11. Misi satu... berhasil!

5.3K 812 178
                                    

Hari kedatangan Bulan tiba.

Semua tahu manusia mana yang paling menunggu kepulangan gadis cantik itu. Langit Lazuardi, siapa lagi? Bahkan ia sudah menunggu Bulan satu jam sebelum jadwal kedatangan pesawatnya tiba di bandara.

Matanya awas memandang setiap orang yang keluar dari pintu kedatangan. Ada separuh yang sebentar lagi menjadi utuh. Begitulah hati Langit menanti Bulan.

Entah berapa lama Langit berdiri mendongak sana-sini, hingga matanya tertuju pada sesosok gadis berambut hitam panjang mendorong kopernya sendiri. Blus selutut berwarna putih gading tampak pas di tubuhnya yang semampai. Manik cokelat itu, senyum di bibirnya yang indah itu, Langit tak pernah lupa bahkan seinci pun rupa gadis yang selama ini bertahta di hatinya.

"Bulan!" teriak Langit melambaikan tangannya tinggi-tinggi.

Bulan menengok, tersenyum ikut melambaikan tangan. Ia pun mempercepat langkahnya, menghambur ke dalam pelukan 'Langitnya' begitu ia sampai. Langit mengelus rambut Bulan yang lebih panjang dari terakhir mereka bertemu, hampir empat tahun lalu.

"Langit, aku..." Belum sempat Bulan meneruskan kalimatnya, Langit lebih dulu menyela.

"Jangan berkata apapun, Lan. Kamu kembali, itu udah lebih dari cukup." Langit mengeratkan pelukannya. Menenggelamkan kepala Bulan di bahunya.

Tak jauh dari tempat dua insan itu berpelukan, ada sepasang mata yang menatap nanar. Berdiri mematung tanpa daya mendekat. Ada sesuatu yang manahan kakinya, memaksanya untuk berdiam menikmati rasa sakit yang masih tersisa namun tak kalah perih. Kali ini tidak ada air mata, ia lebih dari siap untuk melihat pemandangan ini biarpun ia membencinya. Akan tetapi, sesiap apapun patah hati, rasa sakitnya tetap sakit, kan?

"Hooo.. jadi itu yang namanya Bulan." Satu suara di sampingnya menyadarkan ia dari pikirannya sendiri. Di satu sisi ia bersyukur, tapi di sisi lain... ia bersumpah akan menjitak kepala cowok ini.

"Kalau gue jadi Langit, sih, jelas aja gue lebih milih Bulan," ucapnya enteng.

"Maksud lo?!" Army melotot.

"Yang namanya cowok, pasti lebih memilih peri surga dibanding tukang pukul."

Satu pukulan keras mendarat ke perut Bima, "Ya! Gue tukang pukul! Mau apa lo?!" Tambah satu injakan kaki yang sukses membuat jempol Bima nyut-nyutan.

"Awww!" Bima mengaduh, sontak menjauh dari Army, ngedumel, "Mimpi apa gue deket cewek yang  tenaganya kayak gorila gini."

"Udah, deh, Bim. Nggak usah bikin gue emosi. Sekarang, gimana cara kita nyamperin mereka?" tanya Army mengesampingkan egonya untuk melempar granat kepada Bima.

Kali ini Bima tidak menjawab. Ia justru mengulurkan tangannya di depan Army.

"Apaan? Gue lagi nggak ada duit, ah!" jawab Army bete, matanya tidak lepas dari pemandangan dua insan di depan sana.

Bima menepuk topi yang Army pakai. "Pegang tangan gue."

"Ih! Nggak mau! Ngapain coba pengang tangan lo. Bisa terinfeksi virus gue."

Tanpa tedeng aling-aling, Bima malah merengkuh pundak Army, merangkulnya seperti seorang... kekasih?

Sebelum Army berteriak memprotes, Bima lebih dulu membekap mulut gadis itu. "Diam. Ikutin permainan gue, oke? Ingat. Kita lagi pacaran, gak boleh berantem." Bisikan itu sukses melumpuhkan saraf kaki Army. Entahlah, dia merasa lemas seketika dan mengangguk tanpa perlawanan.

"Ja--jangan diginiin. Gue ng--nggak suka," kata Army menyingkirkan tangan Bima di pundaknya. 

Dengan berat hati, dia menggenggam tangan Bima. Tangan itu terasa keras, lebar, dan... Army tidak bisa menjelaskannya. Sebab, tangan itulah yang pertama ia genggam namun balas menggenggamnya. Tangan Langit tidak pernah benar-benar menggenggamnya. Sementara tangan Koko dan Nanang beda cerita.

ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang