29. Rin, Si Cinta Pertama

5.4K 856 265
                                    

Seorang anak lelaki berpakaian putih biru berjalan dengan kepala yang menunduk. Yang ia lihat hanyalah derap sepatunya bergesekan dengan aspal hitam. Semenjak ayahnya meninggal, dia tidak pernah lagi menegakkan tubuhnya atau mengangkat dagu, apalagi berjalan lurus layaknya orang lain. Sekali lihat saja, semua orang tahu lelaki itu digelayuti mendung yang bersarang di pundaknya. 

"Kamu adiknya Yura?" Tiba-tiba sepasang kaki bersepatu hitam berhenti di ujung kakinya. 

Lelaki itu mengangkat kepalanya ragu-ragu, lalu mengangguk pelan. 

Perempuan berseragam putih abu-abu di hadapannya itu mengulurkan tangan disertai senyum menawan. Rambutnya yang hitam dikuncir kuda, menyisakan poni yang menutupi keningnya secara sempurna. 

"Aku Erina. Temannya Yura." katanya.

Bima memperhatikan raut wajah yang seperti diliputi cahaya itu, sangat bertolak belakang dengan dirinya yang abu-abu. 

Awalnya, Bima enggan meladeni perempuan ini. Namun, karena harus bersikap sopan kepada yang lebih tua, ia menyambut uluran tangan Erina. 

"Kamu jangan cemberut terus, dong." Mereka berjalan bersisian di bawah langit biru di antara pepohonan komplek sekolah.   

Bima diam saja. Jangankan membalas ucapan Erina, mendengarkannya pun tidak. Pikirannya sibuk bermain pada dunia yang ia ciptakan sendiri. Dunia yang penuh tanda tanya tentang masa depan. Dunia yang hampa tanpa sosok Ayah yang begitu ia cinta. 

"Nanti, pulangnya bareng aku dan Yura, ya! Aku tunggu di depan gerbang. Daaa, Bima!" 

Matanya menatap punggung perempuan yang hilang di balik bangunan yang berada di sebelah gerbang sekolahnya. Gedung SMP dan SMA mereka bersebelahan. Pagi itu, menjadi permulaan bagaimana seorang Erina masuk ke dalam kehidupan Bima dan menjadi poros bagi orbit semestanya. 

******

Yura dan Erina berteman cukup dekat oleh sebab rumah Erina satu jalur dengan rumah Yura, mereka satu kelas dan sering pulang berdua. Namun, karena Yura disuruh ibu untuk pulang bareng Bima, mau tak mau terkadang Yura menunggu Bima atau sebaliknya. 

Erina menjadi orang yang selalu berada di sisi kakak beradik itu. Erina sering berlajar atau mengerjakan tugas bersama di rumah Yura. Dari situ, pertemuan Bima dan Erina menjadi intens. 

"Kamu mau masuk SMA mana, Bim?" tanya Erina pada suatu sore saat mereka pulang sekolah. 

"Yang sama kayak Yura dan kamu aja. Biar dekat," jawab Bima yang kini mulai pulih dari kabungnya. Ia sudah bisa tersenyum. 

Erina membulatkan bibirnya. "Sebentar lagi kamu mulai pendalaman materi, kan? Nanti aku ajarin. Oke?" Ditepuknya pundak Bima beberapa kali.

Lelaki itu mengangguk. Baginya, kehadiran Erina seperti kebahagiaan yang tak mungkin ia tolak. Dibanding Yura, Erina lebih perhatian kepadanya dan sering membantu tanpa pikir panjang. Ia sering membelikan Bima makanan kesukaannya, kue leker di depan sekolah mereka. 

Diam-diam, Bima sering memperhatikan Erina ketika mereka tengah belajar bersama. Diam-diam, Bima memikirkan Erina di waktu senggangnya. Dia suka menghirup rambut Erina yang wanginya tak sengaja melewati hidung. Dia suka genggaman tangan Erina yang hangat. Dia suka senyum Erina yang ceria dibumbui gelak tawa yang menular. 

"Gimana? Diterima?" Erina berlari menghampiri Bima yang menunggunya di depan kedai. 

Bima mengangguk, lalu refleks memeluk Erina. Mengucapkan terima kasih atas bantuan perempuan yang mengajarinya banyak hal. 

Bima pun diterima di SMA tempat Yura dan Erina bersekolah. 

*******

Erina dan Yura duduk di bangku tingkat tiga, sementara Bima menjadi siswa baru di SMA itu. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now