunyi di balik tembok istana megah ini, meringkuk ketakutan, dan terus berdoa supaya para prajurit yang mengamankan anda ini mampu menghadang kami kan? Dengar! Anda bisa menghadang kami dengan seribu atau tiga ribu tentara, tapi kata-kata kami akan terus bergaung sepanjang anda masih tidak mau dengar. Keluar anda, Presiden Pengecut! Keluar!" koordinator aksi demo itu berteriak-teriak ke arah Istana Negara menggunakan toa yang terhubung ke sepuluh buah pelantang suara yang melayang setinggi tiga meter dari permukaan tanah.

Syailendra hanya geleng-geleng kepala melihat aksi itu, "Jika Presiden ini seburuk itu, kenapa juga kalian dulu memilihnya?"

Presiden yang berkuasa saat ini memang punya banyak rekam jejak buruk dalam periode pertama pemerintahannya. Tapi dengan strategi kampanye yang menarik serta mengundang simpati, atau bahasa kerennya : pencitraan menjelang kampanye, presiden satu ini berhasil melenggang menuju masa jabatan periode kedua. Ia bahkan menang telak dengan meraup 89 % suara nasional. Strategi kampanyenya antara lain menjanjikan untuk menambah persentase dana APBN untuk BPJS sebesar 5% sehingga biaya perawatan kesehatan yang lumayan mahal seperti perawatan kanker otak atau sindrom-sindrom penyakit langka benar-benar digratiskan setelah sebelumnya pasien tetap disuruh menanggung 50% dana perawatan dan pengobatan. Dalam hal ekonomi, ia menggandeng seorang ekonom sekaligus pengusaha kawakan, Murdiono Tarunamiharja, pendiri sekaligus mantan CEO Hastinaputra Corporation – sebuah perusahaan retail raksasa yang bergerak di bidang supermarket, toko online, konstruksi, dan ekspor-impor – yang saat ini telah ia jual kepada Satyawati Corporation, sebagai wakil presidennya. Sang Wakil Presiden sendiri adalah sosok yang menarik bagi banyak orang. Ia lihai berpidato, relatif 'bersih' di mata pers dan lembaga hukum, masih berusia 40 tahunan, tampak awet muda, dan juga mampu bersikap simpatik saat diperlukan.

Sang Awatara III : TriwikramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang