37. Jangan Cari Gue

6K 1.1K 239
                                    

Dua bulan kemudian...

"Mi, mockup-nya udah belum? Ditunggu Mbak Nuni, tuh." Nanang yang baru datang ke ruangan, duduk di depan gue. Ia membuka tasnya, mengeluarkan laptop setengah terburu-buru. 

"Dia udah datang?" Mata gue bergerak mengikuti arah kursor di layar laptop gue. 

"Udah, baru aja." 

"Oke. Wait, finishing bentar biar perfect," gumam gue dengan tangan lincah bermain di mouse dan keyboard sekaligus.

Lima menit kemudian, rancangan tampilan website selesai gue garap. Gue tersenyum puas, bersiap menghadap ke pembimbing gue di kantor. Namanya Mbak Nuni. Wanita berumur 30-an yang telah berlalu-lalang di dunia User Experience. Selain baik, ilmunya banyak banget, dan nggak pelit untuk membaginya ke orang macam gue dan Nanang. 

"Lo mau ngadep sekarang?" Nanang melongok. 

Gue berdiri. "Iya, kenapa?" 

Dia menjawabnya dengan lengkungan senyum yang... Aduh... dibilang manis juga nggak sudi gue mengucapkannya. 

"Senyum lo creepy, Nang. Asli," timpal gue geleng-geleng kepala. 

"Nih, gue punya sesuatu buat lo." 

"Jangan bilang cokelat lagi?" tebak gue kesal. 

"Yah, kok lu tahu?" Gerakan tangan Nanang yang merogoh bagian dalam tasnya terhenti.

"Lu kesambet apa sih ngasih gue cokelat mulu?"

"Abis lo kurus banget, kek mayat hidup. Nih." Satu batang cokelat yang sering dijumpai di minimarket, diletakkannya di atas meja. 

Kira-kira, ini udah cokelat ketiga pemberian Nanang sejak--kurang-lebih--seminggu yang lalu. 

"Oh my God, cokelat ini nggak ada maksud apa-apa, kan? Nggak lo jampi-jampi, kan? Gue menolak keras kalau sampai lo suka sama gue, loh," cerocos gue penuh penekanan. 

Nanang pura-pura muntah, "Cokelat ini dan cokelat-cokelat sebelumnya adalah hasil dari jerih payah gue merayu adik gue yang kecil. Hehehe. Jadi, bukan gue yang beli." 

"Sialan, pantes aja." 

"Buat lo, yang sekarang terlihat lebih baik. Army yang kembali jadi Army, sahabat gue yang omongannya asal jeplak, tidak punya otak, tingkahnya bikin orang pengin geplak." 

Tawa gue keluar nggak tahan. Gue paham maksud omongannya yang... nggak salah, sih. Gue pun menerima cokelat pemberiannya. 

"Thanks, gue ngadep Mbak Nuni dulu."  

Nanang mengangguk. Gue pun keluar ruangan dengan langkah yakin. 

Ya, seperti yang kalian perkirakan. Nggak ada salahnya menangis sekencang-kencangnya, asal besok jangan ada lagi air mata untuk alasan yang sama. Itu lah yang terjadi di hidup gue setelah malam berkendara penuh kesedihan itu. 

Apakah esok harinya gue langsung sembuh? 

Enggak. 

Air mata gue tetap turun, sering. Hanya saja, kali ini berbeda. Gue bisa merasakan kapan ia akan mengalir. Gue juga nggak berusaha untuk menghapusnya. Gue pilih membiarkannya membasahi pipi gue. Dan, dia justru keluar di saat-saat tertentu. Seperti setelah salat, atau di tengah malam, atau ketika gue sendirian dan mengingat semua tentang Bima. Baiknya, sekarang semakin jarang. 

Kepada hati yang berisi bongkahan sesal dan sakit pun, gue nggak berusaha keras menyembuhkannya. Gue memilih untuk memeluknya, dan berkata pada rasa itu : Aku tidak menyesali keberadaanmu. Kau boleh berada di sana, karena kau juga bagian dari hidupku. Bagian dari keping yang menyusun diriku. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now