BAB XIX : WETALA

1K 98 2
                                    


Jakarta Timur, 16.00 WIB

Suasana kota Jakarta Timur pada pukul empat sore tampak ramai. Jalanan tampak dipadati orang-orang yang hendak atau baru saja pulang bekerja, para siswa-siswi yang baru saja pulang dari bimbingan belajar dan para penjaja makanan baik yang menggunakan media mobil, food truck ataupun angkringan tradisional. Suasananya tampak normal sebagaimana sampai di sebuah taman di daerah Jakarta Timur seorang ibu yang tengah mendorong sebuah kereta bayi tiba-tiba dihinggapi sebentuk asap hitam. Kepala sang ibu berambut panjang sepinggang itu segera terhentak ke belakang, tubuhnya kejang, namun itu hanya sesaat. Segera sesudah itu ia tampak kembali berjalan normal mendorong kereta bayinya dan tak lama ia sampai di bagian tengah taman di mana seorang polisi tampak berdiri di tengah air mancur dan seorang reporter televisi beserta kameramennya tampak sedang meliput suasana taman sore itu.

Si ibu muda itu mendekat ke arah reporter dan langsung saja reporter pria dengan rambut beroles gel rambut itu mendekat dan menanyai ibu tersebut, "Permisi! Mohon maaf Ibu, bagaimana pendapat Ibu tentang kondisi taman kota ini sekarang? Apakah sudah cukup nyaman bagi Ibu?"

Sang ibu muda malah menyeringai sambil memberi jawaban di luar dugaan sang reporter, "Nyaman? Tempat paling nyaman di Indonesia adalah pekuburan. Di sana saya dan Anda tak usah pusing memikirkan soal pekerjaan, soal tagihan, soal belanja, soal belanja kebutuhan hidup, dan juga ...," Sang Ibu itu melirik ke arah bayi di keretanya yang masih terlelap, lalu tanpa disangka ia merenggut bayi itu dengan kasar, membuat si bayi terbangun dan langsung menangis kencang. Detik berikutnya, sungguh mencengangkan. Ibu itu membanting si bayi ke paving taman hingga wajahnya membentur paving lalu menendang si bayi hingga terlontar ke sebuah pohon. Tangis si bayi langsung terhenti.

"Astaga! Pembunuh! Pembunuh bayi!" seru sang reporter.

Polisi yang berjaga di taman itu langsung sigap hendak meringkus si ibu namun si ibu itu lebih dulu menerjang sang polisi, menyapukan kakinya hingga polisi itu roboh lalu segera mencekik kuat-kuat si polisi bertubuh gempal itu. Polisi itu menggelepar-gelepar berusaha melepaskan diri dengan meninju wajah si ibu, namun wanita itu seperti punya tenaga berkali-kali lipat manusia normal. Akhirnya polisi itu dengan susah payah meraih pistolnya dan meledakkan kepala si ibu sinting itu dengan dua tarikan pelatuk.

Semua itu terekam dalam siaran langsung sebuah acara televisi. Dalam satu jam berikutnya, peristiwa itu menjadi viral baik di media televisi maupun media sosial. Dalam dua jam kemudian rentetan serangan 'orang gila' tiba-tiba terjadi di berbagai wilayah. Di Medan, seorang pemuda yang mengaku simpatisan Laskar Pralaya tiba-tiba meledakkan dirinya dengan sejumlah bahan peledak di jalanan. Di Surabaya, yang saat ini minim aparat keamanan, tiba-tiba terjadi gerakan bunuh diri massal sebagai 'bentuk dukungan' bagi Laskar Pralaya untuk segera 'membebaskan Indonesia' di mana sekitar 100 orang menuliskan tulisan 'BEBASKAN INDONESIA, WAHAI LASKAR PRALAYA!' dengan melukai ibu jari mereka masing-masing lalu di akhir aksi menembak kepala mereka sendiri.

Seorang wanita yang berprofesi sebagai pegawai kantor advokat di Malang, secara tiba-tiba membunuhi rekan sekantornya dan berusaha menyerang masyarakat sekitar yang berusaha menyelamatkan rekan-rekannya yang lari keluar kantor dengan penuh ketakutan. Dua tembakan peluru dari seorang polantas bersenjata berhasil merobohkan wanita itu. Namun sesaat sebelum kematiannya wanita itu berseru, "HIDUP LASKAR PRALAYA!"

Satu jam setelah fenomena 'histeria massal' yang mendukung Laskar Pralaya, seluruh petinggi BIN segera berkumpul di markas mereka di Pejaten Timur. Brigjen Jafar, Sang Kepala BIN langsung mmenurunkan perintah kepada seluruh agen lapangan untuk segera memantau dan melaporkan segala gerak-gerik mencurigakan dari tiap wilayah mereka. Sementara itu dari Syailendra yang ia temui pasca rapat bersama petinggi BIN lainnya, ia mendapat kabar yang lebih mengkhawatirkan, "Mereka melepas sesuatu dari alam lain di Mandor dan Pontianak. Yang di Pontianak sudah beres, tapi yang lepas dari Mandor belum."

Sang Awatara III : TriwikramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang