31. Waktu Perjanjian Selesai

5.4K 951 338
                                    

=====================================

Maaf atas keterlambatan update! Hehehe

=====================================

Gue terbangun pukul dua dini hari setelah berusaha keras memejamkan mata dan baru berhasil terlelap pukul satu malam. Rentetan cerita dari Yura--yang terlalu rinci bagi gue, terpintal-pintal di ingatan layaknya sebuah benang yang merajut kebenaran. Terlalu jelas. Mendengarnya saja bikin hati gue ngilu. 

Beberapa pesan yang dikirim Bima sengaja belum gue buka. Setelah minum dan melamun sebentar di dapur, gue kembali ke kamar, mengecek ponsel, membuka pesan itu. 

Bima:
Mine, knp pulang duluan?

Dua jam setelah dia mengirim pesan itu, satu pesan lagi menyusul.

Bima: 
Udh sampe rumah?

Gue memijat kening yang berdenyut. Perasaan gue bimbang semenjak Yura menceritakan semuanya. Wait... Lagian, kenapa gue harus cemas? Itu 'kan masa lalunya Bima. Urusan Bima. Kenapa juga gue harus peduli dan ambil pusing? 

Makin lama, gue makin nggak paham sama diri gue sendiri. 

Pagi harinya, gue memutuskan untuk menemui Nanang. Gue butuh saran, pendapat, pencerahan? Ya semacam itulah. Perasaan ini nggak bisa gue pendam sendirian. Kalau meledak, bisa gawat. 

Sebuah kafe yang letaknya di tengah-tengah antara rumah gue dan Nanang jadi pilihan paling pas oleh sebab kampus yang libur. UAS selesai. Tinggal menunggu nilai yang akan keluar di Sistem Akademik secara bertahap. 

"Napa, lo? Sumpek amat tuh muka," guyon Nanang yang nggak sabaran menyantap burgernya. 

"Gue butuh pendapat lo."

"Tentang?"

Kisah demi kisah mengalir begitu saja dari mulut gue. Saking nggak sadarnya sudah berapa lama gue ngoceh, burger di atas piring Nanang sampai tandas, bersih. 

"Udah?" tanya Nanang mengusap bibirnya dengan tisu, disusul sendawa yang keluar tanpa peduli sekitar. 

Gue mengangguk, menyedot smoothies yang kini encer. 

"Lo goblok, ya?" 

Oke, kayaknya gue salah pilih teman cerita. Si beruk ini main asal ngatain gue gitu aja.

"Kalau gue goblok lo apaan?" balas gue ngedumel. 

"Maksud gue gini loh, Mi. Lo tuh punya perasaan lebih sama Bima. Masa lo nggak sadar juga? Peduli setan lo mau akuin atau enggak, yang jelas Bima berhasil membuat lo sayang sama dia. Titik." 

"Tapi, Nang--"

"Enggak ada tapi-tapian. Itu final." Nanang nggak mau dibantah. 

Gue menggigit kuku telunjuk. Antara iya atau tidak, gue menemukan kedua jawabannya di hati gue sendiri. 

"Nang..." Gue mencolek punggung tangannya yang bebas di atas meja.

"Apaan?" balasnya galak. 

"Sebenarnya, perjanjian gue dan Bima selesai hari ini," terang gue memasang wajah melas. 

Nanang berdecak. "Siapa peduli? Perasaan lo terlalu nyata dan semua itu nggak ada hubungannya sama waktu perjanjian kalian. Lo tuh cuma takut, Mi. Ketakutan lo terlalu besar melebihi rasa sayang lo ke dia."

Tenggorokan gue menyempit. Seandainya gue nggak mengetahui tentang masa lalunya Bima, apa mungkin gue nggak akan berpikir dua kali untuk merawat perasaan ini? Terlalu banyak bagaimana yang muncul di hati dan otak gue sekarang. Dan gue terlalu abu-abu untuk menetapkan perasaan gue sendiri.

ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang