Chapter 1 - Tunas

404 11 11
                                    

Seorang lelaki tinggi kurus dengan wajah keras dan kumis tebal di wajahnya menjejakkan kakinya di pelabuhan Duman yang terletak di pulau di seberang pelabuhan Besteban.

Tatkala benua Asgares sedang dilanda perang, desa nelayan ini tetap tidak tersentuh kekotoran dunia ramai dan kehidupan di sini berjalan apa adanya. Bahkan hampir tak ada orang yang tahu bahwa ada desa bernama Duman di sini.

Bila dari pelabuhan, berjalanlah lurus hingga menemukan sebuah lapangan, di sana adalah bagian tengah desa. Biasanya di lapangan tersebut setiap saat akan digunakan para pemuda untuk berolahraga, dan bocah-bocah kecil berlarian di tepiannya. Pada malam hari beberapa anak muda membuat api unggun untuk berkumpul dan bergurau di sana sambil menunggu turnamen gulat yang akan diadakan seminggu sekali.

Ini adalah kunjungan pertama Damascus ke Duman. Dari lapangan tersebut, ia berbelok ke arah kiri dan sampai pada sebuah rumah yang didirikan diatas panggung yang menjorok ke laut. Damascus mengetuk rumah bambu yang nyaris tak berdinding itu.

Ia tak perlu mengucapkan salam untuk membuat seisi rumah menyadari kedatangannya.

"Oh, rupanya Pak Kapten yang datang!" sapa seorang wanita dengan ramah.

"Lama tidak berjumpa, Sersan," kata Damascus.

Wanita itu tersipu, "hari itu sudah lama berlalu, Kapten. Tapi ... selamat datang. Aku tak percaya anda sungguh-sungguh datang untuk menengok kami."

Mereka berdua berpelukan seperti saudara yang sudah lama tidak bertemu.

"Bagaimana kabar Gideon?" tanya Damascus.

"Ia sedang memancing bersama kakaknya di laut. Seorang pelaut selalu melaut," jawab Laya.

"Aku senang dia kembali melaut lagi," kata Damascus.

Laya mempersilahkan tamunya untuk duduk dan menyuruh seorang anak perempuan untuk menghidangkan makanan dan minuman ringan.

Damascus menikmati siang ini, rambutnya yang bergelombang berwarna keabuan itu berkibar tertiup angin pantai yang cukup kencang dan hangat. "Duman memang santai... tak heran Gideon memilih kembali kemari."

"Tapi harus kuakui, aku rindu Ortarica."

"Dracke titip salam untukmu."

"Aku harap dia baik-baik saja setelah kematian putranya."

"Apa yang tampak darinya memang baik-baik saja, tapi seperti biasa, kita tidak pernah tahu apa yang dia sembunyikan. Bila aku sendiri, kehilangan seorang anak seperti itu, tidak akan cukup satu atau dua tahun untuk melupakannya."

"Dracke sangat fokus, itu sebabnya anda sangat percaya padanya, bukan, Kapten?"

"Begitulah. Kuharap anakmu sehat," Damascus melirik bagian perut Laya yang sudah jelas terlihat mengembung.

Laya tersenyum sambil mengusap perutnya, "menurut bidan, ia akan lahir pada awal bulan april nanti..."

Damascus tersadar bahwa kawan lamanya itu tengah mengandung. "Gideon junior? Atau Laya kecil?"

Laya tertawa kecil, "menurut bidan, ia lelaki."

Damascus tersenyum kalem, "aku senang kau punya hidup yang sangat wajar disini ..."

Laya terlalu mengenal mantan kaptennya untuk menyadari ada sesuatu yang sedang mengusik lelaki itu, "apakah ada masalah besar di ibukota?"

"Kita harus merayakan kehadiran masalah, tanpa hal itu, hidup ini tidak menarik," kata Damascus.

Seorang gadis belia datang membawa sebuah mangkuk dari keranjang anyaman jerami berisi kacang-kacangan. Kemudian ada dua cangkir kosong yang diletakkannya di sisi Laya dan Jon Damascus. Kedua cangkir itu lalu diisi dengan air teh yang warnanya merah menyala.

War of Asgares LandWhere stories live. Discover now